Dalam sebuah ruangan yang luas, terdapat tumpukan tabung komputer rusak di sudut dekat pintu. Beberapa kepala penghuninya membangun kelompok. Dua pemuda berseragam SMK membedah printer, tiga pria dewasa berkacamata melakukan cleaning CPU, dan sisanya sibuk memperbaiki trouble system pada PC all in one. Semua koloni itu mengicaukan topik yang berbeda. Sesuai dengan objek yang mereka 'bedah'.
Tiba-tiba terdengarlah suara benda keras yang menghantam lantai keramik. Suara menyedihkan itu tidak hanya mengarcakan seluruh penghuni ruangan, tapi juga melenyapkan kicauan mereka. Senyap seketika.
Seluruh atensi tertuju ke sisi kiri ruangan. Rupanya tiga buah casing printer berwarna gelap sudah tergolek kaku di lantai. Pelaku yang menyebabkan ketiga benda itu berguguran membuat salah satu pria berkacamata berceletuk, “Untung cantik. Coba kalau buluk, pasti saya tendang kakinya.”
Pria berkacamata lainnya mengaminkan dan menambahkan. “Untung bos. Coba kalau anak magang, saya selepet kakinya. Bisa-bisanya nendang benda enggak berdosa.”
“Saya enggak lihat.”
Perempuan berseragam mustard membela diri. Rambutnya bergaya Ratu Cleopatra; hitam, lurus, berkilau, dan panjangnya sebahu. Poninya yang tipis menyamarkan lapangnya dahi dan tebalnya alis. Kulitnya seputih salju. Pipinya sedikit chubby. Hidungnya kecil, tapi lancip. Kelopak matanya monolid. Bola matanya tampak sendu setiap kali menatap. Bibirnya yang kecil dipoles dengan warna merah menyala.
“Lagian siapa, sih, yang naruh benda segede gini di depan pintu ruangan saya? Emangnya enggak ada space lain yang kosong?”
Bukannya menciptakan atmosfer menakutkan, Kepala Instalasi IT itu justru membuat anak buahnya meleleh. Suaranya yang tetap halus dan lembut meski dalam keadaan kesal tidak mengubah suasana menjadi tegang dan menyeramkan.
Salah satu pria bergerak, membereskan dan memindahkan ketiga casing itu ke arena anak-anak SMK. Sebelum beranjak pria itu berpesan nyaring, “Lain kali jangan naruh barang di tempat yang bikin Bu Afi kesandung, ya. Jangan lupa, tinggi atau rendahnya nilai magang kalian bergantung sama mood beliau.”
“Siap, Pak.” Kedua anak magang itu menyahut serempak.
Perkara casing printer sudah selesai. Afi pun melenggang keluar markas sambil sesekali mengusap betisnya yang sedikit sakit. Benturan kecil dengan casing printer tadi ternyata meninggalkan goresan putih di kulit kakinya yang sedikit kering.
Sepanjang koridor Afi mengangguk sungkan setiap kali berpapasan dengan perawat, dokter, atau pun staf manajemen yang kenal dengannya. Dia berbelok ke kanan dan bergabung bersama orang-orang tak berseragam. Tujuan mereka sama, menunggu pintu lift terbuka.
Saat angka digital di atas pintu lift berjalan mundur dari dua ke satu, HP dalam saku baju sebelah kiri Afi berbunyi. ‘Pak RT’. Nama itulah yang tertera di layar gawainya.
Afi menjawab panggilan tepat saat penghuni lift sebelumnya keluar. “Halo, Pak!” sapanya pelan. Dia tidak ingin terlihat seperti ibu-ibu yang level pendengarannya sudah menurun—bersuara keras dan ber-hah-hah tak jelas.
Berbeda dengannya, di seberang sana Pak RT justru mengencangkan suara level maksimal. Tidak hanya itu, suara ribut orang-orang di belakang sambungan membuat Afi terpaksa sedikit menjauhkan HP dari telinga. “Astaga! Ribut banget, sih! Lagi demo kali, ya,” ringisnya sambil melimpir.
Afi batal masuk lift agar lebih fokus menajamkan pendengaran. Suara Pak RT dan orang-orang di belakangnya seperti sedang melakukan aksi demonstrasi.
“Awas, woy! Awas! Yang enggak berkepentingan jangan mendekat! Anak kecil juga enggak boleh ke sini! Bahaya!”
Begitulah peringatan yang sempat didengar Afi sebelum Pak RT berkata, “Rumah kamu kebakaran, Fi! Cepat pulang!”
Detik berikutnya, Afi hanya bisa menganga. Ritme jantung yang semula berjalan normal kini berubah cepat dan tidak karuan. Suhu tubuh yang semula terasa dingin efek AC ruangan yang masih membekas kini berubah hangat cenderung panas. Bahkan dia merasakkan adanya aliran panas yang berkumpul ke kepala.
Afi membutuhkan waktu lebih dari sepuluh detik hingga otaknya berhasil mengolah informasi yang diterima menjadi sebuah laporan. Output yang dihasilkan mulutnya saat itu adalah umpatan kesal. Dia menurunkan HP dari telinga meskipun panggilan belum terputus.
Afi berlari meliuk-liuk untuk menghindari tabrakan dengan pengunjung rumah sakit. Dia kembali ke basecamp. Sepanjang langkah otaknya terus saja memikirkan sebesar apa kobaran api yang mengepung rumahnya.
'Semoga enggak banyak yang kebakar. Semoga tetangga-tetangga bisa nyelametin barang-barangku. Batinnya berdoa.'
Sesampainya di markas, Afi kembali mengundang atensi anak buahnya. Mereka heran, mengapa Afi kembali dalam keadaan panik dan terburu-buru. Bahkan wanita itu hanya masuk ke ruangannya sebentar, lalu kembali muncul sambil memasang tas kecil bertali panjang.
“Kenapa, Bu?” tanya seorang karyawan yang duduk di depan PC all in one putih. Posisi mejanya berdempetan dengan tembok ruangan Afi.
Afi menggumam sambil menggaruk alis kirinya. Sesaat dia merasa ragu, apakah musibah yang menimpanya akan lebih baik diberitahukan kepada karyawannya atau tidak. Kemudian hatinya condong memilih jujur dengan pertimbangan pekerjaan yang harus dialihtangankan.
“Kalau ada situasi yang urgent, tolong bantu handle, ya. Saya izin pulang dulu. Rumah saya ... kebakaran.”
Semua penghuni ruangan memekikkan kalimat keterkejutan. Banyak yang mempertanyakan kenapa musibah itu bisa terjadi. Tentu saja Afi tidak bisa menjawab karena dia sendiri belum mendengar informasi selain rumahnya kebakaran.
“Perlu saya antar, Bu?” Seorang anak magang menawarkan bantuan.
“Heh! Jangan modus, ya! Anak kecil mending belajar aja. Tuh, masih banyak printer yang musti dibenerin,” tegur salah satu karyawan sambil menunjuk tumpukan printer di sudut ruangan.
Afi mengabaikan kedua orang itu. Dia meninggalkan ruangan selagi anak buahnya memberikan teguran. Dia berlari ke parkiran dan nyaris salah memilih mobil putih yang mirip dengan miliknya.
“Fokus, Fi! Fokus!” Afi memberikan sugesti pada diri sendiri. Dia menarik-ulur napas sebelum mencari mobil yang lupa diparkir di mana.
Begitu menemukan mobilnya, Afi bergegas tancap gas. Namun, kecepatan maksimal yang bisa dikemudikannya hanya sebatas 50 km/jam. Meskipun dalam keadaan urgent dia tidak bisa mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi. Afi tidak ingin menambah masalah dan kerugian dengan menabrak pengendara lain, pembatas jalan, tiang tak berdosa, atau pohon tak berpenghuni.
Afi hanya bisa memarkirkan mobil di pinggir jalan depan komplek karena padatnya manusia dan pengendara roda dua. Sirine pemadam kebakaran dan keributan mulut manusia memenuhi telinga Afi saat keluar mobil. Dia berusaha keras menembus kerumunan agar bisa melihat keadaan rumahnya.
Sesaat Afi berhenti menatap kepulan asap hitam yang merebak di langit. Asap itu datang dari tiga buah rumah berlantai dua yang hanya menyisakan kerangka hitam. Kedua kaki Afi terasa lunglai melihat salah satu bangunan yang lebih mirip disebut arang itu.
“Enggak boleh masuk, Mbak. Apinya belum padam,” kata seorang pria yang memblokade langkah Afi. Pria itu mengenakan pakaian pemadam kebakaran tanpa helm.
“Rumah yang kebakaran itu rumah saya, Mas. Saya mau lihat,” balas Afi. Setidaknya jika tidak bisa melihat ke dalam dia ingin melihat dari dekat keadaan rumah tercinta yang dibeli atas jerih payahnya.
Pemadaman kebakaran itu menatap rekan yang berdiri di sebelahnya. Tatapannya seolah meminta pendapat, apakah dia harus membuka jalan untuk Afi atau tidak. Begitu rekannya mengangguk, pria itu menurunkan kedua tangan yang merentang.
“Jangan dekat-dekat, ya, Mbak. Bahaya soalnya.” Pria itu memberikan peringatan sebelum Afi pergi.
Afi hanya bisa menganga melihat rumahnya masih disiram oleh pemadam dan warga yang bergotong-royong. Meski apinya sudah tidak kelihatan, hawa dan asap panas terasa membakar kulit. Afi tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan barang-barang berharganya. Pasti sudah menjadi arang dan abu.
'Habis udah jerih payahku.' Afi menggelengkan kepala. Kehilangan harapan. 12 tahun bekerja, membanting tulang mengumpulkan harta benda, sekarang lenyap dalam sekejap mata.
'Sekarang aku bisa tinggal di mana?'
---BERSAMBUNG---
Hai, Guys! Ini cerita pertamaku di GoodNovel. Please dukung, ya. Kasih komen yang buanyak. Hihi.
“Di mana kamu sekarang?” Pertanyaan itu datang dari sambungan telepon. Afi mengembuskan napas, lalu memindah letak HP-nya--dari telinga kiri ke kanan. Dia menekuk lutut. Saat ini dia berteduh di rumah Pak RT. Hujan deras sedang melanda. Duduk di lantai, Afi dikelilingi benda elektronik milik tetangga yang rumahnya juga terbakar. Tidak seperti Afi, dua rumah lainnya yang menjadi korban kebakaran memiliki asisten rumah tangga yang dapat menyelamatkan barang berharga milik majikannya. “Di rumah Pak RT,” jawabnya malas dan pelan. Afi tidak suka menarik perhatian. Apalagi dengan suaranya. Dia memilih menutupi mulut saat mengulang jawaban karena Mamanya tidak mendengar jawaban sebelumnya. “Mama suruh Abang kamu jemput, ya.” Afi menggeleng meskipun sadar bahwa gesture-nya takkan terbaca oleh sang penelepon. “Enggak usah, Ma. Aku bisa nginap di sini untuk sementara waktu. Lagipula—” Afi menelan lanjutan ucapannya, lalu memeriksa layar HP. Tern
Afi tampak ragu melepaskan sabuk pengaman. Matanya mendongak menatap tingginya gerbang yang menjadi tameng pelindung rumah mewah di belakangnya. Dian berdiri di depan gerbang sambil merentangkan kedua tangan dan tersenyum lebar seolah mengucapkan selamat datang.“Sikapnya udah kayak pemilik rumah aja,” gumam Afi sambil mendorong pintu.Saat Afi turun dan menutup pintu mobil, Dian menghampiri. “Gede banget, ‘kan, rumahnya? Kalau mau, kamu bisa boyong beberapa tetangga,” ujarnya sambil memilah anak kunci yang terkumpul dalam satu ring besi.“Ini seriusan, Bang?” tanya Afi yang tampaknya belum percaya. “Emangnya Om Egi beneran udah kasih izin?”“Hush! Jangan pakai ‘Om’. Kamu kalau berhadapan langsung sama dia dan panggil ‘Om’, dia bakal marah.” Dian mengingatkan tentang betapa tidak sukanya Egi mendapat panggilan ‘Om’.Egi adalah adik sepupu mamanya. Secara status kekeluargaan, Egi memang paman mereka. Namun, atas nama usia, Egi lebih muda 2 tah
Di depan gerbang, Afi melambaikan tangan. Mobil Dani berlalu meninggalkan halaman depan. Kini tinggallah Afi seorang diri.Ah, tidak-tidak! Afi tidak sendiri. Lima belas menit yang lalu dua orang wanita paruh baya datang untuk membersihkan rumah. Saat ini mereka masih mengerjakan part masing-masing.Afi berbalik dan menatap bangunan megah di depan matanya. Bibirnya tersenyum. “Di balik musibah, selalu ada berkah. Kalau rumahku enggak kebakaran, aku pasti enggak akan pernah ngerasain tidur di rumah mewah.”Rumah Afi yang sebelumnya memang tidak bisa dibilang kecil. Cukup besar untuk ukuran wanita lajang yang tinggal sendiri. Namun, desain interiornya biasa saja. Tidak ada yang mewah dan patut untuk dibanggakan. Ukurannya pun kalah telak dibandingkan dengan rumah ini. Mungkin luas bangunan ini tiga kali lipat dari rumahnya yang terbakar.Afi meregangkan otot-otot lengan. Mengulet sambil mematah leher ke kanan dan kiri.Sesaa
“Egi!”Sebuah panggilan memusatkan atensi Egi dan Afi ke lantai satu. Tepatnya ke ambang pintu yang salah satu sisinya terbuka.Sesosok wanita bertubuh semampai berdiri di sana. Rambutnya panjang sepunggung dan bergelombong. Gradasi warna asli dengan lavender cerah membuat sosok itu terlihat mencolok.Berpijak di lantai yang berbeda dan jarak yang jauh tidak membuat Egi kesulitan mengenali sosok itu. Suara, postur tubuh, dan wajah itu sangat dikenalnya. Namun, tidak ada ekspresi antuasias, terkejut, atau pun bahagia. Justru seringai tipis yang tercetak di wajahnya.Berbeda dengan Egi, bola mata Afi justru melebar. Reaksi keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. Bahkan beberapa saat kemudian dia tampak gelagapan, bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Beberapa kali kakinya seperti hendak melangkah pergi, tapi tidak jadi. Dia juga melirik-lirik Egi seolah penasaran dengan reaksi yang akan ditunjukkan.“Bisa turun sebentar?”
Detik demi detik berlalu, tapi Egi tak kunjung memperlihatkan reaksi. Tidak ada senyum tipis seperti sebelumnya. Lensanya masih menyorot ke satu titik, yakni mata Afi.Sorot tajam dan dalam itu membuat sisa-sisa nyali Afi lenyap. Detik itu juga Afi ingin sekali memuai seperti es, lenyap dari dekapan lelaki itu.“Okay!”Satu kata yang keluar dari mulut Egi berhasil menormalkan seluruh sistem operasi tubuh dan saraf Afi. Napas yang semula mengendap di dada akhirnya dapat berembus lega. Tubuh yang semula sekaku besi baja akhirnya melunak bagaikan dilebur dengan bara. Afi nyaris merosot saking leganya. Untung saja dekapan itu begitu kokoh hingga mampu menopang tubuhnya yang meleyot.Rupanya Egi sengaja. Melihat dan merasakan ketegangan Afi merupakan hiburan tersendiri untuknya. Dia nyaris tidak bisa meredam tawa ketika menahan tubuh Afi yang nyaris tumbang dalam dekapannya.Untuk menyamarkan senyum yang terus dikulum, Egi berpindah menatap
Afi mengutuk dirinya sendiri. Sekarang dia sadar, kenapa wanita disarankan agar menikah di usia muda. Mungkin inilah sebabnya. Sekian lama tidak merasakan belaian pria, dia malah seperti wanita murahan. Diam saat disentuh. Patuh saat digiring menuju ranjang.Sebenarnya Afi sendiri heran, kenapa dia begitu mudah mematuhi ucapan Egi. Bahkan tidak ada protes dan perlawanan sama sekali. Dia seperti korban sugesti. Mungkin lebih mirip hamba sahaya yang dibeli saudagar penuh kharisma.“Emmm ... kayaknya kita sudah melewati batas,” kata Afi saat Egi merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Mereka tidak hanya berada di kamar yang sama, tapi ranjang dan selimut yang satu.Afi merasa sesak dalam dekapan pria itu. Namun, rasa hangat dan nyaman justru membuatnya tak ingin berkutik. Dia malah tertarik melihat jakun Egi yang bergerak saat menelan ludah.“Kita mungkin berada di garis keturunan yang sama, tapi saya yakin kamu belum mengenal saya denga
Afi mengatup bibir sangat rapat. Dia sadar bahwa pertanyaan barusan melampaui batas. Terlebih lagi dia mengucapkannya dengan nada yang cukup tinggi. Kentara sekali bahwa dia lepas kendali.Afi menyesali pertanyaannya—pertanyaan yang menggambarkan kekesalan, ketidakterimaan, dan ketidaknyamanan. Dia seperti wanita pecemburu yang naik pitam mendengar sang kekasih ‘menyemai bibit’ di mana-mana.Sekarang pertanyaannya adalah apakah Afi berhak memiliki emosi seperti ini? Egi memang menyebut dirinya sebagai ‘mine’. Namun, bukankah ‘mine’ saja tidak cukup untuk memperbolehkannya bertanya kasar seperti tadi?“Maaf.” Afi berucap lirih. Segenap rasa sesal menyesakkan dadanya.Dalam hal ini, tampaknya Egi tidak satu frekuensi dengan Afi. Alih-alih maraah, tersinggung, atau pun kesal, Egi justru terlihat baik-baik saja. Dia bahkan tertawa kecil, terhibur melihat Afi berkubang dalam rasa sesal.“It&rsq
Dua pasang mata itu saling pandang. Sorot si pria terlalu sulit dimaknai, sedangkan si wanita tampak berkaca-kaca. Ada luka yang tersirat dari genangan air di dalam sana. Namun, ada harapan yang juga terpancar di sana.Sunyi. Tidak ada suara yang mengganggu mereka selain embusan napas pribadi. Bahkan tidak ada yang bergerak selain organ dalam tubuh yang tetap beroperasi. Dari luar, penampakan keduanya mirip dengan maneken pria dan wanita yang saling bersitatap.“Saya jelaskan semuanya satu per satu.” Suara Egi menelan kesunyian. “Tapi, enggak berdiri kayak gini.” Tangan kanannya mengayundan membelai rambut Afi. “Kamu yang pilih; balik lagi kayak tadi—rebahan di ranjang—atau isi perut? Saya lapar.”Afi tidak yakin Egi benar-benar lapar. Ekspresi saat mengatakan itu tidak seperti orang yang perutnya keroncongan. Terlalu flat.“Maaf.” Afi menangkap tangan yang mengelus pipinya. “Saya eng
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud