Beranda / Romansa / Jodi Ruman / PASAL PELECEHAN

Share

PASAL PELECEHAN

Penulis: JihanMarc
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-17 17:22:13

Di depan gerbang, Afi melambaikan tangan. Mobil Dani berlalu meninggalkan halaman depan. Kini tinggallah Afi seorang diri.

Ah, tidak-tidak! Afi tidak sendiri. Lima belas menit yang lalu dua orang wanita paruh baya datang untuk membersihkan rumah. Saat ini mereka masih mengerjakan part masing-masing.

Afi berbalik dan menatap bangunan megah di depan matanya. Bibirnya tersenyum. “Di balik musibah, selalu ada berkah. Kalau rumahku enggak kebakaran, aku pasti enggak akan pernah ngerasain tidur di rumah mewah.”

Rumah Afi yang sebelumnya memang tidak bisa dibilang kecil. Cukup besar untuk ukuran wanita lajang yang tinggal sendiri. Namun, desain interiornya biasa saja. Tidak ada yang mewah dan patut untuk dibanggakan. Ukurannya pun kalah telak dibandingkan dengan rumah ini. Mungkin luas bangunan ini tiga kali lipat dari rumahnya yang terbakar.

Afi meregangkan otot-otot lengan. Mengulet sambil mematah leher ke kanan dan kiri.

Sesaat kemudian dia menguap. Kantuk pun melanda. Dia tidak sabar untuk meniduri ranjang super empuk dan lebar. Suhu AC-nya pun tak kalah dingin dari ruang kerjanya di rumah sakit. Kamar itu pasti akan membuatnya terlelap sampai besok pagi.

Baru saja Afi melangkah hendak memasuki gerbang, tiga bunyi klakson beruntun membuatnya menoleh. Sebuah taksi biru berhenti. Afi membalikkan badan, menunggu siapa sosok penumpang yang berani menyuruh supir membunyikan klakson seperti itu.

Detik berikutnya, Afi benar-benar menyesali niatnya tinggal di rumah ini. Dia mengutuk Dian yang meninggalkannya di saat yang tidak tepat.

“Sial,” desisnya sambil membuang muka.

Tepat ketika Afi mengumpat pelan, seorang pria berkemeja putih turun dari taksi. Kakinya terlihat panjang dan ramping dalam balutan celana kain hitam ketat. Rambutnya panjang, tapi dikuncir rapi. Tampak berkilau terkena biasan matahari senja. Perawakannya ramping, tapi berisi. Dadanya bidang. Otot-otot di lengan atasnya membuat lengan kemejanya terlihat sesak.

Pria itu menutup pintu, lalu melepaskan kacamata hitam. Rupanya dia memiliki mata yang indah; besar dan bening. Lensa matanya berwarna cokelat dan bulunya begitu lentik. Alisnya yang tebal menambah kesan mengintimidasi. Tatapannnya terlihat tajam meskipun bibirnya tersenyum.

“Hai!” sapanya dengan suara berat. “Thank you, Sir!” ucapnya kepada supir taksi yang meletakkan koper di samping kakinya.

Afi berada di situasi yang tidak nyaman. Dia gugup. Meskipun begitu, dia mencoba memasang senyum senormal mungkin agar terlihat baik-baik saja. Dia membalas sapaan pria itu sambil mendekat.

Ketika berhadapan dalam jarak setengah meter, Afi tidak tahu lagi harus berkata apa. Dia bingung—antara ingin mengajukan pertanyaan basi seperti ‘Udah pulang, Om?’ atau langsung memberitahukan alasan keberadaannya di tempat ini. Ya, pria ini adalah Egi—paman sekaligus pemilik rumah megah di belakang Afi.

“Yuk!”

Satu kata ajakan itu membuat kening Afi berkerut. Sementara itu, orang yang mengucapkannya berlalu begitu saja. Suara gesekan roda koper dengan bata menjadi penghantar kebingungan Afi.

‘Yuk? Maksudnya ... dia ngajak aku masuk? Apa dia udah baca chat-nya Bang Dian?’

Sebelum Dian pulang, Afi sempat menanyakan, apakah Egi sudah membaca chat-nya atau belum. Afi masih tidak nyaman meninggali rumah orang tanpa izin yang jelas.

Ketika itu, Dian memperlihatkan chat-nya kepada Egi masih dalam keadaan centang dua. Belum biru. Normalnya, tanda itu mengartikan bahwa chat belum dibaca meskipun terkadang ada juga beberapa pengguna aplikasi yang sengaja menonaktifkan fitur read.

“Rosmalina!”

Panggilan itu membuat Afi tersentak. Kelopak matanya berkedap-kedip melihat Egi setengah berbalik.

“Why are you standing there?”

Sebenarnya itu pertanyaan biasa saja. Tidak ada nada yang mengintimidasi. Namun, entah kenapa Afi terdorong untuk berlari kecil dan berjalan sejajar dengannya yang sudah kembali melangkah.

Tidak ada percakapan sepanjang mereka menapaki rumah. Bahkan tidak ada langkah yang memulai pemberhentian. Keduanya terus melangkah hingga menaiki tangga di sisi kanan. Mereka baru berhenti saat berada di puncak tangga.

Berdiri berhadapan dengan sosok yang lama tidak dijumpai membuat Afi grogi. Dia sampai tidak berani mendongak untuk menatap mata Egi. Dia hanya menatap kerah yang satu kancingnya terbuka.

“Emmm, udah baca chat Bang Dian?” tanyanya.

Jujur, Afi kebingungan memilih kata pembuka. Tadinya dia ingin langsung meminta izin untuk tinggal beberapa hari di rumah ini. Namun, Afi cukup malas kalau harus menjelaskan alasan kenapa dia harus menginap di rumah orang. Dia sudah bosan membahas kebakaran.

“Yes.” Egi mengangguk-angguk santai. “Belum di-read, sih. Tapi, notif-nya udah kelihatan di lock screen.”

Sekarang Afi semakin bingung. Apa lagi yang harus dia katakan? Haruskah dia meminta izin ulang agar terlihat sopan?

Gara-gara kebimbangan yang memenuhi benaknya, Afi sampai tak sadar sudah menggaruk kepala sampai rambutnya berantakan. Dia pun tidak tahu kalau Egi tersenyum samar melihat anak rambut di puncak kepalanya yang berdiri.

“See you at dinner.”

Ucapan yang datang berbarengan dengan tepukan di pundak berhasil meruntuhkan kebimbangan Afi. Saat wanita itu sadar, Egi sudah melangkah membelakanginya. Sayangnya, Afi merasa bahwa pembicaraan ini belum berakhir. Belum ada kejelasan tentang izin tinggalnya di rumah ini.

“Tunggu!” pintanya sambil mengejar Egi.

Pria itu berhenti. Mereka pun kembali berhadapan.

‘Sial! Kenapa jadi gugup gini, sih?’

Afi menyesalkan tingkah jantungnya yang kampungan. Bukankah dia sudah terbiasa menghadapi manusia. Kenapa segugup ini berhadapan dengan paman sendiri? Bukankah berhadapan dengan Direktur tidak pernah semendebarkan ini?

“Why? Want to say something?” tanya Egi.

Afi menggumam dan mengangguk. “Saya butuh tumpangan selama beberapa hari. Mungkin dua atau tiga hari karena rumah saya—”

“I know. Your mother has told me. Kamu boleh tinggal di rumah ini sampai kapan pun. Selamanya juga enggak apa-apa.”

Kelopak mata Afi melebar. Sedikit terkejut dan tidak percaya mendengar jawaban Egi. Bagian yang membuat Afi tercengang adalah kalimat terakhir.

Afi mengerti bahwa Egi mungkin hanya berbasa-basi. Namun, kata ‘selamanya’ menurutnya sangat berlebihan.

“Saya enggak bakal lama-lama, kok. Begitu dapat kontrakan baru, saya bakal—”

Tubuh Afi mendadak tegang. Seluruh sarafnya berhenti beroperasi. Dia sampai tidak bernapas selama beberapa detik.

Kebekuan Afi terjadi karena sentuhan ibu jari Egi di leher kanannya. Gosokan lembut itu tidak hanya membuat bulu halusnya berdiri, tapi jantungnya juga berdetak cepat. Adrenalinnya terpantik.

Seharusnya Afi memukul tangan kurang ajar itu. Sentuhan tanpa izin ini bisa dianggap pelecehan.

Anehnya, tidak sekalipun Afi berpikir untuk menjauhkan tangan itu. Sensasi yang menggelitik kulit lehernya terasa menyenangkan sekaligus menegangkan. Terlalu dini untuk mengusirnya.

“Sorry,” kata Egi setelah berhenti. Dia memperlihatkan jempolnya yang menghitam seperti tergesek arang. “Kayaknya remah-remah tiang rumah kamu nempel di leher.”

Egi tidak ingin repot menjelaskan bahwa sebelumnya di leher Afi terdapat coretan hitam. Ketika melihat coretan kotor itu, jempol Egi merasa gatal ingin membersihkan. Dia bergerak refleks tanpa pikir panjang. Bahkan dia tidak berpikir untuk meminta izin.

“Kamu bisa tuntut saya atas pasal pelecehan kalau merasa enggak terima,” tambahnya sambil menyapukan jempol ke kain celana.

‘Ekspresinya terlalu santai untuk ukuran seseorang yang merasa bersalah. Mungkin karena dia pengacara, jadi meskipun dituntut, dia udah tau mau ngelakuin apa supaya terbebas dari jeratan hukum.’ Afi menilai dalam hati.

-----BERSAMBUNG---

Jangan lupa kasih jejak, ya, Guys! Seenggaknya, kasih semangat supaya aku rajin update. Love you all. 

Bab terkait

  • Jodi Ruman   SHE IS MINE

    “Egi!”Sebuah panggilan memusatkan atensi Egi dan Afi ke lantai satu. Tepatnya ke ambang pintu yang salah satu sisinya terbuka.Sesosok wanita bertubuh semampai berdiri di sana. Rambutnya panjang sepunggung dan bergelombong. Gradasi warna asli dengan lavender cerah membuat sosok itu terlihat mencolok.Berpijak di lantai yang berbeda dan jarak yang jauh tidak membuat Egi kesulitan mengenali sosok itu. Suara, postur tubuh, dan wajah itu sangat dikenalnya. Namun, tidak ada ekspresi antuasias, terkejut, atau pun bahagia. Justru seringai tipis yang tercetak di wajahnya.Berbeda dengan Egi, bola mata Afi justru melebar. Reaksi keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. Bahkan beberapa saat kemudian dia tampak gelagapan, bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Beberapa kali kakinya seperti hendak melangkah pergi, tapi tidak jadi. Dia juga melirik-lirik Egi seolah penasaran dengan reaksi yang akan ditunjukkan.“Bisa turun sebentar?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-18
  • Jodi Ruman   PEMBALASAN HARUS KETERLALUAN

    Detik demi detik berlalu, tapi Egi tak kunjung memperlihatkan reaksi. Tidak ada senyum tipis seperti sebelumnya. Lensanya masih menyorot ke satu titik, yakni mata Afi.Sorot tajam dan dalam itu membuat sisa-sisa nyali Afi lenyap. Detik itu juga Afi ingin sekali memuai seperti es, lenyap dari dekapan lelaki itu.“Okay!”Satu kata yang keluar dari mulut Egi berhasil menormalkan seluruh sistem operasi tubuh dan saraf Afi. Napas yang semula mengendap di dada akhirnya dapat berembus lega. Tubuh yang semula sekaku besi baja akhirnya melunak bagaikan dilebur dengan bara. Afi nyaris merosot saking leganya. Untung saja dekapan itu begitu kokoh hingga mampu menopang tubuhnya yang meleyot.Rupanya Egi sengaja. Melihat dan merasakan ketegangan Afi merupakan hiburan tersendiri untuknya. Dia nyaris tidak bisa meredam tawa ketika menahan tubuh Afi yang nyaris tumbang dalam dekapannya.Untuk menyamarkan senyum yang terus dikulum, Egi berpindah menatap

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • Jodi Ruman   BIANGNYA BERENGSEK

    Afi mengutuk dirinya sendiri. Sekarang dia sadar, kenapa wanita disarankan agar menikah di usia muda. Mungkin inilah sebabnya. Sekian lama tidak merasakan belaian pria, dia malah seperti wanita murahan. Diam saat disentuh. Patuh saat digiring menuju ranjang.Sebenarnya Afi sendiri heran, kenapa dia begitu mudah mematuhi ucapan Egi. Bahkan tidak ada protes dan perlawanan sama sekali. Dia seperti korban sugesti. Mungkin lebih mirip hamba sahaya yang dibeli saudagar penuh kharisma.“Emmm ... kayaknya kita sudah melewati batas,” kata Afi saat Egi merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Mereka tidak hanya berada di kamar yang sama, tapi ranjang dan selimut yang satu.Afi merasa sesak dalam dekapan pria itu. Namun, rasa hangat dan nyaman justru membuatnya tak ingin berkutik. Dia malah tertarik melihat jakun Egi yang bergerak saat menelan ludah.“Kita mungkin berada di garis keturunan yang sama, tapi saya yakin kamu belum mengenal saya denga

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • Jodi Ruman   KITA INI APA?

    Afi mengatup bibir sangat rapat. Dia sadar bahwa pertanyaan barusan melampaui batas. Terlebih lagi dia mengucapkannya dengan nada yang cukup tinggi. Kentara sekali bahwa dia lepas kendali.Afi menyesali pertanyaannya—pertanyaan yang menggambarkan kekesalan, ketidakterimaan, dan ketidaknyamanan. Dia seperti wanita pecemburu yang naik pitam mendengar sang kekasih ‘menyemai bibit’ di mana-mana.Sekarang pertanyaannya adalah apakah Afi berhak memiliki emosi seperti ini? Egi memang menyebut dirinya sebagai ‘mine’. Namun, bukankah ‘mine’ saja tidak cukup untuk memperbolehkannya bertanya kasar seperti tadi?“Maaf.” Afi berucap lirih. Segenap rasa sesal menyesakkan dadanya.Dalam hal ini, tampaknya Egi tidak satu frekuensi dengan Afi. Alih-alih maraah, tersinggung, atau pun kesal, Egi justru terlihat baik-baik saja. Dia bahkan tertawa kecil, terhibur melihat Afi berkubang dalam rasa sesal.“It&rsq

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-20
  • Jodi Ruman   YOU’RE MINE

    Dua pasang mata itu saling pandang. Sorot si pria terlalu sulit dimaknai, sedangkan si wanita tampak berkaca-kaca. Ada luka yang tersirat dari genangan air di dalam sana. Namun, ada harapan yang juga terpancar di sana.Sunyi. Tidak ada suara yang mengganggu mereka selain embusan napas pribadi. Bahkan tidak ada yang bergerak selain organ dalam tubuh yang tetap beroperasi. Dari luar, penampakan keduanya mirip dengan maneken pria dan wanita yang saling bersitatap.“Saya jelaskan semuanya satu per satu.” Suara Egi menelan kesunyian. “Tapi, enggak berdiri kayak gini.” Tangan kanannya mengayundan membelai rambut Afi. “Kamu yang pilih; balik lagi kayak tadi—rebahan di ranjang—atau isi perut? Saya lapar.”Afi tidak yakin Egi benar-benar lapar. Ekspresi saat mengatakan itu tidak seperti orang yang perutnya keroncongan. Terlalu flat.“Maaf.” Afi menangkap tangan yang mengelus pipinya. “Saya eng

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-20
  • Jodi Ruman   BERENGSEK DAN SOMBONG

    Egi menurunkan Afi dari meja wastafel. Tanpa melepaskan pinggang wanitanya, Egi bertanya, “Mau mandi sekarang?”Afi menggeleng pelan. Sebenarnya dia sedikit takut mendengar pertanyaan semacam itu. Entah kenapa pikirannya menjurus ke hal-hal negatif. Dia takut Egi akan mengajaknya mandi bersama hingga melakukan perbuatan yang ujungnya sudah terduga.Setelah mengetahui sekelumit sisi keberengsekan pamannya, insting kewaspadaan Afi sedikit meningkat. Dia tidak hanya waspada pada Egi, tapi juga dirinya sendiri.Afi seorang wanita dewasa dan normal. Hormon yang berhubungan dengan seksualitasnya sudah menumpuk dan terkadang meraung-raung minta dilepaskan. Dia takut kalau hormon ini sewaktu-waktu akan meledak dan tak dapat dikendalikan gara-gara pancingan Egi.Sebenarnya, tidak hanya Egi yang memiliki sisi hitam yang berhubungan dengan seksualitas. Afi pun sama. Namun, Afi tidak seberani Egi. Dia takut mengungkapkan aib itu. Juga malu dan gengsi. Menurutnya, jika ai

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-21
  • Jodi Ruman   MEMASTIKAN SESUATU

    Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya me

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-21
  • Jodi Ruman   MEALTING

    Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sa

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-22

Bab terbaru

  • Jodi Ruman   KANGEN?

    Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko

  • Jodi Ruman   KLINIK

    “Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin

  • Jodi Ruman   HUJAN, RONDE, DAN PEMBALUT

    “Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan

  • Jodi Ruman   MENGUPING

    “Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na

  • Jodi Ruman   WEEKEND MURAH DAN AMAN

    Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i

  • Jodi Ruman   JAHAT

    Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan

  • Jodi Ruman   PILLOW TALK

    Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni

  • Jodi Ruman   PERKARA MIE, TELUR, DAN MINYAK

    “Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang

  • Jodi Ruman   HUKUMAN

    Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud

DMCA.com Protection Status