Bayu tidur sampai jam 9 pagi. Dia tidak akan bangun lebih cepat bila bibinya tidak masuk ke kamarnya dan membangunkannya.
Ketika Bayu bangun, dia merasa kepalanya pusing. Badannya terasa linu dan ototnya ngilu. Bayu masih ingin tidur karena lelah.
“Bulik, saya merasa tidak enak badan! Biarkan saya istirahat hari ini ya!” Bayu memohon izin kepada bibinya.
“Bulik sudah menyiapkan sarapan pagi buat kamu lho! Bulik masak soto ayam sama tempe goreng. Ayo, bangun sarapan dulu! Setelah itu, minum obat masuk angin!” Bibi Wati memaksa Bayu untuk bangun agar bayu mau makan dan minum obat.
“Ayo bangun, Kakekmu juga sudah bangun lho, dia lagi duduk di ruang makan menunggu kamu!” kata Bibi Wati membujuk Bayu.
“Apa, Bulik, Kakek juga sarapan bersama kita?” tanya Bayu.
“Iya, makanya, ayo sarapan bareng!” jawab Bibi Wati.
Mendengar Kakeknya hendak sarapan bersama walaupun agak enggan karena masih lelah, Bayu bangun dan berdiri. Dia keluar dari kamar mengikuti bibinya.
“Sikat gigi dan cuci tanganmu dulu, baru makan!” perintah Bibinya.
Bayu bergegas ke kamar mandi, menyikat giginya, mencuci muka, dan mencuci tangannya. Tanpa mengeringkan muka dan tangannya, Bayu berjalan ke ruang makan.
Melihat kakeknya duduk di ruang makan sambil minum teh panas, Bayu segera bertanya, “Kakek, sudah sehat?”
“Lho, Siapa yang sakit? Kakek cuman tidak enak badan karena capek bepergian ke Yogya kok kemaren!” jawab Kakek Warno.
Bayu tiba-tiba berpikir ingin melihat Kembaran Kakeknya.
Sebelum duduk, Bayu menundukkan kepalanya untuk memejamkan matanya sebentar dan membaca doa lalu memusatkan pikirannya, menghipnotis pikirannya agar bisa melihat Kembaran Kakeknya
Mengangkat kepalanya, Bayu memandang Kakeknya.
Bayu melihat sosok Kakeknya sedang dipeluk oleh seseorang yang identik dengan Kakeknya tetapi orang itu berwajah pucat.
“Wah, luar biasa, kamu sudah bisa lihat kembaranku, toh, Bayu?”
Suara Kakeknya menyadarkannya. Bayu langsung tersipu malu dan menundukkan kepalanya tidak berani memandang Kakeknya.
“Mengapa kamu malu? Baguslah kamu sudah berhasil! Apa yang kamu lihat tadi?” Kakek Warno bertanya kepada Bayu dengan antusias.
Bayu mengangkat kepalanya.
Dia diam dan ragu-ragu sejenak, berpikir bagaimana menjawab Kakeknya.
“Eh, Kembaran Kakek sama persis seperti Kakek hanya saja dia lebih pucat dan dia sedang memelukmu, Kakek!” ungkap Bayu pada akhirnya.
Mata Kakek Warno berbinar sebentar, lalu kembali normal dan berkata, “Betul! Itu memang Kembaranku! Tidak usah kuatir dengan apa yang kamu lihat! Kembaranku memang memelukku saat ini karena Kakek bukan 100% orang baik meskipun aku juga merasa bukan orang jahat!”
“Semakin tua, semakin buruk perbuatan seseorang. Aku terkadang pelit. Terkadang juga, aku suka memanipulasi kelemahan orang lain. Aku suka memanfaatkan keadaan. Aku juga terkadang harus berbohong kepada orang lain agar mereka tidak menyalahkan aku bila aku tidak berhasil menolong mereka. Tidak ada paranormal yang benar-benar baik! Yang banyak hanyalah paranormal mata duitan! Itulah kenyataannya!”
Kakek Warno menjelaskan dengan jujur.
Bayu menghela napas mendengar kata-kata Kakeknya. Mungkin inilah kenyataan pahit hidup di dunia ini. Setiap orang hanya memanfaatkan orang lain.
“Aku tidak memintamu mengikuti jejakku untuk menjadi paranormal. Aku hanya ingin kamu selamat dalam menjalani hidup yang kejam ini! Selain itu, agar ilmu keluarga kita tidak hilang setelah aku mati!” kata Kakek Warno.
“Ya, Kek!” Bayu menjawab singkat.
“Sekarang, mari kita sarapan! Soto buatan bulikmu enak banget, lho!” Kakek berkata dengan ceria mengganti topik pembicaraan kami.
“Ya, masakan Bulik memang yang paling enak di dunia!” Bayu menimpali setengah bercanda.
Bibi Wati yang mendengar pujian Kakek Warno dan Bayu hanya terdiam dan tersipu malu.
Mereka bertiga sarapan pagi dengan bahagia. Bayu mengobrol santai dengan Kakek dan Bibinya tentang topik keadaan desa. Tidak ada pembicaraan berat ketika sarapan.
Selesai sarapan, Kakek Warno berkata, “Bayu, mari kita bicara di ruang tamu berdua!" lalu dia menatap anak perempuannya, "Wati, tolong buatkan dua cangkir kopi untukku dan Bayu. Aku mau bicara penting sama Bayu!”
Lelaki tua itu mengajak Bayu pergi ke ruang tamu.
Sebelum duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu jati, Kakek menutup pintu tengah yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang tamu. Dia juga menutup pintu depan yang terhubung ke teras rumah, tetapi dia membiarkan jendela di ruang tamu terbuka.
“Kamu duduk di kursi tepat di depanku, Bayu!” Kakek menyuruh Bayu duduk tepat di seberang meja tamu, tepat di depan kursi yang di duduki oleh Kakeknya.
“Aku akan mengajari kamu kemampuan untuk berkomunikasi dengan Qorin menggunakan pikiranmu! Kamu tidak boleh berbicara secara lisan kepada Qorin ketika kamu berada di tempat umum. Dengan cara berkomunikasi secara pikiran dengan Qorin, orang lain tidak tahu apa yang kalian bicarakan!”
“Kamu bisa mencoba berkomunikasi dengan kembaranku melalui pikiranmu! Caranya gampang, kok! Setelah kamu melihat kembaranku, kamu tinggal berkonsentrasi mengarahkan pikiranmu sekan-akan kamu berbicara dengannya dalam pikiranmu. Dia akan segera menanggapi kontak pikiranmu selama kamu bermaksud untuk berbicara kepadanya. Dia tidak akan tahu apa pikiranmu bila kamu tidak mengarahkan maksud dari pikiranmu kepada Qorin. Hati-hati! Jangan mencampurkan pembicaraan dengan pemikiranmu, dia akan dapat mendengar hatimu!" ada jeda sebelum Kakeknya berkata, "ayo, kita mulai latihan sekarang! Fokus, ya! Jangan lengah! Kamu juga jangan bertanya hal-hal yang menyangkut urusan pribadiku!”
Setelah penjelasan panjang lebar itu, Bayu segera memejamkan mata dan mulai membaca doa.
Dia memfokuskan pikiran untuk melihat Kembaran Kakeknya. Tidak lama kemudian, Bayu merasakan seseorang sedang menatapnya.
Bayu membuka matanya dan melihat sosok yang mirip Kakeknya dengan wajah pucat sedang memeluk lengan kiri Kakeknya.
Tubuhnya agak transparan. Dia duduk melayang menembus pegangan tangan kursi kayu dan menatap Bayu dengan mata ingin tahu.
Bayu menatap mata Kembaran Kakeknya sambil berpikir untuk berkomunikasi dengannya di dalam pikiran dan di dalam benaknya seolah-olah berkata, “Kembaran Kakek, apakah kamu tahu tanggal lahir Kakekku dan tempat kelahirannya?”
“Aji Suwarno lahir pada tanggal 12 Mei 1953 di Kota Magelang!” Kembaran kakek menjawab.
“Apakah kamu tahu siapa nama almarhum istri Kakekku?” Bayu bertanya lagi menguji Kembaran Kakeknya.
“Nama istri Aji Suwarno adalah Sulastri!” Qorin Kakek menjawab lagi.
“Sudah cukup, Yu!” Kakek tiba-tiba menyela pembicaraanku dengan Qorinnya.
“Apa yang kamu tanyakan kepada Kembaranku?” Kakek bertanya dengan maksud menguji Bayu.
“Bayu bertanya tanggal dan tempat kelahiran Kakek serta nama Nenek kepadanya!” Bayu menjawab pertanyaan Kakeknya.
Dan dia menjawab apa?” Kakek Warno bertanya lagi.
“Dia menjawab Kakek lahir tanggal 12 Mei tahun 1952 dan nama Nenek adalah Sulastri!” Bayu menjelaskan.
“Bagus! Kamu sudah menguasai cara berkomunikasi dengan Jin Qorin sekarang! Aku tidak mengira kamu cepat belajar! Sekarang aku semakin tenang melepas kepergianmu ke Jakarta!” Kakek Warno memuji Bayu dengan puas.
“Ingat! Mulai saat ini, kamu harus tetap berhati-hati dan rendah hati pada setiap kesempatan! Jakarta berbeda dengan Magelang. Kehidupan di sana lebih keras dan kejam. Kamu harus cerdik dalam menghadapi setiap situasi dan kondisi!”
“Minggu depan, kamu boleh berangkat ke Jakarta, ibumu sudah mengirimkan uang buat ongkos bus dan makan di jalan. Kamu bebas selama satu minggu ini kalau mau bermain. Kakek mulai besok praktik lagi di Muntilan,” ucap Kakek mengingatkan Bayu untuk selalu berhati-hati dan waspada.
Bayu keluar dari ruang tamu dan duduk merenung di kursi teras.
Dia merasakan jantungnya berdebar karena gugup berpikir pengalaman apa yang menantinya di Jakarta.
Seminggu telah berlalu. Sore hari ini, Bayu harus berangkat ke Jakarta. Dia berangkat menggunakan moda transportasi Bus Travel dari kota Muntilan. Kota Muntilan adalah kota kabupaten terdekat dari desa Bayu. Kota ini kecil dan tidak ramai. Dari desanya ke kota Muntilan hanya memakan waktu setengah jam. Bayu dijemput dan diantarkan ke Agen Bus Travel oleh teman Kakek Warno, Pak Yono, menggunakan mobil van miliknya. Di dalam mobil, Bayu iseng ingin melihat Kembaran pak Yono. Ketika Bayu mengaktifkan kemampuannya, dia melihat Kembaran pak Yono menempel di punggungnya dan posisi kepala Kembarannya berada di bahu kiri Pak Yono. Bayu terkejut melihat ini dan bergumam kepada dirinya sendiri, “Pak Yono ini bukan orang baik, kurasa? Kembarannya hampir bersatu dengan tubuhnya!” “Mengapa Kakek berteman baik
Menjelang siang hari, Bayu sampai di rumah ibunya di Klender. Bayu bertemu adik perempuan tirinya yang berusia 4 tahun di teras rumah ibunya. Gadis kecil itu sedang bermain boneka dan tentu saja ditemani bocah perempuan yang persis sama dengan wajah adiknya. Kembaran adiknya duduk di sampingnya hanya melihat tanpa bersuara. Kedatangan Bayu mengalihkan perhatian keduanya. Mereka menatap Bayu tanpa berkedip. Adik tiri Bayu tiba-tiba berseru memanggil, “Maaa, ada tamu!” “Kakak, kamu siapa? Mama, ada abang-abang bertamu nih!” gadis kecil itu bertanya lalu berteriak lagi memanggil Ibunya. Sesosok wanita dewasa dengan fitur wajah yang mirip Bayu keluar dari dalam rumah. “Bayu! Kamu sudah sampai!” wanita itu berseru sambil tersenyum. “Ibu! Iya, Bayu sudah datang,” Bayu berkata dan berjalan menghampiri w
Bayu menyeberangi jalan kecil di depan rumah kontrakan. Dia sampai di depan Warkop dan mengamati. Dia melihat penjual di warkop adalah pria muda sekitar usia 20 tahun. Perawakannya kecil, matanya cekung seperti orang kurang tidur. Bayu memasuki warung yang terbuka bagian depannya. Dia duduk di sudut dalam Warkop. Warkop nampaknya juga menjual mi instan, bubur kacang hijau dan gorengan. Melihat daftar menu yang di tempel di dinding warkop, Bayu berkata, “Kang, saya pesan teh hangat dan bubur kacang hijau!” Si penjual yang terkantuk-kantuk mendadak bangun mendengar suara Bayu. “Oh, iya, a’!” Sambut si penjual. Oh, iya, nama akang siapa ya? Saya Bayu, saya keponakan Pak Santoso yang punya kontrakan di seberang. Saya baru datang dari kampung hari ini!” kata Bayu memperkenalkan diri. “Saya Asep, a’!” Jawab si Penjual singkat sambil menyiapkan pesanan Bayu. Bayu ya
Pukul 9 Malam, Bayu kembali ke rumah kontrakan. Setelah mengobrol dengan Paman dan Bibinya, dia baru menyadari bahwa setiap kamar mempunyai nomor masing-masing. Di lantai bawah yang dimulai dari kamar Bayu adalah nomor 101 dan seterusnya hingga 110. Di lantai dua, mulai dari kamar 201 hingga 210. Dan lantai tiga mulai dari 301 hingga 310. Bayu dipercayakan memegang kunci kamar yang kosong. Dengan harapan begitu ada calon Penyewa, dia bisa langsung menunjukkan ruangan di dalam kamar yang diminati calon Penyewa sekaligus bila calon Penyewa langsung membayar uang sewa untuk satu bulan ke depan, dia bisa langsung memberikan kuncinya kepada Penyewa. Kembali ke kamarnya dia mencuci kaki, tangan dan wajahnya sebelum tidur. Bermain ponsel sebentar, kemudi
Sampai di depan pintu kamar 302, Bayu memasukkan anak kunci di lubang kunci pintu sambil mengaktifkan kemampuannya. Bayu membuka pintu kamar, masuk ke ruang depan. Kamar yang seharusnya kosong, sekarang ada karpet plastik di ruangan depan kamar itu. Beberapa bantal bergambar kartun tergelatak di karpet. Tidak ada apa-apa lagi selain itu. Bayu berdiri di dalam ruang depan mengamati ke seluruh ruangan mencoba mencari suatu petunjuk ketika tiba-tiba dia mendengar suara perempuan menangis pelan dari dalam ruang tengah. Bayu melangkah berjalan menuju ruang tengah. Dia berhenti di depan pintu yang terbuka di antara ruang depan dan ruang tengah. Bayu berdiri melihat ke dalam ruang tengah. Hanya ada kasur busa yang diletakkan di lantai bersama dua buah bantal. Di atas kasur busa, duduk seorang perempuan dengan kepala berdarah, dia sedang menangis sedih. Bayu mendekat
Bayu mendapatkan pemikiran untuk bertemu pria yang terbunuh dengan sengaja. Tetapi sebelum itu dia akan bertanya-tanya kepada Asep tentang Kardi. Bayu menduga pria itu adalah kardi, karena pria itu mati di kamar yang sama dengan Bayu. Menurut dugaannya kamar ini selalu ditempati pengurus kontrakan. Bayu merasa mulutnya iseng ingin makan camilan dan berpikir, “lebih baik ngemil di Warkop Kang Asep sambil menyelidiki Kardi saja!” Bayu pergi menuju Warkop di seberang. Dia melihat Asep sedang menggoreng tempe, sementara di meja Warkop sudah ada tempe goreng yang masih mengepulkan asap. Bayu duduk di bangku kayu panjang dan memesan minuman, “Kang, minta teh hangat satu ya!” “Iya, ini ada gorengan baru saja matang, sekalian atuh, dicoba!” Asep berkata menawarkan gorengan buatannya. Bayu mengambil tempe goreng lalu mengigitnya. Sesaat kemudian, teh hangat tersaji
“Ada apa, nak? Kamu bebas mengatakan kepada ibu. Jangan menyimpan masalahmu sendiri!” Ibu berkata dengan cemas. “Bu, apakah Ibu tahu apa pekerjaan Kakek selama ini?” Bayu bertanya. “Ibu tahunya Kakekmu adalah seorang tabib. Pekerjaannya adalah menyembuhkan orang dari penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh orang lain.” Anti menjawab. “Kalau Bayu bilang pekerjaan Kakek yang sebenarnya adalah seorang Paranormal, apakah ibu percaya?” Bayu bertanya lagi. “Pranormal? Apa ada bedanya dengan Tabib?” Anti bertanya kembali kepada Bayu. “Jauh berbeda, bu! Kakek adalah seorang dukun!” Bayu menjawab jujur. “Dukun? Maksud kamu dukun yang suka menyantet orang, gitu?” Anti bingung. “Bukan, bu! Memang benar, bisa dikatakan pekerjaan Kakek menolong orang, tapi dalam hal lain. Kakek membantu memecahkan masalah orang lain, tapi bukan menyembuhkan penyakit.” Alex menj
Tok, tok, tok! Suara ketukan terdengar pintu kamar 101. Bayu beranjak dari ranjangnya menuju ke pintu ruang depan. Bayu membuka pintu dan melihat Santoso berdiri di hadapannya dan berkata, “Oh, Paman Santoso. Silakan masuk, Paman!” Santoso masuk ke ruang tamu dan duduk di kursi tamu. Bayu duduk di seberang Santoso. “Gimana, hari-harimu di sini, Yu? Betah?” Santoso bertanya. “Betah, Paman. Oh, iya Paman, Bagaimana tentang kuliah Bayu? Besok Bayu berencana mendaftar ke Institut Teknik. Bayu kuatir pendaftaran keburu ditutup bila tidak segera mendaftar.” Bayu berkata. “Tenang, Yu! Besok pagi, kamu minta uangnya ke Bibimu. Nanti Paman titipkan Bibimu.” Santoso meyakinkan Bayu. “Terima kasih, Paman. Kalau begitu, besok Bayu minta ke Bibi.” Bayu mengucapkan terima kasih. “Ya, sudah, Paman kembali dulu. Aku belum sempat makan malam. Apakah