Sudah tidak sabar untuk merayakan perceraian mereka? Saat memikirkan hal itu, ada rasa sakit di dalam hati Zola, tidak kuat juga tidak ringan, seperti digigit semut. Namun, justru bisa membuatnya merasa tidak bernapas.Setelah makan, Zola juga segera berangkat. Dia mengira Boris menemani Tyara pergi untuk merayakannya terlebih dahulu. Setelah itu, mereka langsung pergi ke Kantor Capil. Oleh karena itu, Zola pun pergi dengan mobilnya sendiri.Pada saat yang sama, di kantor CEO lantai teratas gedung Morrison Group.Boris sedang duduk di depan meja kerjanya dan fokus pada dokumen di tangannya. Sedangkan Tyara duduk di sofa di seberangnya. Tyara sudah duduk di sana dan menunggu Boris selama satu jam. Tyara bahkan mencari tahu jam kerja Kantor Capil. Sekarang sudah buka, tapi Boris tidak ada tanda-tanda mau pergi. Setelah ragu-ragu cukup lama, akhirnya Tyara memutuskan untuk mengingatkan pria itu.“Boris, kamu sudah selesai, belum? Sekarang kita sudah bisa pergi ke sana, kan?”Tyara menatap
Zola hanya tertegun sejenak. Setelah itu, dia langsung menepis kemungkinan itu, “Bagaimana mungkin? Dia justru sudah nggak sabar untuk putuskan hubungan denganku. Dia hanya ingin berikan status pada Tyara. Jadi bagaimana mungkin dia nggak mau cerai denganku?”Ini terlalu konyol. Zola tidak akan sebodoh itu sampai beranggapan seperti itu. Bagaimanapun juga, tidak ada kemungkinan seperti itu.Mahendra terdiam selama beberapa detik, lalu dia berkata, “Mungkin aku yang terlalu banyak berpikir. Aku hanya merasa karena kalian sudah putuskan untuk cerai, kalau begitu jangan ditunda-tunda lagi. Toh cepat atau lambat akan cerai juga. Ditundah terus juga nggak ada gunanya bagi siapa pun, bukan?”“Iya, kamu benar.”“Zola, bukannya aku mau ikut campur dalam urusanmu. Aku hanya takut kamu yang rugi dan menderita.”Mahendra bisa mendengar dari nada bicaranya kalau suasana hati Zola sedang tidak baik. Oleh karena itu, dia berusaha menjelaskan.Zola hanya berkata, “Aku nggak berpikir seperti itu. Buka
Selena menuangkan segelas air untuk ibunya, “Ma, Mama nggak perlu khawatir. Karena mereka memang sudah nggak sanggup hidup bersama lagi, mungkin saja bercerai jadi pilihan terbaik buat mereka. Kalau begini terus nggak baik bagi siapa pun.”“Nggak mungkin, dia nggak boleh bercerai. Aku nggak akan pernah biarkan dia bercerai.”Sorot mata Lydia penuh perhitungan. Selena yang duduk di sampingnya bisa melihat dengan jelas. Untuk sesaat, Selena juga mengalami pergulatan batin di dalam hatinya.Malam hari, Boris baru saja kembali ke Bansan Mansion. Begitu mendengar suara mobil, Zola langsung berdiri dan keluar. Keduanya berpapasan di pintu masuk.“Ada apa denganmu pagi ini?” tanya Zola.“Tadi pagi ada rapat dewan direksi. Sorenya banyak urusan lain yang harus diselesaikan juga,” jawab Boris dengan acuh tak acuh.“Kamu sibuk banget?” tanya Zola lagi.“Zola, apa maksudmu? Kamu merasa aku sengaja nggak pergi ke Kantor Capil?”“Aku nggak ngomong begitu,” kata Zola dengan suara pelan. Zola hanya i
Begitu mendengar suara Boris, Zola spontan mendongakkan kepala. Kebetulan, matanya langsung bertemu dengan mata dingin dan tajam pria itu.Zola melihat wajah tampan pria itu tampak tidak senang, dia pun bertanya dengan heran, “Aku bukannya nggak sabar. Aku hanya ingin cepat-cepat selesaikan jadi nggak buang-buang waktumu. Makanya aku siap-siap dulu dan tunggu kamu di sini.”Bukankah lebih baik kalau bisa diselesaikan lebih awal? Dengan begitu, bukankah Boris bisa segera menjalin hubungan dengan Tyara secara terbuka? Zola sama sekali tidak mengerti apa yang membuat pria itu marah. Namun, dia tidak akan bertanya. Dia hanya menatap pria itu dalam diam.Boris memelototinya dengan tajam, seperti sangat tidak senang dengan Zola. Kebetulan, Tyara yang ternyata sudah bangun juga turun dari lantai atas. Dia pun memanggil Boris dengan suara lembutnya, “Boris ....”“Hmm.” Boris baru berjalan turun.Kemudian, Tyara berkata lagi, “Boris, nanti kalian mau ke Kantor Capil?”Zola tidak menggubris, pur
Zola melihat nama yang ditampilkan di layar ponsel. Dia terdiam sebentar, lalu dia menggeser tombol merah untuk menolak panggilan tersebut.Boris yang melihat tindakannya bertanya dengan tenang, “Kenapa nggak diangkat”“Bukan telepon mendesak, nggak usah diangkat.”Usai berkata, Zola melihat ke luar jendela. Itu telepon dari ibunya. Tentu saja dia mengerti mengapa ibunya menelepon. Oleh karena itu, Zola tidak mau menjawab. Namun, baru saja ditolak, ibunya menelepon lagi. Raut wajah Zola menjadi dingin. Tanpa ragu-ragu, Zola langsung mematikan ponselnya. Tunggu sampai dia menyelesaikan perceraiannya dengan Boris dulu baru bicarakan hal lain.“Telepon dari siapa?” tanya Boris.“Mamaku.”“Kenapa nggak angkat?”“Dia nggak mau kita cerai. Jadi nggak masalah aku angkat teleponnya atau nggak,” jawab Zola.“Hubunganmu dengan keluarga Leonarto nggak sebaik kelihatannya, bukan?” tanya Boris.“Kira-kira begitulah. Nggak baik juga nggak buruk.”Zola tidak ingin larut dalam topik pembicaraan ini. S
Pagi itu berlalu dengan begitu saja, hingga Kantor Capil sudah tutup, Boris masih tidak kelihatan batang hidungnya. Zola terus menunggu di dalam mobil. Pada akhirnya, Jesse yang datang menemuinya.“Bu Zola, Pak Boris harus tinggal di rumah sakit untuk temani Bu Tyara. Biar saya antar Bu Zola pulang saja,” kata Jesse.“Bagaimana kondisi Tyara?”“Sudah nggak apa-apa, hanya alergi yang disebabkan oleh salah makan. Jadi detak jantungnya jadi cepat. Sekarang dia sudah disuntik dan minum obat, kondisinya sudah terkendali.”“Hmm.”Tanpa banyak kata, Jesse melajukan mobil untuk mengantar Zola pulang. Zola tetap diam, merasa kesal di dalam hatinya. Kalau Tyara baik-baik saja, seharusnya Boris bisa meluangkan waktu untuk mengurus perceraian mereka, bukan? Kelihatannya sungguh tidak ada yang lebih penting daripada Tyara.Begitu sampai di Bansan Mansion, semua pelayan tampak ketakutan. Zola bertanya pada Pak Didin, “Kenapa Tyara bisa sampai alergi?”“Bu Tyara alergi terhadap almond. Ini kelalaian
Rumah keluarga Morrison.Kabar tentang Boris dan Zola yang belum mengurus perceraian mereka telah sampai ke telinga Hartono. Dia tidak berkata apa-apa ketika mendengar kabar tersebut. Dia hanya memejamkan matanya dan terus mendengarkan musik untuk menghabiskan waktu.Sedangkan Rosita bergumam sendiri, “Boris kena peletnya Tyara kali, ya? Sepertinya aku harus luangkan waktu untuk bertemu perempuan itu.”Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang memperhatikan senyum penuh arti di bibir Hartono.***Malam hari, Boris kembali ke kamar tidur. Zola masih menunggunya. Begitu Boris masuk, Zola langsung bertanya, “Boris, gimana kondisi Tyara?”“Hmm, baik-baik saja. Hanya alergi ringan.”“Baguslah kalau nggak apa-apa,” kata Zola. “Kalau begitu, besok kita pergi urus, kan?”Wajah Boris seketika menjadi muram. Nada bicaranya juga menjadi dingin, “Besok aku nggak sempat.”“Nggak bisa luangkan waktu setengah jam?”“Nggak bisa.” Boris langsung menolak, lalu berkata, “Zola, Morrison Gro
“Zola, kamu benar-benar munafik. Kamu selalu bilang kalau kalian hanya berteman. Kalau begitu sekarang katakan padaku apa maksudmu?”“Semua orang pasti akan berubah,” kata Zola.Zola tidak takut Boris salah paham padanya. Namun, kata-katanya telah menyulut sumbu amarah Boris. Tangan Boris yang memegang dagunya menjadi semakin kuat. Kalau pria itu mau, dia bisa saja menghancurkan dagu Zola.Zola menahan rasa sakit di dagunya. Aura dingin di matanya membuat Boris kian merasa kesal. Pria itu langsung melemparkan tubuh Zola ke tempat tidur. Pada detik berikutnya, dia sudah berada di atas tubuh Zola.Wajah tampan pria itu sangat suram. Sorot matanya sedingin es. Dia berkata dengan suara berat dan serak, “Zola, sekarang kamu masih berstatus istriku, tapi di dalam hatimu ada pria lain. Kamu benar-benar kira aku nggak berani melakukan apa pun padamu?”Zola spontan melindungi perutnya dengan kedua tangannya, membentuk postur seperti menolak untuk dekat-dekat dengan Boris. Hal itu membuat raut w