Boris sedikit tertegun, ekspresinya spontan membeku. Tanpa menunggu jawaban dari Boris, Zola sudah menarik tangannya dari tangan pria itu.“Kamu pergi mandi sana. Aku sudah mengantuk,” kata Zola.Nada bicaranya begitu dingin. Usai berkata, dia langsung berbaring. Sedangkan Boris menatapnya dalam diam selama beberapa detik. Setelah itu, Boris baru pergi ke kamar mandi. Namun, pertanyaan Zola barusan masih terngiang-ngiang di dalam benaknya. Jika Zola benar-benar mengatakan kalau dia tidak ingin bercerai, maka pilihan apa yang akan diambil Boris?Boris tidak mungkin setuju tidak bercerai. Bagaimanapun juga, dia sudah berjanji pada Tyara untuk menikahinya. Oleh karena itu, dia dan Zola harus bercerai.Malam berlalu dengan damai. Setiap orang memiliki pemikirannya masing-masing. Keesokan harinya, sinar mentari yang hangat menyelinap masuk melalui jendela. Perempuan di tempat tidur sudah lama bangun, tapi dia tidak bergerak. Karena tangan di pinggangnya menahannya dengan erat. Setelah dua h
Zola melarikan diri ke kamar mandi dengan panik. Setelah menutup pintu, dia baru mengangkat tangan dan menyentuh wajahnya, lalu menarik napas sebanyak-banyaknya. Wajahnya terasa panas, dia merasa seperti masih bisa melihat semua yang Boris lakukan barusan. Apa yang sedang mereka lakukan?“Zola, kalian sebentar lagi mau cerai. Kalian seharusnya jaga jarak,” gumam Zola pada dirinya sendiri.Zola pun segera membasuh wajahnya dengan air dingin. Dia terus membasuh sampai dirinya benar-benar tenang. Beberapa menit kemudian, Zola keluar dari kamar mandi. Pria itu sudah tidak berada di dalam kamar. Baguslah, jadi Zola tidak perlu menghadapinya lagi.Saat sarapan, karena keduanya tak kunjung datang, Hartono sudah selesai makan lebih dulu. Rosita ada janji dengan temannya, Dimas otomatis menjadi sopir istrinya. Oleh karena itu, keduanya pagi-pagi sudah pergi.Selesai menyarap, Boris bermain catur dengan sang kakek karena tidak bisa meninggalkan rumah itu. Sedangkan Zola hanya menonton mereka ber
Semua orang hendak pindah ke ruang keluarga. Hartono tiba-tiba berkata, “Zola, bantu aku.”“Oke.” Zola segera berjalan ke arah Hartono. Hartono sengaja memperlambat langkahnya dan menunggu sampai semua orang masuk ke ruang keluarga. Setelah itu, dia baru berkata pada Zola, “Nggak perlu khawatir, Zola.”“Kakek, aku masih tetap dengan keputusanku. Aku nggak mau dia tahu kalau aku hamil.”“Oke, tenang saja.”Hartono menepuk punggung telapak tangan Zola dengan lembut untuk menenangkannya. Zola baru bisa menghela napas lega.Dokter keluarga yang datang untuk memeriksa Zola telah menjadi dokter keluarga Morrison selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, mereka sudah sangat akrab satu sama lain.Setelah semua orang duduk, Boris langsung berkata, “Om Guntur, maaf merepotkan Om sampai suruh Om datang ke sini. Zola akhir-akhir ini sering nggak enak badan, sering muntah. Kira-kira apa ya penyebabnya?”Dokter bernama Guntur itu terdiam sejenak. Senyum tipis muncul di wajahnya. Namun, sebelum dia bi
“Terima kasih, Om,” ucap Zola.Guntur hanya tersenyum tipis dan berkata, “Sama-sama, bukan sama orang luar, nggak perlu sungkan-sungkan. Kamu harus jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa boleh langsung cari aku.”“Oke.” Zola menganggukkan kepala. Dia tahu maksud di balik perkataan Guntur.Guntur tidak meresepkan obat apa pun untuk Zola. Dia hanya mengingatkan Zola untuk memperhatikan pola makan. Guntur tidak berlama-lama di sana. Sesaat kemudian, Dimas pun mengantarnya pergi.Zola baru benar-benar menghela napas lega. Dia pun duduk di sofa. Rosita melihat situasi, lalu dia pun menciptakan kesempatan bagi kedua anak muda untuk berduaan. Dia membuat alasan untuk segera kembali ke kamarnya di lantai atas.Seketika, di ruang keluarga yang besar hanya tersisa Zola dan Boris berdua. Boris berjalan ke arah Zola dan duduk di sampingnya. Boris menyampingkan tubuhnya untuk menatap Zola dan bertanya, “Tadi kenapa kamu nggak berani lihat aku?”Apa yang akan datang pada akhirnya tetap datang. Boris
“Karena kakek Zola ingin percayakan Zola padaku. Dia harap aku bisa selalu dukung dia, lindungi dia. Dia harap keluarga Morrison bisa jadi penopang dan pendukungnya. Saat itu, kakeknya sudah sakit kritis. Sekalipun bertahun-tahun yang lalu dia pernah bantu aku, dia nggak pernah minta balasan. Itu yang pertama dan juga terakhir kalinya.”“Zola anak yang sangat baik. Aku merasa bersalah pada kakeknya, juga padanya. Kalau kamu bersikeras mau cerai, aku juga nggak bisa paksa kamu. Tapi Borris, sebagai anggota keluarga Morrison, kamu tetap punya tanggung jawab untuk membalas hutang budi pada keluarga Leonarto. Bagaimanapun juga, kalau nggak ada kakek Zola, kita mungkin nggak akan bisa mengobrol bersama seperti sekarang.”Bertahun-tahun yang lalu, kakeknya Zola memberikan bantuan kepada Hartono tepat pada waktunya. Kalau tidak, Hartono belum tentu bisa bertahan. Meskipun selama ini hubungan kedua keluarga tidak begitu dekat, hutang budi itu selalu ada.Kata-kata Hartono membuat Boris diam se
“Hmm?”“Kalau kamu nggak terburu-buru, besok saja, ya. Sudah dua hari aku nggak ke kantor. Aku akan antar kamu pulang dulu. Habis itu aku harus pergi ke perusahaan untuk tangani beberapa hal. Oke?” tanya Boris dengan lembut.Tentu saja Zola memahami posisi Boris. Bagaimanapun juga, urusan perusahaan bukanlah urusan yang sepele. Oleh karena itu, dia pun mengangguk, “Oke, kalau begitu besok pagi saja.”“Oke.”Kali ini, Boris menanggapi dengan suara tanpa kehangatan sedikit pun. Jika didengar baik-baik, tanggapan yang dia berikan terdengar agak asal-asalan.Namun saat ini, Zola sama sekali tidak menyadari hal itu. Dia hanya merasa sedih. Dia sedang berpikir, setelah mereka mengurus perceraian mereka besok, itu berarti Zola harus pindah. Oleh karena itu, dia harus cari rumah dulu. Meskipun Boris bilang akan memberikan Bansan Mansion padanya, Zola sungguh tidak ingin tinggal di rumah sebesar itu sendirian.Setelah mengantar Zola kembali ke Bansan Mansion, Boris pun langsung pergi ke perusah
Boris mengerutkan keningnya. Dia spontan menatap Zola, lalu menanggapi ucapan Tyara dengan suara pelan, “Zola yang beritahu kamu kalau besok kami akan urus perceraian kami?“Iya, tadi pagi begitu pulang dia langsung beritahu aku. Benar kan, Zola?”Tyara menatap Zola dengan ekspresi lembut, sama sekali tidak bermulut tajam seperti saat mereka sedang berdua saja. Namun, Zola sama sekali tidak mau menggubrisnya. Dia hanya melirik Tyara dengan acuh tak acuh, lalu langsung membuang muka. Karena Zola tidak menjawab, ekspresi Tyara spontan membeku.“Boris, karena kamu dan Zola sudah mau cerai, lebih baik kita pindah saja. Lagi pula, kamu sudah bilang kalau rumah ini akan kamu berikan pada Zola. Kalau kalian sudah cerai tapi kita masih tinggal di sini, orang-orang bakal mengira kita tindas Zola, nggak?”Boris memasang raut wajah datar. Ada sedikit rasa kesal. Nada bicaranya pun menjadi lebih dingin, “Kamu juga bermaksud begitu?”Tentu saja, pertanyaan itu ditujukan pada Zola. Keduanya bersitat
Sudah tidak sabar untuk merayakan perceraian mereka? Saat memikirkan hal itu, ada rasa sakit di dalam hati Zola, tidak kuat juga tidak ringan, seperti digigit semut. Namun, justru bisa membuatnya merasa tidak bernapas.Setelah makan, Zola juga segera berangkat. Dia mengira Boris menemani Tyara pergi untuk merayakannya terlebih dahulu. Setelah itu, mereka langsung pergi ke Kantor Capil. Oleh karena itu, Zola pun pergi dengan mobilnya sendiri.Pada saat yang sama, di kantor CEO lantai teratas gedung Morrison Group.Boris sedang duduk di depan meja kerjanya dan fokus pada dokumen di tangannya. Sedangkan Tyara duduk di sofa di seberangnya. Tyara sudah duduk di sana dan menunggu Boris selama satu jam. Tyara bahkan mencari tahu jam kerja Kantor Capil. Sekarang sudah buka, tapi Boris tidak ada tanda-tanda mau pergi. Setelah ragu-ragu cukup lama, akhirnya Tyara memutuskan untuk mengingatkan pria itu.“Boris, kamu sudah selesai, belum? Sekarang kita sudah bisa pergi ke sana, kan?”Tyara menatap