Zola menundukkan kepala dan bersandar di setir mobil. Setelah menahan diri sejenak, dia baru berhasil mengurungkan niatnya untuk menghubungi Santo.Pada saat yang sama, di kantor CEO Morrison Group. Boris sedang menerima telepon. “Pak Boris, baru saja Bu Zola keluar dari Restoran Yirna. Sebelumnya, Bu Zola hanya ke perusahaannya.”“Dia pergi makan?”“Bukan. Bu Zola bertemu dengan Bu Wina, tunangan Pak Tedy. Keduanya sempat bertengkar sebentar.”“Terus ikuti dia. Kalau sampai dia kenapa-napa, kamu juga nggak perlu kembali hidup-hidup untuk bertemu denganku lagi."Jesse segera berkata baik sambil menganggukkan kepala walau tahu Boris tidak bisa melihatnya. Dia merasa hidupnya begitu sengsara. Sudah kerja keras sepanjang malam, pagi ini dia harus mengikuti Zola lagi. Pekerjaannya sungguh bukan pekerjaan yang mudah.Jesse mengikuti Zola sepanjang jalan kembali ke apartemen. Setelah memastikan Zola tidak akan turun lagi dari apartemennya, Jesse baru menelepon Boris lagi. Begitu mendapat izi
Belum selesai Tedy bicara, dia melihat sorot mata Boris berubah menjadi dingin. Dia pun berhenti bicara.“Maaf,” kata Tedy.Boris tidak menghiraukannya. Keduanya pun menyaksikan proses interogasi polisi terhadap tersangka. Setelah serangkaian pemeriksaan dan interogasi dengan foto Jeni, tersangka akhirnya mengatakan yang sebenarnya.“Aku memang sempat bawa dia. Aku lihat dia sudah basah kuyup. Aku sempat punya niat, tapi dia terlalu galak. Selain itu, aku nggak mau ditangkap lagi karena aku baru saja bebas. Jadi aku nggak apa-apakan dia. Siapa sangka, dia bahkan nggak bayar, langsung keluar dari mobil dan pergi ....”Tersangka mengungkapkan tempat Jeni turun dari mobil. Kemudian, semua orang mulai mencari keberadaan Jeni di sekitar tempat tersebut. Kurang dari setengah jam, kabar pertama datang dari Jesse.“Pak Boris, orang kita sudah mendapat kabar tentang Bu Jeni.”Boris menyuruh Jesse memberitahu Tedy. Sedangkan dia sendiri pergi ke apartemen Zola. Sesampainya di sana, dia mengetuk
Jeni mengangguk pelan dan menjawab, “Kamu tenang saja. Aku nggak akan melakukannya lagi. Oh ya, kakakku ada hubungi kamu, nggak?”“Ada, sekali. Dia mungkin nggak curiga, kamu nggak perlu khawatir.”Keduanya tengah mengobrol. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu di luar. Kemudian, terdengar suara Jesse berkata, “Bu Zola, Pak Tedy datang. Pak Tedy ingin bertemu dengan Bu Jeni.”Zola menatap Jeni. Jeni hanya memasang wajah datar dan sorot mata dingin. “Kamu gimana? Mau bertemu dengannya, nggak?” tanya Zola.Jeni terdiam sesaat. Beberapa detik kemudian, dia baru memaksakan seulas senyum di wajahnya. “Bukan soal mau bertemu atau nggak. Sepertinya aku dan dia harus bertemu. Ada beberapa hal yang kalau nggak kami bicarakan sampai jelas, dia mungkin akan gunakan cara yang sama terhadapku lagi. Sebenarnya aku sudah pikirkan banyak hal selama dua hari ini. Aku tahu, ada beberapa hal yang nggak akan bisa diselesaikan kalau aku terus menghindarinya.”Jeni memaksakan diri untuk tidak menghadapinya. Na
“Boris, memangnya ada yang salah dengan kata-kataku? Kamu sendiri yang bilang. Aku yang terlalu ingin tahu situasi Jeni, makanya aku terus desak kamu. Sekarang kalau dipikir-pikir, aku memang terlalu egois. Semua yang kamu katakan memang benar.”“Zola, dengarkan sendiri nada bicaramu. Kamu rasa kamu katakan yang sebenarnya? Kamu nggak merasa kamu sangat munafik? Kamu jelas-jelas salahkan aku, tapi kamu terus menyangkal. Tanyakan pada dirimu sendiri, apakah kamu benar-benar katakan isi hatimu?”“Aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Terserah kamu percaya atau nggak.”Zola mengerutkan bibirnya. Apakah dia marah? Sepertinya tidak. Karena tidak ada yang perlu dimarahi. Jeni sudah ditemukan dalam kondisi baik-baik saja. Jadi apa yang membuat Zola marah?Namun, kalau harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa, sepertinya Zola tidak semurah hati itu. Kalau diibaratkan, ini seperti tulang ikan yang tertancap di tenggorokan. Tidak bisa ditelan, juga tidak bisa dikeluarkan.Suasana di antara kedua
Kata-kata dokter membuat Boris spontan tercengang. Waktu seakan berhenti. Sekelilingnya menjadi sunyi senyap. Dia menatap dokter dengan wajah kaku. Sesaat kemudian, dia baru bisa mengeluarkan suara dan bertanya, “Ka-kamu bilang ... dia hamil?”“Pak Boris nggak tahu? Bu Zola sedang hamil hampir empat bulan. Karena bentuk fisiknya jadi nggak terlalu kelihatan.”Dokter juga terlihat tidak percaya. Seketika dia merasa seperti baru saja mengetahui sesuatu yang tidak sepatutnya dia ketahui. Istri hamil, tapi suaminya tidak tahu.Boris hanya memasang wajah muram tanpa berkata apa-apa lagi. Jesse juga menatapnya dengan serius. Kemudian, Jesse mengucapkan terima kasih kepada dokter dengan suara pelan lalu meminta dokter pergi dulu.Boris berdiri mematung di tempat, sama sekali tidak bergerak. Dia terus menatap Zola yang baring di tempat tidur, seolah ingin membaca apa yang ada di dalam pikiran perempuan itu. Zola sudah hamil hampir empat bulan?Boris terus tercengang. Dia bahkan mengira dirinya
Ekspresi Zola datar, tidak ada emosi di matanya. Terutama ketika dia menyadari kalau dia sedang baring di ranjang rumah sakit. Kedua tangannya di bawah selimut tanpa sadar mengepal erat. Dia menatap wajah Boris, mencoba membaca ekspresi pria itu. Namun, dia menyadari kalau Boris pandai menyembunyikan perasaannya. Jadi, Zola tidak bisa membaca apa yang ada di pikiran pria itu.Boris membantu Zola duduk dan berkata dengan suara yang masih lembut, “Jesse pergi beli makanan untuk kamu. Sudah lapar, kan?”Zola mengerutkan kening sambil menatap Boris. Setelah saling menatap sejenak, Boris bertanya, “Kenapa kamu tatap aku seperti itu?”Bulu mata Zola sedikit bergetar. Reaksi Boris seolah-olah pria itu tidak tahu apa-apa. Apakah Boris sungguh tidak tahu apa-apa?Zola mengatupkan bibirnya. Kemudian, Boris bertanya lagi, “Zola, ada yang ingin kamu katakan padaku?”Hati Zola seketika mencelos. Samar-samar dia sudah mendapatkan jawabannya. Sepertinya Boris sudah tahu semuanya. Kalau tidak, Boris t
Usai berkata, Boris langsung menyantap sisa sup dan sedikit nasi langsung dari mangkuk yang baru saja Zola gunakan. Bukankah Boris memiliki misofobia?Zola spontan mengerutkan kening. “Kamu ... apa yang kamu lakukan?”“Kenapa? Aku lapar. Masa nggak boleh makan sedikit untuk ganjal lapar?” balas Boris dengan suara yang seperti sedang mengeluh.Zola tanpa sadar membuang muka dan mengalihkan pandangan dari Boris. Namun, pipinya tiba-tiba terasa panas.Setelah makan, Zola tidur lagi. Boris tidak pernah meninggalkannya. Namun, saat Zola tidur, dia menelepon kakeknya.“Kakek, Zola hamil. Keinginan Kakek terkabul,” kata Boris kepada kakeknya.“Kenapa kamu bisa tahu?” Hartono terdengar sangat terkejut.Boris menyadari sesuatu dari ucapan kakeknya barusan. Dia pun bertanya, “Jadi, sejak awal Kakek sudah tahu?”Hartono mendengus sinis. “Kenapa Zola beritahu aku tapi nggak mau beritahu kamu? Kamu pikirkan saja sendiri. Karena sekarang kamu sudah tahu, kamu harus perlakukan Zola dengan baik. Janga
Zola tidak bicara, Boris menganggap itu sebagai jawaban iya. Boris hanya berkata, “Zola, kamu kira di mataku hanya ada anak?”Zola tercengang. Apa yang ingin Boris katakan? Kalau bukan hanya karena anak, lantas ada hal lain? Zola enggan untuk terus berpikir. Dia hanya menatap Boris dalam diam.Sikap Boris pelan-pelan menjadi lembut. Dia berkata dengan suara pelan, “Zola, bisa nggak kita nggak usah cerai? Memangnya kamu nggak mau anak kita punya keluarga yang utuh?”Zola sangat terkejut. Matanya juga dipenuhi keterkejutan. Untuk sesaat, dia kebingungan. Tidak tahu harus berkata apa. Namun, dia tahu betul kalau Boris berkata seperti itu hanya karena mereka punya anak. Makanya Boris mau mengalah.Bukan ini yang Zola inginkan. Zola ragu-ragu. Pada saat yang sama, dia juga merasa sangat kecewa. Seandainya Boris mengucapkan kata-kata itu sebelum Boris mengajukan cerai, saat Zola masih memiliki harapan terhadap pernikahan mereka ini, Zola mungkin akan sangat senang.Namun, sekarang tidak lagi
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me