Perempuan itu sedang tidak mood, tapi dia tidak ingin membuat pria itu tidak senang. Oleh karena itu, dia memaksakan seulas senyum tipis di wajahnya.“Samuel, kebetulan sekali. Kenapa kamu ada di sini?”Pria itu berhenti tepat di depannya, menatapnya langsung sambil tersenyum tipis, “Tyara, aku datang ke sini untuk cari kamu. Aku sudah ajak kamu beberapa kali akhir-akhir ini, tapi kamu selalu tolak ajakanku dengan alasan nggak ada waktu. Setelah tolak perasaanku, kamu bahkan nggak mau kasih aku kesempatan untuk jadi temanmu?”Tyara mengerutkan bibirnya dan tersenyum, “Jangan ngomong sembarangan, buat orang jadi salah paham. Kamu siapa? Kamu putra keluarga Batara. Mana ada orang yang bakal tolak kamu?”“Tyara, kamu selalu begini. Kasih aku tamparan dulu, habis itu kasih permen yang manis untuk bujuk aku. Menurutmu, bagaimana aku bisa lepaskan kamu yang seperti ini?”Samuel mengerutkan bibirnya dan tersenyum. Tatapan matanya tidak pernah beralih dari wajah Tyara barang sedetik pun. Samue
Zola terdiam lagi. Wajah cantiknya tampak datar tanpa ekspresi. Matanya yang jernih hanya memancarkan aura dingin.“Zola, kamu tahu kenapa Boris mau minta anak darimu?” tanya Tyara lagi.“Jadi kamu bela-belain telepon aku, ajak aku bertemu, hanya karena kamu mau beritahu aku kenapa Boris minta anak dariku?”“Nggak sepenuhnya begitu. Aku hanya merasa daripada terus sembunyikan dari kamu, lebih baik jujur padamu. Sama halnya seperti Boris publikasikan pernikahan kalian. Asal tahu saja, dia lakukan itu bukan karena dia ingin bersamamu selamanya. Dia hanya ingin buat kakeknya merasa tenang. Pada saat yang sama, dia ingin buat kamu setuju punya anak.”Di dalam mata Zola hanya ada aura dingin. Dia seperti sedang tersenyum, tapi raut wajahnya mengeras. “Jadi, Boris suruh kamu sembunyikan dariku, tapi kamu tetap memilih melawan perintahnya dan beritahu aku soal itu?”“Zola, aku hanya merasa kita sama-sama perempuan. Aku nggak ingin kamu terus ditutupi dari masalah ini.”“Jadi maksudmu, aku mal
Tentu saja tidak penting. Yang paling penting, Zola percaya atau tidak.***Sekitar pukul setengah tujuh, Boris memacu mobilnya kembali ke Bansan Mansion. Sesampainya di rumah, dia langsung ke atas dan mendapati Zola sedang duduk di depan jendela kamar tidur sambil melamun.“Zola, kita makan malam di rumah Kakek, ya.”Zola menjawab dengan wajah tanpa ekspresi, “Aku nggak mau pergi.”“Kamu kenapa?” tanya Zola sambil mengerutkan kening ketika melihat dengan jelas ekspresi Zola yang tampak tidak senang.Tentu saja, Zola tidak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya mendongak untuk menatap lurus ke mata pria itu dan bertanya, “Boris, kenapa kamu tiba-tiba publikasikan pernikahan kita? Apakah benar karena kamu nggak tega lihat aku dihujat makanya kamu publikasikan pernikahan kita?”“Zola, kamu tahu apa maksud kata-katamu itu?”Boris menatap Zola sebentar, bibir tipisnya melengkung membentuk seulas senyum dingin. Meskipun begitu, selalu ada kehangatan dalam kata-katanya.Zola hanya berkata dengan
Keduanya masih dalam posisi setengah berpelukan, jadi mereka bisa melihat dengan jelas sorot mata satu sama lain.Boris menyipitkan mata dan menatap Zola, merasa sedikit marah padanya tapi juga merasa lucu. Senyum tipis seketika merekah di wajah tampannya. “Jadi, kamu merasa aku sengaja bantu dia tutupi kesalahannya?”“Boris, aku nggak bisa pikirkan kemungkinan lain selain ini. Bagaimanapun juga, nggak ada yang bisa kalahkan Tyara di hatimu.”“Huh.” Boris mendengus sinis. Wajah tampannya datar tanpa ekspresi. Matanya tetap menatap Zola dengan lekat. Matanya yang hitam jernih itu memancarkan ketegasan yang tidak mencolok. Dia melepaskan tangannya yang mencubit dagu Zola. Pada saat yang sama, dia juga melepaskan Zola dari pelukannya.Keduanya menjaga jarak selebar kepalan tangan. Kemudian, Boris berkata dengan suara beratnya, “Zola, demi cari masalah denganku, kamu benar-benar pakai segala cara sampai tuduh aku sembarangan begini. Kamu sungguh luar biasa.”Usai berkata, Boris langsung tu
Usai berkata, Boris mengambil sepotong iga dan meletakkannya di piring zola. Baru saja Boris meletakkannya, dia mendengar sang kakek berkata dengan kesal, “Kamu ini bagaimana jadi suami? Zola nggak suka makan iga, dia suka makan ikan. Cepat pisahkan tulangnya dulu lalu kasih ke Zola.”Zola mengerutkan kening dan cepat-cepat berkata, “Kakek, aku bisa makan iganya. Ikan ada tepat di depanku, aku bisa ambil sendiri.”“Zola, kamu nggak usah sungkan-sungkan dengannya. Dia nggak pernah lakukan hal-hal seperti itu untukmu, tapi kamu tetap saja menikah dengannya. Kalau dihitung-hitung, kamu yang rugi. Sekarang anggap dia sedang menebus masa lalu. Kamu nikmati saja.”Zola terdiam, hanya bisa menatap Boris. Mata Boris menyipit, tatapan samar-samar seperti menggodanya. Pria itu pun berkata, “Mau makan apa?”Zola mengerutkan bibir, lalu menjawab, “Apa pun juga boleh.”Kemudian, Boris mengambil satu per satu lauk untuk Zola. Segera, makanan di dalam piring Zola sudah menumpuk tinggi. Zola membuka m
“Boris, kalau sebelumnya nggak ada hal di luar dugaan, sekarang kita seharusnya sudah bercerai. Sekalipun hubungan kita sudah dipublikasikan, aku juga nggak beranggapan kita harus berencana punya anak setelah baru dua hari publikasikan hubungan kita. Bagaimanapun juga, anak yang lahir dari keluarga yang nggak berlandaskan cinta nggak akan bahagia. Jadi aku nggak mau punya anak saat ini.”“Jadi maksudmu sekalipun aku nggak mencintaimu seumur hidup, kamu juga berencana nggak akan pernah berikan aku anak?”Alis Boris tidak bergerak, matanya masih menatap wajah Zola. Namun, tidak ada kehangatan lagi dalam setiap kata yang dia ucapkan, sebaliknya seperti es yang dingin menusuk hingga ke tulang.Zola tertegun, lalu tertawa dan berkata, “Jadi kamu sudah putuskan kalau kamu nggak akan pernah mencintaiku. Jadi untuk apa kamu mau punya anak denganku?”Boris menyipitkan matanya. Dia telah menangkap rasa jijik dan penolakan di mata Zola. Bibir tipis Boris melengkung, seperti tersenyum tapi seperti
“Zola, aku nggak bermaksud mau salahkan kamu, apalagi curigai kamu. Aku hanya takut kamu akan sedih, merasa diperlakukan secara nggak adil. Kalau benar orang itu ada, kamu seharusnya katakan padaku sejak awal. Kalau nggak ada, kenapa Boris bisa ngomong seperti itu? Kenapa kamu juga sama sekali nggak membantah?”Hartono bertanya dengan penuh perhatian, itu membuat Zola merasa sangat tersentuh. Zola pun berkata dengan suara pelan, “Kakek, nggak ada orang seperti itu. Baik dulu maupun sekarang, nggak pernah ada. Alasan kenapa Boris berkata seperti itu, karena ulahku sendiri. Sebelum kami menikah, aku asal buat alasan agar dia nggak merasa tertekan dengan pernikahan ini. Walau sekarang dia jadi salah paham padaku karena alasan itu. Sebenarnya aku sudah nggak peduli lagi.”“Zola, maksud kamu ....”“Kakek, aku tetap merasa lebih baik kami bercerai. Aku nggak ingin ikat seorang pria dengan anak. Itu hubungan yang nggak sehat. Aku nggak mau anakku lahir dalam lingkungan yang nggak sehat sepert
Rosita melirik Dimas untuk memberi isyarat agar suaminya tidak berkata seperti itu. Kemudian, Rosita bertanya pada putranya, “Boris, kamu dan Zola masih muda. Nggak perlu buru-buru punya anak. Kalau kamu benar-benar sudah yakin, merasa kamu bisa hidup bersama Zola seumur hidup, kamu baru pelan-pelan rundingkan dengan Zola nanti. Bukannya begitu lebih bagus?”“Runding? Ma, Mama rasa Zola bisa diajak berunding? Kalau cepat atau lambat akan punya anak, kenapa aku harus tunggu?”Sikap Boris tampak sangat tegas, bahkan ada sedikit sikap memberontak. Semakin Zola menolak, Boris semakin ingin melakukannya.“Punya anak bukanlah sebuah misi, juga bukan cara untuk buat kakekmu bahagia. Kamu harus pikir matang-matang. Sekarang kamu sudah bisa bertanggung jawab atas anak dan Zola?” tanya Rosita dengan lembut.“Setahun yang lalu, Kakek ingin aku menikah dengan Zola. Kalian juga nggak keberatan. Aku sudah lakukan seperti yang kalian inginkan. Satu tahun kemudian, bukankah seharusnya kalian juga duku