“Aku mencintaimu. Baik-baik disini. Aku janji akan segera menjemput kalian setelah urusanku di Rome selesai. Terus beri aku kabar, okay?”Luna mengangguk, kemudian matanya memejam ketika kecupan dan pelukan hangat Brian berikan padanya sebelum pria itu berbalik dan pergi. Luna hanya menatap kepergian Brian dengan senyuman tipis di bibir. Mulai sekarang sepertinya dia harus terbiasa dengan sentuhan yang diberikan pria itu. Setelah tubuh Brian hilang dari pandangan, Luna kembali masuk ke dalam rumah. Ia akan membangunkan Louis dan bersiap mengajak putra kecilnya bermain di playground, seperti yang ia janjikan semalam. Beberapa saat kemudian Luna mendengar klakson mobil di depan rumahnya. “Ayo, Sayang. Tante Flo sudah datang,” ucap Luna kemudian menggandeng tangan Louis keluar rumah. Flora menyambut mereka dengan senyum yang merekah. Dia senang setelah mendapat kabar jika Luna telah menerima Brian semalam. Sahabatnya pantas bahagia, dan Flora yakin Brian lah pria yang dapat memberi
Setelah Luna pergi, hanya dalam waktu singkat, Louis sudah aktif kesana kemari, membuat Flora kewalahan. Pria kecil itu seakan memiliki extra energi jika sudah bermain.Flora menarik napas panjang, lelah setelah mengikuti Louis berlari dan melompat di trampolin. “Oh Tuhan… aku tidak sanggup lagi…. Louis, Tante akan beristirahat sebentar disini, okay? Jangan bermain jauh-jauh, agar Tante bisa melihatmu,” ucap Flora dengan napasnya yang tersengal-sengal. Dia mendaratkan bokongnya di kursi busa yang berada tidak jauh dari arena bermain.Louis tertawa kencang melihat Flora. “Tante Flo, payah… baiklah, aku akan bermain di sana, Tante,” jawab Louis sambil menunjuk ke arena indoor outbound. Flora hanya mendengus karena ditertawai anak kecil. “Baiklah, hati-hati ya!!” ucapnya sambil menatap Louis yang sudah berlari. Membuat Flora menggeleng tak habis pikir, bagaimana Luna membesarkan anak seaktif itu seorang diri selama ini? Louis sudah melewati rintangan di arena permainan seorang diri. An
“Ayo, Sayang. Cepatlah!” ujar Jessie karena Reno yang tengah menggendong Briel berjalan sangat lamban di belakang. Wajah Jessie masih pucat dan jantungnya masih berdebar cepat dengan mata yang terus waspada melihat ke sekitar. Reno menoleh heran. “Kenapa kau terburu-buru sekali? Kening Briel hanya merah karena terbentur, bahkan tidak mengeluarkan darah. Kenapa kau panik begitu?”“Apa maksudmu? Tentu saja aku khawatir dengan Briel, keningnya pasti sakit. Kita harus segera sampai di rumah agar bisa mengobatinya.”“Apa keningmu masih sakit?” tanya Reno pada putrinya. “Tidak, Pa. Ternyata benar apa kata anak laki-laki itu, setelah memakan permen coklat darinya, keningku langsung tidak sakit,” jawab Briel dengan nada yang kembali ceria, seolah tak terjadi apapun padanya. “See? Briel tidak apa-apa, jangan terlalu memperbesar masalah.”Jessie berdecak mendengar ucapan Reno. Memang alasannya terburu-buru karena dia tak ingin Reno melihat atau bertemu dengan Luna dan anaknya. Tapi tidak mun
Kaki jenjang Luna memasuki Moonlight Restoran, salah satu restoran termahal di Kota. Di sebelahnya berdiri seorang pelukis terkenal bernama Audrey. “Kau sudah reservasi?” bisik Luna. “Tidak perlu. Kau ingat bahwa aku akan mengenalkanmu dengan kolektor seni yang ingin membeli semua karyaku, tapi aku lebih dulu mengirimnya ke galerimu? Dia yang mereservasi dan mentraktir kita malam ini.”Mulut Luna sedikit terbuka. Matanya pun membulat tak percaya. “Benarkah? Wow…” Luna sedikit gugup, berarti orang yang akan ia temui adalah seseorang yang cukup penting dan tentunya kaya raya. Luna tak menyangka akan makan malam bersama orang lain juga. Ia kira malam ini hanya akan meeting bersama Audrey. “Sebenarnya dia adalah salah satu pengusaha sukses disini, tapi dia juga penikmat seni, dan termasuk kolektor seni yang terkaya di Kota ini sekarang.”Luna hanya mengangguk. Dia bersyukur setidaknya dia memilih dress yang tepat malam ini untuk bertemu seseorang yang cukup ternama di Kota. Sederhana s
Luna bersumpah, malam ini adalah malam tersial baginya. Kepergian Audrey yang mendadak membuatnya harus terjebak berdua dengan Reno lebih lama. Dia sebenarnya ingin pulang juga, tapi itu akan membuatnya terlihat tidak profesional. Walau bagaimanapun dia harus menyelesaikan urusan pekerjaannya malam ini bersama Reno. “Bisa kita langsung ke intinya saja? Aku tidak bisa berlama-lama disini,” tukas Luna. “Kenapa? Kekasihmu menunggu di rumah?” Luna berdecak. “Bukan urusanmu, kita sedang bicara bisnis sekarang. Jadi, aku mohon tolong jangan membahas hal lain.”Reno mengangkat alisnya dan mengangguk. “Jadi, sekarang kau mau kita bertingkah seperti dua orang asing yang berbisnis alih-alih dua orang yang pernah saling mencintai? Atau lebih tepatnya masih mencintai?”Luna tertegun mendengar ucapan blak-blakan dari Reno. Membuat Luna frustasi dan kembali meneguk wine-nya hingga tandas. “Aku tidak punya waktu untuk ini. Jika kau masih belum bisa profesional, lebih baik aku pulang.” Luna berdi
Reno terbangun karena mendengar suara deringan ponsel. Ia membuka mata perlahan, lalu menatap sisi ranjang yang kosong. Dia mengernyitkan kening, apa kejadian semalam hanya mimpi indah? Namun, kepalanya yang sakit karena efek alkohol dan kamar apartemennya adalah bukti bahwa kejadian semalam adalah nyata. Shit! Dalam beberapa detik, semua memori semalam langsung masuk ke kepalanya. Reno langsung bangun dan mengambil boxernya yang tergeletak diatas lantai kemudian mencari sumber suara yang telah membangunkan tidur nyenyaknya.Reno tahu itu bukan suara ponselnya, jadi dia terus mencari dan akhirnya menemukan sebuah ponsel yang tergeletak di bawah kolong tempat tidur, mungkin tidak sengaja terjatuh semalam. Apakah ini milik Luna? Diperkuat dengan nama Flora sebagai pemanggil telepon di layar, sudah pasti ini milik Luna, lalu dimana wanita itu? Reno pun melangkah keluar kamar, mencari keberadaan wanita yang telah menghabiskan waktu semalaman dengannya. Tidak lama kemudian Reno menem
Luna turun dari taksi dan memasuki rumah dengan wajah dan suasana hati yang sepenuhnya berantakan. Setelah lima tahun dia berjuang untuk move on dan melupakan Reno, hanya dalam lima hari sejak ia kembali ke Kota ini semuanya hancur begitu saja. “Astaga, akhirnya kau pulang! Aku hampir ingin menelepon polisi!” Luna menoleh, menatap Flora yang berdiri di ruang TV dengan ponsel di tangan. Ia tahu sahabatnya itu tidak berhenti menghubunginya sejak tadi. “Mama!” teriak Louis yang sejak tadi duduk menangisi kepergian ibunya di depan TV. Luna berjalan menuju Flora dan Louis. Putra kecilnya itu langsung berlari masuk dalam pelukannya. “Mama, aku merindukanmu! Aku mencarimu sejak tadi!” isak Louis. “I know. Mama miss you too, Louis,” ucap Luna lembut sambil memeluk penuh kasih sayang. “Sebenarnya kau dari mana saja, Luna? Kau tidak tahu seberapa panik dan khawatirnya aku menunggu kabar darimu?” tanya Flora, Luna menggigit bibirnya, entah bagaimana respon sahabatnya itu jika tahu apa ya
Sebelum Luna mengakhiri panggilannya. Reno sempat mendengar suara, seperti teriakan seorang anak… Mama? Kenapa ada seorang anak yang meneriakan kata Mama di rumah Luna? Bukankah Luna tinggal sendiri dirumahnya? Lalu suara anak siapa yang ia dengar? Anaknya Luna? Tidak, ia terlalu banyak berimajinasi. Jelas-jelas Luna telah keguguran lima tahun lalu dan dia belum menikah sampai sekarang. Reno menyimpan ponselnya di dalam kantong jas, lalu menatap ke arah luar jendela mobil yang menuju ke Kantornya. Sejak Luna pergi dari apartemennya, Reno tidak bisa berhenti memikirkan Luna. Malam yang mereka lewati bersama terus terngiang di kepalanya. Dia sangat yakin Luna masih memiliki perasaan yang sama sepertinya. Mereka masih saling mencintai. Saat ini ia sudah merindukan Luna dan sangat ingin mendengar suaranya. Dia benar-benar sudah gila, sampai pada akhirnya ia menyerah dan menelpon Luna. Bersama Luna membuatnya lupa bahwa ia memiliki anak dan Istri yang menunggunya di rumah, bahkan R