Matanya yang sayu membuktikan Arsen sedang berhasrat sekarang. Aku baru saja membuat masalah pada lelaki ini, oleh rasa ingin tahuku yang menggebu. Jujur aku takut pada Arsen, tapi hatiku mengganjal sebelum mendengar penjelasan darinya.
"Maaf, kita akan menikah sebentar lagi. Menurutku, kau mungkin tak keberatan jika aku ingin tahu banyak tentangmu," kataku, dan kala itu pun batinku merontah-rontah di dalam sana. Menyalahkanku yang sudah dengan bodohnya membangunkan kemarahan orang gila ini.
Lantas kiku mundur selangkah, menjaga jika sewaktu-waktu Arsen mengamuk.
"Tapi jika kau keberatan, kau tak perlu menjelaskannya." Kugigit lidah di dalam sana agar tidak lagi berbicara. Mata Arsen begitu menakutkan sekarang.
"Foto di kamar itu? Bukannya kau sendiri sudah melihatnya, dan kupikir kau sudah bisa mengartikannya," ucap Arsen. Tidak seperti yang aku bayangkan tadi, dia tidak mengamuk.
"Aku hanya melihat namanya sama denganku. Aku tak tau siapa dia dan
"Nara ..." panggil Tante Riana. Dia tak langsung melanjutkan perkataannya justru kulihat mengusap wajah. "Semua ini salah wanita itu. Dia yang membuat Arsen menjadi pribadi yang buruk."Apa katanya? Pribadi Arsen yang buruk berasal dari kesalahan wanita bernama Nara itu? Aku tak bisa mengartikan ucapan Tante Riana, lantas kuminta dia berbicara dengan jelas."Maksudnya, Tante? Aku tak paham jika Tante tak menjelaskan dengan detail."Dia mengembuskan napas kasarnya sebelum berkata, "Perempuan itu gila, Nara. Kami sendiri tak tau apa sebenarnya yang sudah dia lakukan pada Arsen. Tapi semenjak perempuan itu meninggalkannya, kami mendapat isu yang mengatakan Arsen memiliki gangguan pada ..." katanya tergantung."Gangguan pada masalah bercinta? Dia jadi kasar dan suka menyakiti pasangan kencannya?" Aku melanjutkan ucapan Tante Riana dengan bahasa yang lebih halus. Ya, bagimana pun aku tak tega menyebut putranya kelainan seks."Ya, seperti itu lah." Tante
"Kau sudah siap?"Aku melonjak ke depan Arsen dan memeluk lengannya erat. Kuabaikan para tukang rias yang menungguku dengan sabar. Aku hanya ingin menyambut Arsen yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar ini.Dia melihatku dengan sebelah alisnya yang menukik. Ada keterkejutan di wajahnya yang tampan itu. Aku tetap membuat diriku seolah tak merasa terganggu dengan eskpresinya."Ada apa denganmu?" tanya Arsen.Oh ....Dia tentunya bingung melihat tingkahku yang berubah drastis. Dari yang tadinya kami hanya banyak diam, tiba-tiba aku menjadi sangat agresif seakan tak memikirkan persoalan terakhir di ruang kerjanya tempo hari."Kenapa? Ada yang salah denganku?" Mendongak kepala aku untuk melihat wajahnya."Kau tak merasa dirimu aneh? Sejak tiga hari ini kau seperti orang yang kesurupan."Bisa kau dengar bibirnya yang mengandung cabe? Aku sudah berusaha menahan rasa malu di depan dua perias ini, dan sekali lagi dia meledekku kesuru
Tempat itu sudah ramai dengan khalayak dari berbagai tempat. Aku menghentikan langkah saat kami tertutupi pilar dari pandangan banyak orang. Kulihat Arsen yang menatapku dengan ekspresi seakan bertanya, 'Ada apa?'Dan kali itu, air mata yang tadi sempat berhenti kini keluar lagi. Aku hanya menggeleng, tak kuasa mengatakan betapa sedihnya hatiku.Dulu saat pernikahanku dan Ferdy, setidaknya masih ada orang panti yang menghadiri acara itu. Aku bisa mengabaikan perasaan sedih dan melupakan fakta bahwa aku hanya anak yatim piatu. Tapi di kondisi sekarang yang mendatangi keluarga seperti Sudrajat, bagiku terlalu menyedihkan saat tak seorang pun yang menemaniku."Ada apa, Nara? Kenapa kau menangis lagi? Aku sudah menghiburmu di dalam sana dan kau masih menangis?"Jadi ciuman dan semua godaannya itu adalah bentuk hiburan dari Arsen? Ya, aku sedikit terhibur oleh pengakuannya ini. Setidaknya Arsen masih memikirkan kesedihanku, meski dia belum membuka hati.
Arsen masih berdiri tanpa bergerak sama sekali. Matanya masih tertuju pada wanita yang juga tengah menatapnya. Wanita yang tampak mirip denganku itu sempat kulihat dia memamerkan senyum pada Arsen. Aku mengawasi dua wajah itu secara bersamaan, dan hatiku terasa sakit saat kulihat bibir Arsen hampir saja tersenyum.Tapi sebelum dia membalas senyuman wanita itu, dia mengalihkan matanya padaku dan kami mematung beberapa saat. Kemudian dia tersenyum padaku. Entah memang itu untukku atau hanya untuk menyembunyikan perasaan aslinya."Ayo. Semua orang tengah menatap kita."Aku takut senyuman itu palsu sebab kulihat Arsen tampak gusar di wajahnya ketika kami melangkah masuk ke rumah besar keluarganya. mungkin dia hanya ingin menyembunyikan dariku?Di dalam sana sudah ramai oleh para tamu yang datang. Rumah besar itu disulap menjadi sangat indah dengan berbagai hiasan dan interior mahal, aku sampai terkagum melihatnya jauh lebih indah daripada yang kul
Mata Arsen yang sejak tadi terarah padaku, kini teralihkan pada wanita itu. Dia menatapnya dengan sorot yang tak bisa kuartikan."Aku merindukanmu," kata wanita itu lagi."Kau mengenalku?" Arsen menaikkan sebelah bibirnya. "Tapi maaf, aku tak mengenalmu."Sampai mataku terbelalak mendengar kata yang terucap dari bibir Arsen.Tadinya kupikir Arsen akan berkata dia juga merindukan wanita itu, sungguh ini di luar dugaan. Dia hanya acuh dan kembali menatap wajahku. Aku tak berani memutar wajah untuk melihat wanita itu, dan terus membalas tatapan Arsen. Meski jelas aku terlihat menegang. Aku hanya bisa melihat wanita itu dari ekor mataku, dia menunjukkan wajah kesal sebelum menghentak kaki pergi meninggalkan kami.Acara dansa pun kembali berjalan seperti tadi. Tak ada wanita bernama Nara itu kini di sebelah kami. Tapi ekspresi wajah Arsen yang datar, cukup untuk menyadarkanku bahwa hatinya tak baik-baik saja sekarang. Dia terpengaruh, aku tahu itu
"Kita baru saja membuat janji pernikahan dan seharusnya ini masih hari bahagia kita. Nara, kita tak harus bertengkar seperti ini ,kan? Ayo turun, jangan keras kepala."Nada suara Arsen terdengar lembut, tidak menyentak seperti tadi lagi. Tapi bagiku, tetap saja tak mudah menuruti perkataannya begitu saja. Ini tentang hati. Ulu hatiku yang terluka oleh semua yang terjadi. Kubungkam bibir untuk tidak mendengarkan perkataan Arsen, yang kini menatapku."Kau mau turun, kan?" kata Arsen lagi, setelah sekian menit aku hanya diam.Kenapa jika aku tak mau turun? Dia ingin memukulku? Pukul saja jika itu membuatnya puas! Sesekali tak ada salahnya kutunjukkan sikap keras kepala ini, agar Arsen tidak memandangku perempuan lemah. Sudah cukup rasanya aku menuruti segala perkataannya."Sebenarnya, apa yang membuatmu sangat ingin pergi tidur ke hotel? Kamar kita tak cukup luas untukmu?" tanya Arsen, dan aku sungguh tersinggung karena itu."Aku akan menyewa ka
Aku mematung melihat perempuan itu menjalarkan tangannya di dada Arsen. Sakit, tentu saja aku merasakan dadaku membara oleh kobaran api di dalam sana. Rasa cemburu sudah membakarku, ketika kulihat Arsen hanya mematung diperlakukan seperti itu. Maka aku menghampiri mereka dan menatap Nara dengan mata menyalang."Apa yang kau lakukan di sini? Keluar sekarang juga!" sentakku, dengan suara berapi-api.Tapi Nara hanya melihat aku sekilas, lalu kembali saling menatap dengan Arsen."Kenapa dengan istrimu? Kau belum mengatakan tentangku padanya?""Dan kau pikir tentangmu sangat penting sehingga Arsen harus membeberkannya pada semua orang? Keluar dari sini!" sentakku sekali lagi.Tak kusangka, kini mata Arsen menatapku dengan mata yang tak senang. Bibirnya saling mengatup dan dia sama sekali tak menepis tangan Nara dari dadanya."Keluar sekarang!" ucapnya dengan nada berat dan menakutkan.Tunggu ... pada siapa dia berkata seperti itu? Ak
"Sepertinya kalian memang ribut, ya?" tanya Mama Riana penuh selidik. Matanya menatapku dengan seksama, menunggu aku memberi penjelasan.Jika kujawab 'ya', bukankah itu sangat memalukan? Ini masih hari pertama setelah kami menikah. Pernikahan macam apa yang langsung ribut di hari pertamanya? Kesannya pasti lah lebih buruk dan menyedihkan bagiku. Lantas, aku memaksa bibirku tersenyum meski terasa sulit sekali."Ah? Bu-bukan begitu. Pagi tadi Arsen keluar, jadi kupikir dia ke kantor. Mungkin karena aku belum terbiasa jadi istrinya, aku tak bertanya dia akan ke mana," elakku berbohong. Memalukan memang, karena kulihat Mama Riana memasang muka seakan berkata, 'Kau serius, Nara? Bagaimana bisa kau tak bertanya ke mana suamimu?'"Oh ... jadi begitu rupanya. " Mama Riana menepuk pundakku pelan. "Dia tidak bekerja, mungkin Arsen pergi menemui Arlan. Kau tau, mereka sangat dekat dan selalu membuat waktu bertemu setiap hari. Apalagi Arlan tak lama di aca