Selepas mencoba gaun pengantin, aku dan Arsen duduk di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari kantornya. Ada beberapa urusan mendadak yang harus dia selesaikan. Katanya, agar pernikahan kami nanti tidak terganggu oleh urusan kantor.
"Aku akan meminta Arlan menjemputmu." Dia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan langsung melakukan panggilan. Setelahnya kudengar dia berbicara di dalam telepon seperti yang dia katakan padaku tadi.
"Kenapa?"
Alisnya mengerut. Aku yakin ada ucapan Arlan yang tidak dia senangi.
"Ck! Ya sudah. Kau urus lah pekerjaanmu," tutupnya kemudian. Dia melihat aku lagi dan Arsen kembali mendecih.
"Ada apa?" tanyaku, memecah rasa gugup yang masih aku bawa dari rumah. Jujur, perkataannya untuk mencoba membalas perasaanku, sampai detik ini membuat aku sedikit merasa malu menatap matanya.
"Arlan tak bisa. Dia ada jadwal operasi dadakan. Waktuku sudah sangat sempit, Nara, seharusnya aku langsung mengantarmu se
Arsen sudah pergi menghadiri rapat di tempat lain. Aku merasa bosan hanya duduk di ruangannya, apalagi ketika sekretaris wanita itu masuk untuk meletakkan beberapa berkas di meja Arsen. Matanya yang tajam menusukku, membuat aku tak nyaman lebih lama di sana. Jadi, kuputuskan keluar untuk mencari Yunita, sebab kami sudah sangat lama tak bertemu.Di lorong ketika melewati ruangan Pak Sudrajat, aku berpapasan dengan pemilik perusahaan ini. Pak Sudrajat memanggilku untuk masuk ke ruangannya. Dan di sini lah aku sekarang berdiri di atas kakiku. Rasa gugup tentu saja sudah meliputiku sejak tadi."Kau mencintainya?" tanya Pak Sudrajat, memecah hening di antara kami. Dia duduk di meja kebanggaannya, sedangkan aku berdiri tepat di balik meja itu."Arsen orang yang keras, dia juga tak suka dengan perempuan cerewet. Aku ragu, kau mungkin tak akan tahan berada di sisinya," lanjutnya, ketika aku hanya mengunci bibir.Jika hanya sikap kerasnya,
Mulutku setengah terbuka mendengar penjelasan Yuni. Dia duduk dan menarik tanganku ke genggamannya sembari berkata, "Batalkan pernikahan itu, Ra. Jangan menikah dengan Pak Arsen."Aku sampai mereguk liur yang mengganjal di tenggorokan, sebelum membuka mulut kembali."Da-dari mana kamu tau tentang Arsen? Yun, kamu ... kamu bukan salah satu dari korban yang kamu sebutkan, kan?" tanyaku ragu.Sumpah, aku tak berharap Yuni menjadi salah satu dari korban yang dia sebutkan."Aku?" Dia berhenti sejenak. Tangannya ditarik lagi dan Yuni menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Ayo lah, kamu pikir aku perempuan seperti apa? Kamu lupa kalau aku masih virgin?" katanya menambahkan.Kuusap dada lega setelah mendengar penjelasan Yuni. Tapi tetap saja aku tak bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan lain yang bermunculan di kepalaku."Kamu nggak bohong, kan?""Untuk apa aku bohong? Papaku sangat keras mendidik kami, kau tau aku bisa s
Matanya yang sayu membuktikan Arsen sedang berhasrat sekarang. Aku baru saja membuat masalah pada lelaki ini, oleh rasa ingin tahuku yang menggebu. Jujur aku takut pada Arsen, tapi hatiku mengganjal sebelum mendengar penjelasan darinya."Maaf, kita akan menikah sebentar lagi. Menurutku, kau mungkin tak keberatan jika aku ingin tahu banyak tentangmu," kataku, dan kala itu pun batinku merontah-rontah di dalam sana. Menyalahkanku yang sudah dengan bodohnya membangunkan kemarahan orang gila ini.Lantas kiku mundur selangkah, menjaga jika sewaktu-waktu Arsen mengamuk."Tapi jika kau keberatan, kau tak perlu menjelaskannya." Kugigit lidah di dalam sana agar tidak lagi berbicara. Mata Arsen begitu menakutkan sekarang."Foto di kamar itu? Bukannya kau sendiri sudah melihatnya, dan kupikir kau sudah bisa mengartikannya," ucap Arsen. Tidak seperti yang aku bayangkan tadi, dia tidak mengamuk."Aku hanya melihat namanya sama denganku. Aku tak tau siapa dia dan
"Nara ..." panggil Tante Riana. Dia tak langsung melanjutkan perkataannya justru kulihat mengusap wajah. "Semua ini salah wanita itu. Dia yang membuat Arsen menjadi pribadi yang buruk."Apa katanya? Pribadi Arsen yang buruk berasal dari kesalahan wanita bernama Nara itu? Aku tak bisa mengartikan ucapan Tante Riana, lantas kuminta dia berbicara dengan jelas."Maksudnya, Tante? Aku tak paham jika Tante tak menjelaskan dengan detail."Dia mengembuskan napas kasarnya sebelum berkata, "Perempuan itu gila, Nara. Kami sendiri tak tau apa sebenarnya yang sudah dia lakukan pada Arsen. Tapi semenjak perempuan itu meninggalkannya, kami mendapat isu yang mengatakan Arsen memiliki gangguan pada ..." katanya tergantung."Gangguan pada masalah bercinta? Dia jadi kasar dan suka menyakiti pasangan kencannya?" Aku melanjutkan ucapan Tante Riana dengan bahasa yang lebih halus. Ya, bagimana pun aku tak tega menyebut putranya kelainan seks."Ya, seperti itu lah." Tante
"Kau sudah siap?"Aku melonjak ke depan Arsen dan memeluk lengannya erat. Kuabaikan para tukang rias yang menungguku dengan sabar. Aku hanya ingin menyambut Arsen yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar ini.Dia melihatku dengan sebelah alisnya yang menukik. Ada keterkejutan di wajahnya yang tampan itu. Aku tetap membuat diriku seolah tak merasa terganggu dengan eskpresinya."Ada apa denganmu?" tanya Arsen.Oh ....Dia tentunya bingung melihat tingkahku yang berubah drastis. Dari yang tadinya kami hanya banyak diam, tiba-tiba aku menjadi sangat agresif seakan tak memikirkan persoalan terakhir di ruang kerjanya tempo hari."Kenapa? Ada yang salah denganku?" Mendongak kepala aku untuk melihat wajahnya."Kau tak merasa dirimu aneh? Sejak tiga hari ini kau seperti orang yang kesurupan."Bisa kau dengar bibirnya yang mengandung cabe? Aku sudah berusaha menahan rasa malu di depan dua perias ini, dan sekali lagi dia meledekku kesuru
Tempat itu sudah ramai dengan khalayak dari berbagai tempat. Aku menghentikan langkah saat kami tertutupi pilar dari pandangan banyak orang. Kulihat Arsen yang menatapku dengan ekspresi seakan bertanya, 'Ada apa?'Dan kali itu, air mata yang tadi sempat berhenti kini keluar lagi. Aku hanya menggeleng, tak kuasa mengatakan betapa sedihnya hatiku.Dulu saat pernikahanku dan Ferdy, setidaknya masih ada orang panti yang menghadiri acara itu. Aku bisa mengabaikan perasaan sedih dan melupakan fakta bahwa aku hanya anak yatim piatu. Tapi di kondisi sekarang yang mendatangi keluarga seperti Sudrajat, bagiku terlalu menyedihkan saat tak seorang pun yang menemaniku."Ada apa, Nara? Kenapa kau menangis lagi? Aku sudah menghiburmu di dalam sana dan kau masih menangis?"Jadi ciuman dan semua godaannya itu adalah bentuk hiburan dari Arsen? Ya, aku sedikit terhibur oleh pengakuannya ini. Setidaknya Arsen masih memikirkan kesedihanku, meski dia belum membuka hati.
Arsen masih berdiri tanpa bergerak sama sekali. Matanya masih tertuju pada wanita yang juga tengah menatapnya. Wanita yang tampak mirip denganku itu sempat kulihat dia memamerkan senyum pada Arsen. Aku mengawasi dua wajah itu secara bersamaan, dan hatiku terasa sakit saat kulihat bibir Arsen hampir saja tersenyum.Tapi sebelum dia membalas senyuman wanita itu, dia mengalihkan matanya padaku dan kami mematung beberapa saat. Kemudian dia tersenyum padaku. Entah memang itu untukku atau hanya untuk menyembunyikan perasaan aslinya."Ayo. Semua orang tengah menatap kita."Aku takut senyuman itu palsu sebab kulihat Arsen tampak gusar di wajahnya ketika kami melangkah masuk ke rumah besar keluarganya. mungkin dia hanya ingin menyembunyikan dariku?Di dalam sana sudah ramai oleh para tamu yang datang. Rumah besar itu disulap menjadi sangat indah dengan berbagai hiasan dan interior mahal, aku sampai terkagum melihatnya jauh lebih indah daripada yang kul
Mata Arsen yang sejak tadi terarah padaku, kini teralihkan pada wanita itu. Dia menatapnya dengan sorot yang tak bisa kuartikan."Aku merindukanmu," kata wanita itu lagi."Kau mengenalku?" Arsen menaikkan sebelah bibirnya. "Tapi maaf, aku tak mengenalmu."Sampai mataku terbelalak mendengar kata yang terucap dari bibir Arsen.Tadinya kupikir Arsen akan berkata dia juga merindukan wanita itu, sungguh ini di luar dugaan. Dia hanya acuh dan kembali menatap wajahku. Aku tak berani memutar wajah untuk melihat wanita itu, dan terus membalas tatapan Arsen. Meski jelas aku terlihat menegang. Aku hanya bisa melihat wanita itu dari ekor mataku, dia menunjukkan wajah kesal sebelum menghentak kaki pergi meninggalkan kami.Acara dansa pun kembali berjalan seperti tadi. Tak ada wanita bernama Nara itu kini di sebelah kami. Tapi ekspresi wajah Arsen yang datar, cukup untuk menyadarkanku bahwa hatinya tak baik-baik saja sekarang. Dia terpengaruh, aku tahu itu
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. āJo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?ā Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. āPapa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?ā āSayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,ā peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. āBiar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
āNara ....ā Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. āAku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,ā kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
āAku akan gila dengan semua ini.ā Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. āBagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!ā Beliau mengangkat wajah dan menatapku. āLihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,ā ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. āJangan membeb