Senyum lebarku tak pernah lepas semenjak meninggalkan coffee shop tempatku bertemu dengan Tante Riana, siang ini. Ya, aku memutuskan memanggilnya dengan sebutan Tante oleh karena dia tidak senang kupanggil nyonya. Setelah berbincang panjang dengannya, sekarang aku sudah kembali ke apartemen kami- maksudku, apartemen Arsen.
"Bi Ratna ...!" seruku. Terlalu bahagia mendapat lampu hijau dari Tante Riana membuat aku ingin segera memeluk Bi Ratna, dan bercerita padanya. Tapi sayangnya, seruan itu terhenti ketika kulihat wajah Arsen lah yang menyambutku di depan pintu.
"Dari mana saja kau?" tanya Arsen, matanya penuh kecurigaan.
O-oh ....
Refleks kugigit bibir bawah sebelum mulutku menceritakan bahwa aku baru saja bertemu dengan mamanya.
Ini salah satu kelemahanku. Aku terlalu sulit menyembunyikan sesuatu, apalagi jika itu menyangkut yang menyenangkan hati.
"Aku ..." Berpikir, Nara! Putar otakmu mencari alasan! "Itu, Bi Ratna nggak kasih tau
"Kenapa lama sekali?"Dia melihatku dengan mata menjereng. Sesulit itu kah dia memutar lehernya?"Itu ... tadi aku lagi makan, kau lihat itu di dapur," jawabku.Jujur saja aku kesal dengan pertanyaannya. Sudah lah memanggil seperti orang gila, setibanya di sini pun di seakan jijik menunjukkan wajahnya padaku. Kedua kaki hanya bisa diam di dekat pintu menunggu intruksi apa yang akan dia katakan kali ini."Apa kata dokter itu?" tanya Arsen lagi, dan kali ini dia memutar tubuhnya menghadapku.Oh ... kupikir dia akan mati jika sejak tadi melihatku dengan baik."Dokter?" Pikiranku segera berputar mencari alasan. Dasar kau, Nara! Sudah tahu akan berbohong bukannya kau mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan Arsen.Sekarang apa yang akan aku jawab? Batinku mengetuk kepala sendiri, merutuki kesialan ini."Kau dengar pertanyaanku? Apa kata dokter sialan itu?""Itu ... dokter bilang aku sehat, bayiku sehat, dan dia m
Sekian menit aku menari di atasnya, Arsen hanya menikmati permainan itu. Ekspresinya sama sekali tidak berubah menjadi orang yang menakutkan. Lantas aku semakin berani mengekspresikan diriku di atasnya.Kedua tangan Arsen menangkup bongkahan bokongku. Meremasnya keras tapi tidak kasar. Dia membantuku menaik turunkan diri di atasnya."Ughm ..." erangku. Miliknya yang menyesakkan ronggaku terasa sangat penuh sehingga itu kesat setiap kali aku mengeluarkan dan memasukkan lagi sampai ke pangkal. Aku semakin berhasrat oleh permainan yang ... mungkin sudah dua minggu tidak kami lakukan."Pelan-pelan, Nara. Jangan seperti itu."Dia memperingatkan ketika ritme permainan ini kunaikkan. Bahkan single sofa tanpa sandaran ini sudah terlalu sempit kurasa. Aku ingin lebih bebas lagi melakukannya."Arsen, ouh ..." Kembali aku mendesah ketika dia memasukkan pucuk dadaku ke dalam mulutnya. Lidahnya yang basah dan lembut itu mempermainkan ujung kecil yan
Setelah percintaan kami sore itu aku tertidur dalam keadaan menangis. Tidurku terganggu oleh sebuah tangan yang melingkar di pinggang, dan itu adalah Arsen. Dia mendekap tubuhku sangat dekat di dadanya, yang membuat hangat perasaanku.Sekuat itu efek yang dia berikan padaku? Padahal, sore tadi dia mengabaikanku. Namun, aku menahan diri untuk tetap berpura-pura tidur saat kurasakan bibir Arsen mengecup pundak dan bagian leherku. Aku tak akan membalas, aku tahu dia hanya ingin agar kami melakukan hubungan intim sekarang.Di pagi harinya, aku bangun seperti biasa dan menyiapkan keperluan Arsen ke kantor. Ini sudah menjadi salah satu rutinitas harianku semenjak kami resmi tinggal di apartemen ini. Arsen tidak suka jika Bi Ratna yang mengurusnya."Pasangkan dasiku," ucapnya. Tangan kanan yang tengah memegangi dasi itu dia sodorkan padaku.Sejak kapan dia ingin aku yang memasang dasinya? Biasanya dia melakukannya sendiri.Tanpa bersuara, kuraih das
Dia tertawa. Dua bulan hidup dengannya baru kali ini aku mendengar Arsen tertawa. Tapi siapa pun yang mendengar tawa Arsen, tentu paham kalu itu hanya ejekan terhadapku.Sekarang lihat lah bibirnya sudah kembali pada garis lurus, yang menunjukkan ekspresi datar. Arsen menatapku beberapa detik sebelum membuka mulutnya."Tidak memiliki ayah?" Mendengus. "Lalu, menurutmu memangnya siapa lagi yang akan menjadi ayahnya?"Kalau kau ingin jadi ayah anak ini, seharusnya kau memperjelas statusku, Brengsek!"Nara, aku tak mengerti isi kepalamu. Tentu saja aku akan jadi ayahnya. Jangan ragukan itu dan urus lah dia selagi dikandungan."Arsen memutar tumitnya, bisa kucium bau parfume-nya mulai menjauh.Maksudnya apa? Apa menurutnya aku hanya pengurus anak ini di dalam kandungan, lalu setelahnya dia akan mengambil anakku? Dia akan membuangku setelah bosan agar dia bisa memiliki banyak wanita di sisinya? Maaf, seperti apa aku di matanya? Ternak yang
"Ibu Nara, tanpa kujelaskan sesuatu, aku yakin kau sudah tahu apa yang ingin kukatakan tentang janinmu."Dokter yang duduk di depanku berbicara. Matanya lurus menatapku dan aku merasa seperti seseorang yang tertangkap basah di sini. Ya, aku mengerti maksud perkataannya yang tengah membahas ...."Ma-maaf, Dok. Itu ....""Tidak usah dijelaskan."Dia menutup buku resume pasien di tangannya, dan bisa kubayangkan semerah apa wajahku sekarang."Ke depanya, tolong dengarkan ucapan dokter, oke. Katakan pada suami Anda untuk menahan diri sampai kandungan Anda sedikit lebih tua."Sangat memalukan. Dia tahu aku dan Arsen tidak menikah, tapi dia menyebutnya suamiku. Bukannya dia paman Arsen? Ck! Mungkin menjaga agar perawat di yang tengah berjalan itu tidak menduga yang aneh-aneh padaku."Terima kasih, Dokter. Akan aku lakukan."Dengan sedikit terburu aku meninggalkan meja itu. Aku terlalu malu sampai pintu di depan sana terasa sangat
Dari arah lain Arlan datang dan langsung mendekati Arsen. Dia membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. Lalu setelahnya, Arsen mengangguk sebelum melangkah ke dekatku.Lebih heran lagi, kulihat Arlan pun mendekati Ferdy. Kemudian mereka berjalan bersamaan."Ayo." Arsen menarikku ke arah dalam rumah sakit itu.Ada apa ini? Aku meliriknya dan Arsen hanya mengangguk seakan berkata, 'Ikut saja.' Lantas kupercayakan langkah kakiku padanya.Dia melirik kakiku yang terpincang. Matanya berhenti sekian detik di bagian yang ditutupi dengan perban."Kenapa itu?" tanya Arsen."Itu ... aku jatuh."Demi apa pun di muka bumi ini, aku tak rela jika Arsen tahu aku menduduki pecahan vas bunga di rumah. Biarlah hanya Bi Ratna dan Arlan yang tahu akan kebodohanku menangisinya.Di depan sebuah pintu yang bersebelahan dengan tangga darurat, Arlan berhenti dan membuka ruangan itu. Dia masuk lebih dulu yang langsung
Tentu aku tak pernah berpikir ingin pergi darinya. Tapi, jika Arsen memang tak lagi menginginkanku, apa yang bisa aku perbuat?"Kalau kau bosan, memangnya aku harus bertahan di sini? Aku tak punya hak untuk terus menyusahkanmu, kalau kau sendiri tak ingin aku tinggal," terangku, dan bisa kurasakan lagi hatiku berdarah sekarang.Dia mendengus dua kali. Lalu kikik tawanya terdengar sumbang dengan mata yang masih tetap padaku. Tapi rahangnya yang mengetat itu bisa kuartikan bahwa tawanya adalah sebuah kemarahan."Apa memang kebiasaanmu seperti itu? Kau sengaja mencari alasan untuk pergi?"Dia salah paham lagi. Kenapa dia sangat suka beranggapan buruk tentang aku? Bukankah aku hanya sekedar bertanya dan memberi saran? Aku hanya tak ingin Arsen membuangku setelah anak ini lahir. Aku tak terima diperlakukan seperti itu. Lagian, jika pada ujungnya dia akan membuangku juga, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?"Kau yang punya permainan, kau yang ber
Danau? Alisku menukik menatap pemandangan di depan kami. Danau luas dengan air berwarna hijau terlihat di depan mata kami sekarang."Ayo turun," ajak Arsen, dia melepaskan lagi sabuk yang melingkar di dadaku, sebelum akhirnya dia turun.Mengikuti gerakannya, pun aku turun dari dalam mobil. Arsen berjalan dua langkah di depanku yang mengikutinya dalam diam.Mau apa kami ke sini? Oh ... khayalan setinggi langit yang sempat menyelimuti otakku, perlahan sirna. Dia tak mungkin melamarmu, Nara!"Ke mari, Nara."Melangkah ragu, kuikuti Arsen duduk di atas tikar kain yang sudah terbentang di sana. Keranjang buah dan snak juga kaleng soft drink terletak di tengah tikar yang tak lebih dari dua meter itu. Entah siapa yang mempersiapkannya, tapi sepertinya itu disuruh oleh Arsen.Dia mengambil bir kaleng beralkohol rendah dari balik keranjang buah, aku tak melihat minuman itu sebelumnya. Arsen membuka salah satunya dan menawarkannya padaku."Kau ingin m
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. āJo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?ā Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. āPapa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?ā āSayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,ā peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. āBiar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
āNara ....ā Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. āAku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,ā kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
āAku akan gila dengan semua ini.ā Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. āBagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!ā Beliau mengangkat wajah dan menatapku. āLihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,ā ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. āJangan membeb