Danau? Alisku menukik menatap pemandangan di depan kami. Danau luas dengan air berwarna hijau terlihat di depan mata kami sekarang.
"Ayo turun," ajak Arsen, dia melepaskan lagi sabuk yang melingkar di dadaku, sebelum akhirnya dia turun.
Mengikuti gerakannya, pun aku turun dari dalam mobil. Arsen berjalan dua langkah di depanku yang mengikutinya dalam diam.
Mau apa kami ke sini? Oh ... khayalan setinggi langit yang sempat menyelimuti otakku, perlahan sirna. Dia tak mungkin melamarmu, Nara!
"Ke mari, Nara."
Melangkah ragu, kuikuti Arsen duduk di atas tikar kain yang sudah terbentang di sana. Keranjang buah dan snak juga kaleng soft drink terletak di tengah tikar yang tak lebih dari dua meter itu. Entah siapa yang mempersiapkannya, tapi sepertinya itu disuruh oleh Arsen.
Dia mengambil bir kaleng beralkohol rendah dari balik keranjang buah, aku tak melihat minuman itu sebelumnya. Arsen membuka salah satunya dan menawarkannya padaku.
"Kau ingin m
Arsen menatapku bergeming. Bisa kulihat pupil matanya membesar dan kaget akan pertanyaan yang baru saja aku lontarkan padanya. Perasaan kecewa langsung melanda hatiku membayangkan penolakan keras yang akan dia berikan.Kenapa kau sebodoh ini, Nara? Arsen baru saja bersikap sedikit lembut dan kau sudah mencari perkara padanya? Bagaimana jika dia marah dan melemparmu jatuh dari sepeda bebek ini?Perasaan takut dan bersalah langsung menyelimuti hatiku, membuat aku menyesali perkataan itu."Ma-maaf," ucapku lirih. "Aku sudah keterlaluan." Memaksa bibirku tersenyum, kuseka kedua pipi dengan telapak tangan untuk menghibur diriku. "Jangan dipikirkan, Arsen. Anggap aku baru saja berkata melantur, anggap kau tak mendengar apa pun dariku."Tak ingin aku dia terbebani oleh perkataanku, dan akhirnya membuat dia lepas kontrol lagi."Nara," panggil Arsen.Bisa kurasakan jantungku melompat di dalam sana. Batinku mengumpat, mengataiku dengan ber
Kakiku gemetar sehingga aku harus berhenti melangkah. Tante Riana menyenggolku pelan, dan dia berbisik mengingatkanku lagi. Tapi belum lagi aku berani melangkah, Arsen sudah lebih dulu merangkul pundakku dan menggiringku menuju sofa. Kami duduk bersebelahan."Jangan takut," bisiknya, sedang rangkulan tangannya masih setia di pundakku.Di depanku ada Ferdy yang duduk berdempetan dengan Nindy. Kulihat, sebagian wajah Ferdy masih menyisakan bekas memar atas pukulan Arsen tempo hari. Mata kami beradu beberapa detik, lalu Nindy segera memeluk lengan Ferdy seakan takut aku akan merebut suaminya."Arsen dan Nara sudah di sini, sekarang bisa menjelaskan kedatangan kalian?" Tante Riana yang berbicara."Seperti kata kami tadi, kami ke sini ingin menuntut perbuatan putra ibu dan bapak. Lihat wajah putra kami, apa pantas dia mendapatkan perlakuan seperti ini? Anak kalian sudah memukul dan mempermalukan Ferdy di depan umum, jadi tontonan banyak orang. Bukan hany
Kini semua pasangan mata tertuju padaku. Aku yakin itu, meski aku masih tetap menunduk seperti ini. Mereka tentunya ingin mendengar jawaban dari ajakan Ferdy."Nara, apa yang kamu pikirkan, Sayang? Ayo pulang sama aku, kumohon," pinta Ferdy lagi, suara serak itu membuat hatiku terenyuh.Jika aku menyetujui ajakannya, benarkah Ferdy akan kembali menjadi baik? Dan kalau pun dia baik, bagaimana dengan Arsen ke depannya? Dia mungkin akan membenciku."Pulang ke mana?"Kupaksa suara itu keluar dari mulutku. Nada yang gemetar dan serak membuatku terdengar seperti seekor kodok. Ferdy mengerut keningnya dan melihatku dalam."Ke rumah kita. Memangnya ke mana lagi?"Hatiku mencelus mendengar kalimat terakhirnya. Ya, suaranya memang terdengar lembut, tapi kalimat itu sangat tak enak di telingaku."Rumah kita?" Aku terkekeh miris. "Kamu sendiri yang usir aku dari sana, kan? Kamu mukul aku demi istri ke dua kamu. Kamu juga hina aku, maki
Alarm di atas kepala berbunyi nyaring membangunkanku dari tidur lelap. Kudapati tangan Arsen melingkar di atas perut, yang lantas menghadirkan senyum di bibirku. Sepanjang malam dia selalu memelukku dalam tidur, dan itu selalu membuat hatiku menghangat.Mengangkat wajah mendongak, aku bisa melihat wajah tampannya yang sedang terlelap itu di atasku. Alis tebal dan bulu halus di sekitar wajahnya begitu indah dipandang mataku.Jika sedang terlelap seperti ini, wajah itu terlihat sangat polos bagaikan bayi tanpa dosa. Tak kutemukan Arsen yang dulu pemarah dan suka berlaku kasar.Kenapa dia sangat tampan? Senyumku semakin mengembang melihatnya. Apalagi jika kuingat tak pernah lagi dia meledak-ledak seperti kebiasaannya dulu. Ini seperti surga baru yang kutemukan, aku sudah membuat keputusan yang tepat, aku menyukai itu.Bibir itu sedikit mengerucut, mungkin dia bermimpi buruk? Tanganku refleks terangkat untuk meraba sebelah pipinya. Lembut dan nyaman di perm
"Bunda, Nara akan jelaskan nanti," kataku terpaksa. Kulihat Arsen mengerut kening di ketika aku mendatanginya ke ambang pintu. Lantas kutarik pergelangannya dan berkata, "Kita perlu bicara."Arsen menatapku lama. "Kenapa?" katanya.Kendati aku selalu takut dia akan menjadi kasar lagi, kali ini kuberanikan menatapnya denga melotot. Rahangku mengetat pertanda aku tak bisa menjelaskan di depan bunda.Dia menggerdik bahu dan mengikutiku akhirnya.Di luar bangunan panti kulihat mobil Arsen terparkir. "Buka," kataku yang lantas diturutinya.Beberapa orang anak dan pengurus panti melihat bingung ketika aku dan Arsen masuk ke dalam mobil itu."Kenapa harus di sini? Bukannya orang tua itu ingin tau anak siapa yang kau kandung?" cecar Arsen acuh.Ya Tuhan ... aku tahu aku mencintainya sangat dalam. Aku pun paham, aku lah yang mengemis memohon tempat di hati lelaki ini. Tapi sekali saja, kumohon hanya sekali dia bisa memberiku kesempa
Isi hatinya?Aku selalu mengulang-ulang kata yang dia ucapkan. Isi hatinya yang mana maksud Arsen? Kupikir bahkan dia tak punya hati.Sekian menit Arsen mendekapku dekat di dadannya. Dia menarik tubuhnya menjauh dan menatapku sangat dalam. Kemarahan yang tadi menguasainya sudah berangsur hilang dari wajah Arsen."Arsen, kumohon sekali ini bantu aku," kataku, mengingat lagi wajah kecewa bunda panti."Membahas itu lagi?" katanya seketika kulihat Arsen tak senang di wajahnya. "Jangan meminta yang tidak-tidak. Sampai mati pun, aku tak akan pernah menyakiti hati bayi itu.""Menyakiti hatinya? Apa dia sudah dewasa sampai kau pikir bayi ini paham hal seperti itu, Arsen? Kau tak tahu bagaimana bunda membesarkanku, dia selalu memperlakukan aku seperti purti yang dilahirkannya sendiri. Aku tak tega membuatnya kecewa."Arsen menyalakan mesin mobilnya."Persetan dengan perasaan orang lain!" Kemudian mengendara membaw
"Kita akan ke mana?" tanyaku, melihat Arsen yang hanya diam sambil menyetir.Dia melirik sekejap dan kembali fokus menatap ke depan."Diam lah, Nara, jangan banyak bertanya," katanya.Kugigit bibir bawahku untuk tidak bertanya lagi seperti perintah Arsen. Tapi otakku, jangan diragukan. Sudah pasti pikiran ini berputar dan membuat banyak pertanyaan dan dugaan di dalam sana.Ke mana kami? Ada apa dengan Arsen? Apakah dia akan mengajakku ke sebuah tempat yang indah seperti saat itu? Ke mana kali ini? Mungkin ke pantai, pusat perbelanjaan, atau jangan-jangan memanjat tebing? Oke, otakku ini sudah keterlaluan.Tapi bagaimana, ya. Namanya juga aku sangat penasaran. Tadi dia menyuruh aku bangun cepat-cepat, mandi juga cepat, dan Arsen juga membawaku ke sebuah salon kecantikan. Aku dikenakan pakaian yang sangat bagus, wajahku diberi riasan tipis tapi memang cantik, lalu ... sekarang kami berada di dalam mobil dan aku tahu ini bukan jalan pulan
"Apa yang salah? Aku hanya bertanya."Kembali Arsen melempar tatapan tajamnya pada wanita itu. Tapi entah apa pun yang dia pikirkan sekarang, sungguh aku tidak terlalu menghiraukannya. Aku hanya terjebak dengan kekhawatiranku bahwa ternyata Arsen melihat aku sebagai Nara yang ada di dalam foto. Bukankah itu sangat menyedihkan?"Bisa Bibi menghentikannya?""Kau sangat pemarah, Arsen. Apa wanita itu akan kuat menjadi istrimu? Kulihat dia wanita yang lemah.""Elia, hentikan itu. Ini hari bahagia keluarga kita, kau tak sepatutnya memancing keributan di sini. Jika kau tidak merasa senang, kau boleh pulang lebih dulu." Tante Riana ikut mengangkat suara.Dan setelahnya, semua kembali diam seperti tadi. Bibi Elia pun hanya menggerakkan bibir atasnya sambil menunduk."Kapan kalian akan menikah?" tanya Neneknya Arsen menghapus hening yang terjadi. Wanita tua itu kini sudah kembali tersenyum seperti sebelumnya."Se
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb