Arsen menatapku bergeming. Bisa kulihat pupil matanya membesar dan kaget akan pertanyaan yang baru saja aku lontarkan padanya. Perasaan kecewa langsung melanda hatiku membayangkan penolakan keras yang akan dia berikan.
Kenapa kau sebodoh ini, Nara? Arsen baru saja bersikap sedikit lembut dan kau sudah mencari perkara padanya? Bagaimana jika dia marah dan melemparmu jatuh dari sepeda bebek ini?
Perasaan takut dan bersalah langsung menyelimuti hatiku, membuat aku menyesali perkataan itu.
"Ma-maaf," ucapku lirih. "Aku sudah keterlaluan." Memaksa bibirku tersenyum, kuseka kedua pipi dengan telapak tangan untuk menghibur diriku. "Jangan dipikirkan, Arsen. Anggap aku baru saja berkata melantur, anggap kau tak mendengar apa pun dariku."
Tak ingin aku dia terbebani oleh perkataanku, dan akhirnya membuat dia lepas kontrol lagi.
"Nara," panggil Arsen.
Bisa kurasakan jantungku melompat di dalam sana. Batinku mengumpat, mengataiku dengan ber
Kakiku gemetar sehingga aku harus berhenti melangkah. Tante Riana menyenggolku pelan, dan dia berbisik mengingatkanku lagi. Tapi belum lagi aku berani melangkah, Arsen sudah lebih dulu merangkul pundakku dan menggiringku menuju sofa. Kami duduk bersebelahan."Jangan takut," bisiknya, sedang rangkulan tangannya masih setia di pundakku.Di depanku ada Ferdy yang duduk berdempetan dengan Nindy. Kulihat, sebagian wajah Ferdy masih menyisakan bekas memar atas pukulan Arsen tempo hari. Mata kami beradu beberapa detik, lalu Nindy segera memeluk lengan Ferdy seakan takut aku akan merebut suaminya."Arsen dan Nara sudah di sini, sekarang bisa menjelaskan kedatangan kalian?" Tante Riana yang berbicara."Seperti kata kami tadi, kami ke sini ingin menuntut perbuatan putra ibu dan bapak. Lihat wajah putra kami, apa pantas dia mendapatkan perlakuan seperti ini? Anak kalian sudah memukul dan mempermalukan Ferdy di depan umum, jadi tontonan banyak orang. Bukan hany
Kini semua pasangan mata tertuju padaku. Aku yakin itu, meski aku masih tetap menunduk seperti ini. Mereka tentunya ingin mendengar jawaban dari ajakan Ferdy."Nara, apa yang kamu pikirkan, Sayang? Ayo pulang sama aku, kumohon," pinta Ferdy lagi, suara serak itu membuat hatiku terenyuh.Jika aku menyetujui ajakannya, benarkah Ferdy akan kembali menjadi baik? Dan kalau pun dia baik, bagaimana dengan Arsen ke depannya? Dia mungkin akan membenciku."Pulang ke mana?"Kupaksa suara itu keluar dari mulutku. Nada yang gemetar dan serak membuatku terdengar seperti seekor kodok. Ferdy mengerut keningnya dan melihatku dalam."Ke rumah kita. Memangnya ke mana lagi?"Hatiku mencelus mendengar kalimat terakhirnya. Ya, suaranya memang terdengar lembut, tapi kalimat itu sangat tak enak di telingaku."Rumah kita?" Aku terkekeh miris. "Kamu sendiri yang usir aku dari sana, kan? Kamu mukul aku demi istri ke dua kamu. Kamu juga hina aku, maki
Alarm di atas kepala berbunyi nyaring membangunkanku dari tidur lelap. Kudapati tangan Arsen melingkar di atas perut, yang lantas menghadirkan senyum di bibirku. Sepanjang malam dia selalu memelukku dalam tidur, dan itu selalu membuat hatiku menghangat.Mengangkat wajah mendongak, aku bisa melihat wajah tampannya yang sedang terlelap itu di atasku. Alis tebal dan bulu halus di sekitar wajahnya begitu indah dipandang mataku.Jika sedang terlelap seperti ini, wajah itu terlihat sangat polos bagaikan bayi tanpa dosa. Tak kutemukan Arsen yang dulu pemarah dan suka berlaku kasar.Kenapa dia sangat tampan? Senyumku semakin mengembang melihatnya. Apalagi jika kuingat tak pernah lagi dia meledak-ledak seperti kebiasaannya dulu. Ini seperti surga baru yang kutemukan, aku sudah membuat keputusan yang tepat, aku menyukai itu.Bibir itu sedikit mengerucut, mungkin dia bermimpi buruk? Tanganku refleks terangkat untuk meraba sebelah pipinya. Lembut dan nyaman di perm
"Bunda, Nara akan jelaskan nanti," kataku terpaksa. Kulihat Arsen mengerut kening di ketika aku mendatanginya ke ambang pintu. Lantas kutarik pergelangannya dan berkata, "Kita perlu bicara."Arsen menatapku lama. "Kenapa?" katanya.Kendati aku selalu takut dia akan menjadi kasar lagi, kali ini kuberanikan menatapnya denga melotot. Rahangku mengetat pertanda aku tak bisa menjelaskan di depan bunda.Dia menggerdik bahu dan mengikutiku akhirnya.Di luar bangunan panti kulihat mobil Arsen terparkir. "Buka," kataku yang lantas diturutinya.Beberapa orang anak dan pengurus panti melihat bingung ketika aku dan Arsen masuk ke dalam mobil itu."Kenapa harus di sini? Bukannya orang tua itu ingin tau anak siapa yang kau kandung?" cecar Arsen acuh.Ya Tuhan ... aku tahu aku mencintainya sangat dalam. Aku pun paham, aku lah yang mengemis memohon tempat di hati lelaki ini. Tapi sekali saja, kumohon hanya sekali dia bisa memberiku kesempa
Isi hatinya?Aku selalu mengulang-ulang kata yang dia ucapkan. Isi hatinya yang mana maksud Arsen? Kupikir bahkan dia tak punya hati.Sekian menit Arsen mendekapku dekat di dadannya. Dia menarik tubuhnya menjauh dan menatapku sangat dalam. Kemarahan yang tadi menguasainya sudah berangsur hilang dari wajah Arsen."Arsen, kumohon sekali ini bantu aku," kataku, mengingat lagi wajah kecewa bunda panti."Membahas itu lagi?" katanya seketika kulihat Arsen tak senang di wajahnya. "Jangan meminta yang tidak-tidak. Sampai mati pun, aku tak akan pernah menyakiti hati bayi itu.""Menyakiti hatinya? Apa dia sudah dewasa sampai kau pikir bayi ini paham hal seperti itu, Arsen? Kau tak tahu bagaimana bunda membesarkanku, dia selalu memperlakukan aku seperti purti yang dilahirkannya sendiri. Aku tak tega membuatnya kecewa."Arsen menyalakan mesin mobilnya."Persetan dengan perasaan orang lain!" Kemudian mengendara membaw
"Kita akan ke mana?" tanyaku, melihat Arsen yang hanya diam sambil menyetir.Dia melirik sekejap dan kembali fokus menatap ke depan."Diam lah, Nara, jangan banyak bertanya," katanya.Kugigit bibir bawahku untuk tidak bertanya lagi seperti perintah Arsen. Tapi otakku, jangan diragukan. Sudah pasti pikiran ini berputar dan membuat banyak pertanyaan dan dugaan di dalam sana.Ke mana kami? Ada apa dengan Arsen? Apakah dia akan mengajakku ke sebuah tempat yang indah seperti saat itu? Ke mana kali ini? Mungkin ke pantai, pusat perbelanjaan, atau jangan-jangan memanjat tebing? Oke, otakku ini sudah keterlaluan.Tapi bagaimana, ya. Namanya juga aku sangat penasaran. Tadi dia menyuruh aku bangun cepat-cepat, mandi juga cepat, dan Arsen juga membawaku ke sebuah salon kecantikan. Aku dikenakan pakaian yang sangat bagus, wajahku diberi riasan tipis tapi memang cantik, lalu ... sekarang kami berada di dalam mobil dan aku tahu ini bukan jalan pulan
"Apa yang salah? Aku hanya bertanya."Kembali Arsen melempar tatapan tajamnya pada wanita itu. Tapi entah apa pun yang dia pikirkan sekarang, sungguh aku tidak terlalu menghiraukannya. Aku hanya terjebak dengan kekhawatiranku bahwa ternyata Arsen melihat aku sebagai Nara yang ada di dalam foto. Bukankah itu sangat menyedihkan?"Bisa Bibi menghentikannya?""Kau sangat pemarah, Arsen. Apa wanita itu akan kuat menjadi istrimu? Kulihat dia wanita yang lemah.""Elia, hentikan itu. Ini hari bahagia keluarga kita, kau tak sepatutnya memancing keributan di sini. Jika kau tidak merasa senang, kau boleh pulang lebih dulu." Tante Riana ikut mengangkat suara.Dan setelahnya, semua kembali diam seperti tadi. Bibi Elia pun hanya menggerakkan bibir atasnya sambil menunduk."Kapan kalian akan menikah?" tanya Neneknya Arsen menghapus hening yang terjadi. Wanita tua itu kini sudah kembali tersenyum seperti sebelumnya."Se
Aku terduduk di sisi ranjang di kamar kami. Pernyataan Arsen tentang cinta sangat menyakitiku sampai ke relung hatiku yang terdalam. Meski kuakui bahwa cinta memang sangatlah menyakitkan, tapi tetap saja aku masih tak mampu membayangkan pernikahan tanpa cinta.Maksudku ... jika hubungan yang didasari dengan cinta saja bisa berakhir menyedihkan, bagaimana jadinya pernikahan kami nanti? Meski aku sangat menginginkan Arsen, tapi aku tetap berharap dia mencintaiku lebih dulu."Ada apa lagi?"Arsen tengah mengenakan pakaian di sebelahku. Tak ada minat sedikit pun untuk melihat wajahnya. Mataku fokus menatap kedua kaki yang berjuntai di atas lantai. Aku lelah, capek berbicara dengan orang yang ingin seenaknya."Jangan membenani pikiranmu, pernikahan kita sudah ditentukan minggu depan."Spontan kuputar kepala untuk melihat orang yang kini juga tengah melihatku. Arsen tersenyum sangat lebar seakan dia bangga atas pernikahan kami, tapi senyum itu tentu saja