"Kamu itu seharusnya lebih tegas, Dong! Masa kamu membiarkan calon istrimu dibawa oleh sepupumu sendiri?!" Natasya semakin kesal. Wanita itu mondar-mandir tak karuan memikirkan rencana agar Jonathan bisa lepas dari jerat Hazel, wanita yang hanya dianggap sampah. Edward, yang duduk sambil memainkan gelas anggur juga ikut frustasi. Dia tidak menyangka jika Jonathan begitu terobsesi dengan Hazel. "Natasya, kau tahu sendiri Jonathan seperti apa, bukan? Bahkan Tante dan Paman pun tidak dapat mengatur Jonathan. Dan pernikahanmu, aku rasa, Jonathan hanya memanfaatkanmu demi mencapai tahta sang pewaris," ucap Edward. Telinga Natasya terasa panas. Sebelum Hazel berada di antara ia dan Jonathan, permainan seperti terkontrol dengan baik. Tetapi, semua impan dan rencananya gagal hanya karena kehadiran Hazel. "Aku harus membunuh wanita itu dengan tanganku sendiri—" ucapan Natasya terhenti kala Edward berdiri di hadapan wanita itu. "Membunuh? Kau pikir, aku akan membiarkan kau melakukan itu,
"Nak, kamu tidak pergi ke kantor?" Pagi-pagi sekali, Hazel sudah duduk di teras rumahnya. Mengirup udara pagi yang memberikan ketenangan bagi Hazel setelah ia mengalami beberapa kejadian yang membuat ia terluka. Mendengar suara lembut sang ibu, Hazel menoleh sambil tersenyum perih. "Aku akan pergi ke kantor, Bu. Tapi... Aku hanya datang memberikan surat pengunduran diriku," jawab Hazel, lemas. Malam itu, setelah Jonathan melemparkan uang, Hazel yang merasa terihina segera memungut pakaiannya dan pergi dari Vila.Dan Mike, pria itu sudah lebih dulu di antar oleh Carl, Hazel harus berlari membawa tangis keluar dari Vila memesan taksi. Dan saat ini, Hazel harus menerima nasib ketika Jonathan meminta Hazel memberikan surat pengunduran dirinya melalui email yang Hazel terima. "Loh, Nak, apakah kamu membuat masalah yang besar di perusahaan?" tanya Amy, terkejut mendengar penuturan putrinya. Hazel tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Tidak, Bu. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah
"Tolong kerjakan yang ini juga. " Jonathan meletakkan beberapa dokumen di atas meja Hazel. Hasil yang melihat apa yang dibawa oleh atasannya itu membuat dia melongo, mulutnya terbuka lebar. "Tuan Presdir, ini ... Apakah aku sendiri yang harus mengerjakan semuanya?"Jonathan menyandarkan bokongnya di sisi meja. Pria bermanik biru itu menyilangkan kedua tangan, menatap Hazel yang duduk di kursi kerja dengan datar."Siapa yang menjadi atasan di sini, huh?" Hazel tertunduk, membenarkan kacamatanya. Percuma meminta keadilan dengan atasan laknat seperti Jonathan. Ingin sekali Hazel pergi dari perusahaan ini, meski dia membutuhkan perkerjaan tersebut. Namun, pada kenyataannya, Hazel bahkan tak mampu menolak kala Jonathan meminta ia tetap bekerja di perusahaan. "Aku paham. Dan aku akan mengerjakan ini semua," jawab Hazel, tangannya kembali bergerak di atas keyboard. Jonathan mengusap pucuk kepala Hazel. "Bagus, jika sudah selesai, antar ke ruanganku." setelah berkata demikian, Jonathan b
"Baik, Tuan," jawab Carl sambil membungkuk hormat.Jonathan mengusap rambutnya dengan gusar. Dia lalu menyusuri ruangan, menatap lantai."Seharusnya aku sadar, aku tidak asal percaya dengan video itu. Apakah aku harus melawan orang tuaku sendiri hanya untuk perasaanku yang konyol ini?" pikir Jonathan.Perasaannya penuh dilema antara seorang pewaris dan juga rasa yang ia pendam untuk Hazel. Beberapa menit Jonathan memikirkan hal-hal terkait keputusan. Namun ia hanya mendapatkan jalan buntu."Sudahlah, aku akan melihat Hazel terlebih dahulu. Apa yang wanita kaca mata kuda itu lakukan." Jonathan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Jonathan tahu bahwa menghadapi masalah ini tidaklah mudah. Apalagi ia harus berhadapan dengan konflik yang timbul dari keluarganya sendiri. Jonathan melangkah keluar ruangan dengan cepat, menuju ke tempat di mana Hazel bekerja. Akan tetapi, tubuh Jonathan membatu melihat di balik kaca transparan saat Mike, tengah menutupi tubu
Natasya terhuyung ke belakang, pipi wanita itu terasa panas dan perih akibat tamparan Jonathan. Dia menatap Jonathan dengan tatapan penuh rasa sakit dan kebingungan."Apa maksudmu menamparku?" tanya Natasya dengan suara bergetar.Jonathan berdiri di depan wanita itu, dengan sorot mata penuh kemarahan. "Aku tahu semuanya, Natasya! Apa maksudmu menjebak Hazel? Membuat skenario agar aku beranggapan jika Hazel adalah wanita licik seperti dirimu, huh?!" marah Jonathan.Natasya tercengang, dia menatap Jonathan dengan pupil mata bergetar. "Tidak, aku tidak melakukan hal itu. Kau... Kau jangan asal menuduhku, Jo," ucap Natasya dengan terbata-bata. Jonathan mencengkeram kedua pipi Natasya dengan kuat. "Kau kira aku sebodoh itu? Aku melihat bukti-buktinya sendiri, Natasya. Kau pikir dengan melakukan cara picik seperti ini membuatku tertarik padamu? Aku bahkan jijik dan lebih mantap untuk tidak menikahimu!" Jonathan menggeram, wajahnya semakin mendekat ke wajah Natasya.Natasya merasa napasnya
"Aku pulang!" Hazel tiba di rumahnya, dia melepaskan sepatu dan melangkah ke arah kamar. "Nak, kamu sudah makan?" Hazel yang hendak menarik gagang pintu kamarnya itu pun menoleh. "Sudah, Bu. Sekarang, aku mau istirahat. Hari ini, pekerjaanku banyak sekali dan aku benar-benar kelelahan," jawab Hazel. "Bukannya kamu ingin mengundurkan diri? Tadi bibimu kesini. Dia menawarkan pekerjaan untukmu," ucap Amy. Hazel membalikkan tubuh, menatap sang ibu yang menghampirinya. "Bu, jujur saja. Apapun yang ditawarkan oleh Bibi Clara, itu hanya mempersulit diriku. Aku tidak begitu percaya dengannya," kata Hazel. "Tapi, ini menyangkut hubunganmu dan Edward. Kata Bibimu, Edward ingin kau menjadi sekretarisnya."Hazel terdiam mendengar penjelasan ibunya. Di lain sisi, dia juga ingin lepas dari Jonathan. 'Apakah ini jawaban? Atau... Aku hanya akan mendapatkan masalah yang lebih besar?' pikir Hazel. "Bu, di perusahaan di tempatku bekerja, atasanku tidak mengizinkanku keluar —""Hazel, Ibu tahu, ka
"Pagi Hazel, sudah sarapan?" tanya Mike berjalan di lobby perusahaan dengan segelas cup minum kopi di tangan. Hazel yang baru saja memasuki bangunan perusahaan itu tersenyum kepada Mike. "Kamu menungguku? Jika kau bertanya aku sudah sarapan, itu pertanyaan yang sungguh basa-basi, Mike," jawab Hazel yang terus melangkah. Mike terkekeh. "Ya, maaf ... Soalnya, wajahmu kelihatan kusut. Apa ada masalah?" Hazel menghembuskan napas. "Nama juga hidup. Enak ya mati. Barulah tidak ada masalah. Kamu ini aneh sekali." Lagi-lagi Mike terkekeh. "Ya ampun Hazel, aku hanya khawatir. Makanya aku bertanya. Ya, siapa tau aku bisa bantu." Mereka berdua tiba di dalam lift. Hazel hanya tertunduk, menggenggam map sambil menatap ujung sepatunya. "Mike, maaf kalau aku terkesan kasar tadi. Sebenarnya, aku sedang banyak pikiran," ujar Hazel pelan, sambil menatap refleksi wajahnya di pintu lift yang mengkilap.Mike mengangguk, mencoba memahami perasaan Hazel. "Tidak apa-apa, Hazel. Aku mengerti. Kalau kau
"Tuan Parker, sepertinya Anda tidak begitu bersemangat?" tanya Natasya saat ia dan Jonathan tiba di butik. Natasya akan memanggil Jonathan sesuai dengan suasana hatinya. Karena saat ini mereka akan memilih gaun pengantin, maka ia harus bersikap sopan kepada Jonathan. "Apa kau sudah puas membuat aku seperti ini, huh?!" kesal Jonathan. Natasya memutar bola matanya. Seakan jengah dengan sikap Jonathan. "Jo, plis ya, kita sedang di tempat umum. Bisakah kau lebih bersikap manis?!" "Cih, manis kepada wanita sepertimu? Itu hal yang paling konyol. Kau yang ingin menikahkan? Jadi, pilih saja sendiri!" ketus Jonathan, dia berdiri dari duduknya. Natasya, mencekal tangan pria itu. Dan Jonathan pun melirik sinis ke arah tangan yang menggenggamnya. "Lepas!" hardik Jonathan, suaranya tajam. Natasya menggeleng. "Jo, pengawal ayahmu sedang memantaumu. Apa kau ingin mereka melapor kalau kau tidak memperlakukanku dengan baik, hah?!" ancam Natasya. "Kau pikir, setelah apa yang kau perbuat dan per
Pagi yang sepi di kota kecil, Carl meninggalkan penginapan dengan misi yang jelas: menemukan Victor, satu-satunya orang yang bisa memberi mereka informasi penting tentang Tuan Lucas. Jonathan, Hazel, dan Amy menunggu dengan cemas, waktu terasa semakin menipis sementara ancaman dari Tuan Lucas terus membayangi.Beberapa jam kemudian, Carl kembali dengan wajah penuh ketegangan namun membawa kabar baik.“Aku menemukannya,” kata Carl, suaranya tenang tapi bersemangat. “Victor setuju untuk bertemu kita malam ini, di sebuah gudang tua di luar kota.”Jonathan mengangguk cepat. “Bagus. Ini kesempatan kita untuk mengetahui kelemahan Tuan Lucas dan menghentikannya.”---Di Gudang TuaMalam tiba dengan suasana tegang. Gudang tua di luar kota tampak gelap dan terisolasi. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy memasuki tempat itu dengan hati-hati. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh bekas luka, berdiri di sudut ruangan—Victor.“Aku tahu siapa yang kalian lawan,” kata Victor, suaranya sera
Malam semakin larut. Cahaya redup dari lampu-lampu jalan di kota kecil memberikan sedikit rasa tenang bagi Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy. Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan kota, berusaha mengatur napas setelah pelarian panjang dan penuh bahaya. Meski mereka telah mencapai tempat yang terasa lebih aman, bayang-bayang ancaman masih membayangi pikiran mereka."Apakah kita benar-benar aman sekarang, Jonathan?" bisik Hazel, suaranya lelah.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan penuh kepedulian. “Untuk sekarang, kita aman. Tapi kita harus tetap waspada. Kota kecil ini memang terpencil, tapi kemungkinan mereka menemukan kita tetap ada.”Amy, yang duduk di samping Hazel, meremas tangan putrinya dengan lembut. “Kita sudah sejauh ini, Hazel. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”Carl yang terus memeriksa keadaan sekitar, berbicara dengan nada serius, “Aku setuju dengan Anda, Tuan. Mereka mungkin akan terus mencari kita. Tapi untuk saat ini, kota ini bisa menjadi tempat persembu
Malam semakin larut saat Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy terus melangkah menuruni gunung. Udara dingin menusuk kulit, namun mereka tidak punya pilihan selain terus bergerak. Meskipun wajah-wajah mereka sudah memancarkan kelelahan yang nyata, semangat untuk bertahan hidup tetap menyala.Jonathan menoleh ke arah Hazel yang berjalan di sampingnya, wajahnya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa bertahan?" bisiknya, mencoba memastikan bahwa Hazel tetap kuat.Hazel menatap Jonathan dengan mata yang lelah. "Aku bisa, Jonathan. Aku tidak akan menyerah sekarang," jawabnya dengan suara yang gemetar namun tegas.Jonathan tersenyum kecil, merasakan semangat Hazel yang perlahan kembali. "Kita hampir sampai, Hazel. Kota itu ada di balik gunung ini. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi."Di sampingnya, Carl berjalan dengan hati-hati. "Jalur ini aman untuk sekarang, tapi kita harus tetap waspada. Mereka pasti masih mengejar kita," katanya, pandangannya terus menyapu sekitar.Amy,
Di dasar lembah, Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy berdiri terengah-engah di tepi sungai yang deras. Napas mereka berat setelah pelarian panjang, dan di atas lembah, anak buah Tuan Lucas telah siap dengan senjata terarah, mengepung kelompok yang mencoba melarikan diri."Berhenti! Kalian tidak akan bisa pergi lebih jauh! Serahkan diri kalian sekarang!" teriak salah satu anak buah, suaranya menggema di udara malam yang dingin.Jonathan menatap Hazel di sampingnya. Wajah Jonathan dipenuhi kelelahan. Di belakang mereka, sungai menderu, sementara di depan mereka, ancaman senjata terus mendekat. Carl dan Amy berdiri di sisi lain, sama-sama menyadari bahwa mereka telah mencapai titik kritis.Jonathan berbisik kepada Hazel, suaranya lembut namun penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu, Hazel. Apa pun yang terjadi, kita harus terus bergerak. Dan seandainya kita mati, kita harus mati berdua!" ucap Jonathan. "Jo, apakah kamu tidak menyerah saja? Pergilah bersama Natasya. Aku...
Malam semakin larut, dan suasana semakin mencekam di dalam rumah kecil itu. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy bergerak cepat, berkemas untuk pelarian yang semakin mendesak. Mereka tahu waktu mereka terbatas—ancaman dari Tuan Lucas semakin mendekat.Hazel berbisik pelan, suaranya penuh ketakutan. "Jonathan, bagaimana kalau kita tidak bisa keluar tepat waktu? Bagaimana kalau mereka mengepung kita?"Jonathan menatap Hazel dengan penuh keyakinan, meski hatinya juga dipenuhi kecemasan. "Kita akan keluar, Hazel. Carl tahu jalan rahasia, dan kita harus percaya bahwa ini akan berhasil."Carl, yang tengah memeriksa jalur di peta kecilnya, berdiri di dekat mereka. "Ada jalur di sebelah timur desa, jalur yang hampir tak pernah dilalui. Dari sana, kita bisa menuju lembah yang akan membawa kita keluar dari sini. Tapi kita harus cepat."Amy, dengan wajah pucat karena kelelahan, menatap Carl. "Apakah kita punya cukup waktu? Apa mereka sudah dekat?"Carl mengangguk pelan, nada suaranya serius. "Jika kit
Pagi yang cerah di desa kecil itu memberikan kedamaian sementara bagi Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy. Setelah pelarian panjang dan penuh bahaya, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali. Namun, meski mereka merasa sedikit lega, Jonathan tahu bahwa bahaya masih mengintai. Keluarga Carlos dan Lucas tidak akan berhenti sampai menemukan apa yang mereka cari.Di dalam rumah kecil, Hazel duduk di samping Amy yang masih terlihat lelah. Sementara Carl, bersandar di dinding, mengamati keadaan sekitar dengan waspada. Meski suasana tenang, ada ketegangan yang terasa semakin berat, seolah ancaman itu menggantung di atas mereka.Hazel menatap ibunya. "Ibu, bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?"Amy tersenyum kecil meski rasa sakit masih terasa di tubuhnya. "Ibu akan baik-baik saja, Hazel. Jangan khawatir tentang Ibu. Yang penting, kita semua masih bersama."Hazel menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu, Bu. Ibu sudah melakukan segalanya unt
Di desa terpencil yang kini menjadi tempat persembunyian Hazel dan Jonathan, pagi yang tenang membawa sedikit kedamaian setelah pelarian panjang. Matahari pagi mulai menghangatkan desa, tetapi Hazel masih tenggelam dalam kekhawatiran. Pikirannya tak henti-henti memikirkan ibunya, Amy, dan Carl yang mungkin masih bertarung di luar sana.Hazel duduk di depan rumah kecil yang mereka tinggali sementara, memandang hampa ke arah pepohonan yang bergerak pelan di kejauhan. Jonathan, yang duduk di sampingnya, meraih tangan Hazel, menggenggamnya erat.“Kita aman di sini, Hazel,” ujar Jonathan lembut. “Mereka takkan menemukan kita. Kamu harus percaya.”Hazel menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. “Aku tahu, Jonathan. Tapi Ibu? Bagaimana dengan Carl? Aku tidak bisa berhenti memikirkan mereka. Bagaimana nasib mereka setelah kita pergi?”Jonathan menghela napas panjang, mencoba meredam kekhawatirannya sendiri. “Hazel, ibumu dan Carl kuat. Kita harus percaya mereka selamat. Kita sudah melakukan y
Sinar matahari perlahan mulai menembus celah-celah pepohonan, menyinari hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Di puncak bukit kecil, Jonathan dan Hazel berdiri terdiam, menatap perbatasan kota yang akhirnya mereka capai setelah pelarian panjang dan berbahaya.Meski matahari menghangatkan kulit mereka, hati keduanya masih diselimuti kecemasan. Pikiran Hazel terus terbayang pada nasib Carl dan Amy, yang terjebak dalam arus sungai yang deras."Jonathan," suara Hazel terdengar bergetar, "bagaimana kalau mereka tidak berhasil keluar dari sungai?"Jonathan menoleh, menatap Hazel dengan penuh kelembutan. Dia tahu betul betapa besar kekhawatiran gadis itu. Meski mereka telah selamat, perasaan bersalah karena meninggalkan Carl dan Amy menghantui mereka berdua."Hazel," suara Jonathan tenang, tegas, "Carl dan ibumu adalah orang-orang yang tangguh. Kalau ada yang bisa bertahan, itu pasti mereka."Hazel menatapnya dengan air mata yang menggenang, tetapi tetap ada ketakutan yang dalam di matanya
Dari balik pepohonan, muncul sosok yang familiar. "Carl?" kata Jonathan dengan kaget.Carl tersenyum lega. "Syukurlah aku menemukan kalian."Hazel berdiri. "Bagaimana bisa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya di rumah?"Carl menggeleng. "Setelah memastikan mereka pergi, aku menyusul kalian. Aku tahu kalian akan menuju hutan."Jonathan menatapnya dengan serius. "Apakah kamu diikuti?"Carl mengangkat tangan. "Tenang, aku memastikan tidak ada yang mengikutiku, Tuan."Hazel menghela napas. "Apa rencanamu sekarang, Carl?"Carl menatap keduanya. "Ada jalur rahasia di hutan ini yang akan membawa kalian keluar dari kota tanpa terdeteksi."Jonathan mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak memberitahu kami sejak awal?"Carl tersenyum tipis. "Tidak ada waktu tadi. Lagipula, aku harus memastikan jalurnya aman, Tuan."Hazel memegang tangan Carl. "Terima kasih. Kamu telah melakukan banyak untuk kami."Carl mengangguk. "Ayo, kita harus bergerak sebelum fajar."Mereka bertiga melanjutkan perjalanan,