"Aku pulang!" Hazel tiba di rumahnya, dia melepaskan sepatu dan melangkah ke arah kamar. "Nak, kamu sudah makan?" Hazel yang hendak menarik gagang pintu kamarnya itu pun menoleh. "Sudah, Bu. Sekarang, aku mau istirahat. Hari ini, pekerjaanku banyak sekali dan aku benar-benar kelelahan," jawab Hazel. "Bukannya kamu ingin mengundurkan diri? Tadi bibimu kesini. Dia menawarkan pekerjaan untukmu," ucap Amy. Hazel membalikkan tubuh, menatap sang ibu yang menghampirinya. "Bu, jujur saja. Apapun yang ditawarkan oleh Bibi Clara, itu hanya mempersulit diriku. Aku tidak begitu percaya dengannya," kata Hazel. "Tapi, ini menyangkut hubunganmu dan Edward. Kata Bibimu, Edward ingin kau menjadi sekretarisnya."Hazel terdiam mendengar penjelasan ibunya. Di lain sisi, dia juga ingin lepas dari Jonathan. 'Apakah ini jawaban? Atau... Aku hanya akan mendapatkan masalah yang lebih besar?' pikir Hazel. "Bu, di perusahaan di tempatku bekerja, atasanku tidak mengizinkanku keluar —""Hazel, Ibu tahu, ka
"Pagi Hazel, sudah sarapan?" tanya Mike berjalan di lobby perusahaan dengan segelas cup minum kopi di tangan. Hazel yang baru saja memasuki bangunan perusahaan itu tersenyum kepada Mike. "Kamu menungguku? Jika kau bertanya aku sudah sarapan, itu pertanyaan yang sungguh basa-basi, Mike," jawab Hazel yang terus melangkah. Mike terkekeh. "Ya, maaf ... Soalnya, wajahmu kelihatan kusut. Apa ada masalah?" Hazel menghembuskan napas. "Nama juga hidup. Enak ya mati. Barulah tidak ada masalah. Kamu ini aneh sekali." Lagi-lagi Mike terkekeh. "Ya ampun Hazel, aku hanya khawatir. Makanya aku bertanya. Ya, siapa tau aku bisa bantu." Mereka berdua tiba di dalam lift. Hazel hanya tertunduk, menggenggam map sambil menatap ujung sepatunya. "Mike, maaf kalau aku terkesan kasar tadi. Sebenarnya, aku sedang banyak pikiran," ujar Hazel pelan, sambil menatap refleksi wajahnya di pintu lift yang mengkilap.Mike mengangguk, mencoba memahami perasaan Hazel. "Tidak apa-apa, Hazel. Aku mengerti. Kalau kau
"Tuan Parker, sepertinya Anda tidak begitu bersemangat?" tanya Natasya saat ia dan Jonathan tiba di butik. Natasya akan memanggil Jonathan sesuai dengan suasana hatinya. Karena saat ini mereka akan memilih gaun pengantin, maka ia harus bersikap sopan kepada Jonathan. "Apa kau sudah puas membuat aku seperti ini, huh?!" kesal Jonathan. Natasya memutar bola matanya. Seakan jengah dengan sikap Jonathan. "Jo, plis ya, kita sedang di tempat umum. Bisakah kau lebih bersikap manis?!" "Cih, manis kepada wanita sepertimu? Itu hal yang paling konyol. Kau yang ingin menikahkan? Jadi, pilih saja sendiri!" ketus Jonathan, dia berdiri dari duduknya. Natasya, mencekal tangan pria itu. Dan Jonathan pun melirik sinis ke arah tangan yang menggenggamnya. "Lepas!" hardik Jonathan, suaranya tajam. Natasya menggeleng. "Jo, pengawal ayahmu sedang memantaumu. Apa kau ingin mereka melapor kalau kau tidak memperlakukanku dengan baik, hah?!" ancam Natasya. "Kau pikir, setelah apa yang kau perbuat dan per
“Owh… Edward, kau mau menjadi pahlawan untuk wanita menjijikan seperti dia?” cibir tuan Lucas.Hazel merasa perih di pipinya, lebih dari itu, hati wanita berkacamata itu juga terasa remuk. Hazel mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Sementara Edward, memeluk Hazel dengan erat, menatap Tuan Lucas dengan penuh kemarahan."Tidak perlu sampai menamparnya, Paman. Hazel berhak berbicara," kata Edward dengan nada tegas.Tuan Lucas mendengus. "Dia hanya akan terus membuat masalah. Sudah cukup skandal ini merusak reputasi keluarga kita.”Edward melepaskan pelukannya, menatap Hazel dengan lembut. "Ayo kita pergi, Hazel. Aku tidak akan membiarkanmu diperlakukan seperti ini lagi."Hazel mengangguk, masih memegang pipinya yang memerah. Mereka berdua berjalan keluar ruangan, meninggalkan Tuan Lucas yang masih memandang mereka dengan penuh kebencian.Saat mereka berjalan di lorong, para karyawan yang melihat kejadian itu mulai berbisik-bisik lagi. “Ternyata benar, isu mengenai Hazel yang m
"Kita mau kemana?" tanya Hazel. Saat ini, Hazel dan Edward sudah berada di mobil yang melaju. Edward, ingin membawa kabur Hazel dengan alibi menyelamatkan wanita itu dari tuan Lucas. "Kita ke apartemenku, ya. Kau tentu sangat tertekan saat mendapatkan perlakuan kasar dari pamanku," jawab Edward. "Hmm... Tapi, aku harus ke rumah ibuku dulu. Aku takut kalau nanti ibuku akan khawatir kalau aku tidak pulang," Hazel memandang keluar jendela, mata perempuan itu penuh kecemasan.Edward menghela napas panjang. "Baiklah, kita singgah ke rumah ibumu terlebih dahulu. Aku hanya ingin memastikan kau aman, Hazel."Mereka berbelok ke arah rumah ibunya Hazel, suasana dalam mobil terasa berat dan tegang. Hazel meremas tangannya, berusaha menenangkan diri. Dalam hati, Hazel tahu bahwa perasaannya terhadap Jonathan belum sepenuhnya hilang, namun situasi yang mereka hadapi membuat semuanya semakin rumit.Setibanya di rumah Amy, Hazel segera turun. "Tok, tok , tok!" Hazel mengetuk pintu di hadapannya.
"Di mana Natasya?" tanya tuan Lucas, mendapati Jonathan melangkah masuk ke dalam kediaman hanya seorang diri. Wajah lelah pria bermanik biru itu berjalan acuh tak acuh sambil meletakkan jasnya di pundak. "Aku meninggalkannya di butik," jawab Jonathan santai. Tuan Lucas pun berdiri, wajah pria paruh paya itu benar-benar merah padam. "Jonathan, apa kau sedang mempermainkan keluarga? Apakah hukuman di ruang bawah tanah tempo itu masih belum menyadarkan dirimu dari pengaruh Hazel, wanita rendahan itu?!" geram tuan Lucas, suara pria itu berkobar-kobar penuh amarah yang memuncak. Jonathan yang benar-benar berada di titik lelah dan jenuh menatap wajah sang ayah dengan semburat senyum tipis mengejek terbit di bibir Jonathan. "Jika iya aku ingin mempermalukan keluarga kenapa ayah? Kau akan membunuhku?" tantang Jonathan. Tuan Lucas mengeram marah, dengan langkah tegas, pria itu melangkah menghampiri Jonathan. "Anak tidak tahu diuntung kamu Jonathan! Mengapa sejak kau dekat dengan wanita itu
"Sial, apa susahnya untuk mengikuti kemauan ayahnya? Apa-apa selalu saja Hazel. Bisakah Jonathan melupakan wanita itu? Apa yang akan dia dapatkan dari wanita seperti Hazel?" gerutu Natasya.Wanita itu kesal bukan main, satu tangan Natasya terkepal di bawah dagu saat sorot mata itu menatap tajam ke luar jendela kaca mobil yang tengah melaju. "Aku harus bagaimana lagi agar Jonathan bisa menjadi milikku seutuhnya? Semua cara sudah aku lakukan. Bahkan Edward pun sudah bertindak. Apakah aku harus menyerahkan dengan perasaan ini?" lagi-lagi Natasya bertanya pada dirinya sendiri. Drrt, drrt, drtt! Dering ponsel yang bergetar membuyarkan lamunan Natasya. Dengan cepat, dia merogoh isi tasnya. "Hallo, Bu, ada apa?" tanya Natasya kala sambung itu tersambung. "Natasya, kamu di mana? Apa kamu tidak tahu jika tuan Lucas masuk rumah sakit?" terdengar suara nyonya Luna yang panik di seberang sana.Pupil mata Natasya melebar mendengar kabar itu. Padahal tadi pagi pria itu masih terlihat sehat dan
"Apa kita perlu bergerak sekarang, Nyonya?" tanya seorang bawahan bibi Clara. Bibi Clara yang berada di dalam mobil hitam itu memperhatikan Hazel dari jauh. Segala rencana jahat sudah tersusun rapi di dalam benak wanita itu. "Kita tunggu, keadaan masih ramai. Kita ikuti kemana wanita sialan itu pergi. Jika ada kesempatan, tangkap dia!" ujar Nyonya Clara. Di depan kafe, Hazel mulai memutar tubuhnya dan melangkah sambil mengusap sikutnya yang terluka. "Perih sekali. Aku harus kemana? Jangan sampai Edward menemukanku," gumam Hazel, kakinya mulai melangkah di atas trotoar, sorot matanya menyisir keadaan. Tanpa Hazel sadari, mobil hitam yang terparkir di bahu jalan sedang mengintai langkah-langkah wanita itu. Hazel mempercepat langkah, mencoba menghilangkan bayang-bayang ketakutan dari bayangan Edward yang mungkin saja masih berada di sekitar sini. Di dalam mobil, bibi Clara mengamati setiap gerak-gerik Hazel dengan tatapan dingin. "Sabar, sebentar lagi waktunya," bisik bibi Clara