*Happy Reading*
"Raid Anderson?" Beo William, yang langsung diangguki Reinan dengan pasti."Menurut info dari orang gue. Pria itu adalah pelindung Navisha selama ini. Tepatnya empat tahun ke belakang setelah Navisha memiliki Angel, anaknya." Reinan melanjutkan infonya.Entah kenapa, tiba-tiba rasa cemburu hadir begitu saja di hati William. Merasa iri pada pria yang bernama Raid Anderson itu."Jadi beneran si Nav-Nav sama Gerald pernah menikah dan punya anak?" Fadli menyambar dengan nada tak percaya."Kalau untuk hal itu gue gak tahu. Soalnya gue belum nyuruh orang gue menyelidikinya," sahut Reinan lagi."Gue udah." William menyambar datar. Seraya mengeluarkan amplop coklat pemberian anak buahnya, yang langsung di raih Reinan dan Fadly dengan antusias."Loh, kok?" Wajah bingung pun langsung tercetak jelas di wajah dua sahabat William itu paska membaca isi amplop tersebut."Kenapa di sini Navisha tertulis lajang dan belum menikah? Sementara kemarin kita lihat sendiri dia dan Gerald berebut soal Angel, anak mereka." Fadly meperjelas kebingungannya."Lupakan dulu soal itu. Sekarang, lanjutkan info dari orang lo, Rei," pinta William tegas.Reinan tak langsung menjawab. Melempar pandang pada Fadly dan info tentang Navisha, sebelum akhirnya mendesah berat di tempatnya."Gak banyak informasi yang diberikan oleh anak buah gue. Soalnya, pria bernama Raid Anderson ini lumayan misterius. Susah sekali dicari informasinya," beritahunya kemudian.Meski begitu, sebenarnya sebagai seorang pebisnis. Nama Raid ini kerap di dengar William dari para rekanannya. Pebisnis baru, tapi bisa dengan cepat memiliki kuasa hebat di dalam dunia bisnis."Tapi menurut info yang mereka dapatkan. Memang Raid inilah yang membantu dan melindungi Navisha dan anaknya selama empat tahun ini. Dia bersama gadis bernama Naira itu yang memberikan tempat tinggal dan pekerjaan pada Navisha, setelah di usir orang tuanya.""Diusir?" tukas Fadly terkejut. "Kenapa?" Dan makin penasaran."Untuk itu, tadinya gue kira karena mamanya sudah tiada, dan ayah Gerald gak mau mengurus Navisha lagi sebagai anak tirinya. Tapi setelah melihat laporan anak buah William. Gue yakin itu karena kehadiran Angel, anaknya. Dilihat dari waktu kejadian, tepat sekali."William dan Fadly terdiam. Mencerna kesimpulan yang baru Reinan kemukakan."Kalian tahu, orang tua kan kadang egois dan lebih memilih menjaga nama baik keluarga dari pada anaknya sendiri. Ya ... gue rasa itulah yang terjadi." Reinan menambahkan kesimpulannya yang langsung diaminkan dua pria lainnya di sana.Hal itu memang bisa saja terjadi. Apalagi Navisha hanya anak tiri statusnya. Tentu saja, ayahnya Gerald tak akan mau repot-repot memikirkan masa depan gadis itu. Akan tetapi ...."Loh, memang ayah tirinya gak tahu kalau anak itu adalah cucu kandungnya sendiri. Kan dia anaknya Gerald. Berarti anak itu justru memiliki darah keluarganya, kan? Kenapa malah di usir?" Fadly seakan menyuarakan semua rasa bingung yang masih tercetak jelas di sana."Menurut lo gimana, Will?" Bukannya menjawab. Reinan malah melemparkannya pada William. Namun, tak langsung di jawab oleh pria itu."Kemungkinan Navisha tidak memberitahukan ayahnya tentang kenyataan anaknya. Entah karena tak ingin. Atau karena malu.""Kenapa begitu?" Fadly makin tak mengerti dengan jawaban William yang menurutnya tidak detail.Namun baik Reinan atau pun William tak ada yang berniat membuka suara lagi. Tak ingin memberikan jawaban yang belum jelas kepastiannya. Hal itu tentu akhirnya membuat Fadly hanya bisa menebak-nebak sendiri.***"Apa?!" Navisha baru saja menyelesaikan kue milik pesanan pelanggan hari ini, kala mendapat kabar mengejutkan dari baby sitter Angel yang membuatnya panik luar biasa.Angel berada di rumah sakit! Setelah sebelumnya bermain di sebuah lahan proyek. Astaga!"Bagaimana bisa?!" seru Navisha marah. "Memang tidak ada tempat lain yang bisa kalian tuju? Kenapa harus kamu bawa Angel ke sana?" desaknya kemudian."Maaf, maaf, Bu. Tapi Angel sendiri yang berlari ke sana tanpa bisa saya cegah."Alasan macam apa itu? Masa orang dewasa kalah sama bocah berusia empat tahun? Navisha sungguh tak bisa menerima alasan sang baby sitter."Kamu--" Navisha bahkan sudah tidak bisa berkata-kata lagi saking marahnya. Napasnya sudah tersengal-sengal karena menahan amarah yang ingin sekali diluapkan."Kirim alamatnya sekarang!" titahnya kemudian. Mencoba tetap waras disela amarah, panik dan rasa khawatir yang terus menggerogoti.Navisha tidak boleh terlalu larut dalam perasaan saat ini. Ada Angel yang membutuhkannya. Paling tidak, Navisha harus berada di sisi Angel segera untuk saat ini.Tak lama, sebuah pesan pun datang ke ponselnya. Berisi alamat rumah sakit tempat Angel berada. Tanpa membuang waktu lagi, Navisha pun bergegas pergi ke sana. Setelah sebelumnya meminta ijin pada Naira sebagai Bos tempatnya bekerja.Navisha mengendari motornya secepat yang dia bisa. Mengabaikan beberapa larangan dan menyalip seenaknya pada kendaraan yang mencoba menghalangi. Beruntung kondisi jalanan cukup lengang, membuat para pengguna jalan tak terlalu memberi makian. Tetap saja, itu tidak boleh ditiru, ya, pemirsah.Selain itu, alamat rumah sakit yang dituju pun tak terlalu jauh dari cafe tempat kerjanya. Navisha pun tak perlu waktu lama untuk sampai di sana.UGD adalah tempat yang Navisha langsung tuju tanpa bertanya pada siapapun. Gadis itu yakin, Angel pasti ada di sana saat ini. Benar saja! Baru saja sampai di ambang pintu, Navisha segera menemukan keberadaan Angel yang tengah menangis dan di tenangkan si baby sitter."Angel?" panggil Navisha cepat. Meminta atensi gadis ciliknya."Mama!" Angel pun berseru balik. Sebelum akhirnya berlari menghampiri dan menghambur ke pelukan Navisha."Sayang. Ya Tuhan!" Navisha memeluk Angel erat, dengan rasa khawatir luar biasa. Meski begitu, diam-diam Navisha juga menghela napas lega. Segala ketakutannya sedari tadi tak terjadi.Angel-nya tidak meninggalkan Navisha."Ugh, sayang. Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini? Kamu bikin Mama hampir mati karena khawatir! Sini coba Mama lihat, mana yang terluka? Ayo, katakan sama Mama mana yang sakit?" cecar Navisha kemudian. Lalu memutar-mutar tubuh Angel ke kanan dan ke kiri demi mencari luka pada tubuh anaknya.Tidak ada! Syukurlah. Akan tetapi, kalau memang tak ada luka? Kenapa gadis cilik ini ada di sini dan terus menangis? Apa yang salah?"Bukan Angel yang sakit, Mama," beritahu gadis itu kemudian. Di sela tangis yang masih belum mau berhenti.Maksudnya bagaimana? Bukan dia yang sakit? Lalu siap--"Tapi Papa!" imbuh Angel lagi. Masih menangis sambil menunjuk sebuah arah.Alih-alih segera mengikuti arah tunjuk Angel, Navisha malah tertegun di tempatnya. Membeku hingga tanpa sadar sudah menahan napas mendengar info barusan.A-apa? Pa-papa, katanya. Itu ... Maksudnya?"Papa yang sakit." Angel mengulangi informasi yang dia berikan sebelumnya.Seperti sebuah robot. Akhirnya Navisha pun mengikuti arah tunjuk Angel, dengan gaya kaku luar biasa. Tubuhnya pun semakin membatu dengan napas tercekat, kala benar-benar menemukan keberadaan pria dengan tatapan tajam itu di sana.Pria yang selama ini setengah mati dia lupakan dan tak ingin Navisha temui lagi.[Datanglah ke aula hotel xxx jam 20.00. Aku menunggumu]Navisha mengerjap pelan membaca pesan teks yang baru saja dikirim William. Ada rasa bingung tapi juga bahagia menerima pesan itu. Faktanya, sudah beberapa hari ini William mendiamkannya. Entah karena apa, tapi pria itu memang kerap melakukannya. Membuat Navisha sering galau sendiri. Padahal, Navisha selalu berkata jika dia punya salah, William harus memberitahukannya. Agar Navisha bisa segera memperbaikinya. Namun, William tetaplah William. Disuruh janji seperti apa pun, tetap saja akan memilih diam jika ada salah. Membuat Navisha sebal sekali. Untung cinta. Coba kalau tidak, sudah Navisha tinggalkan dari kapan tahu. "Astaga! Jangan-jangan ...." gumam Navisha agak terkejut setelah menyadari sesuatu.[Okeh! Aku akan dandan cantik untukmu!]Setelahnya, gadis itu segera mengirimkan balasan riang pada sang kekasih. Kembali mengabaikan rasa kesal akan sikap pria itu yang mirip cuaca di Indonesia. Suka berubah tanpa aba-aba. Bikin Na
"Papa?" Suara Angel mengembalikan Navisha pada bumi yang ia pijak saat ini. Wanita itu melirik gadis kecilnya yang ternyata sudah menghadap William dengan tatapan penuh harap.Navisha menelan saliva resah melihatnya. Takut jika pria itu akan menolak Angel, anaknya. Apa yang akan Navisha katakan pada putrinya nanti. Haruskah ia jujur saat ini.Gadis itu lalu refleks melirik pria yang Angle panggil Papa, yang ternyata juga tengah meliriknya. Katakan Navisha salah. Entah kenapa, ia seakan bisa melihat kerinduan pada tatap pria itu. Navisha pun segera membuang muka ke sembarang arah.Tidak mungkin! Mana mungkin ada rindu di sana, kan? Sementara Navisha yakin sekali jika saat ini sang mantan pasti sudah berkeluarga. Bukankah, dulu saat Navisha pergi, pria itu sudah bertunangan? Dan ini sudah enam tahun. Tidak mungkin jika pertunangan itu belum berlanjut ke arah lebih resmi. Ah, mengingatnya saja hati Navisha sudah kembali sakit. "A
Navisha kira, pertemuannya dengan William di rumah sakit akan menjadi terkahir kalinya untuk mereka. Siapa sangka, ternyata keesokan harinya pria itu kembali muncul. Kali ini di cafe tempatnya bekerja. Entah dari mana pria itu tahu tempat ini. Navisha memang tidak tahu jika sebenarnya William ada saat Gerald muncul waktu itu. Ia terlalu fokus mencari cara mengusir ayah kandung Angel tersebut. "Mbak, Nav. Pria yang di pojokan itu ngeliatin Mbak terus, loh. Kayaknya pengen kenalan," bisik Yopi saat Navisha mengisi ulang kue-kue yang telah kosong di etalasi. Navisha hanya mendesah berat mendengarnya. Tahu pasti siapa orang yang Yopi maksud. Pasti William. Tadi Navisha melihat pria itu memang duduk di pojokan. Tidak mengganggunya memang, hanya diam dan terus memperhatikan. Membuat Navisha tidak nyaman. "Aku gak tertarik," jawab Navisha acuh."Ganteng loh, Mbak. Kayaknya orang kaya juga. Kalau diperhatikan, vibesnya kek ceo-ceo muda di novel online. Yakin gak mau kenalan?" Yopi menaik
Navisha mendesah berat saat membuka kamar putrinya, menemuka jika gadis cilik itu tertidur sambil memeluk photo William yang diam-diam masih ia simpan. Hatinya nelangsa sekali melihat betapa Angel sangat menginginkan pria itu, yang ia kenali sebagai Papanya. Lagi-lagi, rasa bersalah akan salah satu kebohongannya hadir dalam hati.Tuhan, kalau sudah begini Navisha harus apa? Ia tidak mungkin meminta William untuk berkongsi demi Angel, kan? Tidak, tidak, jelas itu tidak boleh. Karena Navisha benar-benar tak mau punya hubungan apa pun lagi dengan pria itu. Ah, kenapa juga ia harus mengatakan kalau William adalah papa Angel? Kenapa tidak orang lain saja? Tetapi ... siapa? Satu-satunya pria yang pernah dekat dengannya adalah William seorang. Pria yang membuatnya jatuh cinta, juga patah hati sepatah-patahnya. Membuat Navisha trauma dan memilih menutup hatinya untuk siapa pun.Lagi, Navisha membuang nafas berat. Berharap beban yang kini terasa menghimpit hatinya sedikit hilang. Rasanya ota
"Nav?""Ya?"Navisha langsung menyahut cepat saat Nissa memanggilnya. Menoleh ke arah sumber suara meski sebenarnya sedang berdiskusi dengan Naira tentang menu baru saat ini."Ada email dari perusahaan LW group."Navisha pun langsung terdiam di tempatnya mendengar info dari Nissa barusan. Bukan karena tak mengenal, melainkan karena tiba-tiba resah tak jelas.Mendengar nama perusahaan tersebut, membuat otaknya seketika flashback pada kejadian beberapa hari yang lalu, tanpa bisa dicegah."Terima kasih untuk waktunya ya, Nav. Kue-kue dari cafe kalian memang yang terbaik. Saya yakin pasti semua orang menyukainya," ucap Felix. Salah satu staf perusahaan LW Group, yang akhirnya merasa puas dengan pilihan kue yang Navisha tawarkan untuk disuguhkan di acara ulang tahun perusahaan ini minggu depan."Tidak masalah, kami pun sangat berterima kasih karena anda bersedia memakai jasa cafe kami, dalam acara besar tersebut." Navisha menjawab dengan sopan, seraya menyambut uluran tangan Felix."Tentu
"Dia lagi?" gumam William bingung, ketika menemukan kembali nama Raid Anderson pada laporan yang baru saja diberikan anak buahnya. Kali ini bukan tentang Navisha. Melainkan sepupunya yang belum di temukan. Anak dari pamannya, pemilik sah dari perusahaan yang ia pegang saat ini. Ya, William memang telah lama melepaskan diri dari perusahaan keluarganya. Memilih mengembangkan usahanya sendiri, yang memang sudah ia rintis sejak sekolah. Seraya membantu sang paman mengurus perusahaan yang hendak diberikan pada anaknya yang hilang.Intinya, perusahaan yang William pegang saat ini bukanlah perusahaan miliknya sebenarnya. Hanya sekedar titipan semata. Selagi sang pewaris utama belum di temukan. Dan sejujurnya, alasan itulah yang membuatnya datang ke kota ini. Karena menurut info yang di dapat, sepupunya yang hilang itu berada di sini. William tidak pernah tahu jika ternyata Navisha pun berada di kota ini. Kembali ke masalah utama. William kini benar-benar penasaran dengan pria yang bernama
"Terima kasih untuk tadi. Kamu bisa pulang sekarang."William menaikan alisnya sebelah saat mendengar ucapan Navisha barusan. Matanya menyorot gadis itu dingin dengan bibir terkatup datar."Jadi begini caramu berterima kasih?" tanyanya kemudian. Nada tidak terima jelas terdengar di sana. Memutar mata malas sejenak, Navisha pun menjawab, "Tadi aku kan udah bilang makasih.""Lalu langsung mengusir?" tukas William cepat. Navisha membuang wajah dengan dengkusan kasar. "Aku nggak maksud mengusir kamu. Tapi aku cukup tahu diri. Kamu kan orang sibuk. Aku tidak ingin membuang waktumu dengan percuma." Seakan diingatkan masa lalu. William merasa ada cubitan kecil saat mendengar jawaban Navisha barusan. 'Membuang waktu percuma' William ingat sekali, dulu dia sering menggunakan kalimat itu jika tak enggan menemani atau sekedar menanggapi ucapan Navisha. "Maaf," lirih William, namun masih dapat di dengar Navisha. "Aku tahu, dulu aku memang jahat sama kamu, Nav. Tapi--""Kamu ngomong apa, sih?
William semakin menatap pria itu tak suka setelah mengetahui, ternyata bule bernetra hijau itu adalah Raid Anderson. Pria yang tengah ia cari saat ini. Apalagi menyadari jika Raid juga ekhem--lumayan ganteng. 'Tapi tetap gantengan gue.' William mendadak konyol karena rasa cemburu.Awalnya William kira dia, Raid itu bule tua dan berperut buncit. Kulitnya pasti merah dan bergelambir mirip kerbau bule. Akan tetapi apa ini? Ternyata Raid ... ah, sudahlah. Hatinya bahkan tidak terima Raid memiliki ketampanan 11-12 dengannya. Apa ini juga yang menyebabkan Navisha gampang move on darinya?"Dia pasti tidak terima pada keputusan hukum yang menolak laporannya?" Sementara Raid di tempatnya, masih santai berbicara dengan Navisha. Seolah tak perduli pada kehadiran William. Memang kenapa pula ia harus perduli?"Ekhem ... Niss, bisa bawa Angel main dulu?" Sementara Raid acuh, Navisha tentu tidak. Terlebih ada Angel juga yang menjadi alasan dari semuanya. "Kenapa harus gue? Kan ada bapaknya?" tuk
*Happy Reading*"Adek lagi apa?""Gambal""Gambar apa?"Bocah dua tahun itu pun menatap sang ibu sejenak, lalu mengarahkan jari telunjuk mungilnya ke arah gambar yang ia buat di sebuah batu di dekat sebuah nisan. "Ini Papa, ini Atta, ini Mama, ini tata," terangnya dengan riang dan bahasa yang belum sempurna, memperkenalkan satu persatu gambar abstrak yang ia buat. "Badus nda Mah, gambal adek?"Bagus. Adek pintar, ya?" Senyum sang anak lelaki itu pun semakin lebar dengan mata yang berbinar indah. "Tata nanti cuka nda?""Pasti suka.""Yeaayy! Adek mau tambah buna uat tata."Bocah dua tahun itu semakin semangat membuat gambar dengan crayon yang sengaja ia bawa dari rumah, di dekat nisan yang bertuliskan nama 'Angel'.Ya! Anak dan ibu itu adalah Navisha dan anaknya dengan William, yang sebentar lagi berusia dua tahun. Namanya Attala Malik Arsenio. Navisha tersenyum bahagia melihat keriangan sang anak. Lalu melirik nisan putrinya yang kini sudah tidak suram. Banyak gambar-gambar lucu y
*Happy Reading*"Kamu yakin akan hadir?"William melirik perut Navisha yang semakin membuncit. Usia kandungan istrinya kini telah menginjak sembilan bulan. William sangat khawatir, tapi istrinya ini sangat keras kepala dengan bersikukuh ingin menghadiri pernikahan Aida, salah satu rekan kokinya di cafe. Navisha yang sedang mematut diri di cermin menoleh. Mengangguk yakin penuh semangat. "Sangat yakin!"Navisha kembali mengalihkan tatapannya ada cermin dan mengambil lipmate warna nude yang amat ia suka. Wanita hamil itu memang dari dulu tidak suka memakai apa pun yang berwarna mencolok. "Sebagai ketua tim, aku harus hadir, Will. Apalagi Aida mengundang langsung aku waktu itu. Jadi nggak enak kalau sampai gak datang," terang Navisha lagi setelah polesan di bibirnya sempurna. "Tapi kandungan kamu--""Aku gak papa, Will. Percayalah!"Kehamilan memang membuat Navisha keras kepala. Semakin di larang, pasti akan semakin berontak. Entahlah, mungkin karena bawaan bayi mereka yang katanya be
*Happy Reading*"Jadi, berapa usianya?" tanya William sambil mengusap sayang perut Navisha yang sebenarnya masih rata. Saat ini mereka sudah berbaring berdua di atas brankar tempat William. Setelah tadi William langsung memeluk dan menghujani wajahnya dengan ciuman sekembalinya Navisha mencari seorang cleaning service untuk membersihkan muntahan William. Navisha sampai harus mencubit kengan William saking malunya pada si CS. Suaminya ini kalau skinship gak tahu tempat. Navisha merasa tak punya muka karena ulahnya. "Aku belum periksa ke dokter. Baru pake alat itu aja." Navisha menjawab seadanya. "Ya udah, besok kita periksa, ya? Aku gak sabar pengen liat dia. Kira-kira dia jagoan atau princess, ya?""Ya belum kelihatan lah!" Navisha memutar matanya malas. "Biasanya kalau untuk itu, minimal usia kandungan harus empat bulan dulu.""Oh, begitu ..." gumam William mengerti. "Ya udah gak papa. Tapi besok kita tetep periksa ya? Aku ingin tahu kondisinya."Navisha pun mengangguk setuju unt
*Happy Reading*Sepertinya Navisha memang terlalu menutup telinga selama ini. Sampai-sampai ia tidak tahu jika ternyata, Sonya tidak bisa melewati masa kritisnya. Ia meninggal beberapa hari setelah Angel tiada. Sementara Pak Jarwo, sejak menghadapi kebangkrutan ia stress. Apalagi kondisi anaknya pun tak kunjung membaik. Tak kuat menghadapi semua tekanan, Pak Jarwo pun nekad mengakhiri hidup. Sedangkan Gerald sendiri baru siuman dua bulan lalu dan langsung di adili. Navisha mendapat semua info tersebut dari Nissa. Sekembalinya dari makam Angel, Navisha memang langsung bertanya perihal ucapan Gerald saat itu, dan Nissa pun menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Kini, Navisha perasaan Navisha seperti dilema. Bingung harus senang atau sedih atas nasib Gerald saat ini. Akan tetapi yang jelas, ia merasa miris. Tidak pernah menyangka jika akhirnya semuanya akan seperti ini. "Nav?" Nissa menghampiri saat Navisha tengah fokus menghias sebuah kue tart pesanan seorang pelanggan. Wajahnya namp
*Happy Reading*Hubungan Navisha dan keluarga William semakin membaik setiap harinya. Ia kini bahkan menjadi kesayangan sang nenek. Mengambil alih posisi yang selama ini William tempat di hati sang nenek. Akan tetapi, William tidak cemburu sama sekali. Pria itu malah turut bahagia karena hal itu membuat sang kakek makin tidak bisa berulah lagi. Bukan maksud meragukan niat tobat kakek Wirya. Namun, William masih tak bisa percaya begitu saja setelah apa yang ia alami selama ini. Hubungan Navisha dan William pun berbanding sejalan dengan hubungan sang istri dan keluarganya. Mereka semakin hari semakin harmonis dan lengket. Meski terlambat, William benar-benar menepati janjinya yang ingin mengganti semua kenangan pahit saat pacaran dengan kenangan baru yang membahagiakan. Mereka pacaran lagi, tapi versi halal. Mengulang moment penting yang pernah sangat Navisha idamkan tapi William abaikan. Mengunjungi tempat-tempat yang dulu menjadi goresan luka di hati sang wanita, menggantinya denga
*Happy Reading*"Kok malah jadi tegang gitu kalian? Gak suka ya nenek datang ke sini?" Suara Mariam, nenek William memecah keheningan yang seketika terjadi di sana. Navisha yang masih kaget karena kedatangan kakek dan nenek yang tiba-tiba, melirik William refleks. Ternyata pria itu pun melakukan hal sama dengannya. Yaitu melirik Navisha dengan raut kaget dan bingung.Beruntung William cepat menguasai diri. Setelah berdehem pelan satu kali. Pria itu segera menghampiri sang nenek sambil tersenyum. "Mana ada, Nek," bantahnya. "Kami senang kok dengan kedatangan nenek." William menyalami tangan nenek Mariam dengan khidmat, tapi tidak melakukan hal yang sama pada si Kakek. Mungkin pria itu masih menyimpan dendam. Melihat hal itu, Navisha pun turut mendekat dan melakukan hal yang sama. Yaitu mencium punggung tangan wanita itu dengan sopan. Namun berbeda dengan William, Navisha tidak mengabaikan sang kakek. Istri William mencium punggung tangan Kakek Wirya dengan sopan. Dan hebatnya kali
*Happy Reading*Siang itu, saat Navisha sedang mengadakan video call bersama Nissa dan Aida, untuk membahas solusi pesanan cafe yang membludak sementara ia masih tak bisa pulang. Navisha di kejutkan oleh raungan William dari arah ruang tengah. Khawatir terjadi sesuatu dengan sang suami, Navisha pun mengakhiri meeting virtualnya dan gegas menghampiri tempat sumber suara. "Ampun, Tuan. Ampun! Tolong maafkan saya dan Dian. Kami ... khilaf. Kami janji tak akan melakukannya lagi. Kamu--""Cukup!"Saat Navisha datang, terlihat Bu Irah serta anaknya, Dian tengah berlutut dan di depan William yang kini tampak seperti tengah murka sekali. Ada dua dari empat satpam juga di sana, yang biasa berjaga di rumah ini.Ada apa?"Saya tidak ingin mendengar apa pun alasan kalian. Sekarang pilih saja, kembalikan apa yang sudah kalian curi dari rumah ini, atau kalian akan saya polisi, kan!" ucap William dingin dan tak bersahabat. "Jangan, Tuan! Saya mohon! Saya gak mau masuk penjara," hiba Bu Irah lagi.
*Happy Reading*Navisha tidak tahu apa yang William dan sang kakek bicarakan. Pria itu mengajak kakeknya berbicara di ruang kerja, sementara istrinya diminta untuk ke kamar istirahat. Navisha kepo. Tentu saja! Tetapi tahu dosa jika sampai melawan titah sang suami. Akhirnya, di sinilah dia sekarang. Mondar-mandir layaknya setrikaan di dalam kamar mereka."Aduh, gue kepo! Boleh nguping gak, sih?" Navisha bermonolog saat merasa tak kuasa lagi menahan rasa penasaran yang hampir meledakan kepalanya sendiri. "Jangan, ah! Bisa berabe kalau sampai ketahuan." Wanita itu menggeleng cepat. "Kakek Wirya udah benci bisa tambah benci kalau sampai hal itu terjadi. Nilai gue makin minus nanti di matanya." Navisha kembali bermonolog dengan batin yang ikut berperang saat ini. "Tapi gue kepo ya ampun. Bisa botak gue kalau lama-lama begini," desahnya putus asa. "Tau, ah. Dari pada pusing mending bikin kue aja." Navisha pun mengambil alternatif lain guna mengalihkan pikirannya. Wanita itu memutuskan
*Happy Reading*"Maaf untuk semua luka yang sudah aku goreskan di masa lalu. Aku janji akan mengobatinya dan menambal luka itu dengan kebahagiaan yang akan ku usahakan sebaik mungkin mulai saat ini. Aku tahu kenangan lama yang pahit itu tak akan pernah bisa aku hapus. Maka untuk menebusnya, aku akan berusaha menutupi kenangan itu dengan kenangan baru dan kebahagiaan baru. Kamu mau kan memberikan kesempatan untukku melakukan hal itu?"William menutup kejutan manisnya dengan janji tersebut. Dan Navisha pun bersedia memberikan kesempatan itu. Toh, sejak menikah pun William sudah menunjukan perubahannya. Karenanya, tidak ada salahnya kan untuk Navisha membuka hatinya untuk pria itu sekali lagi, kan? Lebih dari itu, Navisha tidak ingin terus membohongi diri. Cinta itu masihlah ada untuk seorang William sebenarnya. ***William membuktikan janjinya dengan tiba-tiba mendatangkan seorang arsitek ke rumah mereka. Saat di tanya untuk apa? Pria itu menjawab untuk mengubah interior dapur dan semu