*Happy Reading*
William tersentak kaget saat sesuatu menubruk kakinya. Hampir saja dia terjatuh. Bukan karena besarnya dorongan yang menabraknya barusan, melainkan karena tak siap dengan hal itu. Beruntung dia lumayan sigap. Juga, yang menumbruknya hanya hal kecil. Atau, lebih tepatnya tubuh kecil setinggi pahanya, yang kini memeluk erat kakinya sambil menangis."Papa! Papa!"Hah?! Apa katanya? Papa? Siapa yang bocah ini maksud?"Astaga, Angel! Kamu ngapain, Nak? Jangan sembarangan peluk orang!"Tak lama, seorang perempuan menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Tidak muda, tidak juga tua. Katakanlah dewasa menjelang tua. Perempuan itu lalu berusaha menarik bocah yang kini masih memeluk kaki William dengan erat sekali.Mungkin wanita ini ibunya."Gak mau! Gak mau! Angel mau sama Papa! Sama Papa!" Namun, gadis kecil yang sepertinya bernama Angel itu menolak. Menggeleng dan malah makin mengeratkan pelukannya pada kaki William.Sama halnya dengan William, wanita itu pun mengerut bingung. Dia mengerjap, melirik William takut-takut, lalu kembali ke arah si bocah."Jangan gitu, Angel. Papa Angel kan lagi kerja jauh. Yuk, kita ke Mama lagi. Mama nungguin, loh." Wanita itu berusaha membujuk.Tetapi, gadis kecil dibawah tubuh William tetap menolak. Menggeleng cepat sambil memeluk kaki William. Terus menangis dan memanggilnya 'Papa'.Awalnya, William biarkan saja. Menunggu wanita tadi berhasil dengan bujukannya. Akan tetapi, lama menunggu ternyata tak ada berubah sedikitpun. Hal itu lumayan membuat William lama-lama gemas.Pria itu harus segera kembali ke kantor. Ada meeting penting yang menunggunya. Dia tidak bisa terjebak lebih lama dalam drama anak kecil yang ... entah siapa? William tidak kenal sama sekali.Akhirnya, karena tidak bisa menunggu lagi. William pun berdehem lumayan keras, seakan meminta fokus dua wanita yang ada di sana. William lalu melerai lembut belitan tangan kecil di kakinya, sebelum berjongkok demi menyamakan tinggi dengan si bocah.Berdehem sekali lagi, William mencoba tersenyum pada gadis kecil yang masih terisak di tempatnya. "Hai, cantik. Boleh tahu siapa namamu?" William membuka obrolan."Angel, Pa."Okeh, itu tadi memang sekedar basa basi saja. Akan tetapi, entah kenapa William mulai tidak nyaman terus dipanggil Papa oleh bocah ini. Siapa sebenarnya dia?"Angel, ya? Nama yang bagus. Cantik seperti orangnya," puji William. "Tapi, Nak. Maaf ya sebelumnya. Kamu ... sepertinya salah orang, Sayang. Saya ini bukan Papamu.""Nggak!" sahut bocah bernama Angel itu dengan cepat. Menggeleng dan menghambur kepelukan William. Kembali memeluk erat. "Kamu Papa Angle! Papa Angel!"William mendesah berat di tempatnya. Membujuk anak kecil memang sulit. Harus sabar dan tenang. Jujur, William bukan ahlinya di sini."Tapi, Nak. Saya memang bukan Papa kamu. Saya--""Mama pernah liatin photo Papa. Dia bilang ini Papa. Angel gak mungkin salah mengenali. Ini memang Papa Angel," selanya cepat. Membuat kerutan di dahi William makin dalam.Apa maksudnya, ibunya bocah ini mengenal William? Siapa?"Mamamu bilang begitu?" William memastikan. Terasa anggukan dari belakang leher William"Kalau begitu di mana Mamamu?"Okeh, anggaplah memang ibu anak ini mengenal William. Siapa dia, mari kita tanyakan. Gadis kecil itu pun menunjukan satu arah. Kepala William sontak mengikuti arah tangannya, tapi lagi-lagi mengerut bingung karena tak menemukan petunjuk apa pun.Masalahnya gadis ini hanya menunjuk begitu saja satu arah. Di mana banyak orang berlalu lalang di sana. Maklum, ini memang di rumah sakit."Di sana. Sakit, habis di pukul Om-Om jahat," ucap gadis itu lagi.Oh, okeh. Berarti maksudnya, ruangan ibunya arah sana. Begitu, kan?"Makanya Papa jangan pergi lagi. Kasian Mama sendirian terus. Sering di ganggu om jahat."Baru saja William ingin berucap. Si bocah sudah kembali bersuara, sambil melingkarkan tangan di leher William lagi. William menduga, mungkin ibu anak ini adalah janda, atau semacamnya. Bahkan mungkin, malah anak ini lahir diluar pernikahan. Buktinya saja, ibunya sering diganggu orang jahat."Uhm ... Bagaimana kalau kita temui Mamamu saja? Mungkin, dia punya penjelasan khusus untuk hal ini."William pun mencoba mengalah. Akan mengantarkan gadis kecil ini pada ibunya saja. Karena biasanya, seorang anak itu akan lebih menurut apa kata ibunya. Benarkan?Gadis kecil itu mengangguk setuju. William tersenyum riang sebelum dengan baik hati menggendong anak itu dan meminta ditunjukan jalan.Ruang UGD-lah yang ternyata mereka tuju. Meski ranjang pasien tak sampai terisi semuanya. Tetapi, lumayan rame untuk ukuran hari biasa. Karena itulah, William kembali bertanya di mana tempat ibu sang bocah."Di sana." Bocah itu menunjuk pada satu ranjang pasien di pojok. Di tutupin tirai pembatas yang menyembunyikan setengah tempat tidur.Dengan santai William pun kembali melangkahkan kakinya. Masih menggendong gadis kecil bernama Angel itu. Yang juga masih memeluk lehernya dengan posesif.Tidak ada kecurigaan atau perasaan apa pun saat itu pada William. Niatnya ke sana hanya untuk mengembalikan Angel pada sang ibu dan memintanya membujuk gadis kecil itu untuk berhenti memanggilnya 'Papa'.Rasanya benar-benar tidak nyaman jika ada seorang bocah asing terus memanggilnya dengan sebutan itu. Apalagi, William juga belum menikah, juga merasa tak melakukan kekhilafan apa pun di masa lalu. Kekhilafan seorang pria atau apalah namanya. Jadi tidak mungkin rasanya dia akan tiba-tiba memiliki anak seperti dalam Novel yang sering kalian baca.Itu mustahil!"Mama?"Degh!Tubuh William pun seketika menegang. Saat akhirnya bisa melihat sosok yang masih terbaring di balik tirai tersebut. Itu kan ... tidak mungkin!"Angel, kamu ke mana saja?"Seorang perempuan lain di sana lalu menghampiri, mencoba meraih Angel. Namun, lagi-lagi bocah itu menolak. Malah menyusupkan wajahnya ke ceruk leher William.Sementara itu, William sendiri masih terpaku di tempatnya. Menatap tak percaya pada wanita cantik yang kini terpejam di atas ranjang.Itu ... Navisha!Benar! Dia Navisha!Gadis yang selama ini William cari dan--"Eh, Angel kok, gitu? Kok, main peluk orang sembarangan? Gak boleh, Sayang. Nanti Mama marah, loh." Wanita itu kembali bersuara. Memberi teguran halus. "Lagian itu siapa, Angel? Emang Angel kenal?" imbuh Wanita lagi."Ini Papa Angel!" beritahu Angel dengan tegas. Kali ini sukses membuat hati William tak karuan.Antara bingung, sedih, bahagia dan kecewa semua campur aduk jadi satu. Menghadirkan gemuruh hebat dalam hati William yang benar-benar menyesakan."Papa?" beo wanita dihadapannya tak kalah kaget dan bingung."Iya, ini Papa Angel!" Bocah itu kembali menegaskan. Membuat hati William mencelos sedih.Ini tidak mungkin!Navisha .... tidak mungkin! Rasanya William tak ingin mempercayai hal ini. Navisha memang mantannya di masa putih abu-abu. Tetapi, William yakin pasti belum pernah menyentuh gadis itu sedikit pun. Demi Tuhan, William tak sebrengsek itu!Lalu, .... Angel? Anak siapa dia?*Happy Reading*"Mama, kenapa kita pulang sekarang? Kenapa gak tunggu Papa?"Navisha tersenyum lembut menanggapi tanya sang anak. Tangannya lalu terulur mengusap sayang kepala si buah hati, yang memang selalu cerewet dan banyak bertanya. "Mama kan udah sembuh, makanya sudah boleh pulang kata dokter." Navisha menjawab sebisanya. "Tapi kenapa gak tunggu Papa?""Kan Papa kerja.""Tapi nanti Papa nyariin, gimana?""Kenapa harus nyariin. Kan kita pulangnya ke rumah. Kalau Papa mau mencari, pasti datang ke rumah." Navisha masih berusaha menjawab setenang mungkin. Berbanding terbalik dengan hati dan otaknya yang penuh dengan rasa was-was. Masalahnya, Angel itu anaknya cukup kritis. Kalau sudah menuntut jawaban, sebisa mungkin harus detail dan masuk logikanya. Kalau tidak, pasti akan terus di cecarnya."Memang Papa tahu rumah kita?" Angel masih mencecar."Tahu." (Semoga tidak) Navisha menambahkan dalam hatinya. "Kalau misal Papa gak datang, gimana?" Angel sepertinya belum mau melepaskan i
*Happy Reading*"Ayolah, Angel. Mama minta maaf, ya? Jangan marah lagi, okeh?" "Nggak! Angel pokoknya masih marah sama Mama!"Navisha mendesah lelah mendengar jawaban sang putri, entah untuk keberapa kali. Anaknya ini memang kadang menyebalkan jika sudah marah atau ada maunya. Membuat Navisha kadang frustasi menghadapinya. Heran, kenapa sih Angel keras kepala banget? Tiru siapa, coba? Mungkinkah ayahnya? Atau ...."Ya terus Mama harus gimana, Nak? Kan Mama juga gak bisa paksa Papa pulang sekarang. Kalau Bos-nya marah, lalu pecat Papa, gimana?" Navisha mencoba memberi pengertian pada sang anak. "Ya suruh aja kerja sama Mama!"Duh, bisa banget nih anak jawabnya. "Mana bisa begitu. Kan tempat kerjaan Mama gak boleh bareng sama pasangan." Navisha terpaksa berbohong lagi. Sumpah, ya! Ternyata benar kata orang dulu. Sekalinya kita melakukan kebohong dalam hidup. Maka kita akan terus berbohong demi menutupi kebohongan sebelumnya. Kalau dalam hutang ada istilah gali lobang tutup lobang.
*Happy Reading*"William mau masuk kelas, ya? Semangat ya belajarnya!""William aku udah taruh bekal di kolong meja kamu. Nanti di makan, ya?""William ke Kantin bareng, yuk!""William semangat main basketnya!""William kepilih lagi jadi wakil di olimpiade, ya? Wah Hebat! Aku bangga!""William jangan terlalu capek belajarnya. Ini udah waktunya makan, lho!"William!William!William!William!"Will?! Lo denger kita gak, sih!"Degh!William pun langsung terlonjak kaget. Saat seruan nyaring Fadly tertangkap rungunya. Bukan tertangkap, lebih tepatnya memang sengaja disuarakan sangat lantang pas di depan telinga. Membuat bukan hanya lamunan William saja yang langsung buyar, tapi juga telinganya langsung berdenging. Sakit sekali."Sialan, lo!" maki William Akhirnya, menatap tajam ke arah Fadly. Sayangnya, bukan wajah ketakutan yang William dapatkan. Malah cengiran konyol khas pria itu."Jangan salahin Fadly. Lo sendiri yang resek, ngelamun saat kita ajak nongkrong." Reinan membela Fadly.
*Happy Reading*Hening tercipta. Baik itu Gerald atau pun Navisha. Tidak ada yang berbicara lagi setelahnya. Bahkan para pengunjung di sana turut larut dalam cerita yang Navisha suguhkan. Seakan bisa merasakan kepedihan gadis itu. Padahal, Navisha tidak mengeluarkan Air mata sedikit pun. Namun tatapan tajamnya, seakan bercerita tentang rasa sakit yang sudah gadis itu pendam selama ini."Tapi gue butuh Angel, Nav. Urgent. Setidaknya, gue pinjem deh untuk satu bulan aja. Soalnya gue--""Butuh Angel untuk menerima warisan dari bokap lo yang sedang sekarat, iya kan?" tembak Navisha tepat sasaran. Membuat Gerald kembali terdiam."Lo ... tahu?" Gerald terbata di tempatnya berdiri dengan tatapan membulat. Sementara Navisha tersenyum miring penuh kemenangan. Tak lama, gadis itu menggeleng tak habis pikir dan menatap Gerald dengan muak."Lo emang udah gak tertolong, Rald." Navisha kecewa. "Lo bukan hanya tidak pantas jadi seorang ayah. Tapi juga manusia yang punya hati!"Navisha makin menatap
*Happy Reading*"Raid Anderson?" Beo William, yang langsung diangguki Reinan dengan pasti."Menurut info dari orang gue. Pria itu adalah pelindung Navisha selama ini. Tepatnya empat tahun ke belakang setelah Navisha memiliki Angel, anaknya." Reinan melanjutkan infonya. Entah kenapa, tiba-tiba rasa cemburu hadir begitu saja di hati William. Merasa iri pada pria yang bernama Raid Anderson itu."Jadi beneran si Nav-Nav sama Gerald pernah menikah dan punya anak?" Fadli menyambar dengan nada tak percaya."Kalau untuk hal itu gue gak tahu. Soalnya gue belum nyuruh orang gue menyelidikinya," sahut Reinan lagi. "Gue udah." William menyambar datar. Seraya mengeluarkan amplop coklat pemberian anak buahnya, yang langsung di raih Reinan dan Fadly dengan antusias. "Loh, kok?" Wajah bingung pun langsung tercetak jelas di wajah dua sahabat William itu paska membaca isi amplop tersebut."Kenapa di sini Navisha tertulis lajang dan belum menikah? Sementara kemarin kita lihat sendiri dia dan Gerald b
[Datanglah ke aula hotel xxx jam 20.00. Aku menunggumu]Navisha mengerjap pelan membaca pesan teks yang baru saja dikirim William. Ada rasa bingung tapi juga bahagia menerima pesan itu. Faktanya, sudah beberapa hari ini William mendiamkannya. Entah karena apa, tapi pria itu memang kerap melakukannya. Membuat Navisha sering galau sendiri. Padahal, Navisha selalu berkata jika dia punya salah, William harus memberitahukannya. Agar Navisha bisa segera memperbaikinya. Namun, William tetaplah William. Disuruh janji seperti apa pun, tetap saja akan memilih diam jika ada salah. Membuat Navisha sebal sekali. Untung cinta. Coba kalau tidak, sudah Navisha tinggalkan dari kapan tahu. "Astaga! Jangan-jangan ...." gumam Navisha agak terkejut setelah menyadari sesuatu.[Okeh! Aku akan dandan cantik untukmu!]Setelahnya, gadis itu segera mengirimkan balasan riang pada sang kekasih. Kembali mengabaikan rasa kesal akan sikap pria itu yang mirip cuaca di Indonesia. Suka berubah tanpa aba-aba. Bikin Na
"Papa?" Suara Angel mengembalikan Navisha pada bumi yang ia pijak saat ini. Wanita itu melirik gadis kecilnya yang ternyata sudah menghadap William dengan tatapan penuh harap.Navisha menelan saliva resah melihatnya. Takut jika pria itu akan menolak Angel, anaknya. Apa yang akan Navisha katakan pada putrinya nanti. Haruskah ia jujur saat ini.Gadis itu lalu refleks melirik pria yang Angle panggil Papa, yang ternyata juga tengah meliriknya. Katakan Navisha salah. Entah kenapa, ia seakan bisa melihat kerinduan pada tatap pria itu. Navisha pun segera membuang muka ke sembarang arah.Tidak mungkin! Mana mungkin ada rindu di sana, kan? Sementara Navisha yakin sekali jika saat ini sang mantan pasti sudah berkeluarga. Bukankah, dulu saat Navisha pergi, pria itu sudah bertunangan? Dan ini sudah enam tahun. Tidak mungkin jika pertunangan itu belum berlanjut ke arah lebih resmi. Ah, mengingatnya saja hati Navisha sudah kembali sakit. "A
Navisha kira, pertemuannya dengan William di rumah sakit akan menjadi terkahir kalinya untuk mereka. Siapa sangka, ternyata keesokan harinya pria itu kembali muncul. Kali ini di cafe tempatnya bekerja. Entah dari mana pria itu tahu tempat ini. Navisha memang tidak tahu jika sebenarnya William ada saat Gerald muncul waktu itu. Ia terlalu fokus mencari cara mengusir ayah kandung Angel tersebut. "Mbak, Nav. Pria yang di pojokan itu ngeliatin Mbak terus, loh. Kayaknya pengen kenalan," bisik Yopi saat Navisha mengisi ulang kue-kue yang telah kosong di etalasi. Navisha hanya mendesah berat mendengarnya. Tahu pasti siapa orang yang Yopi maksud. Pasti William. Tadi Navisha melihat pria itu memang duduk di pojokan. Tidak mengganggunya memang, hanya diam dan terus memperhatikan. Membuat Navisha tidak nyaman. "Aku gak tertarik," jawab Navisha acuh."Ganteng loh, Mbak. Kayaknya orang kaya juga. Kalau diperhatikan, vibesnya kek ceo-ceo muda di novel online. Yakin gak mau kenalan?" Yopi menaik
*Happy Reading*"Adek lagi apa?""Gambal""Gambar apa?"Bocah dua tahun itu pun menatap sang ibu sejenak, lalu mengarahkan jari telunjuk mungilnya ke arah gambar yang ia buat di sebuah batu di dekat sebuah nisan. "Ini Papa, ini Atta, ini Mama, ini tata," terangnya dengan riang dan bahasa yang belum sempurna, memperkenalkan satu persatu gambar abstrak yang ia buat. "Badus nda Mah, gambal adek?"Bagus. Adek pintar, ya?" Senyum sang anak lelaki itu pun semakin lebar dengan mata yang berbinar indah. "Tata nanti cuka nda?""Pasti suka.""Yeaayy! Adek mau tambah buna uat tata."Bocah dua tahun itu semakin semangat membuat gambar dengan crayon yang sengaja ia bawa dari rumah, di dekat nisan yang bertuliskan nama 'Angel'.Ya! Anak dan ibu itu adalah Navisha dan anaknya dengan William, yang sebentar lagi berusia dua tahun. Namanya Attala Malik Arsenio. Navisha tersenyum bahagia melihat keriangan sang anak. Lalu melirik nisan putrinya yang kini sudah tidak suram. Banyak gambar-gambar lucu y
*Happy Reading*"Kamu yakin akan hadir?"William melirik perut Navisha yang semakin membuncit. Usia kandungan istrinya kini telah menginjak sembilan bulan. William sangat khawatir, tapi istrinya ini sangat keras kepala dengan bersikukuh ingin menghadiri pernikahan Aida, salah satu rekan kokinya di cafe. Navisha yang sedang mematut diri di cermin menoleh. Mengangguk yakin penuh semangat. "Sangat yakin!"Navisha kembali mengalihkan tatapannya ada cermin dan mengambil lipmate warna nude yang amat ia suka. Wanita hamil itu memang dari dulu tidak suka memakai apa pun yang berwarna mencolok. "Sebagai ketua tim, aku harus hadir, Will. Apalagi Aida mengundang langsung aku waktu itu. Jadi nggak enak kalau sampai gak datang," terang Navisha lagi setelah polesan di bibirnya sempurna. "Tapi kandungan kamu--""Aku gak papa, Will. Percayalah!"Kehamilan memang membuat Navisha keras kepala. Semakin di larang, pasti akan semakin berontak. Entahlah, mungkin karena bawaan bayi mereka yang katanya be
*Happy Reading*"Jadi, berapa usianya?" tanya William sambil mengusap sayang perut Navisha yang sebenarnya masih rata. Saat ini mereka sudah berbaring berdua di atas brankar tempat William. Setelah tadi William langsung memeluk dan menghujani wajahnya dengan ciuman sekembalinya Navisha mencari seorang cleaning service untuk membersihkan muntahan William. Navisha sampai harus mencubit kengan William saking malunya pada si CS. Suaminya ini kalau skinship gak tahu tempat. Navisha merasa tak punya muka karena ulahnya. "Aku belum periksa ke dokter. Baru pake alat itu aja." Navisha menjawab seadanya. "Ya udah, besok kita periksa, ya? Aku gak sabar pengen liat dia. Kira-kira dia jagoan atau princess, ya?""Ya belum kelihatan lah!" Navisha memutar matanya malas. "Biasanya kalau untuk itu, minimal usia kandungan harus empat bulan dulu.""Oh, begitu ..." gumam William mengerti. "Ya udah gak papa. Tapi besok kita tetep periksa ya? Aku ingin tahu kondisinya."Navisha pun mengangguk setuju unt
*Happy Reading*Sepertinya Navisha memang terlalu menutup telinga selama ini. Sampai-sampai ia tidak tahu jika ternyata, Sonya tidak bisa melewati masa kritisnya. Ia meninggal beberapa hari setelah Angel tiada. Sementara Pak Jarwo, sejak menghadapi kebangkrutan ia stress. Apalagi kondisi anaknya pun tak kunjung membaik. Tak kuat menghadapi semua tekanan, Pak Jarwo pun nekad mengakhiri hidup. Sedangkan Gerald sendiri baru siuman dua bulan lalu dan langsung di adili. Navisha mendapat semua info tersebut dari Nissa. Sekembalinya dari makam Angel, Navisha memang langsung bertanya perihal ucapan Gerald saat itu, dan Nissa pun menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Kini, Navisha perasaan Navisha seperti dilema. Bingung harus senang atau sedih atas nasib Gerald saat ini. Akan tetapi yang jelas, ia merasa miris. Tidak pernah menyangka jika akhirnya semuanya akan seperti ini. "Nav?" Nissa menghampiri saat Navisha tengah fokus menghias sebuah kue tart pesanan seorang pelanggan. Wajahnya namp
*Happy Reading*Hubungan Navisha dan keluarga William semakin membaik setiap harinya. Ia kini bahkan menjadi kesayangan sang nenek. Mengambil alih posisi yang selama ini William tempat di hati sang nenek. Akan tetapi, William tidak cemburu sama sekali. Pria itu malah turut bahagia karena hal itu membuat sang kakek makin tidak bisa berulah lagi. Bukan maksud meragukan niat tobat kakek Wirya. Namun, William masih tak bisa percaya begitu saja setelah apa yang ia alami selama ini. Hubungan Navisha dan William pun berbanding sejalan dengan hubungan sang istri dan keluarganya. Mereka semakin hari semakin harmonis dan lengket. Meski terlambat, William benar-benar menepati janjinya yang ingin mengganti semua kenangan pahit saat pacaran dengan kenangan baru yang membahagiakan. Mereka pacaran lagi, tapi versi halal. Mengulang moment penting yang pernah sangat Navisha idamkan tapi William abaikan. Mengunjungi tempat-tempat yang dulu menjadi goresan luka di hati sang wanita, menggantinya denga
*Happy Reading*"Kok malah jadi tegang gitu kalian? Gak suka ya nenek datang ke sini?" Suara Mariam, nenek William memecah keheningan yang seketika terjadi di sana. Navisha yang masih kaget karena kedatangan kakek dan nenek yang tiba-tiba, melirik William refleks. Ternyata pria itu pun melakukan hal sama dengannya. Yaitu melirik Navisha dengan raut kaget dan bingung.Beruntung William cepat menguasai diri. Setelah berdehem pelan satu kali. Pria itu segera menghampiri sang nenek sambil tersenyum. "Mana ada, Nek," bantahnya. "Kami senang kok dengan kedatangan nenek." William menyalami tangan nenek Mariam dengan khidmat, tapi tidak melakukan hal yang sama pada si Kakek. Mungkin pria itu masih menyimpan dendam. Melihat hal itu, Navisha pun turut mendekat dan melakukan hal yang sama. Yaitu mencium punggung tangan wanita itu dengan sopan. Namun berbeda dengan William, Navisha tidak mengabaikan sang kakek. Istri William mencium punggung tangan Kakek Wirya dengan sopan. Dan hebatnya kali
*Happy Reading*Siang itu, saat Navisha sedang mengadakan video call bersama Nissa dan Aida, untuk membahas solusi pesanan cafe yang membludak sementara ia masih tak bisa pulang. Navisha di kejutkan oleh raungan William dari arah ruang tengah. Khawatir terjadi sesuatu dengan sang suami, Navisha pun mengakhiri meeting virtualnya dan gegas menghampiri tempat sumber suara. "Ampun, Tuan. Ampun! Tolong maafkan saya dan Dian. Kami ... khilaf. Kami janji tak akan melakukannya lagi. Kamu--""Cukup!"Saat Navisha datang, terlihat Bu Irah serta anaknya, Dian tengah berlutut dan di depan William yang kini tampak seperti tengah murka sekali. Ada dua dari empat satpam juga di sana, yang biasa berjaga di rumah ini.Ada apa?"Saya tidak ingin mendengar apa pun alasan kalian. Sekarang pilih saja, kembalikan apa yang sudah kalian curi dari rumah ini, atau kalian akan saya polisi, kan!" ucap William dingin dan tak bersahabat. "Jangan, Tuan! Saya mohon! Saya gak mau masuk penjara," hiba Bu Irah lagi.
*Happy Reading*Navisha tidak tahu apa yang William dan sang kakek bicarakan. Pria itu mengajak kakeknya berbicara di ruang kerja, sementara istrinya diminta untuk ke kamar istirahat. Navisha kepo. Tentu saja! Tetapi tahu dosa jika sampai melawan titah sang suami. Akhirnya, di sinilah dia sekarang. Mondar-mandir layaknya setrikaan di dalam kamar mereka."Aduh, gue kepo! Boleh nguping gak, sih?" Navisha bermonolog saat merasa tak kuasa lagi menahan rasa penasaran yang hampir meledakan kepalanya sendiri. "Jangan, ah! Bisa berabe kalau sampai ketahuan." Wanita itu menggeleng cepat. "Kakek Wirya udah benci bisa tambah benci kalau sampai hal itu terjadi. Nilai gue makin minus nanti di matanya." Navisha kembali bermonolog dengan batin yang ikut berperang saat ini. "Tapi gue kepo ya ampun. Bisa botak gue kalau lama-lama begini," desahnya putus asa. "Tau, ah. Dari pada pusing mending bikin kue aja." Navisha pun mengambil alternatif lain guna mengalihkan pikirannya. Wanita itu memutuskan
*Happy Reading*"Maaf untuk semua luka yang sudah aku goreskan di masa lalu. Aku janji akan mengobatinya dan menambal luka itu dengan kebahagiaan yang akan ku usahakan sebaik mungkin mulai saat ini. Aku tahu kenangan lama yang pahit itu tak akan pernah bisa aku hapus. Maka untuk menebusnya, aku akan berusaha menutupi kenangan itu dengan kenangan baru dan kebahagiaan baru. Kamu mau kan memberikan kesempatan untukku melakukan hal itu?"William menutup kejutan manisnya dengan janji tersebut. Dan Navisha pun bersedia memberikan kesempatan itu. Toh, sejak menikah pun William sudah menunjukan perubahannya. Karenanya, tidak ada salahnya kan untuk Navisha membuka hatinya untuk pria itu sekali lagi, kan? Lebih dari itu, Navisha tidak ingin terus membohongi diri. Cinta itu masihlah ada untuk seorang William sebenarnya. ***William membuktikan janjinya dengan tiba-tiba mendatangkan seorang arsitek ke rumah mereka. Saat di tanya untuk apa? Pria itu menjawab untuk mengubah interior dapur dan semu