“Kenapa kau mengajakku ke sini?” Suara Selena bertanya dengan nada dingin dan ketus kala mobil yang dilajukan oleh Samuel telah terparkir di salah satu restoran mewah yang ada di Brooklyn. Sejak tadi Selena memang tak bertanya ke mana Samuel mengajaknya. Lebih tepatnya setelah perdebatan memang Selena lebih memilih diam. Terlebih perkataan Samuel tadi telah sukses membuat Selena membisu. “Aku memiliki undangan makan siang bersama dengan rekan bisnisku.” Samuel memarkirkan mobilnya ke halaman parkir yang ada di restoran itu. Lantas dia mematikan mesin dan mencabut kunci mobilnya. Terdengar nada bicara datar kala menjawab pertanyaan Selena itu. “Kau mengajakku ke sini karena undangan makan siang bersama rekan bisnismu?” ulang Selena yang tampak begitu terkejut.Samuel mengangguk singkat merespon ucapan Selena. Selena mendecakan lidahnya. “Untuk apa kau membawaku, Samuel? Kau bisa datang sendiri. Atau kalau memang kau ingin mengajak wanita kau bisa mengajak yang lain. Jangan aku.”
“Samuel sialan! Berengsek! Kenapa dia tidak mati saja?!” Selena mengusap wajahnya dengan kasar seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Sungguh, Selena membenci kejadian tadi. Kejadian di mana dirinya merespon bibir Samuel. Shit! Selena mengumpat dalam hati. Harusnya yang Selena lakukan adalah mendorongnya Samuel tapi malah kenyataan dia membalas pagutan pria itu. Selena yakin otaknya ini sudah tidak waras dan tak lagi berfungsi dengan baik. Sejenak, Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan napasnya perlahan. Benak Selena memikirkan bagaimana cara dia segera kembali ke London. Tidak mungkin dia akan tetap terjebak di mansion Samuel ini. Cepat atau lambat pasti keluarganya akan mulai mencium tentang dirinya dan Samuel. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Selena tak akan membiarkan sampai keluarganya mengetahui tentang dirinya dan Samuel. Suara dering ponsel terdengar, Selena segera mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Lantas Selena menatap ke layar ponselnya itu. N
Selena menghela napas dalam. Wanita itu duduk di ranjang seraya menyandarkan punggung di kepala ranjang. Terlihat wajah Selena begitu muram. Benak Selena memikirkan tentang cara kepulangannya ke London. Tadi saat makan malam sebenarnya Selena ingin berbicara dengan Samuel. Namun karena Samuel membuatnya kesal, terpaksa Selena mengurungkan niatnya. Emosi Selena tadi terpancing karena Samuel mengajari Oliver yang tidak-tidak. Sungguh, Selena merutuki kebodohannya dulu jatuh cinta pada pria seperti Samuel. Selena memijat pelipisnya pelan. Waktu sudah menunjukan pukul satu pagi tapi Selena tak kunjung mengantuk. Kepalanya terlalu banyak memikirkan sesuatu. Terutama tentang dirinya dan Samuel. Sejak di mana asistennya mengatakan ayahnya mencari dirinya, itu membuat Selena kian cemas. Ditambah Jenia—asistennya itu mengatakan kalai ayahnya mulai mencurigai sesuatu. Selena mengalihkan pandangannya hendak mengambil air putih yang ada di atas nakas. Namun gerak Selena terhenti kala melihat
Selena mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar. Wanita itu tampak semakin gelisah mengingat perkataan Samuel akan ikut dengannya ke London. Sungguh, wanita itu tidak mengerti dengan cara jalan pikiran Samuel. Beberapa kali Selena menolak tapi tetap saja Samuel memaksa. Ingin sekali Selena membawa lari Oliver tapi apa mungkin bisa? Selena menyadari dirinya tak mampu melawan Samuel seorang diri. Selena menghela napas dalam. Benaknya tak henti mencari cara. Pesan Jenia yang memintanya untuk segera kembali ke London tak bisa disepelekan. Itu artinya Jenia sudah memberikan peringatan adanya tanda bahaya. Dan tentu Selena harus gerak cepat sebelum ayahnya tahu semuanya. Jujur, pernah terbesit dalam benak Selena untuk meminta bantuan Miracle—saudara kembarnya. Dengan kekuasaan yang dimilik Mateo De Luca—suami Miracle pasti bisa membantu dirinya terbebas dari sini. Namun, permasalahannya adalah Mateo dan Samuel memiliki hubungan baik dalam hal pertemanan atau pun dalam hal pekerjaan. Jik
Samuel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pria itu melirik Selena sebentar. Tampak senyuman di wajah Samuel terlukis kala melihat Selana tertidur begitu pulas. Ya, sejak pembicaraan tadi, mereka tak lagi berbicara sepatah kata pun. Bahkan dikala tadi Samuel meminta Selena memberikan kesempatan kedua untuknya, tetap saja wanita itu tak menggubris permintaannya. Samuel menyadari apa yang dia lakukan dulu memang tak akan mungkin dengan mudah termaafkan. Samuel membawa tangannya membelai pipi Selena. Dulu, Selena memiliki pipi yang tirus. Tubuh begitu langsing. Sekarang setelah Selena pernah melahirkan, wanita itu memiliki tubuh sedikit padat berisi dan membuat Samuel semakin menyukainya. Tak lama kemudian, mobil yang dilajukan Samuel mulai memasuki halaman parkir mansionnya. Lantas Samuel menoleh pada Selena dan hendak membangunkan. Namun, Samuel mengurungkan niatnya kala melihat Selena yang tertidur begitu pulas. Jarak dari hutan ke mansion memang tak dekat. Tidak heran jika
“Papa? Apa benar besok kita ke London?” Suara Oliver berucap polos seraya melangkah mendekat pada Samuel yang tengah membaca koran di taman belakang mansion. Tepat disaat Oliver mendekat, Samuel langsung menggendong tubuh Oliver dan memindahkannya ke pangkuannya. “Iya, Boy. Besok kita akan ke London. Kita akan bertemu dengan Grandpa-mu.” Samuel mengecupi pipi bulat Oliver. Namun sayangnya jawaban Samuel itu bukan membuat Oliver senang. Melainkan wajah Oliver berubah menjadi muram. “Hey, Boy. Kenapa kau sedih seperti ini?” Samuel mencubit pelan hidung mancung nan mungil Oliver. Wajah Oliver jelas menunjukan kesedihan. Bibir mungil merah jambu Oliver tertekuk. Raut muram terlihat jelas di wajah tampan bocah laki-laki itu. “Kalau nanti aku bertemu Grandpa bersama dengan Papa; Grandpa mau tidak bermain denganku? Aku ingin bermain dengan Grandpa, Papa. Aku ingin disayang Grandpa.” Mata Oliver berkaca-kaca nyaris ingin menangis. “Bukankah aku pernah bilang, laki-laki dilarang menangi
Selena duduk di tepi ranjang dengan raut wajah yang gelisah. Sebentar lagi dia dan Samuel beserta Oliver akan pergi ke London. Sejak tadi malam hatinya menjadi tidak tenang. Bayangan terjadi sesuatu muncul dalam benaknya. Selena akui dia memang akhirnya mengizinkan Samuel bertemu dengan keluarganya tetapi mengizinkan bertemu bukan berarti membuka hatinya. Membuka hati untuk Samuel adalah hal yang harus Selena pikiran jutaan kali. Penderitaan yang dia alami selama lima tahun bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Banyak pengorbanan yang telah dia lakukan. Namun, Selena pun menyadari akan sangat tidak mungkin terus-terusan menutupi tentang Oliver adalah anak Samuel. Mungkin jika Samuel masih belum tahu tentang Oliver; maka dia akan bisa menutupi rahasia ini selamanya. Tapi sekarang berbeda, Samuel telah mengetahui tentang Oliver. Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Sungguh, hati Selena benar-benar merasa tak nyaman. Kekhawatiran dan rasa takut menelusup dalam d
Selena menatap ke luar jendela. Kini dia bersama dengan Oliver dan Samuel tengah berada di dalam mobil. Tampak sorot mata Selena menunjukan memiliki jutaan hal yang ada dalam benaknya. Pancaran matanya memancarkan kecemasan yang menyelimuti dirinya. Cemas. Takut. Khawatir. Melebur menjadi satu. Selena seperti sedang mengantarkan sendiri nyawanya. Sungguh, ucapan Vian tadi membuat jantung Selena berpacu begitu keras. “Apa yang kau pikirkan, Selena?” Samuel membawa tangannya membelai pipi Selena. Sejak tadi sebenarnya Samuel bisa melihat kalau ada yang menjadi beban pikiran Selena. Namun, Selena memilih diam. Mungkin karena ada Oliver di tengah-tengah mereka. Itu kenapa Selena tak berani mengeluarkan suara sedikit pun. “Tidak. Aku tidak memikirkan apa pun,” jawab Selena pelan seraya menatap Oliver yang duduk di pangkuannya dengan tertidur pulas. Beruntung, Oliver tertidur. Paling tidak, Oliver tak melihat wajahnya yang muram. Samuel terdiam beberapa saat. Tatapan tak lepas menatap ma
Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu