Selena mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar. Wanita itu tampak semakin gelisah mengingat perkataan Samuel akan ikut dengannya ke London. Sungguh, wanita itu tidak mengerti dengan cara jalan pikiran Samuel. Beberapa kali Selena menolak tapi tetap saja Samuel memaksa. Ingin sekali Selena membawa lari Oliver tapi apa mungkin bisa? Selena menyadari dirinya tak mampu melawan Samuel seorang diri. Selena menghela napas dalam. Benaknya tak henti mencari cara. Pesan Jenia yang memintanya untuk segera kembali ke London tak bisa disepelekan. Itu artinya Jenia sudah memberikan peringatan adanya tanda bahaya. Dan tentu Selena harus gerak cepat sebelum ayahnya tahu semuanya. Jujur, pernah terbesit dalam benak Selena untuk meminta bantuan Miracle—saudara kembarnya. Dengan kekuasaan yang dimilik Mateo De Luca—suami Miracle pasti bisa membantu dirinya terbebas dari sini. Namun, permasalahannya adalah Mateo dan Samuel memiliki hubungan baik dalam hal pertemanan atau pun dalam hal pekerjaan. Jik
Samuel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pria itu melirik Selena sebentar. Tampak senyuman di wajah Samuel terlukis kala melihat Selana tertidur begitu pulas. Ya, sejak pembicaraan tadi, mereka tak lagi berbicara sepatah kata pun. Bahkan dikala tadi Samuel meminta Selena memberikan kesempatan kedua untuknya, tetap saja wanita itu tak menggubris permintaannya. Samuel menyadari apa yang dia lakukan dulu memang tak akan mungkin dengan mudah termaafkan. Samuel membawa tangannya membelai pipi Selena. Dulu, Selena memiliki pipi yang tirus. Tubuh begitu langsing. Sekarang setelah Selena pernah melahirkan, wanita itu memiliki tubuh sedikit padat berisi dan membuat Samuel semakin menyukainya. Tak lama kemudian, mobil yang dilajukan Samuel mulai memasuki halaman parkir mansionnya. Lantas Samuel menoleh pada Selena dan hendak membangunkan. Namun, Samuel mengurungkan niatnya kala melihat Selena yang tertidur begitu pulas. Jarak dari hutan ke mansion memang tak dekat. Tidak heran jika
“Papa? Apa benar besok kita ke London?” Suara Oliver berucap polos seraya melangkah mendekat pada Samuel yang tengah membaca koran di taman belakang mansion. Tepat disaat Oliver mendekat, Samuel langsung menggendong tubuh Oliver dan memindahkannya ke pangkuannya. “Iya, Boy. Besok kita akan ke London. Kita akan bertemu dengan Grandpa-mu.” Samuel mengecupi pipi bulat Oliver. Namun sayangnya jawaban Samuel itu bukan membuat Oliver senang. Melainkan wajah Oliver berubah menjadi muram. “Hey, Boy. Kenapa kau sedih seperti ini?” Samuel mencubit pelan hidung mancung nan mungil Oliver. Wajah Oliver jelas menunjukan kesedihan. Bibir mungil merah jambu Oliver tertekuk. Raut muram terlihat jelas di wajah tampan bocah laki-laki itu. “Kalau nanti aku bertemu Grandpa bersama dengan Papa; Grandpa mau tidak bermain denganku? Aku ingin bermain dengan Grandpa, Papa. Aku ingin disayang Grandpa.” Mata Oliver berkaca-kaca nyaris ingin menangis. “Bukankah aku pernah bilang, laki-laki dilarang menangi
Selena duduk di tepi ranjang dengan raut wajah yang gelisah. Sebentar lagi dia dan Samuel beserta Oliver akan pergi ke London. Sejak tadi malam hatinya menjadi tidak tenang. Bayangan terjadi sesuatu muncul dalam benaknya. Selena akui dia memang akhirnya mengizinkan Samuel bertemu dengan keluarganya tetapi mengizinkan bertemu bukan berarti membuka hatinya. Membuka hati untuk Samuel adalah hal yang harus Selena pikiran jutaan kali. Penderitaan yang dia alami selama lima tahun bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Banyak pengorbanan yang telah dia lakukan. Namun, Selena pun menyadari akan sangat tidak mungkin terus-terusan menutupi tentang Oliver adalah anak Samuel. Mungkin jika Samuel masih belum tahu tentang Oliver; maka dia akan bisa menutupi rahasia ini selamanya. Tapi sekarang berbeda, Samuel telah mengetahui tentang Oliver. Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Sungguh, hati Selena benar-benar merasa tak nyaman. Kekhawatiran dan rasa takut menelusup dalam d
Selena menatap ke luar jendela. Kini dia bersama dengan Oliver dan Samuel tengah berada di dalam mobil. Tampak sorot mata Selena menunjukan memiliki jutaan hal yang ada dalam benaknya. Pancaran matanya memancarkan kecemasan yang menyelimuti dirinya. Cemas. Takut. Khawatir. Melebur menjadi satu. Selena seperti sedang mengantarkan sendiri nyawanya. Sungguh, ucapan Vian tadi membuat jantung Selena berpacu begitu keras. “Apa yang kau pikirkan, Selena?” Samuel membawa tangannya membelai pipi Selena. Sejak tadi sebenarnya Samuel bisa melihat kalau ada yang menjadi beban pikiran Selena. Namun, Selena memilih diam. Mungkin karena ada Oliver di tengah-tengah mereka. Itu kenapa Selena tak berani mengeluarkan suara sedikit pun. “Tidak. Aku tidak memikirkan apa pun,” jawab Selena pelan seraya menatap Oliver yang duduk di pangkuannya dengan tertidur pulas. Beruntung, Oliver tertidur. Paling tidak, Oliver tak melihat wajahnya yang muram. Samuel terdiam beberapa saat. Tatapan tak lepas menatap ma
“Jelaskan apa maksud Oliver!” Suara William berteriak begitu keras dan menggelegar memenuhi ruangan. Sontak membuat para wanita di sana terkejut. Pun Oliver yang memeluk kaki William langsung terkejut. Bocah laki-laki itu tampak menunjukan jelas ketakutannya kala mendengar teriakan William. “William, tenangkan—”“Diam, Marsha!” bentak William keras pada istrinya. Bulir air mata Oliver mulai menetes kala melihat kemarahan William. Oliver melangkah maju seraya menyeka matanya dengan tangan mungilnya. “Grandpa jangan membenci Papa. Aku menyayangi Papa. Kalau Grandpa mau membenciku tidak apa-apa tapi jangan membenci Papa. Aku sayang Papa, Grandpa,” isaknya sesegukan. “Oliver.” Samuel dan Selena hendak menyentuh Oliver, namun dengan sigap Sean menarik kasar tangan Selena agar menyingkir menjauh dari Oliver. Sean melangkah maju tepat di hadapan Samuel. Kini Sean dan Samuel saling melemparkan tatapan tajam satu sama lain. Tatapan yang jelas menunjukan kemarahan mereka. “Bawa Oliver masu
“Lain kali gunakan dua pisau atau lebih. Satu pisau terlalu mudah untukku.” Suara Samuel menjawab dengan santai dan tenang namun tetap tersirat tegas. Sepasang iris mata cokelat Samuel menatap William yang menunjukan jelas rasa kesal tertahan dalam dirinya. Namun sejak tadi Samuel mampu mengendalikn dirinya. Sorot mata William dan Sean menajam menatap Samuel. Sedangkan Dominic—bungsu laki-laki dari keluarga Geovan itu masih bergeming di tempatnya seraya memberikan tatapan yang memiliki jutaan arti. Dominic terlihat tenang meski wajahnya dingin, tegas, dan arogan. “Lebih baik kau angkat kaki kau dari rumahku. Sebelum aku melayapkanmu dengan tanganku sendiri,” desis William penuh ancaman dan peringatan pada Samuel yang berdiri di hadapannya. Samuel melangkah mendekat pada William. Tak ada sedikit pun rasa takut. Nyatanya Samuel menunjukan jelas tanggung jawabnya. Jika dia takut berhadapan dengan William maka dia tidak akan mungki berani membawa Selena dan Oliver bertemu dengan Willi
“Sssst.” Samuel sedikit meringis kala Selena mengobati luka lebam di wajahnya. Bibir Samuel sedikit pecah akibat pukulan yang disebabkan oleh William dan Sean. Namun, meski pukulan itu keras tetap saja Samuel masih mampu berdiri tegap dan tak mudah tumbang. “Kenapa kau tidak melawan ketika ayahku dan kakakku memukulmu?” Selena memasukan kembali obat-obat yang dia gunakan ke kotak obat. Lantas wanita itu menatap lekat Samuel. Menunggu jawaban dari Samuel. Selama perkelahian, Selena pikir Samuel akan melawan ayah atau kakaknya. Tapi ternyata tidak. Samuel membiarkan ayah dan kakaknya itu memukul. Bahkan Samuel tidak melakukan pembelaan sedikit pun. Padahal jelas Selena yakin Samuel mampu melawan ayah atau kakaknya itu. Senyuman samar di wajah Samuel terlukis. Lantas pria itu menarik tangan Selena agar duduk didekatnya. Dia tak suka jika berbicara dengan jarak yang jauh. Terlihat Selena sedikit terkejut kala Samuel menarik tangannya. Namun jika Selena memberontak, dia tak tega. Pasaln
“Shit!” Brianna mengumpat dalam hati seraya memukul setir mobilnya. Raut wajah Brianna berubah dingin dan memendung kekesalan mendalam. Yang membuat Brianna emosi adalah Dean membawa Joice tanpa bilang apa pun padanya. Andai saja Dean bukanlah pria yang menjadi teman kencan satu malamnya dulu, maka Brianna tak akan sekesal ini. Tidak bisa dipungkiri, Brianna takut kalau Dean merampas Joice dalam hidupnya. Selama ini Brianna nyaman akan orang-orang beranggapan Joice adalah anak kandung Ivan. Dan sekarang, Brianna harus menghadapi kenyataan serumit ini. Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Brianna mengambil ponselnya—dan menatap ke layar terpampang nama Dwyne—asistennya. Ya, sekitar sepuluh menit lalu, Brianna meminta asistennya untuk mencari nama Dean. Tak mungkin Brianna bertanya pada Samuel ataupun Selena. Masalah akan semakin rumit jika sampai Samuel dan Selena tahu. “Kau sudah mendapatkan alamat Dean?” jawab Brianna kala panggilan terhubung. “Sudah, Nyonya. Saya sudah mendap
Suara bell sekolah berbunyi menandakan siswa dan siswi diperbolehkan untuk pulang. Pelajaran pun telah berakhir. Terlihat Joice dan Oliver begitu bersemangat untuk pulang. Terlebih Joice yang sejak tadi mengusap-usap perut buncitnya menandakan bahwa Joice sudah sangat lapar. Memang Joice terkenal dengan tak bisa menahan lapar sedikit. Ditambah di kelas siswa dan siswi dilarang untuk makan. Hanya diperbolehkan minum saja. Tapi minum mana bisa membuat Joice kenyang? “Oliver, ayo cepat sedikit. Aku sudah lapar, Oliver. Sopir pasti sudah menjemput kita di depan kan?” ujar Joice meminta Oliver untuk cepat. Pasalnya, Oliver sangat lama sekali memasukan kotak pensil ke dalam tas. Oliver mendengkus. “Sabar, Joice. Kalau aku diburu-buru nanti ada barangku yang tertinggal.” Bibir Joice mencebik. Gadis kecil itu langsung memiliki inisiatif membantu Oliver—memasukan barang-barang milik Oliver ke dalam tas Oliver. Pun Oliver tak mengomel kala Joice membantunya. “Sudah selesai.” Joice berucap
Brianna menatap hangat Joice yang tengah memakan ice cream. Tatapan mata Brianna tak lepas menatap Joice begitu dalam. Tatapan menatap Joice penuh kasih sayang seorang ibu. Mata Brianna hendak mengeluarkan air mata, namun dengan cepat Brianna menahan diri agar tak meneteskan air mata. Brianna tidak mau sampai Joice melihatnya bersedih. Ivan—mantan suami Brianna sekarang telah masuk penjara. Keluarga Maxton dan keluarga Geovan sudah tahu kalau tentang penculikan Brianna dan Selena. Tentu saja William—ayah Selena mengamuk dan sampai datang ke penjara karena ingin memukul Ivan. Pun Kelton juga sampai datang ke penjara karena ingin menghajar Ivan. Namun, Samuel segera mencegah karena Samuel tak ingin masalah semakin rumit. Semua telah berlalu. Masalah tentang Ivan pun telah selesai. Pada akhirnya yang jahat akan mendapatkan balasan dari apa yang telah mereka perbuat. Akan tetapi ada suatu hal yang mengganggu pikiran dan Brianna saat ini. Sesuatu yang selalu membuat Brianna merasakan kek
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu