Abizar yang tidak bisa berhenti bersendawa menyetir ke Masjid sambil mengantuk. Azan Subuh sudah berkumandang, Abizar menghentikan mobilnya sejenak di jalan yang sepi untuk menikmati kumandangan adzan. Setelah selesai, Abizar kembali mengendarai mobilnya, sesekali melirik Mawar yang nyaris tertidur, kepalanya sudah sempoyongan.
“Turun, kita salat Subuh dulu baru pulang.”
Mawar mengiakan. Keduanya turun. Abizar pergi ke ranah lelaki, Mawar segera ke kamar mandi perempuan. Ikhamat dikumandangkan, barisan lelaki lumayan ramai berbeda dengan barisan perempuan yang cukup sepi. Setelah kedua salam dan panjatan doa, Mawar bergegas melepaskan mukenahnya. Sedikit disingkapkannya tirai, mengecek kegiatan Abizar. Ternyata Abizar masih melakukan dzikir tambahan, Mawar hanya tersenyum.
Tanpa Mawar sadari seorang lelaki masuk ke ranah perempuan saat masjid mulai sepi. Lelaki itu berjongkok di belakang punggung Mawar, memerhatikan gerak-gerik Mawar yang tengah meng
Mawar berjalan menuju parkiran dengan langkah cepat, sesekali menoleh ke belakang, Rebi masih berdiri di atas teras masjid. Mawar segera menundukkan kepalanya, andai Rebi datang lebih cepat … sebelum Abizar mengungkapkan semua isi hatinya, maka sudah sedari tadi Mawar akan ikut bersama Rebi, langsung pulang ke kampung dan tentu saja di depan orang tuanya Mawar akan menerima lamaran Rebi. “Tuan?” Mawar menengok ke kaca mobil, Abizar terlelap di bangku setir. Lelaki itu mendengkur. Mawar tersenyum, tanpa sadar tangannya terulur dan menyentuh rambut-rambut lebat Abizar. Mawar menepuk pipi lelaki itu, membuat Abizar terbangun. Lelaki itu bergumam ngantuk, “ah, maaf. Aku ketiduran.” Abizar mengerjap-ngerjap, pandangannya masih buram. “Biar aku saja yang menyetir, Tuan.” 
“Ini rumahku, bukan tempat reunian dengan mantan.” Abizar selalu muncul mendadak bak hantu. Lelaki itu ada di depan teras. Rambutnya berantakan, kakinya terbuka dan wajahnya pucat. Mawar gelagapan, dengan isyarat mata menyuruh Rebi pergi. Dengan tidak rela Rebi menjauh pergi, Mawar bingung bagaimana menjelaskannya kepada sang majikan yang kini menatapnya dingin.“Itu mantan pacarmu? Kenapa ada di sini? Kamu mengundangnya kemari?”Bibir Mawar mendesis. “Jangan salahpaham dulu, Tuan.”Abizar mendekat, hidungnya menangkap sebuah aroma yang begitu memabukkan. Abizar mendekatkan hidungnya, lalu bergumam. “Hem, rambutmu harum sekali. Ini parfumku ‘kan?” Mawar hanya bisa menunduk kalem, Abizar lupa kalau ini adalah ulahnya beberapa saat yang lalu. Abizar tidak bisa berhenti menghirup aroma kepala Mawar. Mawar yang lebih dulu menjauhkan diri, takut tuannya kelepasan.“Lebih baik cuci saja rambutmu.&rdquo
“Kapan Anda pulang, Tuan? Nggak akan kemalaman ‘kan. Nggak baik, loh di rumah gadis yang nggak ada mahramnya.”“Setelah selesai, aku akan langsung pulang. Mungkin besok atau lusa.”Setelah selesai? Selesai apa? Besok atau lusa? Lama sekali!Mawar ingin protes tapi Abizar sudah pergi lebih dulu. “Jaga rumah,” pesan Abizar dengan senyum terakhir yang hilang di balik pintu disertai sebuah salam yang sudah tidak berarti lagi.Ternyata benar sampai malam Mawar menunggu di teras depan pintu rumah, Abizar tidak kembali. Apa yang dia lakukan dengan Layla? Apakah mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih lalu memutuskan untuk menikah?Tapi kenapa Abizar sampai selama ini bersama Layla, apa mereka …? Mawar menggelengkan kepala kuat. Dia tidak boleh menuduh meski cuma di dalam kepala.“Anda lama sekali, Tuan .,,,” Mawar meringis.>><<Siang sebelumnya, setela
Sesampainya Abizar dengan Layla di Saudi, Abizar mengantar Layla langsung ke rumahnya. Orang tua Layla terkejut melihat kehadiran putri semata-wayang mereka bersama dengan Abizar. Awalnya mengira Abizar menyetujui pernikahan ini dan ingin menemui calon mertuanya langsung agar merestui pernikahan mereka yang akan dilaksanakan secepatnya. Tapi harapan itu ambyar saat melihat raut wajah Layla yang ditekuk. Sepanjang perjalanan wanita itu berusaha menangis tangis, kesedihan benar-benar tercerminkan di matanya.Kedua orangtuanya hanya bisa menghela napas dan pasrah. Berterimakasih kepada Abizar yang sudah mengantar putri mereka pulang. Mereka tidak bisa menyalahkan Abizar, pernikahan ini memang hanyalah keinginan sepihak dari Omar tanpa meminta persetujuan anak sulungnya terlebih dahulu.“Dengan segenap jiwa saya meminta maaf ….” Abizar terlihat merasa bersalah. Ukiran topeng di wajahnya benar-benar bagus. Dia bertekuk di depan ibu dan ayahnya Layla. Abiz
Di parkiran bandara, Mawar ikut masuk ke mobil Abizar. Saat majikannya menyetir, Mawar memberanikan diri untuk bertanya. “Kita mau kemana, Tuan …?”“Hotel.”Mawar langsung gemetar. “Anda … tega melakukan itu kepada saya, Tuan?” Kedua lengannya mendekap diri sendiri. “Bukannya Anda bilang lebih baik berenang di air panas daripada memeluk saya, apalagi ingin ….”Abizar menghembuskan napas kesal. “Aku menginap di hotel. Berarti selama di Saudi, kamu juga akan menginap di hotel. Tentu saja di dua kamar yang berbeda, tapi bersebelahan. Dimohon untuk mencuci otak kotormu itu, Mawar. Itu membuatku terpancing.”Mawar menghela napas lega, sedikit memberanikan diri untuk kembali bertanya. “Kenapa Anda tidak menginap di rumah ayahmu, Tuan?”“Belum siap mental.” Abizar menjawab singkat.“Kenapa begitu?”“Rumah itu besar. Si O
Tok, tok, tok.Ckrek! Setelah ketukan tersebut, Mawar malah membukakan pintu. Dengan polosnya perempuan itu bertanya, “ada apa, Tuan? Mengetuk malam-malam begini?”“Sial,” Abizar berdesis. Tatapannya tajam dan lurus ke arah Mawar. “Apa kamu lupa? Sudah kubilang, tuanmu ini berbahaya! Kenapa kamu malah membukakan pintu, bodoh! Bagaimana kalau aku malah berniat macam-macam padamu!” Abizar berteriak serak. Mata Mawar melebar, dia baru ingat. Saudi yang cuacanya panas bahkan di malam hari membuat ingatan Mawar sedikit terganggu.“Begitu, ya Tuan? Lalu kenapa Anda mengetuk pintu?”Pertanyaan Mawar yang terdengar luwes.“Aku hanya mengetesmu, ternyata kamu tidak berhati-hati! Padahal sudah kubilang, aku ini berbahaya!”“Anda masih sama seperti biasanya,” Mawar tersenyum. “Kalau tidak ada keperluan, kututup lagi, ya Tuan?” Brak! Pintu kembali ditutup oleh Mawar dan
Akibat kenekatan Abizar yang mengebut di jalanan yang memang sepi di tengah malam, mereka sampai di bangunan besar rumah Omar yang sempat mereka lewati sebelumnya dalam waktu 20 menit. Satpam yang masih berjaga di gerbang jam segini langsung membukakan gerbang saat mengenali Abizar yang menunggu di depan ambang gerbang itu dengan sabar.Saat Abizar fokus mengendarai mobilnya masuk ke halaman rumah yang begitu luas. Mawar tidak bisa berhenti melongo. Besarnya rumah itu membuatnya malu dan takut. Malu karena Mawar orang miskin yang tersesat di sini dan takut karena tidak pernah memasuki rumah dan halaman seluas ini sebelumnya. Mawar mencekram serat kemeja Abizar, tubuhnya sedikit meringkuk dengan wajah menunduk. Entah kenapa, semakin malu saat mobil Abizar ikut menjadi sorotan setiap mata yang ada di halaman. Ternyata di jam segini masih ada beberapa pelayan dan saudara-saudara Abizar yang beraktivitas.“Kamu kenapa?” Abizar bertanya bingung sambil membukakan
Abizar mengemasi barang-barangnya, Malik duduk di tepian ranjang. “Bagaimana di Indonesia, berapa tahun kamu hidup di sana apa menyenangkan?”Abizar melirik saat Malik bertanya. Abizar manggut-manggut, “cukup membosankan. Tapi bisa dikatakan menyenangkan jika pembantuku tidak libur.”Dahi Malik mengerut. “Jadi yang menyenangkan di tanah sana hanya pembantumu?”“Yap,” Abizar mengangguk. Abizar balik bertanya, “bagaimana Amerika? Tiga bulan kamu di sini setelah lima tahun di sana, kata Abi kelakuan kamu meresahkan.”Malik tertawa mendengarnya. “Di sana aku merasakan kebebasan. Tak ada yang mengekangku atau mengatur-ngaturku lagi. Benar-benar luar biasa, aku bisa menjadi diri sendiri tanpa harus dikendalikan siapapun lagi. Berbeda sekali dengan di sini. Si Omar terus mengatur-ngaturku. Aku seperti anak gadis yang dijaga ketat oleh ayahnya agar tidak diganggu pria manapun.”Mendeng