Hahaha kasian banget cuma dianggap sopir. Gimana guys ceritanya sejauh ini? Lanjut ga nih? >.<
“Sopir pribadi?” Sera melihat penampilan Stevan dari ujung kaki hingga kepala.Sepatu pantofel mengilat dari salah satu merek ternama itu tidak mungkin murah harganya. Juga setelan jas dan kemeja slim fit yang membalut tubuh Stevan, tak mungkin kurang dari ratusan dolar harganya. Belum lagi dasi limited edition dan penjepit yang tampak sederhana tapi tidak masuk akal jika dilihat labelnya. Sebagai mahasiswa jurusan fashion, Sera tahu beberapa brand ternama yang melengkapi penampilan ‘sopir’ itu.“Apa kamu ingin membodohiku, Elisa?” Sera menggeleng berkali-kali, tidak bisa memercayai sahabatnya. “Dia terlalu tampan dan keren untuk jadi seorang sopir. Pria ini bahkan lebih cocok menjadi perwujudan seorang CEO yang ada di novel, manga, dan manhwa yang kubaca.”&ldqu
Sejak hari itu, Elisa tenggelam dalam tugas akhirnya dan membuat Stevan bertanya-tanya setiap pulang kerja.“Di mana dia?” gumam Stevan menoleh ke sana kemari. Dia tidak mendapati Elisa di ruang tamu. Padahal, biasanya gadis itu ada di sana, sengaja menunggunya untuk makan malam bersama.Tak cukup sampai di sana, Stevan menunggu di beranda setelah mengganti pakaiannya dan berjalan mondar-mandir sambil memperhatikan pintu gerbang yang tak pernah terbuka hingga satu jam berikutnya. Pria itu berkali-kali menatap arloji di pergelangan tangannya, terlihat uring-uringan dan tidak tenang.“Anda menunggu seseorang, Tuan?” tanya Maria mendekati Stevan dan meletakkan kopi hitam untuknya di atas meja.“Elisa belum pulang? Berani-beraninya dia pergi sam
“Lihat dulu desain buatanku.” Desain? Stevan yang semula ikut terbawa suasana dan hampir mencium Elisa, terpaksa membuka matanya. Jarak bibir mereka hanya terpisah dua-tiga sentimeter saja. Embusan napas menerpa wajah satu sama lain. “Apa kamu—” “Bantu aku, Sera ….” Sera? Stevan terkekeh, menyadari kebodohannya. Elisa tidak pernah mendapatkan kesadarannya. Gadis itu masih tidur, bahkan mungkin tidak menyadari ucapannya. Dia mengigau dengan mata terbuka. Hal itu membuat Stevan merasa sedikit lega. Namun, kelegaan Stevan tak berlangsung lama. “Kamu yang terbaik, Sera!” CUP! Kedua tangan Elisa memeluk leher Stevan, membuat pria itu sempurna membelalakkan mata. Jantungnya berhenti berdetak karena Elisa mencium pipinya tanpa aba-aba. ‘Apa yang dia lakukan?!’ Stevan refleks melepas tautan tangan Elisa di belakang lehernya dan menghempas tubuh gadis itu dengan sedikit kasar. Dia menarik tubuhnya ke belakang sambil menatap horor ke arah Elisa yang tersenyum-senyum dalam tidurnya.
“Mario, kirimkan dokter untuk memeriksa Elisa. Dia muntah-muntah di depan kampus.”‘Dokter?’Mata indah Elisa terbelalak sempurna, seketika menengadah menatap Stevan yang masih sibuk bertelepon dengan asisten pribadinya.“Tidak perlu!” seru gadis itu setelah merebut ponsel Stevan. “Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa. Jangan kirimkan dokter atau apa pun.”Belum sempat Mario menanggapi, Elisa sudah menekan ikon merah dan menyerahkan kembali ponsel di tangannya pada Stevan yang saat ini mengerutkan kening. Terlihat wajah panik gadis itu, seperti ketakutan bertemu dengan dokter.“Aku buru-buru harus bertemu dengan dosen, tidak ada waktu untuk ….” Elisa menggantung kalimatnya, takut-takut melihat wajah Stevan yang berubah dingin dan menatapnya dengan tajam.“Aku … aku hanya mual dan pusing karena kamu mengemudi seperti orang kesetanan. Aku benar-benar baik-baik saja.”Elisa beranjak dari tempatnya, tidak berani beradu pandang dengan Stevan lebih lama lagi. Aura pria itu mengikis keberanian
“Seberapa jauh perkembangan tugas akhirmu, Elisa?” Seorang wanita yang memakai jumpsuit tanpa lengan memasuki galeri seni, mengagetkan Elisa yang masih berkutat dengan kertas sketsa di atas meja. Dia salah satu dosen penguji untuk tugas akhir di universitas itu.“Saya masih menyesuaikan warna untuk motif ini, Madam.” Elisa berdiri seketika, menundukkan kepala sekilas sebelum mengulurkan beberapa lembar kertas hasil karyanya selama beberapa hari terakhir.“Kamu belum mencetak kainnya sama sekali?”Elisa menggigit bibir bawahnya, menggeleng dengan raut wajah bersalah. Bukan hanya masalah desain yang membuatnya harus lembur, bahkan urusan menentukan motif dan warna pun harus membuatnya pusing tujuh keliling.Terlihat wanita usia empat puluhan itu mengembuskan napas, kasihan melihat Elisa dan seluruh tugas yang harus dikerjakan olehnya seorang diri.“Saya bisa membantu kamu, bawa kemari contoh kain yang kamu punya.”Elisa tergesa berlari ke arah gudang, memanggul satu gulungan kain, melet
Stevan bersiap masuk kembali ke kamarnya. Sebenarnya, dia tidak ingin Elisa melihat perubahan mimik wajahnya, juga pipi yang sedikit memerah karena tertangkap basah menunggu gadis itu. “Argh, perutku.” Langkah Stevan harus terhenti di hitungan kedua, kembali menoleh ke arah Elisa yang memegangi perut sambil membungkukkan badan. Tangannya yang terbebas mencengkeram kaca setengah badan yang menjadi pembatas lantai dua. “Ste–Stevan, tolong,” gumam Elisa dengan suara tertahan. Perutnya terasa dipelintir, nyeri dan perih di saat bersamaan. Keringat dingin membasahi wajah Elisa, turun melalui dagu. Tubuhnya bergetar, jatuh terduduk sambil terus mengaduh. Stevan berlari menyongsong tubuh Elisa yang hampir limbung. Pria itu sigap membopong tubuh mungil istrinya setelah berteriak memanggil Maria. Kejadian tadi pagi saat di pelataran kampus belum sepenuhnya hilang dari ingatannya. Dia takut kecerobohannya tadi pagi yang membuat Elisa jadi begini. Dari lantai satu, Maria dan dua pelayan lai
“Bastian?”Elisa mengerutkan kening setelah mengintip ke dalam ruangan, merasa heran karena tidak ada pria lain di sana kecuali Bastian Hermawan. Salah satu seniornya yang dinobatkan menjadi kekasih idaman di kampus mereka yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana.“Kenapa orang-orang heboh sekali?” gumamnya lirih.“Permisi. Permisi.”Elisa menyibak kerumunan dan merangsek masuk ke ruangan setelah mengetuk dua kali. Tubuh mungilnya tak mengalami kesulitan sama sekali, berhasil menghalau beberapa orang yang ikut melongok saat pintu terbuka.Saat itu juga, pria dengan blazer cokelat susu menyunggingkan senyum pada Elisa. Terlihat kelegaan di wajahnya.
Bastian menarik Elisa keluar dari ruangannya, membuat beberapa mahasiswi yang sedari tadi mengintip terbelalak matanya. Mereka tidak menyangka idola yang tidak pernah dekat dengan wanita mana pun, bisa dengan nyaman menautkan jarinya pada Elisa.Bisik-bisik terdengar bersama menghilangnya Elisa dan Bastian yang menaiki anak tangga. Keduanya tidak peduli dengan komentar orang-orang di sekitarnya, fokus dengan hal lain yang lebih penting.Setelah berada di galeri, Elisa segera mempersiapkan dua buah manekin, sedangkan Bastian membantu dengan membuka gulungan kain yang masih terbungkus plastik. Mereka bekerja sama menempelkan kain-kain itu ke boneka setengah badan tanpa kepala.“Seperti ini?” Elisa menyematkan satu jarum di bagian punggung boneka torso wanita di depannya, meminta pendapat Bastian yang berdi
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli