Tinggal sedikit lagi, kita akan berpisah dengan Stevan dan Elisa... :')
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
“Ibu tirimu memiliki utang besar, dan satu-satunya cara melunasi utang ini adalah dengan menikahi pamanku.”Elisa tercengang, tidak mampu percaya dengan ucapan Alex, sang kekasih.Menikah dengan paman sang kekasih untuk melunasi utang ibu tirinya? Omong kosong macam apa ini?!“Utang wanita itu tidak ada hubungannya denganku! Kenapa jadi aku yang menanggungnya?!” sergah Elisa. “Kenapa juga malah kamu yang repot-repot mengabarkanku mengenai hal ini?!”Alex menggenggam tangan Elisa, berusaha menenangkannya. “Ibu tirimu menjadikanmu jaminan jikalau dia tidak bisa mengembalikan uang yang telah dia pinjam.”“Apa katamu?” Elisa terbengong, tidak mampu memercayai hal yang baru saja dia dengar.Kepala Alex mengangguk, ekspresi tidak berdaya terpasang di wajahnya. “Mengetahui hal ini, aku berniat untuk membantu membayarkan utang ibu tirimu. Akan tetapi …,” dia menggertakkan giginya, merasa sangat malu. “... jumlahnya terlalu besar.”Alex cepat-cepat mengangkat kepalanya.“Oleh karena itu, aku
“Silakan sebelah sini, Nyonya. Kamar Anda dan Tuan Muda ada di lantai dua,” ucap seorang pelayan yang menyambut Elisa dan sekarang membimbing jalannya. Setelah meninggalkan restoran dan menenangkan dirinya, Elisa pun pergi ke kediaman suaminya. Dirinya sudah menikah dan terikat dengan Stevan Wijaya. Demikian, alih-alih meratapi dirinya yang masuk dalam jebakan Alex dan Stella, dia akan mencari cara untuk menjaga Stevan sekaligus memastikan cara menjauhkan harta pria itu dari tangan orang-orang jahat yang menginginkannya!Elisa berjalan melewati ruang tengah yang begitu lengang. Tak ada seorang pun di sana. Rumah mewah dengan lampu kristal super besar itu terasa dingin, tak ada kehangatan sama sekali.“Apa tidak ada orang lain di rumah ini? Kenapa sepi sekali?” Elisa meniti satu persatu anak tangga sambil menoleh ke sana kemari, tapi tak mendapati siapa pun.“Tuan Stevan tinggal sendiri. Beliau tidak pernah mengizinkan orang lain berbagi atap dengannya. Kami hanya bertugas membersihka
“Tadi aku melihatnya sendiri! Mata Stevan terbuka!” seru Elisa kepada pelayan yang tadi mengantarnya ke depan kamar Stevan. Sesaat lalu, Alex ketakutan dan lari tunggang langgang saat melihat Stevan tiba-tiba membuka matanya. Elisa yang takut salah memperlakukan pria itu, memutuskan untuk memanggil pelayan yang mengantarnya. Namun, saat pelayan wanita itu tiba, mata Stevan sudah tertutup kembali!Mendadak sebuah suara berkata, “Itu hanya refleks spontan, bukan tanda bahwa dia bangun dari koma.” Seorang wanita paruh baya dengan setelan pakaian elegan memasuki kamar Stevan, membuat pelayan yang menemani Elisa langsung menundukkan badannya.“Selamat datang, Nyonya Renata. Ini Elisa Andara, wanita yang—”“Aku tahu. Kamu tidak perlu menjelaskannya.”Elisa meneguk ludah, menatap Renata dengan perasaan tidak nyaman. Dari pembawaan dan gaya bicaranya, terlihat jelas jika wanita itu cukup otoriter dan keras kepala. Tipikal orang yang tidak akan segan memaksakan kehendaknya.“Tidak perlu taku
“Tidak perlu terkejut seperti itu, Sayang.” Renata terkekeh melihat wajah Elisa yang pucat pasi. Dia yakin menantunya itu sangat terkejut, kaget dan tidak menyangka, sampai berdiri dari duduknya dan terlihat linglung seketika.“Aku sudah membicarakan hal ini dengan dokter yang merawat Stevan. Dia tetap bisa memiliki seorang anak walaupun masih terbaring koma. Kamu pasti pernah mendengar istilah inseminasi buatan, kan?”“Inseminasi buatan?”Elisa menggenggam ujung gaunnya, berusaha tetap tenang meskipun keraguan menggelayuti hatinya. Dia tidak benar-benar menyerahkan dirinya sebagai seorang istri, hanya ingin merawat Stevan sampai pria itu sembuh. Namun, apa yang terjadi sekarang benar-benar di luar dugaan.“Bidang kedokteran sekarang ini sudah semakin canggih. Aku sudah mencari dokter spesialis paling berpengalaman untuk menangani masalah ini. Begitu kamu setuju, aku akan mengantarmu untuk bersiap. Pertama-tama kamu harus melakukan medical check up secara keseluruhan.”“Tunggu! Apa Ma
“Bagaimana, Dokter? Kapan kita bisa melakukan inseminasi buatan untuk anak dan menantu saya?” Renata selalu to the point saat berbicara dengan siapa pun, termasuk saat menemani Elisa memeriksakan kesehatannya siang ini.Dengan koneksi yang dimilikinya, Renata tidak perlu antre bersama pasien lainnya. Dia langsung menuju lantai dua rumah sakit dan menemui dokter spesialis yang juga menjadi penanggung jawab kesehatan Stevan.Seorang perawat membantu Elisa turun dari ranjang periksa. Perawat yang lain sibuk membereskan perlengkapan dan mengembalikannya ke tempat yang seharusnya.Elisa segera bergabung dengan ibu mertuanya, menghadap dokter berkacamata tebal yang usianya tak jauh berbeda dengan Renata.“Hasil pemeriksaan fisik dan indikator lain terlihat bagus. Saya masih harus menunggu hasil cek darah dari laboratorium sebelum membuat kesimpulan. Karena tidak ada keluhan sama sekali dari pasien, saya yakin kondisi tubuhnya baik-baik saja.”“Kapan inseminasi buatan dilakukan?”Elisa harus
“Anda baik-baik saja, Nyonya?” Maria memasuki kamar di lantai satu, tempat Elisa menenangkan dirinya sejak semalam. Dia harus melihat keadaan nyonya muda mereka setelah diusir dengan kasar oleh pria yang dua bulan terakhir dirawatnya.“Maria ….” Wanita mana pun pasti syok, tidak bisa tidur seperti yang terjadi pada Elisa. Lingkaran hitam di sekitar matanya menunjukkan wanita itu masih belum bisa mengatasi ketakutannya semalam. Bahkan, tatap matanya masih terlihat gelisah, seolah ingin mencari perlindungan.“Saya bawakan segelas susu cokelat.” Minuman hangat itu masih menguarkan asap di atasnya. Namun, Elisa menggeleng. “Maaf, aku sedang tidak nafsu,” balasnya dengan lemah, membuat Maria menghela napas tidak berdaya.Sebelum Maria pergi, Elisa kembali angkat bicara. “Bagaimana keadaan Stevan?” Dengan suara bergetar, Elisa berusaha mencari tahu kondisi terkini suaminya. “Tuan baik-baik saja. Dia sudah kembali tenang meskipun masih belum bisa bergerak dengan leluasa.” Maria tidak lu
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli