“Tidak perlu terkejut seperti itu, Sayang.” Renata terkekeh melihat wajah Elisa yang pucat pasi. Dia yakin menantunya itu sangat terkejut, kaget dan tidak menyangka, sampai berdiri dari duduknya dan terlihat linglung seketika.
“Aku sudah membicarakan hal ini dengan dokter yang merawat Stevan. Dia tetap bisa memiliki seorang anak walaupun masih terbaring koma. Kamu pasti pernah mendengar istilah inseminasi buatan, kan?”
“Inseminasi buatan?”
Elisa menggenggam ujung gaunnya, berusaha tetap tenang meskipun keraguan menggelayuti hatinya. Dia tidak benar-benar menyerahkan dirinya sebagai seorang istri, hanya ingin merawat Stevan sampai pria itu sembuh. Namun, apa yang terjadi sekarang benar-benar di luar dugaan.
“Bidang kedokteran sekarang ini sudah semakin canggih. Aku sudah mencari dokter spesialis paling berpengalaman untuk menangani masalah ini. Begitu kamu setuju, aku akan mengantarmu untuk bersiap. Pertama-tama kamu harus melakukan medical check up secara keseluruhan.”
“Tunggu! Apa Mama sudah gila?” Harris yang sedari tadi hanya diam di tempatnya, memberanikan diri untuk mendekat ke arah Renata. Dia dengan jelas menyatakan ketidaksetujuannya dan menuntut penjelasan dari ibunya.
Renata melirik putra tertuanya, tapi tak mengatakan apa pun. Tatapannya kembali beralih kepada Elisa yang masih tertegun. Keraguan tampak jelas dari sorot mata indahnya.
“Bagaimana, Sayang? Katakan iya dan kita bisa pergi ke rumah sakit sekarang.”
“Ma! Stevan pasti akan marah jika mengetahuinya.”
“Apa aku meminta pendapatmu?” sindiran Renata berhasil membuat Harris tertegun.
“Urusan Stevan menjadi urusanku juga, Ma. Sebagai Kakak, aku berhak ikut menentukan—”
“Di mana kamu saat dia mengalami kecelakaan hebat hari itu? Apa kamu menolongnya?” Mata Renata memicing. “Alih-alih mengunjunginya di rumah sakit, kamu sedang sibuk berfoya-foya dengan istrimu di sebuah pesta!”
Harris sudah membuka mulutnya, tapi tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari sana. Akhirnya, dia hanya bisa diam.
Melihat Harris yang tidak bisa berkutik, Renata mendengus sambil membuang muka. Wanita itu lantas kembali menatap Elisa yang sedari tadi hanya diam.
“Bagaimana, Elisa? Kamu tidak akan menolak permintaan Mama kan? Kita akan lakukan inseminasi buatan secepatnya saat kamu sudah siap. Lebih cepat, lebih baik.”
Elisa meneguk ludah. Dia memang pernah mendengar istilah medis itu, tapi tidak pernah menyangka akan mengalaminya sendiri.
Sependek pengetahuannya, inseminasi buatan hanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang kesulitan memiliki momongan. Bukan oleh gadis yang bahkan belum pernah berhubungan sepertinya!
“Ma … Mama tenang dulu. Tolong jangan tergesa-gesa.”
Shana, istri Harris berusaha membujuk mertuanya karena sang suami sudah tidak berdaya.
“Mama lihat Elisa. Dia itu masih terlalu muda, pasti belum siap untuk memiliki seorang anak. Sekarang, fokusnya adalah merawat Stevan sebaik mungkin. Jangan membebaninya dengan hal-hal lain.”
Elisa hampir mengangguk, tapi diurungkan saat melihat Renata mengangkat sebelah alisnya.
“Aku tahu, Mama pasti khawatir Stevan tidak akan terbangun dari koma seperti yang dokter katakan. Tapi, kita tidak bisa mengambil keputusan sembarangan …
Bagaimana jika kehamilan Elisa bermasalah? Bukankah kita sia-sia mengeluarkan dana untuk inseminasi buatan? Lebih baik uang itu kita gunakan untuk membeli aset! Saat Stevan sadar dari koma, baru kita bantu mereka untuk memiliki momongan.”
Elisa mengerutkan keningnya, dia tidak tahu seberapa dekat Stevan dengan wanita yang masih mengoceh di depannya. Namun, kalau dibilang dia perhatian kepada Stevan, rasanya lebih cocok mengatakan wanita itu hanya tidak ingin Stevan punya keturunan?
Mata Elisa memicing. ‘Harris dan Shana, dua orang ini … sepertinya hanya ingin menguasai harta keluarga Wijaya.’
Akan tetapi ….
“Aku setuju ….”
Mendengar ucapan Elisa, mata Shana berbinar. “Apa kubilang? Elisa pasti akan setuju denganku!”
Shana sudah menampilkan senyum kemenangan di wajahnya. Dia tahu Elisa adalah kekasih putranya dulu, jadi tidak mungkin Elisa ingin mengandung anak Stevan.
“Aku setuju melakukan inseminasi buatan.”
Sontak, Shana melongo. “Apa!?” Dia menatap Elisa dengan mata melotot tak percaya.
“Jika itu yang Mama inginkan, aku akan melakukannya. Hari ini juga tidak masalah. Toh, aku sudah resmi menjadi istri Stevan. Mengandung anaknya bukanlah kejahatan meski harus melalui proses inseminasi buatan.”
“Elisa!” seru Shana dengan wajah panik. “Jangan gegabah! Kamu yakin ingin hamil anak pria yang–”
“Aku yakin.” Elisa tersenyum kepada Shana. “Terima kasih sudah perhatian kepadaku.”
Renata terlihat sangat puas. Dia tidak salah menilai menantunya. Elisa bisa diandalkan dan cukup cerdas untuk membaca situasi. “Kalau begitu, persiapkan dirimu. Kita pergi tiga puluh menit lagi.”
Melihat perkembangan adegan, Shana menjadi semakin panik. “Suamiku, lakukan sesuatu!” Shana menarik tangan Harris, meminta pria itu membujuk ibunya sekali lagi.
Renata melirik putra tertua dan sang menantu sekilas sebelum masuk ke kediaman utama dan meninggalkan tempat tersebut. Tidak jauh di belakangnya, Elisa juga meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah Stevan.
Di sisi yang lain, tampak Alex mengepalkan tangannya. Dia mendengar semua pembicaraan mereka.
Harris pun melirik ke arah sang putra. “Alex! Bukankah Elisa menurut padamu!? Cepat bujuk dia!”
Alex menganggukkan kepala. Tentu saja dia tidak akan membiarkan Elisa mengandung anak Stevan! Rencananya untuk menguasai harta sang nenek bisa kacau!
Dengan langkah tergesa, pria itu berusaha menghadang Elisa sebelum kembali ke rumahnya.
“Elisa!”
Alex tiba-tiba muncul dan menghadang Elisa dengan mencengkeram tangan wanita tersebut. Dia berusaha memasang wajah sedih untuk mendapatkan perhatian Elisa seperti biasanya.
“Kamu baik-baik saja?”
Elisa tak menjawab, mengamati wajah Alex dengan seksama. Dia harus berpura-pura tidak tahu kebusukan pria itu dan tidak memancing kecurigaannya.
“Aku baik-baik saja.” Elisa melepaskan tangannya dari genggaman Alex. “Tolong jaga sikap. Kalau nenekmu melihat kita, dia akan merasa aneh.”
“Kenapa kamu setuju melahirkan anak untuk Stevan? Kamu lupa kalau pernikahan kalian hanya pura-pura?”
“Cincin berlian ini menjadi bukti bahwa aku sudah menikah,” tegas Elisa menunjukkan cincin di jari manisnya. “Dengan bukti nyata seperti ini, tidaklah wajar menolak permintaan nenekmu.”
“Elisa sayang, aku—”
“Berhenti memanggilku seperti itu!” Elisa memotong ucapan Alex, memasang wajah jijik yang membuat Alex terkejut. Dia sudah muak melihat sandiwara Alex dan ingin segera memasuki rumah Stevan yang hanya tersisa jarak beberapa langkah saja.
“Elisa, kenapa kamu jadi seperti ini?” Alex memasang wajah terluka, walau hatinya merasa kesal. ‘Wanita jalang, bisa-bisanya dia membentakku!?’
Seakan tahu pikiran Alex, Elisa mendengus. “Seperti apa? Bukankah kamu yang memintaku menikahi Stevan?” tanyanya dengan senyuman sinis. “Sekarang, aku sudah melakukannya, kenapa kamu masih terus menggangguku?”
“Kamu hanya pura-pura! Untuk apa benar-benar bersedia mengandung anaknya?!” bentak Alex dengan wajah frustrasi.
Sadar bahwa dirinya kelepasan, Alex memasang wajah sedih.
“Maaf, El. Aku hanya tidak rela kamu mengandung anak dari pria lain. Aku mencintaimu dan aku–”
“Jika aku melahirkan anak untuknya, semua harta Stevan bisa menjadi milikku. Bukankah itu yang kamu inginkan? Apa masalahnya?”
Saat pertanyaan itu melambung, Alex mengerjapkan mata.
Ah, jadi itu maksud Elisa. Dia ingin mengandung anak Stevan agar bisa menguasai hartanya dengan sah!
Alex tersenyum. Dia mengira Elisa akan membantunya mendapatkan seluruh properti Stevan seperti rencana awal mereka.
“Ah, kamu benar, El! Kamu sungguh cerdas! Tentu saja kamu harus melakukan itu. Aku setuju.”
Tawa hambar Alex membuat Elisa menarik satu sudut bibirnya. Dia semakin mengerti tabiat buruk kekasihnya dan bertekad tidak akan terjebak dengan rayuan gombal pria itu lagi di masa yang akan datang. Bahkan, rasa cinta yang dia miliki untuk Alex sudah pudar dengan sendirinya setelah mengetahui semua kebusukannya.
“Kamu tidak perlu khawatir, Elisa. Aku pasti akan memperlakukan anak itu dengan baik seperti anak kandungku sendiri.”
Elisa mendengus, lalu berkata, “Kalau tidak ada hal lain, aku pergi dulu. Aku harus mengurus Stevan.”
“Ya! Ya! Pergilah dan urus pamanku itu dengan baik!” ucap Alex sembari tersenyum lebar. “Kalau perlu apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku ya, Sayang!”
Dalam hati Elisa, dia merasa jijik. Namun, dia tidak mengatakan apa pun dan hanya berbalik pergi.
Sebelum sepenuhnya masuk ke dalam rumah, dia melirik ke belakang dan melihat sosok Alex yang meninggalkan kediaman dengan langkah senang.
‘Dasar pria bodoh.’
“Bagaimana, Dokter? Kapan kita bisa melakukan inseminasi buatan untuk anak dan menantu saya?” Renata selalu to the point saat berbicara dengan siapa pun, termasuk saat menemani Elisa memeriksakan kesehatannya siang ini.Dengan koneksi yang dimilikinya, Renata tidak perlu antre bersama pasien lainnya. Dia langsung menuju lantai dua rumah sakit dan menemui dokter spesialis yang juga menjadi penanggung jawab kesehatan Stevan.Seorang perawat membantu Elisa turun dari ranjang periksa. Perawat yang lain sibuk membereskan perlengkapan dan mengembalikannya ke tempat yang seharusnya.Elisa segera bergabung dengan ibu mertuanya, menghadap dokter berkacamata tebal yang usianya tak jauh berbeda dengan Renata.“Hasil pemeriksaan fisik dan indikator lain terlihat bagus. Saya masih harus menunggu hasil cek darah dari laboratorium sebelum membuat kesimpulan. Karena tidak ada keluhan sama sekali dari pasien, saya yakin kondisi tubuhnya baik-baik saja.”“Kapan inseminasi buatan dilakukan?”Elisa harus
“Anda baik-baik saja, Nyonya?” Maria memasuki kamar di lantai satu, tempat Elisa menenangkan dirinya sejak semalam. Dia harus melihat keadaan nyonya muda mereka setelah diusir dengan kasar oleh pria yang dua bulan terakhir dirawatnya.“Maria ….” Wanita mana pun pasti syok, tidak bisa tidur seperti yang terjadi pada Elisa. Lingkaran hitam di sekitar matanya menunjukkan wanita itu masih belum bisa mengatasi ketakutannya semalam. Bahkan, tatap matanya masih terlihat gelisah, seolah ingin mencari perlindungan.“Saya bawakan segelas susu cokelat.” Minuman hangat itu masih menguarkan asap di atasnya. Namun, Elisa menggeleng. “Maaf, aku sedang tidak nafsu,” balasnya dengan lemah, membuat Maria menghela napas tidak berdaya.Sebelum Maria pergi, Elisa kembali angkat bicara. “Bagaimana keadaan Stevan?” Dengan suara bergetar, Elisa berusaha mencari tahu kondisi terkini suaminya. “Tuan baik-baik saja. Dia sudah kembali tenang meskipun masih belum bisa bergerak dengan leluasa.” Maria tidak lu
“Jauhkan tanganmu dari istriku!”Bentakan itu membuat Alex dan Elisa tersentak. Begitu pula dengan para pengawal di ruangan tersebut.“Apa yang kalian lakukan? Seret dia keluar dari ruanganku dan jangan biarkan siapa pun lagi masuk!” tegas Stevan dengan wajah marah.Alhasil, dua orang pengawal segera menyingkirkan Alex dan meninggalkan ruangan, menyisakan Elisa yang masih terduduk di pangkuan Stevan. “A-aku akan berdiri,” ujar Elisa dengan gugup.“Diam,” titah Stevan dingin, memperkuat cengkeramannya kepada Elisa seraya menatapnya tajam. “Apa hubunganmu dengan Alex?” Suara dingin Stevan membuat Elisa gugup dan kembali berkeringat dingin. Perasaan tidak nyaman menyergap, terlebih Stevan menghakiminya dengan tatapan seolah ingin menelannya hidup-hidup. Belum lagi cengkeraman di pergelangan tangan yang semakin kuat seperti elang yang tak ingin kehilangan mangsanya.“Aku tidak pernah mengulangi pertanyaanku. Ada hubungan apa kau dengan bedebah itu?!”Elisa tersentak mendengar bentakan S
“Nyonya Elisa Andara,” panggil seorang petugas yang keluar dari laboratorium rumah sakit.Elisa langsung berdiri dari kursi dan menatap petugas tersebut menyerahkan selembar kertas ke tangannya. “Ini hasil pemeriksaan USG-nya.” Wajah petugas itu semringah, berbanding terbalik dengan Elisa yang tampak pucat. “Selamat, Nyonya akan jadi ibu.” Kepala Elisa tertunduk, menatap kertas di tangannya dengan saksama. “Aku … sungguh hamil?”Elisa semakin tak bisa berkata-kata. Ketakutannya menjadi nyata. Dia benar-benar hamil anak Stevan!Detik itu juga ingatannya kembali ke belakang saat Stevan bertekad menceraikannya. Pria itu tidak pernah menerima pernikahan mereka, juga membenci inseminasi buatan yang dilakukan tanpa persetujuan darinya.Kalau pria itu mengetahui kehamilan ini, bukankah posisi Elisa akan sangat berbahaya?!Elisa langsung menghadap Dokter Mecca, dokter yang bertugas memeriksanya atas rekomendasi Renata dulu.“Dokter, berapa usia kandungan saya saat ini?”“Dilihat dari tangga
“Apa aku salah lihat?”Elisa mengerjap matanya dua kali, bahkan sampai mendekatkan dokumen itu mendekati wajahnya. Dia benar-benar kaget melihat nominal yang tertera di sana.“Satu, dua, tiga, empat, ….” Elisa lanjut berhitung dalam hati, berapa digit angka yang berhasil membuat bola matanya terbelalak tak percaya. Jumlah yang sangat fantastis, tidak pernah terbayang sebelumnya jika aset yang dimiliki oleh Stevan sebanyak itu. “Pantas saja Alex dan ayahnya sangat berambisi menguasai harta peninggalannya jika Stevan meninggal. Kehidupan mereka akan terjamin tujuh turunan. Ah, bahkan mungkin lebih,” gumam Elisa seorang diri, masih terhanyut dengan isi kepalanya sendiri.“Jika yang Stevan miliki saja sebanyak ini, tidak menutup kemungkinan Mama juga memiliki jumlah aset yang sama atau bahkan lebih banyak lagi. Pantas saja dia tidak masalah menanggung utang ibu tiriku ….”Elisa mencubit pipinya sendiri untuk menyadarkannya jika yang dia lihat bukanlah mimpi. Namun, hal itu justru berhasi
“Katakan! Untuk siapa kau bekerja?!”Bentakan Stevan membuat Elisa terenyak. Gadis itu pun berusaha melepas tangan Stevan yang semakin menyakitinya, tapi pria itu begitu kuat.“Aku sama sekali tidak bekerja untuk siapa pun!”“Bohong! Kalau memang demikian, untuk apa kamu mencuri laporan keuangan perusahaan?!”‘Mencuri?’ Mata Elisa membola. “Bidang studiku fashion design dan tidak pernah bersinggungan dengan laporan keuangan sebelumnya. Untuk apa mencurinya?!” Dia mencoba menjelaskan, “Aku hanya tidak sengaja melihatnya, tapi aku benar-benar tidak punya tujuan apa pun. Bahkan, aku tidak paham isi berkas yang tadi kulihat. Bagaimana mungkin aku akan menjatuhkanmu?!”Elisa berusaha membela diri, tapi hal itu malah membuat Stevan semakin menjadi-jadi.Bibir Stevan mengukir senyum miring, dia merasa Elisa tengah mengucapkan omong kosong.“Tidak mau mengaku, ‘kan?” ujar Stevan dengan nada menantang. “Kalau begitu coba kita lihat kamu mau diam sampai kapan!”Stevan berteriak lantang, “Pengaw
“Elisa … bangunlah, Nak.” Renata berlari memasuki kamar Elisa dan bersimpuh di samping tubuh mungilnya yang tergeletak di lantai. Tangannya sibuk menepuk-nepuk Elisa yang masih terpejam. Bibirnya pucat pasi seperti mayat.Maria terperanjat mendengar kepanikan Renata. Semula, dia hanya berdiri di tempatnya karena takut kepada Stevan. Pria itu melarang siapa pun membuka pintu kamar Elisa. Bahkan, Maria juga kena dampaknya saat kemarin berniat memberikan makanan secara diam-diam.“Elisa ….” Renata berusaha mengguncang tubuh menantunya, tapi tetap tak ada reaksi. “Buka matamu, Sayang. Mama di sini.”Beberapa detik berlalu, tetap tak ada yang berubah. Tubuhnya begitu dingin seperti sudah berjam-jam tergeletak di lantai tanpa pertolongan.“Maria, panggil dua pengawal ke sini dan siapkan mobil sekarang juga!” Hening beberapa saat. Suara serak Renata tak berhasil membuat wanita enam puluh tahun itu bertindak. Tatapan Stevan yang dingin dan arogan berhasil mengikis keberaniannya.“Maria!”“Ba
PLAK! Suara tamparan mantap bergema di bilik rumah sakit Elisa. Semua orang yang ada di ruangan itu terbelalak, terkejut dengan sosok Renata yang melayangkan pukulan ke wajah putra kesayangannya itu. “Berani-beraninya kamu bertindak dengan begitu keji?!” Mata Renata menatap nyalang sosok Stevan. “Apa nyawa manusia tidak berarti lagi untukmu, hah?! Apa hanya dinasti bisnismu yang kamu pikirkan!?” Stevan terdiam di tempatnya. Setelah apa yang dia lakukan kepada Elisa, dirinya memang pantas menerima sebuah tamparan. Namun, kemarahan sang ibu, apa Stevan bisa menerimanya? “Kalau ada yang marah, hanya wanita itu yang berhak marah.” Stevan mengangkat pandangan dan menatap ibunya. “Ibu tidak pantas membicarakan mengenai menghargai nyawa manusia di hadapanku,” balas pria itu dengan wajah dingin. Mata Renata terbelalak. “Stevan, berani-beraninya kamu—” “Tinggalkan kami berdua,” ucap Stevan dengan suara dingin dan dalam. Tatapan matanya tertuju pada Elisa yang terbaring lemah tak berdaya
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli