“Anda baik-baik saja, Nyonya?” Maria memasuki kamar di lantai satu, tempat Elisa menenangkan dirinya sejak semalam. Dia harus melihat keadaan nyonya muda mereka setelah diusir dengan kasar oleh pria yang dua bulan terakhir dirawatnya.
“Maria ….”
Wanita mana pun pasti syok, tidak bisa tidur seperti yang terjadi pada Elisa. Lingkaran hitam di sekitar matanya menunjukkan wanita itu masih belum bisa mengatasi ketakutannya semalam. Bahkan, tatap matanya masih terlihat gelisah, seolah ingin mencari perlindungan.
“Saya bawakan segelas susu cokelat.”
Minuman hangat itu masih menguarkan asap di atasnya. Namun, Elisa menggeleng.
“Maaf, aku sedang tidak nafsu,” balasnya dengan lemah, membuat Maria menghela napas tidak berdaya.
Sebelum Maria pergi, Elisa kembali angkat bicara. “Bagaimana keadaan Stevan?”
Dengan suara bergetar, Elisa berusaha mencari tahu kondisi terkini suaminya.
“Tuan baik-baik saja. Dia sudah kembali tenang meskipun masih belum bisa bergerak dengan leluasa.” Maria tidak lupa menambahkan, “Tubuhnya terasa kaku karena hanya berbaring selama berbulan-bulan, tapi tidak seburuk itu berkat usaha Nyonya yang membantunya melakukan peregangan setiap hari.”
Elisa tersenyum tipis. “Bagus.” Paling tidak, usahanya selama ini tidak sia-sia.
Namun, detik berikutnya, senyuman itu menghilang. Elisa memeluk tubuhnya sendiri semakin erat.
Dengan keterbatasannya saja, Stevan bisa melemparkan vas bunga. Jika kondisi pria itu sudah kembali seperti sedia kala, bukankah akan lebih menyeramkan lagi tabiatnya?
“Nyonya ….” Maria menyentuh lengan Elisa, berusaha menyampaikan berita lain dengan lembut. “Sudah waktunya Tuan Muda sarapan. Silakan bersihkan wajah Anda dan bawakan padanya.”
Elisa terbelalak. “Membawakan padanya?” Dia memasang wajah takut. “Bagaimana jika Stevan mengamuk lagi?”
Ketakutan terlihat jelas di wajah Elisa. Dia tidak ingin mati sia-sia. Bahkan, dia belum mendapatkan gelar sarjana yang telah diperjuangkan beberapa tahun ke belakang.
“Itu tidak akan terjadi, Nyonya. Anda harus tenang.”
Elisa kembali menggeleng, bahkan menarik tubuhnya menjauh dari jangkauan Maria sampai menabrak kepala ranjang. Dia takut akan mendapat perlakuan kasar seperti sebelumnya.
“Nyonya, mohon kerja sama Anda. Saat ini, Nyonya Besar masih dirawat di rumah sakit. Tidak ada yang diizinkan mendekati Tuan Stevan selain Anda.”
“Dia juga tidak menginginkanku. Dia membenciku.”
Sebuah senyuman tak berdaya terukir di wajah Maria. Keriput tampak jelas di samping matanya, tapi ada kehangatan yang memberikan kekuatan untuk Elisa.
“Tuan Muda hanya belum terbiasa dengan kehadiran Anda. Jangan pikirkan hal lain, lakukan yang terbaik yang Anda bisa. Bukankah Anda sudah bertekad akan menjadi istri yang baik dan mengurusnya sampai sembuh?”
Elisa tak mengiyakan, tapi juga tak membantah pernyataan wanita itu.
“Sarapan untuk Tuan Muda sudah saya siapkan di meja. Tolong bergegas dan bawakan itu ke kamarnya, Nyonya. Jangan membuat Tuan menunggu terlalu lama,” pesan wanita itu sebelum keluar dari kamar Elisa yang hanya bisa mendesah putus asa.
Mau tak mau, wanita dua puluh dua tahun itu membawa sarapan untuk Stevan setelah merapikan penampilannya dan mengikat rambut panjangnya. Setiap anak tangga yang dilewati, menambah rasa gugup dan waswas. Namun, coba diredam dengan menarik napas dalam.
Seperti biasa, Elisa mengetuk pintu kamar Stevan sebelum memasukinya. Dia melongokkan kepala dan mendapati sang suami terduduk sambil bersandar pada kepala ranjang. Meskipun sudah sadar, tapi cairan infus masih terpancang di punggung tangan kanannya.
Manik Stevan yang sewarna gelapnya malam beralih kepada Elisa.
“Siapa yang mengizinkanmu masuk?”
Pertanyaan Stevan membuat Elisa harus meneguk ludah dan menghentikan langkahnya. Ketegangan tercipta, membuat wanita itu semakin tidak nyaman di posisinya.
“Aku membawa—”
“Siapa yang mengizinkanmu masuk?!”
Kali ini nada bicara Stevan lebih seperti bentakan, bukan pertanyaan.
Elisa hanya bisa menggigit bibir bawahnya, tidak berani bicara. Tatapan tajam dan suara dingin pria itu menghancurkan seluruh kepercayaan diri yang coba dikumpulkannya sesaat lalu.
Alih-alih menyerah dan pergi dari sana, Elisa pura-pura tuli dan melanjutkan langkahnya. Dia meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja dan duduk di samping ranjang. Kedua tangannya yang gemetar mengambil mangkuk berisi bubur dan berusaha menyuapi suaminya.
“Kata dokter, kamu harus makan agar cepat sem—”
PLAK!
Stevan menepis tangan Elisa, membuat sendok di depan mulutnya terpelanting ke lantai. Tak hanya itu, bubur panas yang ada di mangkuk, tumpah ke paha Elisa yang hanya memakai piyama.
Rasa panas segera menjalar sampai ke bawah kulitnya, tapi wanita itu sama sekali tidak berteriak. Dia hanya memejamkan matanya dan menahan sakit.
Stevan juga sedikit terkejut, tidak menyangka bubur itu akan mengenai Elisa. Namun, dia berusaha mengabaikannya dan tetap memasang wajah dingin.
“Aku akan mengambilkan makanan yang baru untuk—”
“Diam di sana.”
Pergerakan Elisa terhenti seketika. Gadis itu urung membalik badannya, kembali menghadap ke arah Stevan yang menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.
“Duduk!”
“Tapi—”
“Duduk!”
Elisa merasa tidak nyaman. Dia ingin segera pergi dari sana dan berganti pakaian. Bahkan, mungkin dia harus mengoleskan gel pendingin untuk meredam rasa panas di pahanya. Namun, titah tak terbantahkan dari Stevan berhasil mengurungnya di sana.
Di saat yang sama, Maria memasuki ruangan itu dan terkejut melihat sarapan tuannya berantakan. Dia segera membersihkannya dalam diam.
“Apa kau tidak punya malu?” ujar Stevan dengan suara dalam.
“Maaf?” Elisa tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Stevan. Kalimat singkat pria itu membuatnya bingung.
“Inseminasi buatan. Berapa banyak yang wanita tua itu berikan untuk membuatmu setuju hamil anakku?!”
‘Wanita tua?’
Gerakan tangan Maria terhenti, tapi tidak berani ikut campur dengan percakapan tuannya.
“Aku bisa memberikan lima kali lipat dari bayaran yang dia berikan asalkan kamu setuju menggugurkannya.”
Elisa terbelalak seketika, segera berdiri dari sana dan mundur beberapa langkah. Degup jantungnya berdetak tidak karuan.
Perintah Stevan benar-benar di luar dugaan. Dia belum tahu inseminasi buatan itu berhasil atau gagal. Sejak dua minggu lalu, dia belum mengeceknya lagi.
Belum tahu hamil atau tidak, tapi sudah disuruh menggugurkan? Ini gila!
“Kenapa diam saja? Penawaranku tidak membuat hatimu tergerak? Bukankah kamu mau menikah denganku karena uang?”
Elisa mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya, sama sekali tak bisa berkata-kata. Rangkaian kalimat yang ada di kepala seolah terburai begitu saja saat melihat manik hitam Stevan yang terus menatapnya penuh intimidasi.
“Pilihlah salah satu, aborsi obat atau operasi?”
Pikiran Elisa menjadi kosong seketika. Ultimatum dari Stevan sungguh membuatnya tak bisa berpikir menggunakan logika. Tubuhnya limbung, hampir terjatuh jika Maria tidak segera berusaha membelanya.
“Tuan Muda, ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Inseminasi buatan itu adalah ide Nyonya Renata yang ingin istri Anda segera hamil.”
“Berani sekali kamu menyebut nama wanita itu di depanku!” teriak Stevan sambil menatap nyalang ke arah Maria. “Ini mengenai hidupku! Apa aku tidak punya hak lagi untuk mengaturnya?!”
Kepala pelayan itu langsung menundukkan kepala dan meminta maaf berkali-kali. Dia hanya berusaha membantu Elisa, tetapi justru memancing kebencian tuan mudanya.
Elisa menarik napas dalam, mencoba bersikap tenang dan mengabaikan rasa sakit di kakinya. Dia harus bisa menghadapi Stevan dengan segala temperamen buruknya.
“Aku tidak hamil,” ucapnya tegas setelah menarik napas dalam.
Stevan melirik Elisa. “Tidak hamil?”
“Dokter mengatakan bahwa dua pekan setelah inseminasi buatan baru memungkinkan terjadinya pembuahan. Namun di pemeriksaan terakhir, kadar HCg di dalam darahku tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Masih di bawah 25 IU/mL. Artinya, aku tidak hamil.”
Stevan hanya menatap datar ke arah Elisa.
“Berikan akta pernikahannya padaku sekarang.”
“Hah?”
“Apa kamu tuli? Kubilang berikan akta pernikahannya padaku.”
Elisa semakin gondok, tapi tetap berusaha menahan emosinya. Stevan begitu otoriter melebihi ibunya.
“Apa yang ingin kamu lakukan dengan dokumen itu?”
“Bukan urusanmu. Berikan sekarang juga atau kau—”
“Tidak perlu mengancamku!” teriak Elisa putus asa. “Dokumen itu sudah kuserahkan pada Mama. Minta sendiri padanya.”
“Mama?” Stevan memasang wajah jijik, merasa tidak biasa dengan panggilan yang diutarakan Elisa untuk ibunya. “Berhenti memanggilnya seperti itu. Karena setelah dia membaik, aku akan segera menceraikanmu!”
Mulut Elisa sudah terbuka, bersiap melontarkan tanya saat tiba-tiba Alex muncul dan memasuki kamar pribadi Stevan tanpa meminta izin sebelumnya. Dia menerobos dua penjaga yang ada di sana.
“Paman, bagaimana keadaanmu?” Alex mendekat ke arah Stevan.
“Maaf, Tuan. Kami sudah berusaha mencegahnya masuk, tapi dia—”
Stevan mengangkat tangannya, tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dari pengawal.
Alih-alih mengusir keponakannya itu, Stevan justru membuat isyarat dengan jari bahwa dia tidak ingin melihat Alex maupun hadiah yang dibawanya. Tatapan matanya yang dingin seolah berkata, “Bawa bedebah ini bersama sampah di tangannya.”
Pengawal segera mengambil buah tangan dari Alex bersiap membuangnya. Cara terbaik untuk mengusir lalat pengganggu itu.
“Hei, apa yang kalian lakukan?! Beraninya merebut barangku!?”
Alex berusaha merebut kembali hadiah miliknya, tapi salah satu pengawal langsung mencekal lengannya dan memaksanya berlutut di tanah.
“Agh!” Alex berteriak kesakitan. “B
erani sekali kalian padaku! Aku ini keponakan bos kalian!”
Elisa menutup mulutnya dengan kedua tangan, terkejut tapi tidak bisa bergerak dari samping ranjang Stevan. Kakinya seolah terpancang di sana.
“Paman! Bawahanmu ini kurang ajar padaku! Tolong aku!”
Stevan tersenyum sinis. “Menolongmu? Aku tidak sebaik itu,” ucapnya dingin. “Terutama pada orang yang menginginkan kematianku.”
Alex membelalak, terkejut.
“Aku tidak tahu apa yang Paman bicarakan!”
“Jangan berkelit! Kamu dan ayahmu itu sama menjijikkannya,” maki Stevan dengan wajah jijik.
Alex menengadah, menatap Stevan dan Elisa bergantian. Dia beranggapan hubungan pamannya dengan Elisa sangat baik, terlihat dari kenyataan hanya mereka berdua yang berada dalam ruangan itu.
“Kau punya waktu tiga detik untuk enyah dari sini.”
“Tung–tunggu, Paman. Ini pasti ada salah paham!”
KLANG!
Kali ini tiang infus yang menjadi sasaran pelampiasan Stevan. Dia bahkan tidak peduli jarum infus di tangannya tercerabut dengan paksa dan mengeluarkan darah. Kemarahannya tak tertahankan, muak melihat drama Alex yang selalu bermuka dua.
Alex gelagapan, hampir terkena lemparan tiang itu. Dia mendekat ke arah Elisa yang refleks mundur dari posisinya semula, sedikit menjauh dari Stevan. Alam bawah sadar secara tidak langsung menyuruhnya menyelamatkan diri, menghindari benda yang mungkin akan membahayakan nyawanya.
“Elisa! Elisa tolong aku! Paman ingin membunuhku!” Alex berlindung di belakang Elisa, mulai bermain peran. Dia berharap Elisa berpihak dan membelanya di depan sang suami.
Namun, jauh panggang dari api. Harapan Alex tak pernah menjadi kenyataan. Bukannya memihak, Elisa justru menepis tangan Alex dan menjauhinya.
“Menyingkir dariku!” desis Elisa dengan wajah dingin. Tampak jelas kebencian di matanya.
Alex justru mendekat dan bergelayut manja di lengan Elisa, mengabaikan penolakannya. “Elisa, kamu harus menolongku!”
Stevan mengerutkan kening, melihat ada yang janggal dengan interaksi mereka berdua. Namun, egonya yang lebih dulu bicara dan menarik Elisa duduk di atas pangkuannya.
“Jauhkan tanganmu dari istriku!”
“Jauhkan tanganmu dari istriku!”Bentakan itu membuat Alex dan Elisa tersentak. Begitu pula dengan para pengawal di ruangan tersebut.“Apa yang kalian lakukan? Seret dia keluar dari ruanganku dan jangan biarkan siapa pun lagi masuk!” tegas Stevan dengan wajah marah.Alhasil, dua orang pengawal segera menyingkirkan Alex dan meninggalkan ruangan, menyisakan Elisa yang masih terduduk di pangkuan Stevan. “A-aku akan berdiri,” ujar Elisa dengan gugup.“Diam,” titah Stevan dingin, memperkuat cengkeramannya kepada Elisa seraya menatapnya tajam. “Apa hubunganmu dengan Alex?” Suara dingin Stevan membuat Elisa gugup dan kembali berkeringat dingin. Perasaan tidak nyaman menyergap, terlebih Stevan menghakiminya dengan tatapan seolah ingin menelannya hidup-hidup. Belum lagi cengkeraman di pergelangan tangan yang semakin kuat seperti elang yang tak ingin kehilangan mangsanya.“Aku tidak pernah mengulangi pertanyaanku. Ada hubungan apa kau dengan bedebah itu?!”Elisa tersentak mendengar bentakan S
“Nyonya Elisa Andara,” panggil seorang petugas yang keluar dari laboratorium rumah sakit.Elisa langsung berdiri dari kursi dan menatap petugas tersebut menyerahkan selembar kertas ke tangannya. “Ini hasil pemeriksaan USG-nya.” Wajah petugas itu semringah, berbanding terbalik dengan Elisa yang tampak pucat. “Selamat, Nyonya akan jadi ibu.” Kepala Elisa tertunduk, menatap kertas di tangannya dengan saksama. “Aku … sungguh hamil?”Elisa semakin tak bisa berkata-kata. Ketakutannya menjadi nyata. Dia benar-benar hamil anak Stevan!Detik itu juga ingatannya kembali ke belakang saat Stevan bertekad menceraikannya. Pria itu tidak pernah menerima pernikahan mereka, juga membenci inseminasi buatan yang dilakukan tanpa persetujuan darinya.Kalau pria itu mengetahui kehamilan ini, bukankah posisi Elisa akan sangat berbahaya?!Elisa langsung menghadap Dokter Mecca, dokter yang bertugas memeriksanya atas rekomendasi Renata dulu.“Dokter, berapa usia kandungan saya saat ini?”“Dilihat dari tangga
“Apa aku salah lihat?”Elisa mengerjap matanya dua kali, bahkan sampai mendekatkan dokumen itu mendekati wajahnya. Dia benar-benar kaget melihat nominal yang tertera di sana.“Satu, dua, tiga, empat, ….” Elisa lanjut berhitung dalam hati, berapa digit angka yang berhasil membuat bola matanya terbelalak tak percaya. Jumlah yang sangat fantastis, tidak pernah terbayang sebelumnya jika aset yang dimiliki oleh Stevan sebanyak itu. “Pantas saja Alex dan ayahnya sangat berambisi menguasai harta peninggalannya jika Stevan meninggal. Kehidupan mereka akan terjamin tujuh turunan. Ah, bahkan mungkin lebih,” gumam Elisa seorang diri, masih terhanyut dengan isi kepalanya sendiri.“Jika yang Stevan miliki saja sebanyak ini, tidak menutup kemungkinan Mama juga memiliki jumlah aset yang sama atau bahkan lebih banyak lagi. Pantas saja dia tidak masalah menanggung utang ibu tiriku ….”Elisa mencubit pipinya sendiri untuk menyadarkannya jika yang dia lihat bukanlah mimpi. Namun, hal itu justru berhasi
“Katakan! Untuk siapa kau bekerja?!”Bentakan Stevan membuat Elisa terenyak. Gadis itu pun berusaha melepas tangan Stevan yang semakin menyakitinya, tapi pria itu begitu kuat.“Aku sama sekali tidak bekerja untuk siapa pun!”“Bohong! Kalau memang demikian, untuk apa kamu mencuri laporan keuangan perusahaan?!”‘Mencuri?’ Mata Elisa membola. “Bidang studiku fashion design dan tidak pernah bersinggungan dengan laporan keuangan sebelumnya. Untuk apa mencurinya?!” Dia mencoba menjelaskan, “Aku hanya tidak sengaja melihatnya, tapi aku benar-benar tidak punya tujuan apa pun. Bahkan, aku tidak paham isi berkas yang tadi kulihat. Bagaimana mungkin aku akan menjatuhkanmu?!”Elisa berusaha membela diri, tapi hal itu malah membuat Stevan semakin menjadi-jadi.Bibir Stevan mengukir senyum miring, dia merasa Elisa tengah mengucapkan omong kosong.“Tidak mau mengaku, ‘kan?” ujar Stevan dengan nada menantang. “Kalau begitu coba kita lihat kamu mau diam sampai kapan!”Stevan berteriak lantang, “Pengaw
“Elisa … bangunlah, Nak.” Renata berlari memasuki kamar Elisa dan bersimpuh di samping tubuh mungilnya yang tergeletak di lantai. Tangannya sibuk menepuk-nepuk Elisa yang masih terpejam. Bibirnya pucat pasi seperti mayat.Maria terperanjat mendengar kepanikan Renata. Semula, dia hanya berdiri di tempatnya karena takut kepada Stevan. Pria itu melarang siapa pun membuka pintu kamar Elisa. Bahkan, Maria juga kena dampaknya saat kemarin berniat memberikan makanan secara diam-diam.“Elisa ….” Renata berusaha mengguncang tubuh menantunya, tapi tetap tak ada reaksi. “Buka matamu, Sayang. Mama di sini.”Beberapa detik berlalu, tetap tak ada yang berubah. Tubuhnya begitu dingin seperti sudah berjam-jam tergeletak di lantai tanpa pertolongan.“Maria, panggil dua pengawal ke sini dan siapkan mobil sekarang juga!” Hening beberapa saat. Suara serak Renata tak berhasil membuat wanita enam puluh tahun itu bertindak. Tatapan Stevan yang dingin dan arogan berhasil mengikis keberaniannya.“Maria!”“Ba
PLAK! Suara tamparan mantap bergema di bilik rumah sakit Elisa. Semua orang yang ada di ruangan itu terbelalak, terkejut dengan sosok Renata yang melayangkan pukulan ke wajah putra kesayangannya itu. “Berani-beraninya kamu bertindak dengan begitu keji?!” Mata Renata menatap nyalang sosok Stevan. “Apa nyawa manusia tidak berarti lagi untukmu, hah?! Apa hanya dinasti bisnismu yang kamu pikirkan!?” Stevan terdiam di tempatnya. Setelah apa yang dia lakukan kepada Elisa, dirinya memang pantas menerima sebuah tamparan. Namun, kemarahan sang ibu, apa Stevan bisa menerimanya? “Kalau ada yang marah, hanya wanita itu yang berhak marah.” Stevan mengangkat pandangan dan menatap ibunya. “Ibu tidak pantas membicarakan mengenai menghargai nyawa manusia di hadapanku,” balas pria itu dengan wajah dingin. Mata Renata terbelalak. “Stevan, berani-beraninya kamu—” “Tinggalkan kami berdua,” ucap Stevan dengan suara dingin dan dalam. Tatapan matanya tertuju pada Elisa yang terbaring lemah tak berdaya
“Hukuman? Apa yang kamu—”“Pikirkan sendiri,” balas Stevan ketus. “Intinya, kita tidak akan bercerai kecuali aku mengizinkannya!”Elisa mengerjap beberapa kali, berusaha mencerna kalimat yang baru saja didengarnya. Namun, sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Stevan berbalik dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Menghadapi sikap Stevan, Elisa merasa sangat kacau. Matanya terasa panas karena pening di kepala dan sesak di dada.Di mata Stevan, apa dirinya adalah sampah yang tidak memiliki hak untuk bicara?Kalau memang ya, kenapa tidak buang saja? Kenapa pria itu malah menjadikannya tahanan dan menyiksanya!?Air mata mulai luruh menuruni wajah Elisa. Di dalam hatinya yang terdalam, dia sedikit menyesal telah mendoakan kesembuhan Stevan. Andaikan pria itu tetap koma, mungkin hidupnya tidak akan menjadi serumit ini!Tepat pada saat itu, pintu kamar Elisa terbuka. “Elisa!” Renata terlihat memasuki ruang perawatan dengan tergesa.Melihat Elisa menangis, Renata langsung memeluk menantuny
“Kemari dan ikut makan malam.”Perintah itu membuat mata Elisa mengerjap, seakan ragu apakah dirinya salah dengar atau tidak. Namun, tatapan tajam Stevan membuat Elisa yang bingung tetap melangkah mendekat dan bergabung di meja makan.“Aku cukup terkejut saat tahu Stevan akhirnya menikah.” Pria dengan kening lebar membuka suara, memperhatikan penampilan Elisa dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Matanya tampak jelalatan di beberapa bagian tubuh tertentu milik Elisa, sedangkan senyumnya terlihat mesum karena membayangkan apa yang ada di balik pakaian wanita tersebut.Ucapan tersebut dibalas oleh seorang tamu wanita, “Memangnya ada masalah apa? Karena dia laki-laki, sudah seharusnya menikahi seorang wanita, bukan?”Elisa menatap wanita yang duduk di depannya. Dari penampilan dan wajahnya, dia pastilah wanita karier yang sukses. Usianya sekitar 27 tahun, lima tahun lebih tua dari Elisa. Namun, tidak ada cincin di jari manisnya yang menandakan dia masih lajang.Seorang tamu lain menga
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli