Halo semuanyaa! Terima kasih banyak ya masih setia mengikuti kisah Elisa & Stevan, dukungan kalian sangat berarti buat Author. Semoga konfliknya tidak membuat kalian bosan ya hehe. Menurut kalian, apakah kali ini rencana Clara bisa menghancurkan hubungan pasutri kita ini? Nantikan di bab berikutnya yaaa, sampai jumpa besok ^^
“Dia makan selahap itu?” batin Alex saat menyadari makanan di depan Elisa hampir habis seluruhnya. Padahal tidak sedikit yang tersaji di sana. Teishoku, satu paket lengkap makanan yang banyak disajikan di restoran Jepang.Ada semangkuk nasi yang disandingkan dengan sup miso dan tsukemono atau acar Jepang. Selain itu, masih ada karaage, tempura, juga yakizakana. Jangan lupakan tamagoyaki atau telur dadar yang juga sudah berpindah ke perut Elisa.“Kamu kelaparan atau Stevan tidak memberimu makan?”Pertanyaan Alex membuat Elisa menghentikan santap siangnya detik itu juga dan mengangkat wajahnya.“Lupakan saja. Anggap aku tidak pernah mengatakan apa pun,” ujarnya kemudian. “Aku senang kamu makan dengan lahap. Itu artinya aku tidak membuatmu ketakutan seperti semalam.”Elisa tak menjawab, tapi perlahan meletakkan sumpit di tangannya. Segelas teh hijau menjadi penutup setelah makan besar yang sungguh mengenyangkan. Dia sendiri tidak menyadari nafsu makannya bisa jadi seperti itu.“Aku sudah
“Stevan?!” Alex dan Elisa saling pandang, tidak menyangka akan mendapati Stevan di sana. “Sejak kapan kamu—” CUP! Kalimat Elisa tak pernah terselesaikan karena Stevan lebih dulu membungkam bibirnya dengan mulut. Pria itu bahkan tidak segan menarik tubuh Elisa dan menahan tengkuknya. ‘Apa yang terjadi? Kenapa Stevan seperti ini?’ batin Elisa yang kini terbelalak matanya. Stevan tidak sedang menciumnya dengan lembut, melainkan seolah ingin memakannya bulat-bulat. Pria itu menggigit ujung bibir Elisa, meminta akses masuk. Dan sialnya, mulutnya benar-benar terbuka dan membiarkan lidah Stevan mulai membelit lidahnya. Seluruh tubuhnya meremang seketika, terasa panas seperti terbakar. ‘Apa dia sedang marah?’ Lagi-lagi Elisa hanya bisa menggumamkan pertanyaan itu dalam hati. Tangannya mencengkeram jas Stevan erat-erat seiring tubuhnya yang mulai terasa lemas. Lututnya bergetar karena perlakuan tiba-tiba yang Stevan lakukan padanya. Stok oksigen di dalam paru-parunya pun terasa mulai
“Ha … hamil?” beo Stevan dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan.Elisa mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya, takut-takut menatap pria yang seolah kehilangan akal sehatnya, terbengong memastikan telinganya tidak salah dengar.“Ka–kau hamil?” ulang Stevan setelah beberapa saat berlalu tanpa suara. “Bagaimana bisa?”“Stevan ….”“Bukankah hari itu jelas-jelas kau bilang tidak hamil? Inseminasi buatannya gagal?”Satu bulir air mata luruh membasahi wajah pucat Elisa. Berkali-kali gadis itu meremas ujung gaunnya, memastikan kakinya masih tegap berdiri menghadapi situasi kali ini.“Maaf,” jawab Elisa dengan suara serak, “aku juga tidak tahu. Ini benar-benar di luar dugaan. Aku—”Kalimat Elisa tak pernah terselesaikan karena Stevan mengangkat tangannya di depan badan, meminta gadis di depannya tak lagi bicara.“Sejak kapan dia ada di sana? Kau sengaja menyembunyikannya dariku?”Stevan mengambil dua langkah ke belakang sambil menggelengkan kepala menatap perut Elisa. Logikanya sumbat,
Meski tidak senang, tapi apa yang Elisa katakan benar adanya. Stevan pernah begitu membenci istrinya, bahkan ingin menyingkirkan gadis itu dengan segala cara. “Dokter memintaku memikirkannya matang-matang. Bagaimanapun juga, kehadiran bayi ini adalah konsekuensi karena aku mau menjadi pengantin bayaran untukmu. Bayi ini tidak bersalah. Dia hadir karena keputusan bodohku menikahimu.” Suara Elisa tersekat di tenggorokan, tidak bisa melanjutkan ucapannya. Lagi-lagi sedu-sedan terdengar. Bahunya berguncang. Bisa dipastikan air mata kembali mengalir di pipinya, sebagian merembes membasahi kemeja Stevan. Jalinan tangan Elisa di depan perut Stevan semakin erat. Luapan emosinya tak tertahan, menjelma menjadi tangisan. Dibandingkan sakit hati Stevan karena baru mengetahui kehamilan Elisa sekarang, nyatanya gadis itulah yang paling tersiksa batinnya. “Aku tidak takut kamu membenciku, tapi aku takut kamu membenci anak tidak bersalah ini. Itu sebabnya aku tidak pernah berani mengungkapkan keha
“Selamat datang, Steve.”Seorang wanita seusia Stevan tersenyum menyambut pasangan suami istri yang sekarang muncul di ruangannya. Jas putih yang melekat di tubuhnya menunjukkan profesinya pastilah seorang dokter.“Mari, silakan duduk.”Elisa meneguk ludah, menatap takut-takut pada Stevan yang sejak tadi terus diam. Pria itu tidak terlihat marah, tapi juga tak mengajaknya bicara.Satu dua obrolan singkat terdengar saat Elisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Papan nama akrilik bertuliskan nama Jasmine Medina berdiri tegak di atas meja. Salah satu dokter spesialis kandungan yang mewarisi Medina Hospital milik keluarganya.“Apa kabar, Elisa?”
“Akan ada begitu banyak hal-hal menakjubkan yang akan kalian lihat ke depannya. Untuk saat ini, seperti yang kalian lihat. Dia sudah memiliki kelopak mata meskipun masih tertutup, alis dan bulu mata yang semakin jelas terlihat.”Elisa tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Bahkan satu bulir air mata tampak menembus pertahanannya. Tentu saja itu tangis bahagia.Melihat hal itu, Stevan berdiri dari kursinya dan mendekat ke arah Elisa. Tangannya segera menangkup pipi Elisa, bahkan memberikan kecupan singkat di pelipis sebelah kirinya. Satu sentuhan romantis yang membuat wanita itu terharu.“Lihatlah, tangan dan kakinya sudah semakin sempurna. Bahkan, kuku-kukunya pun sudah mulai bertumbuh. Selain itu, bakal giginya mulai terbentuk bersama perkembangan tulang yang semakin padat.”
“Aku tahu ini mungkin mengusikmu, tapi pernikahan tidak bisa dianggap main-main, Steve. Untuk seorang pria, dia akan baik-baik saja meski berpisah dengan istrinya. Dia bisa menikah lagi tanpa membawa beban berarti. Namun berbeda halnya dengan wanita jika dia berpisah dari suaminya. Terlebih, ada anak yang mengikat hatinya.”Stevan memejamkan mata saat mengingat kata-kata Jasmine sesaat lalu.‘Dia benar. Ada yang salah dengan hubungan kami, tapi bagaimana caraku memperbaikinya? Elisa sedang hamil sekarang,’ batin Stevan sambil memperhatikan pemandangan di luar kaca mobil yang dilewatinya.“Jaga Elisa baik-baik. Pastikan kamu tidak menyakitinya. Jika di masa depan terjadi kesalahpahaman, jangan gegabah mengambil keputusan. Kamu jauh lebih dewasa, sudah seharusnya menjadi pelindung untuk Elisa dan anak-anak kalian.”“Anak-anak?” Kening Stevan berkerut dalam. “Maksudmu ….”Jasmine mengangguk, “Bayi kalian kembar.”DEG!Stevan kesulitan bernapas, menatap Jasmine dengan keterkejutan yang am
“Aku tidak bisa menunggu lagi. Katakan dengan jelas kenapa kamu tetap mempertahankan kehamilanmu meski terpikir aku tidak akan menerimanya?” Elisa menggeleng, kesulitan bicara meski mulutnya terbuka. Semua susunan kata seolah terhapus dari otaknya. “Apa yang kau inginkan sebenarnya?” Tangan Elisa yang sedari tadi menempel di kedua bahu Stevan, kini terkepal erat menggenggam kimono pria itu. Matanya bergerak gelisah, menatap manik hitam yang tak melepas pandangan sedetik pun darinya. “Katakan dengan jelas, Elisa,” tukas Stevan sambil menggerakkan tangannya di punggung Elisa yang tertutup piyama berbahan satin. “Seperti yang aku katakan sebelumnya, dia tidak bersalah. Aku yang setuju menikah denganmu dan melakukan inseminasi buatan permintaan Mama. Artinya, akulah yang harus dipersalahkan jika aku benar-benar hamil. Anak ini tidak berdosa. Dia sama sekali tidak tahu apa-apa,” jawab Elisa dengan suara bergetar. “Kita terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah kita inginkan. Kamu mu
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli