"Aku adalah pria terbaik Serena yang selalu ada untuknya. Kau siapa?" balas Calvin tak gentar.
Aiden tertawa kecil karena sikap arogan yang Calvin tunjukkan padanya yang seolah-olah ia berhak bertindak apa pun pada Serena karena ia adalah kenalannya.
"Hah, pria terbaik, ya? Apa kau yakin? Bagaimana jika kukatakan Serena adalah wanitaku?" balas Aiden tak mau kalah.
Serena dan Calvin sama-sama membelalakkan kedua bola matanya karena terkejut mendengar ucapan Aiden.
"Apa?" Calvin menatap Serena seolah ingin meminta penjelasan pada gadis itu atas ucapan yang mengejutkannya itu.
"Benarkah itu, Seren?" tanyanya kemudian. Ada raut kekecewaan dalam wajahnya.
"Begini, Calvin, aku bisa menjelaskannya," ucap Serena gugup.
"Mengapa kau harus menjelaskan sesuatu pada pria yang bukan kekasihmu ini, Serena?" timpal Aiden sambil menatap Calvin yang melihatnya tak suka.
"Kau bukan kekasihnya, kan? Jika benar kau adalah prianya, aku tak mungkin tak tahu akan hal itu. Apa kau tak tahu apa hubunganku dengannya?" tantang Aiden lagi dengan santai.
"Oh, ya ampun," lirih Serena sambil menggigit bibir bawahnya karena ia mulai gugup dengan tatapan pengunjung yang memerhatikan mereka.
"Kita harus bicara, ayo ikut aku, Cal," ucap Serena sambil meraih lengan Calvin.
"Ya, bicaralah dengannya lalu pulanglah ke rumah dengan selamat. Oke, Bunny Manis? Terima kasih sudah membawakan pakaian dalam dan makanan untukku berjaga malam ini," ucap Aiden yang sontak membuat Calvin menganga.
"Oh, please, Aiden," ucap Serena lalu beranjak meninggalkan pria yang sengaja menggodanya itu sambil menarik Calvin.
Aiden tertawa kecil melihat Serena yang gugup dan buru-buru menjauh darinya. Ia tak sadar hingga seseorang berdiri menjajarinya dan menatapnya tajam.
"Wanitamu, ha? Bunny Manis?" ucap seorang wanita sambil menatap kepergian Serena dengan raut tak terbaca.
"Crystal, kau mengagetkanku!" seru Aiden tertahan.
Ia begitu terkejut dengan kehadiran seorang dokter cantik berambut pirang sebahu yang merupakan rekannya yang tahu-tahu sudah menjajarinya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
"Apa yang kau bawa? Pakaian dalammu? Apakah ia yang mengantarkannya? Siapa Bunny? Wanitamu? Apakah ia tipe wanita yang kau sukai?" cecarnya kemudian pada Aiden yang kebingungan.
"Ah, hentikan," potong gadis bernama Crystal itu saat Aiden hendak membuka mulutnya untuk menjawab semua pertanyaannya. "Aku tak ingin mendengarnya. Sekarang ada keadaan darurat, kita harus segera kembali," lanjutnya kemudian sedikit dingin.
Ia lalu berbalik dan berjalan mendahului Aiden sebelum pria itu sempat mengucapkan sepatah kata pun.
"O ... oke?" balas Aiden tak mengerti dengan tingkah Crystal yang mendadak berubah datar padanya dan meninggalkannya. Ia mengerutkan alisnya dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Sementara itu ....
Serena membawa Calvin ke area taman yang rindang di dekat kampusnya yang berada di seberang kafetaria rumah sakit. Pria dengan rambut cokelat terang dengan mata kebiruan itu menatapnya dengan raut sungguh-sungguh.
"Katakan, Serena, apakah pria kasar tadi itu adalah kekasihmu?" tanya Calvin tak sabaran.
"Tidak. Ia bukan kekasihku," jawab Serena sambil menggeleng.
"Benarkah? Oh, syukurlah." Calvin kemudian mengembuskan napasnya seolah lega. "Lalu, katakan padaku, mengapa kau dan keluargamu meninggalkan Birmingham begitu saja tanpa memberi kabar? Tak tahukah kau aku begitu terkejut dengan kepergian kalian yang tiba-tiba itu?"
Serena mengembuskan napasnya. "Karena kami harus berkuliah. Kau tentu tahu bahwa Dad menginginkan putri-putrinya mendapatkan universitas terbaik, bukan?" ucap Serena.
"Tapi di sana pun memiliki universitas terbaik dan bahkan kau telah mendapatkan beasiswa penuh. London bukan satu-satunya pilihan, bukan?! Kau bahkan pergi tanpa memberitahu apa pun padaku."
"Ya, kau benar. Tapi, di sana bukan universitas yang diinginkan Helena," balas Serena dengan senyum kecil.
Calvin mengembuskan napasnya. Sebagai tetangga yang telah lama tinggal di lingkungan yang sama dengan mereka, ia tahu benar bahwa kedua orang tua Serena akan memprioritaskan keinginan Helena saudari kembarnya dari pada keinginan gadis di hadapannya.
"Aku mengerti. Lalu, di mana sekarang kalian tinggal? Apakah Helena juga masih berkuliah di sini? Bukankah seharusnya kalian sudah lulus? Oh, Tuhan, tahukah kau berapa lama aku mencarimu?" tanya Calvin.
"Mengapa kau tega meninggalkan semua tanpa memberi kabar sedikit pun? Terutama kepadaku? Kau sungguh jahat, Seren. Bisa-bisanya kau juga memblokir nomorku."
Tatapan terluka kembali Calvin perlihatkan padanya. Tatapan yang pernah ia terima beberapa tahun yang lalu sebelum mereka berpisah.
Serena menunduk. Ia sedikit merasa bersalah pada pria tampan yang kini duduk di sebelahnya. Ia memang memblokir nomor Calvin karena ingin melupakannya. Ya, ia melakukannya atas permintaan Helena yang saat itu juga menyukai pria itu. Sama sepertinya yang pernah menyukai pria tampan berlesung pipi itu.
Helena tak suka mengetahui fakta bahwa Calvin pernah menyatakan perasaannya padanya dan bukannya dirinya. Maka, ia meminta Serena untuk melupakan pria itu karena ia juga menyukainya.
Dan tentu, bagi Serena, ia lebih memilih Helena karena ia sendiri juga merasa tak percaya pada dirinya sendiri yang mampu berada di sisi pria seperti Calvin yang sangat populer di lingkungannya saat itu. Lagi pula, ia juga tak ingin menghancurkan hubungan persaudaraan mereka karena seorang pria.
"Seren?" panggil Calvin sambil meraih jemari Serena dan mengembalikan lamunan gadis itu.
"Panjang ceritanya, Cal," jawab Serena singkat. Ia menelan ludahnya untuk menekan perasaannya yang berkecamuk.
"Sekarang katakan, apa yang kau lakukan di sini, Cal?" tanya Serena.
Calvin tersenyum kecil saat Serena memanggilnya dengan nada yang masih akrab seperti dahulu. "Aku baru diangkat menjadi manajer umum di perusahaanku dan dipindah di sini untuk memimpin kantor pusat."
"Benarkah? Lalu, bagaimana kau dapat menemukanku?" tanya Serena.
"Oh, kau tentu tak ingin tahu itu. Aku sudah mencari tahu ke berbagai kampus yang mungkin akan kalian masuki. Dan setelah aku memantaskan diri, aku baru berani menemuimu," jelasnya.
Calvin mengenggam tangan Serena dan menatapnya lekat-lekat. "Seren, aku senang akhirnya dapat bertemu denganmu. Seren, perasaanku masih sama padamu seperti dulu."
"Karena tak ingin membuang waktuku, aku ingin menyatakannya sekali lagi padamu. Aku masih mencintaimu dan akan terus mencintaimu. Maukah kau menjadi kekasihku, Serena?" pintanya.
Serena membeku mendengar pernyataan Calvin yang mendadak. Ada hening yang tercipta setelah Calvin mengungkapkan perasaannya.
Lalu, beberapa saat kemudian, keheningan mereka harus dikejutkan oleh dering ponsel Serena. Dengan gugup Serena mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan menatap layar tersebut.
Calvin yang ikut menatap layar ponsel Serena, seketika terhenyak saat ia membaca nama yang tertera di sana. Suami.
"Siapa yang meneleponmu? A ... apa maksudnya itu?" tanyanya shock sambil masih menatap ponsel Serena.
"Su ... suami? Apa maksudnya, Seren?" tanyanya lagi seketika tergagap.
Serena membasahi bibirnya sebelum berani menjawab, "Calvin, aku sudah menikah."
Jawaban dari Serena seketika meruntuhkan dunia Calvin. Ia tercekat dan serasa tak dapat bernapas dengan benar saat menatap kedua mata gadis yang ada di hadapannya itu. Ya, walau ingin menyangkalnya, tapi ia tahu, Serena Irish Renault bukanlah gadis yang mampu bercanda dan mengatakan kebohongan semacam itu.
Terutama jika itu sebuah candaan dan kebohongan besar yang begitu mengejutkan seperti sekarang ini. Ia menggeleng keras untuk menepis semua yang ia dengar.
"Ti ... tidak, tidak. K ... kau sedang bercanda, bukan?" lirih Calvin tak percaya. Ia bangkit dari duduknya untuk meredam keterkejutannya.
Serena mengerutkan alisnya dan menunjukkan wajah yang merasa bersalah padanya. "Tidak, Calvin. Aku memang sudah menikah."
Penegasan Serena seolah menjadi vonis mati bagi Calvin. Gadis itu menatapnya dengan raut sungguh-sungguh yang penuh dengan keprihatinan.
"Maafkan aku, Cal. Aku harus pergi sekarang."
Ucapan Serena selanjutnya tak benar-benar Calvin dengarkan. Ia bahkan tak menahan gadis yang kemudian berlalu darinya itu karena ia benar-benar merasa lemas dan seolah tak dapat menopang tubuhnya hingga ia kembali duduk dengan putus asa.
"Ini tak mungkin terjadi. Tidak!" Calvin menggeleng dan bersikeras mengenyahkan ucapan Serena yang masih terngiang di dalam kepalanya setelah gadis itu pergi. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi.
Serena yang telah pergi dengan sebuah mobil beserta sopir yang menjemputnya dua puluh menit yang lalu, membuat Calvin begitu kosong dan hampa dengan menyisakan pertanyaan besar yang berkecamuk di dalam dadanya.
Bagaimana mungkin Serena sudah menikah? Ia bahkan tak pernah mengetahui gadis itu memiliki kekasih. Bagaimana mungkin tiba-tiba ia memiliki seorang suami saat gadis itu sendiri masih berkuliah? Lagi dan lagi, Calvin berusaha menepis semua kenyataan itu.
Dalam benaknya, ia sudah bertekad akan mencari tahu semua hal tentang Serena. Demi apa pun, ia masih tak rela jika harus kehilangan Serena setelah sekian lama ia mempersiapkan diri untuk muncul di hadapannya.
"Tidak, tidak, aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak bisa kehilanganmu begitu saja, Seren. Aku tak akan menyerah dengan mudah hanya karena hal ini," gumamnya penuh tekad.
____****____
Malam itu Julien diam-diam masih mengamati Serena yang terlihat sering melamun setelah ia pulang dari kampusnya semenjak siang tadi. Bahkan sampai malam selesai, Serena terlihat tampak tidak fokus dengan apa pun yang sedang dikerjakannya. Hanya dengan melihat raut wajahnya, Julien sudah dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu lagi pada gadis itu.Seperti saat ini, gadis itu bahkan tampak banyak melamun walau sedang menghadap laptopnya. Ruang baca yang hanya diisi mereka berdua tampak lebih hening dari biasanya."Apa ia masih begitu sibuk hingga tak sempat membalas pesan-pesanku, ya?" gumam Julien sambil menatap ponselnya. Ia sendiri tak fokus pada berkas-berkas yang seharusnya ia periksa.Julien yang sejak siang sudah merasakan keanehan pada Serena, segera mengirim pesan pada Aiden dan bertanya apa mungkin telah terjadi sesuatu pada gadis itu saat ia mengantarkan barang untuk putranya, sesaat setelah Serena kembali ke rumah dengan wajah sedikit lesu. Namun hingga malam menjelang, ia
Julien masih mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya sesaat setelah ia berteleponan dengan Aiden tadi. Walau raut wajahnya terlihat serius, namun sesungguhnya ia tak dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaannya."Maaf jika aku menyela, tapi adakah yang Anda inginkan, Tuan?" tanya Serena pada Julien yang masih tampak fokus dengan berkas tebal yang sedang dibacanya.Julien melepas kacamata baca miliknya dan menatap Serena yang telah merapikan buku-bukunya. Gadis itu kini telah mencepol rambutnya dan terlihat sedikit lelah saat ia melipat kacamatanya sendiri."Kau sudah selesai?" tanya Julien."Ya." Serena mengangguk. "Jika Anda belum selesai, aku bisa membawakan kudapan atau minuman hangat selagi Anda menyelesaikan memeriksa naskah tersebut."Julien sedikit terkejut ketika ia melihat jam tangannya. "Sudah jam sebelas rupanya. Apa kau sengaja menungguku?" tanyanya."Tidak. Aku juga baru menyelesaikan tugasku."Julien tersenyum kecil karena ia yakin Serena tak mengatakan yang sebenarnya. "
"Sekarang katakanlah dengan tenang, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Julien mengusap sisa air mata pada wajah lembab Serena setelah gadis itu telah benar-benar berhenti menangis. Ia menyibak sejumput rambut Serena yang tergerai ke belakang telinganya."Aku be ... bertemu dengan Calvin dan menceritakan semuanya tentang kita padanya," ucap Serena akhirnya."Calvin? Siapa ia?" balas Julien sambil mengerutkan alisnya.Lalu, dengan sedikit bergetar dan terbata, Serena akhirnya menceritakan perihal pertemuannya dengan Calvin dan alasannya melakukan itu kepada Julien. Ia bahkan bercerita tentang Calvin dan hubungannya dengan masa lalunya tanpa ia tutupi sedikit pun. Julien mengembuskan napasnya dan tampak berpikir sejenak setelah Serena menceritakan semuanya. Tak ada raut kesal atau pun marah pada wajahnya. Justru, ia terlihat lega setelah dengan sabar mendengar penuturan gadis itu."Terima kasih kau sudah bercerita padaku, Serena. Untuk seterusnya, mulai sekarang kau harus mengatakan d
Tiga hari kemudian, hari di mana pesta berlangsung, Serena masih termangu di tempat duduknya sambil menyentuh bibirnya setelah ia bersiap dengan gaun malam model mermaid dress berwarna biru tua miliknya untuk menghadiri pesta malam itu bersama Julien.Bibirnya yang masih terasa panas dan penuh dengan aroma Julien itu masih membuatnya berdebar bahkan ketika pria itu tak ada di dekatnya. Dan seperti rencana yang telah dikatakan Julien sebelumnya, selama tiga hari lalu pria itu membawanya menginap di hotel, berbelanja, pergi ke salon di pusat kota, bahkan berjalan-jalan untuk sengaja memperlihatkan kemesraan mereka di hadapan publik.Dan selama tiga hari itu pula, Julien memperlakukannya bak seorang ratu. Ia memanjakannya dengan puluhan baju baru dan barang-barang belanjaan mewah lainnya. Ia juga bersikap begitu mesra layaknya seorang pria yang menggilai pasangannya. Tentu saja, sekarang sentuhan fisik maupun ciuman seolah sudah menjadi hal yang wajar yang pria itu lakukan padanya di saa
Mereka kemudian masuk ke dalam lift untuk menuju ke area pesta yang ada di lantai satu. "Maafkan aku kau harus melihat dan mendengar semua omong kosong Lucia tadi," ucap Julien pada Serena setelah mereka berada di dalam lift."Tak apa. Aku sudah tidak terkejut lagi dengan sikapnya," balas Serena."Jangan dengarkan apa pun yang ia katakan. Mungkin reputasiku memang telah dicap buruk, tapi aku tak akan pernah melakukan dan membiarkan sesuatu yang mungkin dapat menyakitimu. Dan jika ada yang ingin kau tanyakan tentangku, jangan ragu untuk mengatakannya. Apa pun itu. Karena aku tak ingin kau mendengar tentangku dari mulut orang lain."Ucapan Julien membuat Serena tenang. Ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Baiklah, aku mengerti," jawabnya."Ck, harusnya tadi kubuat ia meminta maaf padamu atas perbuatannya tempo lalu. Aku sudah sangat terlalu muak padanya hingga rasanya tak ingin berlama-lama melihatnya. Sekali lagi, maafkan aku karena telah membuatmu harus berurusan dengan wanita i
Sudah sekitar sepuluh menit Serena berdiri dan menatap ke arah jendela di ruang baca dengan raut muram ketika Julien perlahan masuk ke dalam ruangan tersebut dan memperhatikannya. Gadis yang mengenakan jubah tidur itu bahkan tidak menyadari kehadirannya karena ia begitu terpaku pada satu titik di luar jendela dan terhanyut dalam benaknya yang terlihat sedang berpikir keras.Ya, Serena memang sedang mengingat lagi apa yang diucapkan Calvin padanya ketika ia menghentikan mereka meninggalkan pesta tadi."Dua hari yang lalu aku menemui orang tuamu dan Helena," akui Calvin berterus terang.Saat itu, Serena yang hendak keluar ruangan, sketika membeku. Ia tak langsung membalas ucapan Calvin karena ia masih begitu shock. Ia harus mengumpulkan kekuatannya dahulu sebelum kemudian bisa menjawab dengan suara yang tak bergetar."Mengapa kau menemui mereka?" tanya Serena sambil membalikkan badannya yang sebelumnya telah siap keluar."Aku hanya ingin memastikan sesuatu saja," jawab Calvin beralasan.
"Oh, Baby-ku, kau sudah datang! Peluk aku!" Seruan yang penuh luapan kegembiraan terlontar dari bibir pucat seorang gadis yang masih bersandar di atas ranjang pasien miliknya saat Serena masuk. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan Serena.Ya, ia akhirnya memutuskan untuk menemui Helena setelah keadaannya membaik akibat 'serangan' Julien padanya lusa lalu dan karena kabar dari kedua orang tuanya yang mengatakan bahwa Helena siap bertemu dengannya."Aku senang kau telah terbangun, Helen. Mengapa kau tak membiarkanku langsung menemuimu?" ucap Serena setelah ia memeluk saudarinya."Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Serena pada saudarinya yang sedang setengah berbaring itu."Oh, Baby, keadaanku buruk, semua terasa menyebalkan. Untuk itulah aku tak ingin kau menemuiku terlebih dahulu," balas Helena sambil bersikap manja."Ugh, jika bukan karena si berengsek itu, aku mungkin sudah melalui hari-hariku yang indah tanpa merasakan ini," keluh Helena
"Oh, benarkah? Wah, mengapa kebetulan sekali?" balas Helena untuk menutupi keterkejutannya. Kini ia beralih menatap Aiden."Oh, apa kau belum tahu tentang hal itu?" tanya Aiden yang kemudian menyadari situasinya."Belum. Serena mungkin tak ingin mengejutkanku dengan mengatakan bahwa ia telah menikah dengan seorang pria tua," balas Helena sambil tersenyum manis penuh arti. "Aku cukup mengerti karena seperti itulah ia. Ia juga pasti mempertimbangkan kondisiku yang baru pulih.""Aah, begitu? Benar, bukan hanya kau, aku pun terkejut awalnya saat Dad memberitahuku. Tapi, karena memang pria tua itu suka melakukan hal-hal yang tak kumengerti, akhirnya aku bisa menerimanya juga. Dan karena sekarang berarti kita adalah keluarga, maka jangan sungkan padaku, ya!" balas Aiden.Helena tertawa. "Oh, menyenangkan sekali ternyata dapat menjadi keluargamu, Aiden. Tentu saja aku tak akan sungkan!"Aiden balas tertawa renyah. "Baguslah. Baiklah, aku hanya memiliki sedikit waktu karena para pasien yang l
Saat Helena mengira ia telah berhasil melumpuhkan Julien dengan mengikat kedua tangan pria itu agar tak mengganggunya, saat itu ia mulai kembali melancarkan aksi liarnya. Ia masih menggarap bagian tubuh bawah Julien dengan begitu bernafsu menggunakan mulutnya.Tenaganya saat ini jauh lebih besar dari Julien yang setengah tak sadarkan diri dan begitu lemas tak berdaya. Akibat obat yang diberikan padanya itu, Julien merasa pusing, mual hebat, pandangan menjadi lebih buram, nyeri otot, dan ia merasakan hot flash atau rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Peningkatan aliran darah yang melonjak drastis di area keperkasaannya pun membuatnya merasakan peningkatan sensitivitas, gairah, dan fungsi orgasme.Dalam keadaan tak berdaya tersebut, Julien tentu saja seperti telah dilumpuhkan. Dan ketiks Serena akan memaksa untuk melesakkan keperkasaan Julien ke dalam dirinya, saat itu juha tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka dengan keras."BRAK!"Helena terlonjak. Ia seketika tertegun kar
"Jadi, kau sudah berbaikan dengan ayahku, ya?" tanya Aiden pada Serena yang siang itu mendatangi ruangannya untuk memberikan sebuah bingkisan padanya."Apa ayahmu sudah bercerita?" balas Serena."Yah, begitulah. Ia menceritakan banyak hal termasuk semua yang ia tahan selama ini. Dan berkat itu, aku jadi tahu alasannya tak mencarimu ketika kau pergi. Ia tak ingin aku mengetahuinya karena aku bisa saja terbang ke sana untuk menemuimu dan menyeretmu kembali, begitu yang ia katakan."Serena tersenyum dan mengangguk kecil. "Ya, mungkin karena ia tahu bagaimana dirimu, jadi ia tak membuka hal itu. Tapi, kau telah menemaninya di saat-saat dirinya kesepian dan butuh seseorang. Aku tahu kau begitu sibuk, tapi kau tak meninggalkan ayahmu."Aiden mengembuskan napasnya. "Hanya ia yang kumiliki selain kakek dan nenekku, Seren. Tapi kini, selain dirinya aku juga memiliki kalian, adik-adik kembarku yang menggemaskan, juga kau. Kalian semua adalah keluargaku. Aku baru menyadari bahwa ayahku membutuhk
"Brak!"Serena mendongak seketika saat pintu ruang kerjanya terbuka keras kala ia sedang berfokus pada pekerjaannya. Ia melihat Helena masuk ke dalam kantornya dengan raut memburu yang kuat diikuti oleh sekretarisnya, Amel yang tergopoh-gopoh dan panik."Nyonya, Nona ini memaksa untuk masuk dan ...""Tak apa, Amel, keluarlah," jawab Serena menenangkan wanita itu. Setelah sekretarisnya undur diri, Helena mendekat dan berkacak pinggang di hadapannya."Apa yang telah kau lakukan?" hardiknya pada Serena.Serena meletakkan kaca mata bacanya dan menutup laptopnya untuk menatap Helena."Apa maksudmu?" tanyanya."Tak usah berlagak bodoh, dasar jal*ng!" umpat Helena. "Kau telah menghabiskan malam dengan Julien, bukan? Haruskah kuperjelas lagi peringatan yang pernah kukatakan padamu tempo lalu!? Jauhi dirimya dan jangan berani berbuat macam-macam di belakangku!"Serena hanya mengembuskan napasnya. Sebenarnya ia merasa malas untuk meladeni Helena hari ini karena pekerjaannya sudah begitu menumpu
"Ah, kau sudah kembali?" sapa pemilik penginapan saat melihat Julien masuk ke dalam penginapan dengan sebuah koper di tangannya.Pagi-pagi tadi ia sudah kembali ke area parkir mobil milik istrinya dan membawa kopernya yang kemarin tertinggal karena pertengkaran mereka, sementara Serena sendiri masih terlelap di kamar mereka."Ya, aku membawa koper milik istriku kembali. Sebenarnya ketika kami bertengkar kemarin, ia meninggalkannya di mobilnya di sekitar pertokoan."Pemilik penginapan itu tersenyum. "Aku bisa melihat itu. Dan kurasa, pagi ini kalian telah menyelesaikan pertengkaran kakian dengan baik, bukan? Mengingat betapa cerah dan bersemangatnya dirimu," lanjutnya sambil mengedipkan salah satu matanya seolah sedang menggoda Julien.Julien mengangguk dan tertawa kecil. "Anda benar," balasnya sedikit tersipu malu."Karena kami akan keluar siang nanti, kurasa aku akan menyelesaikan pembayaran sekarang, Nyonya. Terima kasih untuk pelayanan kamar yang begitu baik untuk kami yang kemarin
Paginya, Aiden dan Crystal saling berdiam diri ketika mereka berhadapan di depan meja makan. Ellie dan Bianca yang telah menyiapkan makanan pagi itu tampak sedikit heran dengan kecanggungan mereka."Aku tak mendengarmu datang semalam," ucap Aiden membuka pembicaraan."Ya, tentu saja, Anda sudah tertidur dengan si kembar ketika Nona Crystal datang, Tuan," timpal Ellie."Benar, kami bahkan tidak berani memindahkan mereka karena kami juga tidak ingin mengganggu istirahat Anda." Kali ini Bianca, putri Ellie ikut menimpali."Ya, Crystal yang sudah memindahkan mereka," jawab Aiden."Aku sudah memberitahumu melalui pesan singkat, bahkan meneleponmu ketika aku tiba. Dan saat Ellie memberitahu keberadaanmu, aku melihat kalian telah terlelap. Lalu ... aku memindahkan mereka."Crystal meneguk minumannya untuk menutupi kecanggungannya dan wajahnya yang memerah. Karena ia teringat lagi kejadian yang setelahnya terjadi setelah ia memindahkan si kembar. Ia yakin Aiden juga teringat hal yang sama kar
Dalam kebersamaan mereka, malam itu Julien dan Serena menghabiskan banyak waktu untuk saling berbicara dan mengungkapkan segala perasaan mereka dari hati ke hati. Satu demi satu semua kesalahpahaman terurai dengan baik. Tak ada lagi hal-hal yang saling mereka simpan.Julien menceritakan masa lalunya dan semua yang ia rasa Serena perlu mengetahuinya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya, Serena menceritakan juga keseluruhan tentangnya, keluarganya, kehidupannya, maupun tentang Helena sendiri."Lalu, mengapa kau tetap membantu keluargaku dan memberi Helena pekerjaan di perusahaanmu?" tanya Serena."Karena mereka adalah keluargamu," balas Julien yang membuat Serena tersentuh. "Saat itu, hanya satu yang kupikirkan. Jika aku tetap menjaga mereka dekat denganku, setidaknya aku tahu kapan kau akan kembali. Itulah yang kupikirkan sebelum aku mengetahui segalanya.""Lalu, setelah kau mengetahuinya, bukankah seharusnya kau sadar bahwa selama ini kami hanya memanfaatkanmu saja? Termasuk diriku."Ada
"Saat itu situasi kita benar-benar sudah tak dapat tertolong lagi, bukan? Saat aku tahu kondisimu dan bayi kita tak baik jika kita meneruskan hubungan itu, maka aku terpaksa membuat keputusan yang sulit itu.""Kau, tak akan dapat pulih dan menyelamatkan bayi kita jika terus berada di sisiku. Lingkungan dan orang-orang di sekitar kita yang menekanmu, tak akan baik bagimu. Terutama aku.""Bisakah kau tetap tenang jika bersamaku yang bermasalah? Aku akui, aku telah sangat melukaimu. Aku mungkin penyebab kerusakan mental dan kesehatanmu yang terbesar. Sejujurnya, aku sendiri takut. Ada beberapa hal yang selalu menghantuiku dan tak sanggup kuceritakan padamu."Julien menelan ludahnya karena tenggorokannya sekarang terasa tercekat. "Sayang, ada hal yang ingin kukatakan. Sebenarnya, aku bukanlah pria normal sehat seperti yang selama ini kau ketahui."Serena menatap lurus pada Julien yang tampak berusaha keras untuk memberinya penjelasan dan mengutarakan isi hatinya. Dan sejak Julien menyebut
"Kau sungguh tak masuk akal, aku benar-benar akan memesan satu kamar lagi jika kau ... akh!"Serena terpekik kecil ketika lengan kokoh Julien menahannya yang hendak bangkit dari ranjang. Ia terbaring sempurna di tempatnya semula setelah Julien menariknya."Julien, apa yang kau inginkan? Jangan berpikir untuk menyentuhku atau macam-macam denganku. Aku adalah kekasih pria lain dan ... mmmh!"Julien yang tak mendengarkan peringatan Serena, segera melayangkan ciuman tiba-tiba yang seketika membuat Serena tak berkutik."Omong kosong," lirih Julien di sela-sela lumatan dan belitan lidahnya yang ia gunakan untuk membungkam mulut Serena yang cerewet."Tak ada pria lain atau kekasih, karena akulah priamu."Julien yang tak sanggup lagi menahan kegemasan sekaligus kegeramannya pada Serena, akhirnya melayangkan juga ciuman panas yang telah ditahan-tahannya seharian ini dan telah menjadi mimpi-mimpi manisnya selama bertahun-tahun ini. "Ju ... Julien, aah ... hentikan, mmh."Desahan Serena yang me
Hari telah sore menjelang malam ketika mereka sampai di lokasi kedua. Serena masih banyak mengambil berbagai foto di tiap sudut yang menarik baginya. Selain mengumpulkan catatan dan foto-foto secara langsung, ia juga berkomunikasi dengan warga setempat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan naskah yang sedang ia garap."Kau tahu kau juga bisa bertanya padaku, bukan? Aku cukup mengenal beberapa lokasi yang menarik bagimu. Aku pernah mengunjungi tempat-tempat ini sebelumnya. Bahkan, aku bisa menunjukkan di mana saja tempat-tempat terbaik jika kau ingin mendapatkan sudut di mana para tokoh dapat melihat matahari terbenam atau sejenisnya.""Suasana yang sesuai dengan perasaan mereka saat itu, akan bagus jika terbingkai di sudut area yang kumaksud. Dan kurasa kau juga akan menyukainya," ucap Julien."Benarkah? Di mana itu? Apakah kau menemukan spot terbaik itu ketika kau juga menjadi pendamping untuk penulis-penulismu? Terutama mungkin untuk penulis 'spesialmu', benar?" balas Serena sambil