Malam itu di ruang bacanya, Julien mendesah kesal setelah ia selesai melihat lagi rekaman kamera pengawas yang terpasang di rumahnya yang menyorot dengan jelas kejadian siang tadi ketika Lucia menganiaya Serena sementara dirinya tak ada di tempat.
Ia yang begitu geram, rasanya ingin menghubungi pihak berwajib saat itu juga agar wanita penyihir itu ditangkap ketika ia mendapatkan laporan mengejutkan tersebut. Tapi, ia lagi-lagi harus menahan dirinya sendiri karena ia masih memikirkan Lidya, putri Lucia satu-satunya.
Bagi Lidya, Lucia adalah orang tua terbaik karena selama ini wanita itu telah berjuang seorang diri sebagai ibu tunggal yang menjaganya setelah ayah mereka meninggalkan mereka sejak kecil. Bahkan perceraian yang terjadi setahun yang lalu itu pun, Lidya tak benar-benar tahu alasan yang sebenarnya.
Lagi-lagi, karena mempertimbangkan perasaan gadis itu, Julien memutuskan untuk tak memberitahu alasan yang sebenarnya padanya. Ia bahkan rela memberikan harta sesuai kemauan Lucia agar setidaknya dapat wanita itu gunakan untuk kelangsungan dan biaya hidup putri wanita itu setelah mereka bercerai.
"Beruntung kau memiliki seorang putri yang baik, Lucia. Jika tidak, aku sudah pasti akan membuat perhitungan denganmu," geram Julien dengan mata berkilat penuh amarah.
Ia lalu menutup laptop miliknya sebelum keluar dari ruang baca. Dan sama seperti hari-hari sebelumnya, ia baru kembali ke ranjangnya setelah memastikan Serena terlelap.
Julien naik ke atas ranjang dengan perlahan dan sebisa mungkin tak membuat banyak suara saat ia berbaring di samping Serena. Entah mengapa, ia menjadi terbiasa melakukan hal itu setelah mereka memutuskan untuk menikah kontrak dan Serena setuju untuk berpindah kamar tidur dengannya.
Ia melakukan itu karena ia tak ingin Serena merasa tak nyaman dengan keberadaan dirinya. Jadi, setelah pernikahan kontrak itu mereka buat dan ia menghadap pada kedua orang tua Serena ketika meminta restu, saat itu juga Julien merasa ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga gadis itu.
"Kau sudah terlelap rupanya," gumam Julien sambil tersenyum kecil ketika ia melihat Serena yang telah tertidur pulas itu menghadap ke arah sisi ranjangnya.
Wajah Serena yang terlihat tenang dan polos saat tertidur itu, sudah menjadi pemandangan yang menarik bagi Julien yang tanpa sadar akhirnya ia tunggu-tunggu setiap malam. Tentu, ia baru bisa menikmati wajah pulas Serena yang damai saat gadis itu menghadap ke arahnya. Karenanya, saat itu terjadi, maka Julien akan merasa malamnya begitu baik.
"Semoga mimpimu indah, Serena," lirih Julien lagi.
Tangannya terulur lalu menyibak rambut tebal bergelombang Serena yang sedikit menutupi wajahnya. Ia kembali tersenyum kecil sebelum kemudian tanpa sadar tahu-tahu Julien sudah mencium kening gadis itu dengan hati-hati.
Sedetik setelah ia melakukan itu, ia membeku. Ia terbelalak dengan aksinya sendiri. Ia bahkan mengutuk dirinya sendiri dalam hati karena lagi-lagi telah bertindak impulsif!
Lalu, dengan sangat perlahan, Julien bergerak sehalus mungkin untuk kemudian menjauhkan tubuhnya yang condong ke arah gadis itu. Ia memutuskan untuk segera tidur dengan perasaan malu. Ia kemudian berbalik dan memunggungi Serena sambil menarik selimutnya perlahan-lahan.
Yang tak Julien ketahui, Serena yang dikiranya telah terlelap itu nyatanya masih sadar dan belum tertidur pulas.
Dalam diamnya, Serena sendiri sedang mengatur debaran jantungnya yang seakan hendak melompat ketika Julien tadi tiba-tiba mencium keningnya. Pasalnya, selama pernikahan kontrak mereka berjalan, baru kali ini Julien melakukan hal seperti itu padanya. Hal manis yang hanya dilakukan oleh seorang suami pada istrinya jika mereka benar-benar menikah.
Karena tindakan Julien tadi, ia kemudian mengingat lagi bagaimana pria itu memintanya menikah dengannya saat menghadap orang tuanya tempo lalu.
"Aku berjanji akan menjadi pria terbaik yang akan membahagiakan putri kalian dan tak akan pernah menyakitinya," janji Julien yang diucapkan sungguh-sungguh dan membuat Serena berdebar saat itu.
Tak hanya itu, pria itu juga berjanji memberikan biaya perawatan dan pengobatan untuk saudari kembarnya yang masih terbaring koma hingga seketika membuat kedua orang tuanya berbinar. Tentu, bagian di mana Julien juga berjanji akan membayar semua kebutuhan kuliah dirinya, saat itu membuat Serena terharu.
Seolah belum cukup puas, pria itu bahkan membelikan sebuah rumah untuk keluarganya tinggali setelah Julien tahu bahwa kedua orang tuanya dan dirinya hanya tinggal di dalam apartemen sewaan yang kecil dan murah.
Diantara semua itu, yang paling mengejutkan Serena, Julien juga menyebutkan padanya secara pribadi akan memberi rutin sejumlah uang setiap bulan padanya selama kontrak mereka berlaku layaknya karyawan yang ia gaji.
Dengan penawaran yang begitu menguntungkan, bagaimana kedua orang tua Serena bisa menolak? Maka tak heran, ketika Julien kemudian menemui kedua orang tuanya, sambutan mereka tak pernah sebaik sambutan yang diberikan padanya saat ia memenangkan lomba, atau saat ia mendapat beasiswa sekali pun.
"Oh! Beruntungnya kau mendapat Julien, Seren," ucap ibunya masih berbinar cerah setelah ia menjamu Julien yang saat itu datang untuk melamarnya.
"Tak ada lagi pria yang baik yang begitu mapan yang bisa kau dapatkan selain Julien. Maka bersyukurlah banyak-banyak karena seorang pria hebat sepertinya mau memilih gadis seperti dirimu. Jangan sia-siakan kesempatan emas yang telah kau dapatkan ini."
"Apa kalian tak mempermasalahkan usianya?" tanya Serena saat itu.
"Usia? Apa itu penting? Bagi gadis suram sepertimu, kau tak seharusnya bersikap memilih-milih. Sudah beruntung ia masih mau melirikmu yang bahkan tak bisa bersikap ceria dan menyenangkan seperti Helen. Tak usah banyak bicara dan berpikir yang macam-macam. Bersyukur saja, karena pernikahanmu itu, kita jadi terbebas dengan beban biaya rumah sakit setiap bulan. Bukankah itu hal yang baik?" balas ayahnya tak kalah berbinar dari ibunya.
Ya, lagi dan lagi, setiap kali kedua orang tuanya berkomentar tentang dirinya, mereka selalu menyakitinya dengan perkataan yang semena-mena dan membandingkannya dengan Helena.
Hanya karena ia tak bisa seceria Helena, mereka selalu memperlakukannya berbeda semenjak kecil. Ayah dan ibunya yang begitu menyayangi Helena, sering kali mengabaikannya karena menurut mereka putri yang menyenangkan, pandai mengambil hati, dan begitu ceria sudah menjadi kebanggan mereka. Terlebih, saat Helena pernah mengalami sakit pada bagian paru-paru ketika mereka kecil, perlakuan kedua orang tuanya sepenuhnya jadi tercurah pada kembarannya itu.
Maka, secara tak sadar ia menjadi tersisih. Bagi mereka jika dirinya pintar, itu adalah kewajaran. Jika dirinya memenangkan lomba-lomba dengan prestasinya, itu juga hal yang wajar. Dan wajar pula baginya jika ia akhirnya menurut pada kedua orang tuanya untuk selalu mengalah pada Helena.
Karena tak mungkin kedua orang tuanya membayar biaya kuliah mereka berdua, maka ia yang harus berusaha keras mendapatkan beasiswa sendiri agar dapat berkuliah seperti Helena yang dibiayai oleh kedua orang tuanya. Dan saat Helena terbaring koma, siapa lagi yang membantu kedua orang tuanya jika bukan dirinya?
"Andai aku memiliki sifat yang menyenangkan seperti Helena," sesalnya setiap kali ia merasa diperlakukan tak adil.
Lalu, untuk pertama kalinya sejak ia dilahirkan, ia akhirnya melakukan tindakan impulsif. Dengan menyetujui menikah dengan Julien, ia berpikir setidaknya ia bisa terbebas dari belenggu bayang-bayang Helena dan kedua orang tuanya melalui pernikahan itu.
Ia tak heran jika kedua orang tuanya tak mempermasalahkan saat Julien mengatakan bahwa pernikahan mereka untuk sementara tak akan dirayakan karena kondisi yang tidak memungkinkan. Yaitu, karena dirinya masih berada di atas kursi roda.
"Tentu tak masalah, Tuan. Akan sangat menyedihkan juga bagi putri kami satunya jika kembarannya menikah tanpa kehadirannya. Itu tak akan adil buatnya," ucap sang ibu kala itu.
Ya, adil. Sesuatu yang tak adil bagi dirinya, merupakan hal yang adil bagi Helena. Seperti itulah orang tua mereka menekankan hal yang mendasar itu. Jadi, setelah Helena kembali siuman, Serena telah memutuskan akan pergi dari keluarganya dengan menggunakan uang bulanan dari Julien, yang rencananya akan ia simpan untuk dirinya sendiri kelak.
Itu juga merupakan salah satu pemikiran impulsifnya yang lain, tentu saja. Tapi ... setelah Julien mencium keningnya tadi, ia menjadi sedikit bimbang dengan rencananya sendiri.
"Mengapa kau membuatnya menjadi begitu rumit?" lirih Serena sambil menyentuh keningnya yang seolah masih terasa menghangat. Ia menatap penuh arti pada punggung Julien yang bergerak naik turun menandakan pria itu sudah terlelap.
****
Paginya ....
"Apa ini sudah semua? Bukankah ini terlalu berat untuk kau bawa seorang diri? Harusnya kau meminta Alan saja untuk mengantar kebutuhanku," ucap Aiden sambil menerima sebuah tas jinjing yang berisi keperluannya saat ia menemui Serena di area lobi rumah sakit.
"Tak apa. Aku juga memiliki keperluan lain di kampus. Karena ada buku yang harus kucari di perpustakaan, jadi sekalian saja aku mampir," balas Serena.
"Persiapan untuk mengerjakan tugas akhirmu, ya?"
Serena mengangguk. "Ya. Aku harus segera menyelesaikannya agar dapat lulus dengan cepat tahun ini."
"Itu bagus untukmu, Serena. Kau gadis yang rajin. Tapi apakah kau sudah merasa baik? Aku dengar kau diserang oleh Lucia kemarin." Sambil berucap, Aiden refleks memeriksa wajah Serena agar dapat melihat lebih dekat.
"Biar kuperiksa. Dad mengatakan bahwa ia menjambak dan mencakarmu. Dasar wanita gila," umpatnya.
"Bagaimana jika lukamu berbekas?" Ia meraih dagu Serena dan memeriksa wajahnya sambil mengamati lekat-lekat bekas luka cakaran yang dimaksud.
"A ... Aiden, hentikanlah. Kita sedang berada di tempat umum," bisik Serena kikuk.
"Memang kenapa? Aku sekarang adalah dokter yang sedang memeriksa seorang pasien. Mereka juga bisa melihat jasku, bukan?" balas Aiden santai.
"Ta ... tapi,"
"Serena!" panggilan tiba-tiba dari seseorang membuat Serena dan Aiden tersentak dan refleks menoleh bersamaan.
Dari kejauhan seorang pria berlari kecil menghampirinya dengan napas yang tak beraturan.
"Calvin?" Serena terbelalak saat menatap seorang pria yang familier yang kini sudah berada di hadapannya.
"Oh, benar itu kau!" ucap pria itu sambil masih mengatur napasnya. Ia segera menatap tak suka pada Aiden yang tengah menyentuh dagu Serena.
Karena menyadari tatapan itu, Serena mengerjap dan melepaskan diri dari Aiden dengan kikuk.
"A ... apa yang kau lakukan di sini, Calvin?" tanya Serena.
"Aku ke kota ini untuk menemuimu. Aku berhasil pindah di sini dan bekerja di kantor baruku sejak seminggu yang lalu. Mengapa kau tak pernah menghubungiku lagi sejak kalian pindah? Apakah kau tahu aku begitu mencemaskanmu? Oh, aku sungguh merindukanmu, Serena!"
Tanpa rasa canggung, Calvin menarik Serena ke dalam pelukannya dan memeluknya dengan erat hingga membuat Aiden membelalakkan kedua bola matanya karena perlakuan intim terang-terangan pria itu di hadapannya.
"Ca ... Calvin." Serena sendiri menelan ludahnya dengan aksi Calvin yang begitu kasual dan tiba-tiba itu padanya. Ia yang masih belum pulih dari keterkejutannya, berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu dengan kikuk.
"Hei, Man, lepaskan." Tepukan pada bahu Calvin yang dilakukan Aiden seketika membuat pria itu menegang.
Ia refleks menoleh pada sumber suara. Perlahan tapi pasti, ia kemudian melepaskan pelukannya pada Serena dan menatap pria yang membuatnya terganggu itu.
"Ia terlihat tak nyaman. Dan ingat, ini adalah tempat umum," ucap Aiden kemudian dengan nada memperingatkan seolah ia tak melakukan hal yang serupa saja tadi.
"Siapa kau?" tanya Calvin spontan. "Apa hubunganmu dengan Serena?" lanjutnya dengan tatapan menantang yang penuh dengan keingintahuan.
Aiden sejenak terkejut namun kemudian ia dapat mengontrol ekspresinya. "Wah, kau sungguh tak memiliki sopan santun, ya? Kau datang dengan melotot padaku lalu tiba-tiba memeluk Serena seolah ia adalah kekasihmu. Seharusnya aku yang bertanya padamu. Siapa kau?" balas Aiden tak suka.
Calvin mengepalkan kedua tangannya dan mengerutkan alisnya. Serena sendiri sedang menahan napasnya karena begitu tegang.
____****____
"Aku adalah pria terbaik Serena yang selalu ada untuknya. Kau siapa?" balas Calvin tak gentar.Aiden tertawa kecil karena sikap arogan yang Calvin tunjukkan padanya yang seolah-olah ia berhak bertindak apa pun pada Serena karena ia adalah kenalannya."Hah, pria terbaik, ya? Apa kau yakin? Bagaimana jika kukatakan Serena adalah wanitaku?" balas Aiden tak mau kalah.Serena dan Calvin sama-sama membelalakkan kedua bola matanya karena terkejut mendengar ucapan Aiden."Apa?" Calvin menatap Serena seolah ingin meminta penjelasan pada gadis itu atas ucapan yang mengejutkannya itu."Benarkah itu, Seren?" tanyanya kemudian. Ada raut kekecewaan dalam wajahnya."Begini, Calvin, aku bisa menjelaskannya," ucap Serena gugup."Mengapa kau harus menjelaskan sesuatu pada pria yang bukan kekasihmu ini, Serena?" timpal Aiden sambil menatap Calvin yang melihatnya tak suka."Kau bukan kekasihnya, kan? Jika benar kau adalah prianya, aku tak mungkin tak tahu akan hal itu. Apa kau tak tahu apa hubunganku den
Malam itu Julien diam-diam masih mengamati Serena yang terlihat sering melamun setelah ia pulang dari kampusnya semenjak siang tadi. Bahkan sampai malam selesai, Serena terlihat tampak tidak fokus dengan apa pun yang sedang dikerjakannya. Hanya dengan melihat raut wajahnya, Julien sudah dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu lagi pada gadis itu.Seperti saat ini, gadis itu bahkan tampak banyak melamun walau sedang menghadap laptopnya. Ruang baca yang hanya diisi mereka berdua tampak lebih hening dari biasanya."Apa ia masih begitu sibuk hingga tak sempat membalas pesan-pesanku, ya?" gumam Julien sambil menatap ponselnya. Ia sendiri tak fokus pada berkas-berkas yang seharusnya ia periksa.Julien yang sejak siang sudah merasakan keanehan pada Serena, segera mengirim pesan pada Aiden dan bertanya apa mungkin telah terjadi sesuatu pada gadis itu saat ia mengantarkan barang untuk putranya, sesaat setelah Serena kembali ke rumah dengan wajah sedikit lesu. Namun hingga malam menjelang, ia
Julien masih mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya sesaat setelah ia berteleponan dengan Aiden tadi. Walau raut wajahnya terlihat serius, namun sesungguhnya ia tak dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaannya."Maaf jika aku menyela, tapi adakah yang Anda inginkan, Tuan?" tanya Serena pada Julien yang masih tampak fokus dengan berkas tebal yang sedang dibacanya.Julien melepas kacamata baca miliknya dan menatap Serena yang telah merapikan buku-bukunya. Gadis itu kini telah mencepol rambutnya dan terlihat sedikit lelah saat ia melipat kacamatanya sendiri."Kau sudah selesai?" tanya Julien."Ya." Serena mengangguk. "Jika Anda belum selesai, aku bisa membawakan kudapan atau minuman hangat selagi Anda menyelesaikan memeriksa naskah tersebut."Julien sedikit terkejut ketika ia melihat jam tangannya. "Sudah jam sebelas rupanya. Apa kau sengaja menungguku?" tanyanya."Tidak. Aku juga baru menyelesaikan tugasku."Julien tersenyum kecil karena ia yakin Serena tak mengatakan yang sebenarnya. "
"Sekarang katakanlah dengan tenang, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Julien mengusap sisa air mata pada wajah lembab Serena setelah gadis itu telah benar-benar berhenti menangis. Ia menyibak sejumput rambut Serena yang tergerai ke belakang telinganya."Aku be ... bertemu dengan Calvin dan menceritakan semuanya tentang kita padanya," ucap Serena akhirnya."Calvin? Siapa ia?" balas Julien sambil mengerutkan alisnya.Lalu, dengan sedikit bergetar dan terbata, Serena akhirnya menceritakan perihal pertemuannya dengan Calvin dan alasannya melakukan itu kepada Julien. Ia bahkan bercerita tentang Calvin dan hubungannya dengan masa lalunya tanpa ia tutupi sedikit pun. Julien mengembuskan napasnya dan tampak berpikir sejenak setelah Serena menceritakan semuanya. Tak ada raut kesal atau pun marah pada wajahnya. Justru, ia terlihat lega setelah dengan sabar mendengar penuturan gadis itu."Terima kasih kau sudah bercerita padaku, Serena. Untuk seterusnya, mulai sekarang kau harus mengatakan d
Tiga hari kemudian, hari di mana pesta berlangsung, Serena masih termangu di tempat duduknya sambil menyentuh bibirnya setelah ia bersiap dengan gaun malam model mermaid dress berwarna biru tua miliknya untuk menghadiri pesta malam itu bersama Julien.Bibirnya yang masih terasa panas dan penuh dengan aroma Julien itu masih membuatnya berdebar bahkan ketika pria itu tak ada di dekatnya. Dan seperti rencana yang telah dikatakan Julien sebelumnya, selama tiga hari lalu pria itu membawanya menginap di hotel, berbelanja, pergi ke salon di pusat kota, bahkan berjalan-jalan untuk sengaja memperlihatkan kemesraan mereka di hadapan publik.Dan selama tiga hari itu pula, Julien memperlakukannya bak seorang ratu. Ia memanjakannya dengan puluhan baju baru dan barang-barang belanjaan mewah lainnya. Ia juga bersikap begitu mesra layaknya seorang pria yang menggilai pasangannya. Tentu saja, sekarang sentuhan fisik maupun ciuman seolah sudah menjadi hal yang wajar yang pria itu lakukan padanya di saa
Mereka kemudian masuk ke dalam lift untuk menuju ke area pesta yang ada di lantai satu. "Maafkan aku kau harus melihat dan mendengar semua omong kosong Lucia tadi," ucap Julien pada Serena setelah mereka berada di dalam lift."Tak apa. Aku sudah tidak terkejut lagi dengan sikapnya," balas Serena."Jangan dengarkan apa pun yang ia katakan. Mungkin reputasiku memang telah dicap buruk, tapi aku tak akan pernah melakukan dan membiarkan sesuatu yang mungkin dapat menyakitimu. Dan jika ada yang ingin kau tanyakan tentangku, jangan ragu untuk mengatakannya. Apa pun itu. Karena aku tak ingin kau mendengar tentangku dari mulut orang lain."Ucapan Julien membuat Serena tenang. Ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Baiklah, aku mengerti," jawabnya."Ck, harusnya tadi kubuat ia meminta maaf padamu atas perbuatannya tempo lalu. Aku sudah sangat terlalu muak padanya hingga rasanya tak ingin berlama-lama melihatnya. Sekali lagi, maafkan aku karena telah membuatmu harus berurusan dengan wanita i
Sudah sekitar sepuluh menit Serena berdiri dan menatap ke arah jendela di ruang baca dengan raut muram ketika Julien perlahan masuk ke dalam ruangan tersebut dan memperhatikannya. Gadis yang mengenakan jubah tidur itu bahkan tidak menyadari kehadirannya karena ia begitu terpaku pada satu titik di luar jendela dan terhanyut dalam benaknya yang terlihat sedang berpikir keras.Ya, Serena memang sedang mengingat lagi apa yang diucapkan Calvin padanya ketika ia menghentikan mereka meninggalkan pesta tadi."Dua hari yang lalu aku menemui orang tuamu dan Helena," akui Calvin berterus terang.Saat itu, Serena yang hendak keluar ruangan, sketika membeku. Ia tak langsung membalas ucapan Calvin karena ia masih begitu shock. Ia harus mengumpulkan kekuatannya dahulu sebelum kemudian bisa menjawab dengan suara yang tak bergetar."Mengapa kau menemui mereka?" tanya Serena sambil membalikkan badannya yang sebelumnya telah siap keluar."Aku hanya ingin memastikan sesuatu saja," jawab Calvin beralasan.
"Oh, Baby-ku, kau sudah datang! Peluk aku!" Seruan yang penuh luapan kegembiraan terlontar dari bibir pucat seorang gadis yang masih bersandar di atas ranjang pasien miliknya saat Serena masuk. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan Serena.Ya, ia akhirnya memutuskan untuk menemui Helena setelah keadaannya membaik akibat 'serangan' Julien padanya lusa lalu dan karena kabar dari kedua orang tuanya yang mengatakan bahwa Helena siap bertemu dengannya."Aku senang kau telah terbangun, Helen. Mengapa kau tak membiarkanku langsung menemuimu?" ucap Serena setelah ia memeluk saudarinya."Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Serena pada saudarinya yang sedang setengah berbaring itu."Oh, Baby, keadaanku buruk, semua terasa menyebalkan. Untuk itulah aku tak ingin kau menemuiku terlebih dahulu," balas Helena sambil bersikap manja."Ugh, jika bukan karena si berengsek itu, aku mungkin sudah melalui hari-hariku yang indah tanpa merasakan ini," keluh Helena
Saat Helena mengira ia telah berhasil melumpuhkan Julien dengan mengikat kedua tangan pria itu agar tak mengganggunya, saat itu ia mulai kembali melancarkan aksi liarnya. Ia masih menggarap bagian tubuh bawah Julien dengan begitu bernafsu menggunakan mulutnya.Tenaganya saat ini jauh lebih besar dari Julien yang setengah tak sadarkan diri dan begitu lemas tak berdaya. Akibat obat yang diberikan padanya itu, Julien merasa pusing, mual hebat, pandangan menjadi lebih buram, nyeri otot, dan ia merasakan hot flash atau rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Peningkatan aliran darah yang melonjak drastis di area keperkasaannya pun membuatnya merasakan peningkatan sensitivitas, gairah, dan fungsi orgasme.Dalam keadaan tak berdaya tersebut, Julien tentu saja seperti telah dilumpuhkan. Dan ketiks Serena akan memaksa untuk melesakkan keperkasaan Julien ke dalam dirinya, saat itu juha tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka dengan keras."BRAK!"Helena terlonjak. Ia seketika tertegun kar
"Jadi, kau sudah berbaikan dengan ayahku, ya?" tanya Aiden pada Serena yang siang itu mendatangi ruangannya untuk memberikan sebuah bingkisan padanya."Apa ayahmu sudah bercerita?" balas Serena."Yah, begitulah. Ia menceritakan banyak hal termasuk semua yang ia tahan selama ini. Dan berkat itu, aku jadi tahu alasannya tak mencarimu ketika kau pergi. Ia tak ingin aku mengetahuinya karena aku bisa saja terbang ke sana untuk menemuimu dan menyeretmu kembali, begitu yang ia katakan."Serena tersenyum dan mengangguk kecil. "Ya, mungkin karena ia tahu bagaimana dirimu, jadi ia tak membuka hal itu. Tapi, kau telah menemaninya di saat-saat dirinya kesepian dan butuh seseorang. Aku tahu kau begitu sibuk, tapi kau tak meninggalkan ayahmu."Aiden mengembuskan napasnya. "Hanya ia yang kumiliki selain kakek dan nenekku, Seren. Tapi kini, selain dirinya aku juga memiliki kalian, adik-adik kembarku yang menggemaskan, juga kau. Kalian semua adalah keluargaku. Aku baru menyadari bahwa ayahku membutuhk
"Brak!"Serena mendongak seketika saat pintu ruang kerjanya terbuka keras kala ia sedang berfokus pada pekerjaannya. Ia melihat Helena masuk ke dalam kantornya dengan raut memburu yang kuat diikuti oleh sekretarisnya, Amel yang tergopoh-gopoh dan panik."Nyonya, Nona ini memaksa untuk masuk dan ...""Tak apa, Amel, keluarlah," jawab Serena menenangkan wanita itu. Setelah sekretarisnya undur diri, Helena mendekat dan berkacak pinggang di hadapannya."Apa yang telah kau lakukan?" hardiknya pada Serena.Serena meletakkan kaca mata bacanya dan menutup laptopnya untuk menatap Helena."Apa maksudmu?" tanyanya."Tak usah berlagak bodoh, dasar jal*ng!" umpat Helena. "Kau telah menghabiskan malam dengan Julien, bukan? Haruskah kuperjelas lagi peringatan yang pernah kukatakan padamu tempo lalu!? Jauhi dirimya dan jangan berani berbuat macam-macam di belakangku!"Serena hanya mengembuskan napasnya. Sebenarnya ia merasa malas untuk meladeni Helena hari ini karena pekerjaannya sudah begitu menumpu
"Ah, kau sudah kembali?" sapa pemilik penginapan saat melihat Julien masuk ke dalam penginapan dengan sebuah koper di tangannya.Pagi-pagi tadi ia sudah kembali ke area parkir mobil milik istrinya dan membawa kopernya yang kemarin tertinggal karena pertengkaran mereka, sementara Serena sendiri masih terlelap di kamar mereka."Ya, aku membawa koper milik istriku kembali. Sebenarnya ketika kami bertengkar kemarin, ia meninggalkannya di mobilnya di sekitar pertokoan."Pemilik penginapan itu tersenyum. "Aku bisa melihat itu. Dan kurasa, pagi ini kalian telah menyelesaikan pertengkaran kakian dengan baik, bukan? Mengingat betapa cerah dan bersemangatnya dirimu," lanjutnya sambil mengedipkan salah satu matanya seolah sedang menggoda Julien.Julien mengangguk dan tertawa kecil. "Anda benar," balasnya sedikit tersipu malu."Karena kami akan keluar siang nanti, kurasa aku akan menyelesaikan pembayaran sekarang, Nyonya. Terima kasih untuk pelayanan kamar yang begitu baik untuk kami yang kemarin
Paginya, Aiden dan Crystal saling berdiam diri ketika mereka berhadapan di depan meja makan. Ellie dan Bianca yang telah menyiapkan makanan pagi itu tampak sedikit heran dengan kecanggungan mereka."Aku tak mendengarmu datang semalam," ucap Aiden membuka pembicaraan."Ya, tentu saja, Anda sudah tertidur dengan si kembar ketika Nona Crystal datang, Tuan," timpal Ellie."Benar, kami bahkan tidak berani memindahkan mereka karena kami juga tidak ingin mengganggu istirahat Anda." Kali ini Bianca, putri Ellie ikut menimpali."Ya, Crystal yang sudah memindahkan mereka," jawab Aiden."Aku sudah memberitahumu melalui pesan singkat, bahkan meneleponmu ketika aku tiba. Dan saat Ellie memberitahu keberadaanmu, aku melihat kalian telah terlelap. Lalu ... aku memindahkan mereka."Crystal meneguk minumannya untuk menutupi kecanggungannya dan wajahnya yang memerah. Karena ia teringat lagi kejadian yang setelahnya terjadi setelah ia memindahkan si kembar. Ia yakin Aiden juga teringat hal yang sama kar
Dalam kebersamaan mereka, malam itu Julien dan Serena menghabiskan banyak waktu untuk saling berbicara dan mengungkapkan segala perasaan mereka dari hati ke hati. Satu demi satu semua kesalahpahaman terurai dengan baik. Tak ada lagi hal-hal yang saling mereka simpan.Julien menceritakan masa lalunya dan semua yang ia rasa Serena perlu mengetahuinya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya, Serena menceritakan juga keseluruhan tentangnya, keluarganya, kehidupannya, maupun tentang Helena sendiri."Lalu, mengapa kau tetap membantu keluargaku dan memberi Helena pekerjaan di perusahaanmu?" tanya Serena."Karena mereka adalah keluargamu," balas Julien yang membuat Serena tersentuh. "Saat itu, hanya satu yang kupikirkan. Jika aku tetap menjaga mereka dekat denganku, setidaknya aku tahu kapan kau akan kembali. Itulah yang kupikirkan sebelum aku mengetahui segalanya.""Lalu, setelah kau mengetahuinya, bukankah seharusnya kau sadar bahwa selama ini kami hanya memanfaatkanmu saja? Termasuk diriku."Ada
"Saat itu situasi kita benar-benar sudah tak dapat tertolong lagi, bukan? Saat aku tahu kondisimu dan bayi kita tak baik jika kita meneruskan hubungan itu, maka aku terpaksa membuat keputusan yang sulit itu.""Kau, tak akan dapat pulih dan menyelamatkan bayi kita jika terus berada di sisiku. Lingkungan dan orang-orang di sekitar kita yang menekanmu, tak akan baik bagimu. Terutama aku.""Bisakah kau tetap tenang jika bersamaku yang bermasalah? Aku akui, aku telah sangat melukaimu. Aku mungkin penyebab kerusakan mental dan kesehatanmu yang terbesar. Sejujurnya, aku sendiri takut. Ada beberapa hal yang selalu menghantuiku dan tak sanggup kuceritakan padamu."Julien menelan ludahnya karena tenggorokannya sekarang terasa tercekat. "Sayang, ada hal yang ingin kukatakan. Sebenarnya, aku bukanlah pria normal sehat seperti yang selama ini kau ketahui."Serena menatap lurus pada Julien yang tampak berusaha keras untuk memberinya penjelasan dan mengutarakan isi hatinya. Dan sejak Julien menyebut
"Kau sungguh tak masuk akal, aku benar-benar akan memesan satu kamar lagi jika kau ... akh!"Serena terpekik kecil ketika lengan kokoh Julien menahannya yang hendak bangkit dari ranjang. Ia terbaring sempurna di tempatnya semula setelah Julien menariknya."Julien, apa yang kau inginkan? Jangan berpikir untuk menyentuhku atau macam-macam denganku. Aku adalah kekasih pria lain dan ... mmmh!"Julien yang tak mendengarkan peringatan Serena, segera melayangkan ciuman tiba-tiba yang seketika membuat Serena tak berkutik."Omong kosong," lirih Julien di sela-sela lumatan dan belitan lidahnya yang ia gunakan untuk membungkam mulut Serena yang cerewet."Tak ada pria lain atau kekasih, karena akulah priamu."Julien yang tak sanggup lagi menahan kegemasan sekaligus kegeramannya pada Serena, akhirnya melayangkan juga ciuman panas yang telah ditahan-tahannya seharian ini dan telah menjadi mimpi-mimpi manisnya selama bertahun-tahun ini. "Ju ... Julien, aah ... hentikan, mmh."Desahan Serena yang me
Hari telah sore menjelang malam ketika mereka sampai di lokasi kedua. Serena masih banyak mengambil berbagai foto di tiap sudut yang menarik baginya. Selain mengumpulkan catatan dan foto-foto secara langsung, ia juga berkomunikasi dengan warga setempat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan naskah yang sedang ia garap."Kau tahu kau juga bisa bertanya padaku, bukan? Aku cukup mengenal beberapa lokasi yang menarik bagimu. Aku pernah mengunjungi tempat-tempat ini sebelumnya. Bahkan, aku bisa menunjukkan di mana saja tempat-tempat terbaik jika kau ingin mendapatkan sudut di mana para tokoh dapat melihat matahari terbenam atau sejenisnya.""Suasana yang sesuai dengan perasaan mereka saat itu, akan bagus jika terbingkai di sudut area yang kumaksud. Dan kurasa kau juga akan menyukainya," ucap Julien."Benarkah? Di mana itu? Apakah kau menemukan spot terbaik itu ketika kau juga menjadi pendamping untuk penulis-penulismu? Terutama mungkin untuk penulis 'spesialmu', benar?" balas Serena sambil