Esoknya ....
"Di sini kau rupanya, jal*ng kecil!" Ucapan sinis keluar dari mulut Lucia begitu ia masuk ke dalam ruang perpustakaan milik Julien yang tergolong besar itu saat Serena mengerjakan tugas kuliahnya.
Siang itu Lucia yang mengenakan rok mini berwarna hitam dan berjalan cepat ke arahnya, menatapnya dengan berapi-api. Heels miliknya yang beradu dengan lantai terdengar begitu berisik karena ketergesaannya.
"Apakah karena mengincar deposito itu maka kau merayu Julien hingga ia menikahimu? Jal*ng kotor!" umpatnya kasar. "Sudah kukatakan jangan macam-macam denganku tapi kau berani tak mendengarkannya? Kemasi barangmu sekarang juga sebelum aku membuatmu menyesal karena telah mendekati apa yang tak seharusnya kau dekati, jal*ng kecil!"
Gebrakan pada meja karena pelampiasan amarah Lucia membuat Serena tersentak. Serena lalu mengembuskan napasnya agar tak terpancing emosi setelah mendengar makian wanita itu.
"Nyonya, apa suamiku tahu Anda datang berkunjung ke mari?" tanyanya tenang.
"Ma ... maaf, Nyonya Serena, Nyonya Lucia memaksa masuk. Jika saya tak membiarkan ia lewat, ia akan menabrak pagar!" Arnold, penjaga gerbang di kediaman Julien datang tergopoh-gopoh dengan raut takut untuk memberi tahu Serena.
"Hah, Nyonya? Menggelikan sekali!" ejek Lucia sambil tertawa mencemooh. "Siapa yang kau panggil nyonya, Arnold!" teriak Lucia murka.
"Tenangkan diri Anda, Nyonya Lucia. Tunggu hingga tuan kembali." Kali ini seorang pelayan pria baya masuk dan memperingati Lucia dengan tenang. Ia adalah Simon sang kepala pelayan.
"Benar, Nyonya Lucia. Jangan membuat keributan yang tak perlu di sini," timpal Bella, pelayan wanita.
"Diam kalian!" hardik Lucia.
Serena kini berdiri setelah bangkit dari duduknya dan berhadapan dengan Lucia. Walau tubuhnya lebih pendek dan kecil jika dibandingkan dengan Lucia yang mengenakan heels, namun ia tak terlihat gentar.
"Tolong pergi, Nyonya, sebelum kami menelepon polisi karena Anda telah masuk ke dalam kediaman seseorang dengan paksa. Lagi pula, bukankah kemarin Anda sudah jelas mendengar bahwa suamiku melarang Anda datang ke mari lagi?"
"Suami, suami! Jangan berlagak hebat kau!"
Lucia yang hendak menampar Serena sangat terkejut ketika gadis mungil itu berani menahan tangannya untuk melampiaskan kekesalannya.
"Lepaskan aku!" serunya sambil mengibaskan cekalan Serena.
"Arnold, Simon, tolong bawa Nyonya Lucia keluar sebelum Tuan Julien kembali," ucap Serena seolah tak menghiraukan kekesalan Lucia.
Serena sebenarnya tak takut dengan gertakan Lucia. Ia hanya berusaha untuk tak membuat kekacauan di rumah saat Julien tak ada di tempat karena perjalanan dinasnya. Bukannya tak ingin melawan, tapi ia masih memikirkan dampak apa yang mungkin bisa terjadi pada Julien jika ia nekat membalas Lucia dengan hal yang sama yang wanita itu lakukan padanya.
"Apa-apaan kalian!" Lucia yang kaget karena dicekal oleh kedua pria di kanan dan kirinya, meronta dengan sekuat tenaga hingga penjaga dan pelayan baya itu kewalahan.
"Kurang ajar! Berani-beraninya kau bertingkah seperti nyonya rumah di sini!" geramnya.
"Aakkh!"
Serena memekik dan terkejut secara bersamaan ketika Lucia berubah menjadi brutal dengan menjambak rambut tebalnya setelah ia berhasil melepaskan diri dari cekalan kedua pekerja Julien.
"Kau menantangku?! Rupanya kau tak tahu apa yang bisa kulakukan ya? Jal*ng berengsek! Berani-beraninya kau bertingkah di depanku! Akan kukeluarkan kau dari sini karena berusaha mencuri uangku! Tempatmu ada di jalanan, dasar pengemis rendah!"
"Lepaskan aku!" teriak Serena panik sambil mencekal pergelangan tangan Lucia.
Walau ia mampu mencekal dengan sekuat tenaga, tapi rupanya kemarahan Lucia yang sudah terlalu besar membuatnya sedikit sulit untuk dikalahkan. Selain karena Serena lebih pendek dari Lucia yang ditambah mengenakan heels, tak disangka ternyata tenaga wanita itu juga lebih kuat darinya sehingga ia dengan mudahnya terseret saat Lucia menjambaknya.
Lucia yang berhasil menjambak rambut Serena, telah membuat gadis itu sangat kesakitan hingga ia mau tak mau mengikuti langkah wanita yang kemudian menyeretnya dengan paksa itu agar rambutnya tak terlepas dari kulit kepalanya.
Dan usaha Serena untuk mempertahankan dirinya sekaligus meronta agar dapat lepas dari cengkeraman Lucia jelas terlihat sia-sia. Lucia bahkan mampu menarik tubuh rampingnya dengan mudah melalui cengkeramannya yang keras.
"Nyonya Lucia, tolong hentikan! Kasihan Nyonya Serena!"
Seruan-seruan panik dari para pekerja tak dihiraukan Lucia. Ia bahkan berhasil menendang dan menyingkirkan mereka yang berusaha menolong Serena dengan cara yang brutal.
"Oh, bagaimana ini? Bagaimana!" Bella yang panik, bergetar hebat saat ia tak mampu menyelamatkan Serena dari seretan kasar Lucia.
"Kita harus menelepon tuan!" Simon yang sigap, bergegas dengan tergopoh menuju ke sudut ruang tamu tempat di mana telepon berada untuk menghubungi tuannya.
"Aaakh!" teriakan kesakitan kembali keluar dari bibir Serena saat ia merasakan dirinya dihempaskan di atas tanah oleh Lucia yang masih menjambak rambutnya dengan kuat.
Ia terpelanting di atas tanah berkerikil di halaman depan sambil menahan perih yang terasa di kulit kepalanya yang begitu panas, karena sedetik sebelumnya Lucia berhasil membawanya keluar dan membantingnya hingga ia terjerembab.
Rasa malu, sakit, amarah, dan penghinaan yang Serena terima membuatnya bergetar. Ia dapat dengan jelas melihat gumpalan rambutnya yang menjuntai yang berada dalam cengkeraman tangan Lucia setelah wanita itu berhasil merontokkan sejumlah rambut tebal miliknya ketika membantingnya tadi.
Belum lagi, lecet yang ia terima di kedua telapak tangannya yang terasa perih, membuatnya tak habis pikir mengapa ia harus menerima perlakuan tak pantas dan merendahkan seperti ini.
"Srett!"
"Sraash!"
Tiba-tiba semprotan air dingin dari keran yang mengalir deras, menyembur ke sekujur tubuhnya ketika Lucia mengambil dan mengarahkan selang air yang ada di samping halaman taman untuk membasahinya.
"Oh, ya Tuhan! Nyonya!" teriakan Bella membuat senyum Lucia mengembang.
"Rasakan ini!" Lucia menatap keji pada Serena yang masih terduduk dan diam saja sementara air keran yang ia semprotkan telah membasahi sekujur tubuhnya.
Setelah dirasa puas, Lucia kemudian melempar selang itu dan berjalan mendekat. Ia berjongkok dengan tatapan mengejek pada Serena.
"Kau tak bisa melawanku, bukan? Melihat kau terdiam, aku yakin kau tahu atau mungkin sudah berpikir bahwa aku memegang beberapa kelemahan Julien. Maka dari itu kau tak dapat berkutik di hadapanku atau berbuat semaumu. Cukup mengesankan bahwa gadis pintar sepertimu ternyata tahu diri untuk tak melawan orang yang lebih berkuasa."
"Biar kuperjelas saja. Kau kira aku hanya menggertak tanpa memiliki rencana apa pun? Benar, agar kau tahu, aku memang memegang kelemahan Julien dan siapa saja yang berusaha menghalangiku."
"Jika kau belum mampu untuk menjadi musuhku, maka masih kuberi kau waktu satu minggu untuk meninggalkan Julien dan membatalkan pernikahan itu. Jika kau tak ingin aku melakukan sesuatu pada kembaranmu yang sedang terbaring koma di rumah sakit, maka turuti mauku."
Serena tersentak menatap Lucia saat ia menyebutkan tentang saudarinya. Ia membelalak karena begitu terkejut. Ia tak menyangka jika Lucia akan menggunakannya untuk mengancam dirinya.
Lucia tersenyum licik setelah mengerti tatapan itu. "Kenapa? Terkejut? Ya, Jal*ng, aku sudah menyelidiki kau dan keluargamu yang menyedihkan itu. Jika hanya untuk menghancurkan lalat kecil sepertimu, itu tak akan sulit bagiku. Aku yakin dengan uang dan kekuasaan yang kumiliki, aku bahkan bisa membuat orang-orang seperti kalian lenyap dan tersingkir dengan menyedihkan hanya dengan sekejap mata. Jadi, berpikirlah dua kali sebelum kau ingin melawanku, Bocah."
Tatapan mencemooh masih Lucia layangkan pada Serena yang masih duduk terpuruk dengan basah kuyup dan tampak menyedihkan itu saat ia kembali berdiri.
"Ayo, Baby, sudah cukup bagiku memberi peringatan pada serangga ini. Kita pergi sekarang," ucap Lucia kemudian pada pria muda gagah berotot yang menghampirinya setelah ia puas mengancam Serena.
Ia lalu terbahak keras sambil melenggang pergi dari halaman Julien dengan menggandeng pria muda yang merupakan kekasihnya itu untuk menuju ke arah mobil miliknya.
Kemudian, para pekerja Julien segera menghampiri Nyonya muda mereka untuk memberi bantuan.
"A ... Anda tak apa-apa, Nyonya?" tanya Bella cemas.
"Aku tak apa-apa, Bella," jawab Serena lirih sambil menatap kepergian mobil Lucia yang meninggalkan halaman depan rumah Julien, seolah sedang mengejeknya karena ia tak bisa berbuat apa-apa dengan ancaman wanita itu padanya tadi.
Dengan bantuan para pelayan, Serena akhirnya dapat kembali ke kamarnya. Walau terlihat tenang, Serena sendiri sebenarnya cemas akan perkataan Lucia tadi. Ia yakin wanita itu berani datang siang ini karena tahu Julien sedang tak berada di tempat.
Setelah beberapa waktu membersihkan diri, Serena dibuat terkejut ketika keluar karena Julien telah berdiri di depan kamar mandi dan menyambutnya dengan raut cemas.
"Tuan Julien? Mengapa kau di sini?"
Julien yang terlihat gelisah langsung berhambur ke arahnya yang kini telah membersihkan dirinya dan berganti baju. Serena menatap Julien dengan raut kebingungan. Terlebih, saat pria itu membiarkan pintu kamar terbuka lebar yang tentu saja memungkinkan siapa saja di luar dapat melihatnya berjalan.
Ya, berjalan. Itu membuat Serena kembali terbelalak dan seketika panik lagi.
"Pintunya!" ucap Serena buru-buru melangkah ke arah pintu masuk dan bermaksud menutupnya, saat kemudian Julien tiba-tiba menahannya dan tak menghiraukan kecemasan Serena.
"Bagaimana keadaanmu? Perlukah kita ke rumah sakit? Di bagian mana saja kau terluka?" tanya Julien khawatir. "Aku sudah mendengar dari Bella dan langsung kembali saat Simon meneleponku. Dasar wanita kurang ajar! Bisa-bisanya ia datang kemari dan membuat keributan saat aku tak ada. Sial!" umpatnya tertahan.
"Aku tak apa-apa. Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Ta ... tapi, Tuan, pintunya ..."
"Ah, ya." Julien menghela napas sejenak sebelum ia berbalik dan menutup pintu. Ia kemudian membimbing Serena untuk duduk di tepi ranjang.
"Bella berkata bahwa wanita itu telah menjambak dan menyeretmu, dan ... ia juga dengan selang air telah ... ugh! Oh, ya, Tuhan." Kegeraman lagi-lagi melanda Julien hingga ia tak mampu melanjutkan ucapannya karena tak sanggup membayangkan apa yang telah dialami Serena tadi.
"Maaf, Serena, maaf. Harusnya kau tak mengalami hal seperti ini. Lucia pasti murka karena pengacaraku memberitahunya tentang deposito itu hingga ia kemudian menghampirimu untuk melampiaskan kemarahannya padamu."
Tatapan sayu dan rasa bersalah kini mendominasi raut wajah Julien. "Kau pasti sangat terkejut tadi."
"A ... aku tak apa-apa, Tuan." Karena kegugupannya sendiri, Serena refleks menyentuh dan menundukkan kepalanya hingga rambut setengah basahnya menjuntai menutupi wajahnya untuk menghindari tatapan Julien.
Ia tak sanggup menatap kedua mata Julien yang sedang mencemaskannya. Ia jelas tak dapat bersikap atau berbicara dengan benar jika kedua mata teduh itu selalu saja membuatnya berdebar. Maka, sebisa mungkin ia menghindar sebelum jantungnya meledak.
"Tapi kau tak tampak baik-baik saja."
Julien meraih dagu Serena yang mencoba menghindarinya. Dengan seksama ia mengamati wajah polos gadis itu dan menemukan goresan memanjang di sekitar bawah matanya. Seketika rahangnya mengeras karena ia dapat membayangkan bagaimana goresan itu bisa berada di sana.
Ia tahu, kuku Lucia yang panjang mungkin yang telah melukai Serena saat ia melakukan aksi brutalnya itu. Dan itu, membuatnya kembali mendidih ketika membayangkan bagaimana wanita penyihir itu melukai Serena.
"Wanita berengsek," umpatnya tertahan.
Ia mengembuskan napasnya dan memejamkan matanya sejenak untuk kembali mengontrol emosinya.
"Beristirahatlah, Serena," ucap Julien perlahan. Ia menata beberapa bantal agar Serena dapat berbaring.
"Tuan, aku tak apa-apa. Bagaimana dengan pekerjaan Anda? Tak seharusnya Anda berada di sini sekarang dan ...."
"Jangan membantah," potong Julien gusar. "Dan siapa tuanmu? Panggil aku Julien! Julien! Karena aku adalah suamimu! Lain kali jika wanita jal*ng itu datang lagi padamu, katakan padanya dengan tegas bahwa kau tak bisa ditindas karena kau memiliki aku. Katakan padanya bahwa suamimu tak akan membiarkan ia menyentuhmu sedikit pun dengan tangan kotornya. Panggil aku dengan segera agar aku dapat melindungimu. Lawanlah wanita berengsek itu!"
Julien menggeleng kecil. "Ahh, tidak, tidak. Aku tak akan pernah membiarkan itu terjadi lagi padamu. Kau tak seharusnya diperlakukan seperti ini karena kau adalah istriku! Ingat itu Serena. Kau adalah istri Julien, nyonya rumah di sini!" ucapnya memburu. Dadanya naik turun karena luapan emosinya yang tak dapat dibendungnya lagi.
Serena yang terkejut, masih membeku saat tanpa sadar Julien telah mencengkeram kedua bahunya ketika pria itu meluapkan kekesalannya padanya. Ia lalu mengerjap dan membasahi bibirnya dengan gugup. "Ma ... Maaf, Julien," lirihnya.
Julien sendiri yang telah tersadar dari amarahnya dan bertindak refleks, menunduk sejenak untuk mengembuskan napasnya. "Oh, Serena, tidak, tidak, bukan kau yang seharusnya meminta maaf," ucapnya dengan raut menyesal.
"Tolong, maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu terkejut dan berteriak padamu. Tapi mengingat bagaimana wanita itu menyerangmu saat aku tak ada di sampingmu, rasanya ... benar-benar membuatku begitu mendidih," ungkapnya jujur.
"Beristirahatlah dan minumlah obat pereda nyeri."
"Aku sudah meminumnya tadi, terima kasih," ucap Serena sambil tersenyum.
"Benarkah? Baguslah. Lalu, di mana lagi ia melukaimu? Bagian mana yang sakit?" Julien yang masih cemas, tanpa sadar menyibakkan rambut lembab Serena dan mengangkatnya dengan lembut ke arah tengkuk.
Ia kemudian memeriksa di sekitar dagu, telinga, hingga leher mulus gadis itu. Sejauh ia memeriksa, ia hanya mendapati beberapa goresan kecil yang samar yang terlihat tak terlalu dalam seperti akibat gesekan rambut Serena sendiri saat ia sedang diseret.
Walau begitu, ia tetap merasa tak suka. Kulit halus Serena yang putih itu harus mengalami luka lagi karenanya. Padahal, saat kemarin gadis itu terluka karena tamparan Lucia, Julien sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak membiarkan hal seperti itu terjadi lagi. Tapi nyatanya, ia kecolongan hari ini.
"Ju ... Julien," lirih Serena gugup sambil menelan ludahnya ketika ia dapat dengan jelas merasakan hembusan napas Julien di lehernya yang terasa menggelitik.
Mendengar namanya disebut, Julien sontak menatap wajah Serena. Mata kecokelatan gadis itu begitu menghipnotisnya ketika tatapannya saling bertemu dengan Serena yang kini hanya berjarak beberapa centi darinya.
Julien sendiri kemudian begitu terkejut saat ia menyadari betapa terlalu dekat wajahnya dengan Serena sehingga gadis itu kemudian berpaling membuang muka dengan semburat merah di pipinya, sambil menahan dadanya dengan kedua tangannya yang entah sejak kapan telah menempel manis di atas setelan yang ia kenakan karena ia terlalu condong ke arah tubuh gadis itu.
"Ah, maaf," ucap Julien sambil refleks menjauh dan melepaskan cengkeramannya pada rambut lembab Serena. Jantungnya seakan ikut melompat karena keterkejutannya sendiri.
Ia mengumpat dalam hati karena untuk sesaat tadi ketika ia menangkap wajah Serena yang begitu dekat dan harum, tiba-tiba saja membangkitkan sesuatu yang menggelitik yang membuat dadanya sendiri berdebar.
Selain amarah, kini bahkan sikap dan posisinya yang tak dapat dikontrol itu membuat dirinya sendiri terheran-heran. Ada apa dengannya? Mengapa ia banyak bertindak impulsif jika itu menyangkut Serena?
Seperti tadi saat ia sedang menghadiri rapat penting di perusahaannya, ia bahkan tanpa sadar langsung berdiri dari kursi rodanya dan melesat meninggalkan ruangan itu setelah Simon meneleponnya.
"Kursi roda Anda, ah, maksudku ... di mana kursi rodamu, Julien?" tanya Serena setelah ia dapat menguasai diri lagi dari debaran jantungnya karena kedekatan pria itu tadi.
"Apa? Oh, kurasa aku meninggalkannya di kantor," jawab Julien masih sedikit linglung.
"Aku ... tadi kembali tanpa kursi rodaku dan berjalan begitu saja. Lalu, aku melakukan hal yang sama saat memasuki rumah," jelasnya sambil tertawa kecil karena menertawakan dirinya yang begitu konyol.
"Apa? Jadi ... semua telah tahu kau sudah pulih dan dapat berjalan lagi?" Serena membulatkan kedua matanya yang lentik karena terkejut.
"Yeah, begitulah," balas Julien sambil mengangkat kedua alisnya. "Jika kuingat lagi bagaimana semua orang melotot ketika melihatku berjalan tanpa kursi rodaku, kurasa aku memang telah membuat mereka begitu terkejut hari ini," lanjutnya sambil tersenyum geli dan menatap lembut gadis itu.
Ya, semua karenamu, Serena, batinnya dalam hati. Semua tindakan impulsifku hari adalah karenamu.
____****____Malam itu di ruang bacanya, Julien mendesah kesal setelah ia selesai melihat lagi rekaman kamera pengawas yang terpasang di rumahnya yang menyorot dengan jelas kejadian siang tadi ketika Lucia menganiaya Serena sementara dirinya tak ada di tempat.Ia yang begitu geram, rasanya ingin menghubungi pihak berwajib saat itu juga agar wanita penyihir itu ditangkap ketika ia mendapatkan laporan mengejutkan tersebut. Tapi, ia lagi-lagi harus menahan dirinya sendiri karena ia masih memikirkan Lidya, putri Lucia satu-satunya.Bagi Lidya, Lucia adalah orang tua terbaik karena selama ini wanita itu telah berjuang seorang diri sebagai ibu tunggal yang menjaganya setelah ayah mereka meninggalkan mereka sejak kecil. Bahkan perceraian yang terjadi setahun yang lalu itu pun, Lidya tak benar-benar tahu alasan yang sebenarnya.Lagi-lagi, karena mempertimbangkan perasaan gadis itu, Julien memutuskan untuk tak memberitahu alasan yang sebenarnya padanya. Ia bahkan rela memberikan harta sesuai kemauan Lucia
"Aku adalah pria terbaik Serena yang selalu ada untuknya. Kau siapa?" balas Calvin tak gentar.Aiden tertawa kecil karena sikap arogan yang Calvin tunjukkan padanya yang seolah-olah ia berhak bertindak apa pun pada Serena karena ia adalah kenalannya."Hah, pria terbaik, ya? Apa kau yakin? Bagaimana jika kukatakan Serena adalah wanitaku?" balas Aiden tak mau kalah.Serena dan Calvin sama-sama membelalakkan kedua bola matanya karena terkejut mendengar ucapan Aiden."Apa?" Calvin menatap Serena seolah ingin meminta penjelasan pada gadis itu atas ucapan yang mengejutkannya itu."Benarkah itu, Seren?" tanyanya kemudian. Ada raut kekecewaan dalam wajahnya."Begini, Calvin, aku bisa menjelaskannya," ucap Serena gugup."Mengapa kau harus menjelaskan sesuatu pada pria yang bukan kekasihmu ini, Serena?" timpal Aiden sambil menatap Calvin yang melihatnya tak suka."Kau bukan kekasihnya, kan? Jika benar kau adalah prianya, aku tak mungkin tak tahu akan hal itu. Apa kau tak tahu apa hubunganku den
Malam itu Julien diam-diam masih mengamati Serena yang terlihat sering melamun setelah ia pulang dari kampusnya semenjak siang tadi. Bahkan sampai malam selesai, Serena terlihat tampak tidak fokus dengan apa pun yang sedang dikerjakannya. Hanya dengan melihat raut wajahnya, Julien sudah dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu lagi pada gadis itu.Seperti saat ini, gadis itu bahkan tampak banyak melamun walau sedang menghadap laptopnya. Ruang baca yang hanya diisi mereka berdua tampak lebih hening dari biasanya."Apa ia masih begitu sibuk hingga tak sempat membalas pesan-pesanku, ya?" gumam Julien sambil menatap ponselnya. Ia sendiri tak fokus pada berkas-berkas yang seharusnya ia periksa.Julien yang sejak siang sudah merasakan keanehan pada Serena, segera mengirim pesan pada Aiden dan bertanya apa mungkin telah terjadi sesuatu pada gadis itu saat ia mengantarkan barang untuk putranya, sesaat setelah Serena kembali ke rumah dengan wajah sedikit lesu. Namun hingga malam menjelang, ia
Julien masih mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya sesaat setelah ia berteleponan dengan Aiden tadi. Walau raut wajahnya terlihat serius, namun sesungguhnya ia tak dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaannya."Maaf jika aku menyela, tapi adakah yang Anda inginkan, Tuan?" tanya Serena pada Julien yang masih tampak fokus dengan berkas tebal yang sedang dibacanya.Julien melepas kacamata baca miliknya dan menatap Serena yang telah merapikan buku-bukunya. Gadis itu kini telah mencepol rambutnya dan terlihat sedikit lelah saat ia melipat kacamatanya sendiri."Kau sudah selesai?" tanya Julien."Ya." Serena mengangguk. "Jika Anda belum selesai, aku bisa membawakan kudapan atau minuman hangat selagi Anda menyelesaikan memeriksa naskah tersebut."Julien sedikit terkejut ketika ia melihat jam tangannya. "Sudah jam sebelas rupanya. Apa kau sengaja menungguku?" tanyanya."Tidak. Aku juga baru menyelesaikan tugasku."Julien tersenyum kecil karena ia yakin Serena tak mengatakan yang sebenarnya. "
"Sekarang katakanlah dengan tenang, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Julien mengusap sisa air mata pada wajah lembab Serena setelah gadis itu telah benar-benar berhenti menangis. Ia menyibak sejumput rambut Serena yang tergerai ke belakang telinganya."Aku be ... bertemu dengan Calvin dan menceritakan semuanya tentang kita padanya," ucap Serena akhirnya."Calvin? Siapa ia?" balas Julien sambil mengerutkan alisnya.Lalu, dengan sedikit bergetar dan terbata, Serena akhirnya menceritakan perihal pertemuannya dengan Calvin dan alasannya melakukan itu kepada Julien. Ia bahkan bercerita tentang Calvin dan hubungannya dengan masa lalunya tanpa ia tutupi sedikit pun. Julien mengembuskan napasnya dan tampak berpikir sejenak setelah Serena menceritakan semuanya. Tak ada raut kesal atau pun marah pada wajahnya. Justru, ia terlihat lega setelah dengan sabar mendengar penuturan gadis itu."Terima kasih kau sudah bercerita padaku, Serena. Untuk seterusnya, mulai sekarang kau harus mengatakan d
Tiga hari kemudian, hari di mana pesta berlangsung, Serena masih termangu di tempat duduknya sambil menyentuh bibirnya setelah ia bersiap dengan gaun malam model mermaid dress berwarna biru tua miliknya untuk menghadiri pesta malam itu bersama Julien.Bibirnya yang masih terasa panas dan penuh dengan aroma Julien itu masih membuatnya berdebar bahkan ketika pria itu tak ada di dekatnya. Dan seperti rencana yang telah dikatakan Julien sebelumnya, selama tiga hari lalu pria itu membawanya menginap di hotel, berbelanja, pergi ke salon di pusat kota, bahkan berjalan-jalan untuk sengaja memperlihatkan kemesraan mereka di hadapan publik.Dan selama tiga hari itu pula, Julien memperlakukannya bak seorang ratu. Ia memanjakannya dengan puluhan baju baru dan barang-barang belanjaan mewah lainnya. Ia juga bersikap begitu mesra layaknya seorang pria yang menggilai pasangannya. Tentu saja, sekarang sentuhan fisik maupun ciuman seolah sudah menjadi hal yang wajar yang pria itu lakukan padanya di saa
Mereka kemudian masuk ke dalam lift untuk menuju ke area pesta yang ada di lantai satu. "Maafkan aku kau harus melihat dan mendengar semua omong kosong Lucia tadi," ucap Julien pada Serena setelah mereka berada di dalam lift."Tak apa. Aku sudah tidak terkejut lagi dengan sikapnya," balas Serena."Jangan dengarkan apa pun yang ia katakan. Mungkin reputasiku memang telah dicap buruk, tapi aku tak akan pernah melakukan dan membiarkan sesuatu yang mungkin dapat menyakitimu. Dan jika ada yang ingin kau tanyakan tentangku, jangan ragu untuk mengatakannya. Apa pun itu. Karena aku tak ingin kau mendengar tentangku dari mulut orang lain."Ucapan Julien membuat Serena tenang. Ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Baiklah, aku mengerti," jawabnya."Ck, harusnya tadi kubuat ia meminta maaf padamu atas perbuatannya tempo lalu. Aku sudah sangat terlalu muak padanya hingga rasanya tak ingin berlama-lama melihatnya. Sekali lagi, maafkan aku karena telah membuatmu harus berurusan dengan wanita i
Sudah sekitar sepuluh menit Serena berdiri dan menatap ke arah jendela di ruang baca dengan raut muram ketika Julien perlahan masuk ke dalam ruangan tersebut dan memperhatikannya. Gadis yang mengenakan jubah tidur itu bahkan tidak menyadari kehadirannya karena ia begitu terpaku pada satu titik di luar jendela dan terhanyut dalam benaknya yang terlihat sedang berpikir keras.Ya, Serena memang sedang mengingat lagi apa yang diucapkan Calvin padanya ketika ia menghentikan mereka meninggalkan pesta tadi."Dua hari yang lalu aku menemui orang tuamu dan Helena," akui Calvin berterus terang.Saat itu, Serena yang hendak keluar ruangan, sketika membeku. Ia tak langsung membalas ucapan Calvin karena ia masih begitu shock. Ia harus mengumpulkan kekuatannya dahulu sebelum kemudian bisa menjawab dengan suara yang tak bergetar."Mengapa kau menemui mereka?" tanya Serena sambil membalikkan badannya yang sebelumnya telah siap keluar."Aku hanya ingin memastikan sesuatu saja," jawab Calvin beralasan.
Saat Helena mengira ia telah berhasil melumpuhkan Julien dengan mengikat kedua tangan pria itu agar tak mengganggunya, saat itu ia mulai kembali melancarkan aksi liarnya. Ia masih menggarap bagian tubuh bawah Julien dengan begitu bernafsu menggunakan mulutnya.Tenaganya saat ini jauh lebih besar dari Julien yang setengah tak sadarkan diri dan begitu lemas tak berdaya. Akibat obat yang diberikan padanya itu, Julien merasa pusing, mual hebat, pandangan menjadi lebih buram, nyeri otot, dan ia merasakan hot flash atau rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Peningkatan aliran darah yang melonjak drastis di area keperkasaannya pun membuatnya merasakan peningkatan sensitivitas, gairah, dan fungsi orgasme.Dalam keadaan tak berdaya tersebut, Julien tentu saja seperti telah dilumpuhkan. Dan ketiks Serena akan memaksa untuk melesakkan keperkasaan Julien ke dalam dirinya, saat itu juha tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka dengan keras."BRAK!"Helena terlonjak. Ia seketika tertegun kar
"Jadi, kau sudah berbaikan dengan ayahku, ya?" tanya Aiden pada Serena yang siang itu mendatangi ruangannya untuk memberikan sebuah bingkisan padanya."Apa ayahmu sudah bercerita?" balas Serena."Yah, begitulah. Ia menceritakan banyak hal termasuk semua yang ia tahan selama ini. Dan berkat itu, aku jadi tahu alasannya tak mencarimu ketika kau pergi. Ia tak ingin aku mengetahuinya karena aku bisa saja terbang ke sana untuk menemuimu dan menyeretmu kembali, begitu yang ia katakan."Serena tersenyum dan mengangguk kecil. "Ya, mungkin karena ia tahu bagaimana dirimu, jadi ia tak membuka hal itu. Tapi, kau telah menemaninya di saat-saat dirinya kesepian dan butuh seseorang. Aku tahu kau begitu sibuk, tapi kau tak meninggalkan ayahmu."Aiden mengembuskan napasnya. "Hanya ia yang kumiliki selain kakek dan nenekku, Seren. Tapi kini, selain dirinya aku juga memiliki kalian, adik-adik kembarku yang menggemaskan, juga kau. Kalian semua adalah keluargaku. Aku baru menyadari bahwa ayahku membutuhk
"Brak!"Serena mendongak seketika saat pintu ruang kerjanya terbuka keras kala ia sedang berfokus pada pekerjaannya. Ia melihat Helena masuk ke dalam kantornya dengan raut memburu yang kuat diikuti oleh sekretarisnya, Amel yang tergopoh-gopoh dan panik."Nyonya, Nona ini memaksa untuk masuk dan ...""Tak apa, Amel, keluarlah," jawab Serena menenangkan wanita itu. Setelah sekretarisnya undur diri, Helena mendekat dan berkacak pinggang di hadapannya."Apa yang telah kau lakukan?" hardiknya pada Serena.Serena meletakkan kaca mata bacanya dan menutup laptopnya untuk menatap Helena."Apa maksudmu?" tanyanya."Tak usah berlagak bodoh, dasar jal*ng!" umpat Helena. "Kau telah menghabiskan malam dengan Julien, bukan? Haruskah kuperjelas lagi peringatan yang pernah kukatakan padamu tempo lalu!? Jauhi dirimya dan jangan berani berbuat macam-macam di belakangku!"Serena hanya mengembuskan napasnya. Sebenarnya ia merasa malas untuk meladeni Helena hari ini karena pekerjaannya sudah begitu menumpu
"Ah, kau sudah kembali?" sapa pemilik penginapan saat melihat Julien masuk ke dalam penginapan dengan sebuah koper di tangannya.Pagi-pagi tadi ia sudah kembali ke area parkir mobil milik istrinya dan membawa kopernya yang kemarin tertinggal karena pertengkaran mereka, sementara Serena sendiri masih terlelap di kamar mereka."Ya, aku membawa koper milik istriku kembali. Sebenarnya ketika kami bertengkar kemarin, ia meninggalkannya di mobilnya di sekitar pertokoan."Pemilik penginapan itu tersenyum. "Aku bisa melihat itu. Dan kurasa, pagi ini kalian telah menyelesaikan pertengkaran kakian dengan baik, bukan? Mengingat betapa cerah dan bersemangatnya dirimu," lanjutnya sambil mengedipkan salah satu matanya seolah sedang menggoda Julien.Julien mengangguk dan tertawa kecil. "Anda benar," balasnya sedikit tersipu malu."Karena kami akan keluar siang nanti, kurasa aku akan menyelesaikan pembayaran sekarang, Nyonya. Terima kasih untuk pelayanan kamar yang begitu baik untuk kami yang kemarin
Paginya, Aiden dan Crystal saling berdiam diri ketika mereka berhadapan di depan meja makan. Ellie dan Bianca yang telah menyiapkan makanan pagi itu tampak sedikit heran dengan kecanggungan mereka."Aku tak mendengarmu datang semalam," ucap Aiden membuka pembicaraan."Ya, tentu saja, Anda sudah tertidur dengan si kembar ketika Nona Crystal datang, Tuan," timpal Ellie."Benar, kami bahkan tidak berani memindahkan mereka karena kami juga tidak ingin mengganggu istirahat Anda." Kali ini Bianca, putri Ellie ikut menimpali."Ya, Crystal yang sudah memindahkan mereka," jawab Aiden."Aku sudah memberitahumu melalui pesan singkat, bahkan meneleponmu ketika aku tiba. Dan saat Ellie memberitahu keberadaanmu, aku melihat kalian telah terlelap. Lalu ... aku memindahkan mereka."Crystal meneguk minumannya untuk menutupi kecanggungannya dan wajahnya yang memerah. Karena ia teringat lagi kejadian yang setelahnya terjadi setelah ia memindahkan si kembar. Ia yakin Aiden juga teringat hal yang sama kar
Dalam kebersamaan mereka, malam itu Julien dan Serena menghabiskan banyak waktu untuk saling berbicara dan mengungkapkan segala perasaan mereka dari hati ke hati. Satu demi satu semua kesalahpahaman terurai dengan baik. Tak ada lagi hal-hal yang saling mereka simpan.Julien menceritakan masa lalunya dan semua yang ia rasa Serena perlu mengetahuinya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya, Serena menceritakan juga keseluruhan tentangnya, keluarganya, kehidupannya, maupun tentang Helena sendiri."Lalu, mengapa kau tetap membantu keluargaku dan memberi Helena pekerjaan di perusahaanmu?" tanya Serena."Karena mereka adalah keluargamu," balas Julien yang membuat Serena tersentuh. "Saat itu, hanya satu yang kupikirkan. Jika aku tetap menjaga mereka dekat denganku, setidaknya aku tahu kapan kau akan kembali. Itulah yang kupikirkan sebelum aku mengetahui segalanya.""Lalu, setelah kau mengetahuinya, bukankah seharusnya kau sadar bahwa selama ini kami hanya memanfaatkanmu saja? Termasuk diriku."Ada
"Saat itu situasi kita benar-benar sudah tak dapat tertolong lagi, bukan? Saat aku tahu kondisimu dan bayi kita tak baik jika kita meneruskan hubungan itu, maka aku terpaksa membuat keputusan yang sulit itu.""Kau, tak akan dapat pulih dan menyelamatkan bayi kita jika terus berada di sisiku. Lingkungan dan orang-orang di sekitar kita yang menekanmu, tak akan baik bagimu. Terutama aku.""Bisakah kau tetap tenang jika bersamaku yang bermasalah? Aku akui, aku telah sangat melukaimu. Aku mungkin penyebab kerusakan mental dan kesehatanmu yang terbesar. Sejujurnya, aku sendiri takut. Ada beberapa hal yang selalu menghantuiku dan tak sanggup kuceritakan padamu."Julien menelan ludahnya karena tenggorokannya sekarang terasa tercekat. "Sayang, ada hal yang ingin kukatakan. Sebenarnya, aku bukanlah pria normal sehat seperti yang selama ini kau ketahui."Serena menatap lurus pada Julien yang tampak berusaha keras untuk memberinya penjelasan dan mengutarakan isi hatinya. Dan sejak Julien menyebut
"Kau sungguh tak masuk akal, aku benar-benar akan memesan satu kamar lagi jika kau ... akh!"Serena terpekik kecil ketika lengan kokoh Julien menahannya yang hendak bangkit dari ranjang. Ia terbaring sempurna di tempatnya semula setelah Julien menariknya."Julien, apa yang kau inginkan? Jangan berpikir untuk menyentuhku atau macam-macam denganku. Aku adalah kekasih pria lain dan ... mmmh!"Julien yang tak mendengarkan peringatan Serena, segera melayangkan ciuman tiba-tiba yang seketika membuat Serena tak berkutik."Omong kosong," lirih Julien di sela-sela lumatan dan belitan lidahnya yang ia gunakan untuk membungkam mulut Serena yang cerewet."Tak ada pria lain atau kekasih, karena akulah priamu."Julien yang tak sanggup lagi menahan kegemasan sekaligus kegeramannya pada Serena, akhirnya melayangkan juga ciuman panas yang telah ditahan-tahannya seharian ini dan telah menjadi mimpi-mimpi manisnya selama bertahun-tahun ini. "Ju ... Julien, aah ... hentikan, mmh."Desahan Serena yang me
Hari telah sore menjelang malam ketika mereka sampai di lokasi kedua. Serena masih banyak mengambil berbagai foto di tiap sudut yang menarik baginya. Selain mengumpulkan catatan dan foto-foto secara langsung, ia juga berkomunikasi dengan warga setempat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan naskah yang sedang ia garap."Kau tahu kau juga bisa bertanya padaku, bukan? Aku cukup mengenal beberapa lokasi yang menarik bagimu. Aku pernah mengunjungi tempat-tempat ini sebelumnya. Bahkan, aku bisa menunjukkan di mana saja tempat-tempat terbaik jika kau ingin mendapatkan sudut di mana para tokoh dapat melihat matahari terbenam atau sejenisnya.""Suasana yang sesuai dengan perasaan mereka saat itu, akan bagus jika terbingkai di sudut area yang kumaksud. Dan kurasa kau juga akan menyukainya," ucap Julien."Benarkah? Di mana itu? Apakah kau menemukan spot terbaik itu ketika kau juga menjadi pendamping untuk penulis-penulismu? Terutama mungkin untuk penulis 'spesialmu', benar?" balas Serena sambil