"Aiden Clark Johansen, bisakah kau tak mempermalukan Serena dan ayahmu dengan kelakuanmu tadi di depan para pelayan?" ucap Julien setelah mereka masuk ke dalam ruang kerjanya untuk melanjutkan pembicaraan.
Setelah tadi Julien memerintahkan Aiden untuk mengikutinya ke dalam ruang kerjanya, Serena dengan sigap mendorong kursi roda milik Julien dengan patuh dan makan malam mereka pun otomatis berakhir.
Aiden menghempaskan dirinya di atas sofa besar di dalam ruang kerja sang ayah sambil mendesah. "Aku begitu lelah dengan shift dobel yang ditimpakan seniorku padaku sejak kemarin aku bertugas di bangsal UGD. Aku bahkan belum beristirahat dengan benar dan hanya makan satu kali sejak itu. Jadi tolong, Dad, jelaskan saja dengan singkat agar tak banyak perdebatan yang membuang energiku karena aku masih membutuhkan istirahat."
"Kau tahu berita itu dari siapa?" tanya Julien tanpa berbasa-basi.
"Dari mantan istrimu, siapa lagi? Hanya ia yang masih gigih mengusikku karena berharap kau akan memperhatikannya jika aku bisa membujukmu. Bisakah kau menyuruhnya untuk berhenti menggangguku? Jika ia ingin rujuk denganmu, harusnya ia mengganggumu saja."
"Ah, aku hampir lupa. Tidak mungkin baginya untuk rujuk denganmu lagi karena kau sekarang sudah memiliki istri cantik yang begitu muda dan polos ini, benar? Entah bagaimana kau berhasil memperdayainya, Dad," sindir Aiden.
"Ma ... maaf, Aiden," lirih Serena spontan karena merasa tak enak hati setelah mendengar ucapan Aiden.
"Aku tak akan terpengaruh dengan semua kata-kata ketusmu itu, Bocah. Suka atau tidak, Serena kini adalah ibu tirimu sejak seminggu lalu aku menikahinya. Dan kau, Serena, tak perlu meminta maaf padanya karena aku tak mungkin kembali lagi pada mantan istriku. Tak perlu merasa bersalah atau apa pun itu karena ocehan bocah ini," jawab Julien santai.
"Dad!" teriak Aiden kesal.
"Lihat, ia begitu menyebalkan, bukan? Katakan Serena, apakah kau diancam oleh ayahku hingga kau menyetujui menikah dengan pria tua ini? Jika itu yang terjadi, maka aku akan dengan senang hati melaporkannya pada yang berwajib," lanjut Aiden.
"Tidak, Aiden, dengarkan dahulu penjelasan Tuan Julien," ucap Serena cepat.
"Hah! Tuan Julien, ya? Benar, kan? Kau diancam oleh pria tua ini? Aku tahu kau bukan gadis seperti itu, Serena. Jadi katakan semuanya dan tak perlu takut untuk berbicara yang sebenarnya padaku. Aku sudah mengenalmu sejak kau menjadi mahasiswi baru di kampus kita. Tak ada satu pun hal yang tak membanggakan tentangmu. Bahkan, walau kau berbeda jurusan denganku, kau masih mau membantuku untuk ikut kerja suka rela saat yang lainnya menolak."
"Saat itu, aku sudah menetapkan kau sebagai junior terbaikku. Maka dari itu, aku memercayakan pekerjaan perawat yang sebenarnya tak diperlukan itu, untuk ayahku yang menyebalkan ini. Yah, walau kini aku sudah menyesalinya. Tak seharusnya aku melakukan itu," ucap Aiden sambil menggeleng kesal.
"Apakah kau sudah selesai?" ucap Julien pada Aiden. "Aku tak mengerti mengapa yang keluar dari mulut cerewetmu itu seolah hanya keburukanku saja. Dengarkan dulu penjelasanku, Bocah."
"Aku dan Serena saat ini sedang terikat oleh perjanjian pernikahan kontrak," lanjut Julien.
Aiden menegakkan tubuhnya karena tersentak dengan ucapan ayahnya. Ia menatapnya dengan atensi penuh dan raut keingintahuan yang besar. "Menikah kontrak? Jadi, kalian tidak menjadi suami istri yang sebenarnya?"
"Ya," tegas Julien. "Aku memberinya penawaran karena aku membutuhkan bantuannya. Begitu juga sebaliknya."
"Lalu, lebih tepatnya bantuan apa itu?" tanya Aiden.
Julien menghela napasnya sejenak. "Deposito milikku sebentar lagi sudah mengalami jatuh tempo. Dengan jumlah yang besar dan tambahan bunga itu, kau tentu tahu berapa nilainya setelah cair, bukan?"
"Ya, lalu?"
"Aiden, Lucia mengincar dana deposito itu. Karena perusahaan sekarang sedang membutuhkan suntikan dana, maka aku tak bisa membiarkan ia mendapatkan semua dana itu. Kau tentu tahu bagaimana ia akan menggunakan semua uang itu untuk kesenangannya sendiri, bukan? Karena itu, aku membutuhkan Serena untuk mencegah Lucia mendapatkan uang itu."
"Mengapa Lucia harus mendapatkan dana itu? Bukankah itu adalah milikmu? Kau bahkan telah memberinya beberapa aset dan saham perusahaan untuk syarat perceraian kalian dulu. Ia sudah mendapatkan banyak uang dan sekarang ia masih mengincar depositomu?"
Julien mengangguk. "Dalam perjanjian yang kutandatangani dengan Lucia untuk syarat perceraian itu, salah satu poin menyebutkan bahwa ia berhak atas semua pencairan dana deposito milikku jika jatuh tempo itu terjadi sebelum aku mendapatkan penggantinya. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah seorang istri."
"Awalnya, aku tak ingin mempermasalahkan itu. Tapi, setelah perusahaan mengalami krisis dan membutuhkan sejumlah dana. Aku tak bisa membiarkan dana itu jatuh ke tangannya. Jadi, aku membuat kesepakatan kontrak pernikahan dengan Serena."
"Wah, wanita penyihir itu memang luar biasa mengerikan. Ia sudah berhasil menggerogoti perusahaanmu dengan kepemilikan saham yang kau berikan secara cuma-cuma, kini ia juga hendak menguasai semua hartamu? Aku yakin ia tak akan berhenti sampai kau tak memiliki apa-apa," timpal Aiden geram.
"Ya, memang seperti itulah wanita itu. Aku bersyukur telah lepas darinya."
"Itu benar, tapi itu juga karena kebodohanmu sendiri, Dad! Bagaimana kau bisa terlibat dengan wanita ular itu? Kau terlalu lunak padanya hingga ia bisa memengaruhimu untuk menikahinya dengan alasan putrinya! Kau tahu sejak awal aku sungguh menentang pernikahanmu itu, bukan? Dan kini, semua terbukti setelah wanita licik itu berhasil menghabisi hartamu."
"Ck, ck, kau sungguh pria tua yang tak tertolong," gumam Aiden sambil menggeleng dengan raut prihatin.
"Lihat, Serena, inilah alasannya mengapa aku tak langsung memberitahu putraku tentang pernikahan kita. Karena ia akan begitu cerewet seperti sekarang. Bisa kau bayangkan betapa pusingnya aku menghadapi dirinya selama ini? Ia bahkan lebih cerewet dibandingkan seorang istri yang sedang memarahi suaminya," gerutu Julien.
Aiden memutar kedua bola matanya. "Oh, please, itu memang karena kau pantas untuk dimarahi, Dad. Siapa suruh kau membuat ibuku melahirkanku dengan usia yang begitu muda? Kau bahkan saat ini belum terlalu matang untuk bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Seperti contohnya mantan istrimu itu, ck, ck."
"Kurasa, dalam hal kedewasaan dan kematangan berpikir, Serena jauh lebih bijak dibandingkan denganmu."
"Benarkah?" tanya Julien. "Kalau begitu, karena putra cerewetku sudah mengetahui situasi kita, maka mohon bimbinganmu, Istriku," ucap Julien kemudian sambil menatap Serena dan tersenyum manis.
"Dasar perayu," gumam Aiden sambil menggelengkan kepalanya.
"Lalu, untuk bantuan sebesar itu, apakah yang ayahku berikan sebagai imbalannya padamu, Serena?"
Serena mengerjap dan membasahi bibirnya sebelum berkata, "I ... itu, Tuan Julien bersedia memberikan biaya pengobatan untuk Helena. Dan karena kontrak itu hanya berjalan satu tahun, kurasa itu sangat membantuku sebelum aku akhirnya bisa melanjutkan kuliahku hingga lulus dan mencari pekerjaanku sendiri."
"Bahkan, Tuan Julien juga bersedia membiayai kuliahku karena beasiswa yang kuterima di tahun terakhir telah hangus," lanjutnya.
Aiden mengembuskan napasnya. Ia mengangguk tanda mengerti. Ia sungguh tahu apa yang menimpa Serena sehingga ia memutuskan untuk membantu gadis itu tiga bulan yang lalu.
"Itu memang sudah sepantasnya kau dapatkan, Serena. Sungguh sayang jika kau meninggalkan kuliahmu di tahun terakhir," timpal Julien.
Serena adalah gadis manis yang sangat pintar dan cemerlang yang cukup populer di jurusan sastra di kampus mereka. Walau ia tak semencolok seperti saudara kembarnya Helena yang berada di jurusan komunikasi, namun Serena cukup menjadi perbincangan karena kepintarannya dan juga sifat yang begitu berbanding terbalik dengan kembarannya itu.
Berkat wajah dan kecantikan mereka yang sama persis, Serena dan Helena menjadi sepasang saudari kembar yang cukup dikenal di kampus mereka. Jika Helena adalah gadis cantik yang populer karena keceriaannya, maka Serena populer karena kepintarannya.
Aiden sendiri baru mengetahui kabar Serena setelah ia magang di rumah sakit di dekat kampus dan mendapati gadis itu sedang bekerja di kafetaria di sana. Ia cukup terkejut saat mengetahui bahwa Serena harus terpaksa cuti di tahun terakhirnya kuliah karena keadaan saudara kembarnya.
"Aku juga setuju denganmu, Dad," ucap Aiden. "Dan Serena, jangan sungkan untuk menerima semua yang ayahku berikan untukmu."
"Jadi, masalah sudah selesai, bukan? Kau tak akan menggangguku lagi dengan kecerewetanmu tentang ini lagi, benar?" Julien menatap Aiden untuk meminta persetujuan.
Aiden mengangguk. "Ya, hanya jika kau berjanji untuk memperlakukan Serena dengan baik. Kalau tidak, aku tak akan membelamu di depan kakek jika ia mempermasalahkan pernikahan ini."
"Oh, ya ampun kau mulai lagi," keluh Julien.
"Aku hanya bercanda, Dad." Aiden tertawa kecil setelah menggoda ayahnya. "Serena, aku berjanji ayahku akan memperlakukanmu dengan baik karena ia hanya pria tua bodoh yang begitu lemah dengan kecantikan dan kemalangan. Tapi walau begitu, jangan ragu untuk melaporkan padaku jika suatu saat ia menyusahkanmu, oke?"
Serena mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, terima kasih," jawabnya.
Julien mengerutkan alisnya. "Hei, Serena, mengapa kau begitu patuh padanya? Bukankah aku adalah suamimu?" protes Julien seolah ia keberatan.
"Aku adalah senior tampan baik hati yang tak pernah berbuat kejam pada juniorku, tentu saja ia akan menurutiku karena aku adalah panutan kampus dan semua juniorku. Benar, Serena?" balas Aiden seolah tak mau kalah setelah mendengar protes Julien.
"Ck, kalian bahkan berbeda jurusan. Kau bisa populer karena mewarisi wajah tampanku, apa kau tahu itu? Sudahlah, kembali saja ke apartemenmu atau kau ingin tidur di sini? Sekarang aku juga akan kembali ke kamarku untuk beristirahat. Ayo, Serena," ucap Julien.
"Tunggu, tunggu, apa kau ingin mengajak Serena tidur di kamarmu?" ucap Aiden terkejut.
Julien mengangkat kedua bahunya seolah tak mengerti maksud pertanyaan putranya. "Di mana lagi? Kau ingin pernikahan ayahmu ini dicurigai banyak orang? Karena ia istriku, tentu saja ia akan tidur sekamar denganku," balas Julien santai.
"Oh, ya Tuhan, kau serigala tua! Jangan kau berani berbuat macam-macam pada Serena, Dad! Ia gadis manis yang masih polos! Jangan berpikir untuk melakukan sesuatu padanya!" ucap Aiden sungguh-sungguh memperingatkan ayahnya.
"Sudah terlambat. Kami sudah tidur bersama sejak seminggu yang lalu," goda Julien dengan sengaja sambil menarik lengan Serena agar ia membimbingnya keluar dengan kursi rodanya.
"Dad!" teriak Aiden tak percaya.
****
Esoknya ....
"A ... Apa kau bilang, Mom?" Suara Serena terdengar bergetar sambil menggenggam ponselnya setelah ia mendapat sebuah panggilan masuk dari ibunya.
"Apa kau tak mendengarku, Seren? Kukatakan bahwa Helena telah siuman dari komanya. Ia kini telah bangun dan sadar lagi," tegas Anie terdengar di seberang telepon sebelum ia memutus panggilan mereka.
"He ... Helena sudah terbangun dari komanya?" lirih Serena masih tak percaya.
Setelah mendengar berita yang tiba-tiba dan begitu mengejutkan itu, Serena sekejap masih merasa linglung. Dan setelah beberapa saat ia berhasil pulih dari keterkejutannya, ia melepaskan kacamata bacanya dan menutup laptopnya. Karena tak ingin membuang waktu lagi, ia lalu melesat keluar dari dalam ruang baca untuk menuju ke rumah sakit.
____****____Serena hanya mampu menatap pintu berkaca yang memisahkan kamar Helena dengan koridor saat Anie ibunya, menahannya ketika ia ingin masuk ke dalam kamar saudara kembarnya itu."Helena sedang tertidur, jangan kau ganggu dirinya. Ia belum tahu jika aku telah memberitahumu tentang kondisinya. Ia berkata tak ingin bertemu denganmu sebelum ia merasa kuat dan sepenuhnya pulih. Jadi, untuk sementara kita rahasiakan ini darinya dan tunggu saja hingga ia mau menemuimu, mengerti?""Tak bisakah aku menemuinya sebentar saja, Mom? Aku hanya ingin melihat keadaannya," balas Serena.Anie menatap Serena dengan kesal. "Lalu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau ingin membuatnya kesal dengan memamerkan tubuh sehatmu dan berdiri di hadapannya yang masih terlihat menyedihkan? Apa itu yang kau inginkan? Apa kau akan menyombongkan kesehatanmu bahkan mungkin juga pernikahanmu sekarang? Kau ingin membuatnya terluka dengan semua yang kau miliki itu, begitu?""Mom? Mengapa kau berpikir seperti itu?" ucap Serena ta
Esoknya ...."Di sini kau rupanya, jal*ng kecil!" Ucapan sinis keluar dari mulut Lucia begitu ia masuk ke dalam ruang perpustakaan milik Julien yang tergolong besar itu saat Serena mengerjakan tugas kuliahnya.Siang itu Lucia yang mengenakan rok mini berwarna hitam dan berjalan cepat ke arahnya, menatapnya dengan berapi-api. Heels miliknya yang beradu dengan lantai terdengar begitu berisik karena ketergesaannya."Apakah karena mengincar deposito itu maka kau merayu Julien hingga ia menikahimu? Jal*ng kotor!" umpatnya kasar. "Sudah kukatakan jangan macam-macam denganku tapi kau berani tak mendengarkannya? Kemasi barangmu sekarang juga sebelum aku membuatmu menyesal karena telah mendekati apa yang tak seharusnya kau dekati, jal*ng kecil!"Gebrakan pada meja karena pelampiasan amarah Lucia membuat Serena tersentak. Serena lalu mengembuskan napasnya agar tak terpancing emosi setelah mendengar makian wanita itu."Nyonya, apa suamiku tahu Anda datang berkunjung ke mari?" tanyanya tenang."M
Malam itu di ruang bacanya, Julien mendesah kesal setelah ia selesai melihat lagi rekaman kamera pengawas yang terpasang di rumahnya yang menyorot dengan jelas kejadian siang tadi ketika Lucia menganiaya Serena sementara dirinya tak ada di tempat.Ia yang begitu geram, rasanya ingin menghubungi pihak berwajib saat itu juga agar wanita penyihir itu ditangkap ketika ia mendapatkan laporan mengejutkan tersebut. Tapi, ia lagi-lagi harus menahan dirinya sendiri karena ia masih memikirkan Lidya, putri Lucia satu-satunya.Bagi Lidya, Lucia adalah orang tua terbaik karena selama ini wanita itu telah berjuang seorang diri sebagai ibu tunggal yang menjaganya setelah ayah mereka meninggalkan mereka sejak kecil. Bahkan perceraian yang terjadi setahun yang lalu itu pun, Lidya tak benar-benar tahu alasan yang sebenarnya.Lagi-lagi, karena mempertimbangkan perasaan gadis itu, Julien memutuskan untuk tak memberitahu alasan yang sebenarnya padanya. Ia bahkan rela memberikan harta sesuai kemauan Lucia
"Aku adalah pria terbaik Serena yang selalu ada untuknya. Kau siapa?" balas Calvin tak gentar.Aiden tertawa kecil karena sikap arogan yang Calvin tunjukkan padanya yang seolah-olah ia berhak bertindak apa pun pada Serena karena ia adalah kenalannya."Hah, pria terbaik, ya? Apa kau yakin? Bagaimana jika kukatakan Serena adalah wanitaku?" balas Aiden tak mau kalah.Serena dan Calvin sama-sama membelalakkan kedua bola matanya karena terkejut mendengar ucapan Aiden."Apa?" Calvin menatap Serena seolah ingin meminta penjelasan pada gadis itu atas ucapan yang mengejutkannya itu."Benarkah itu, Seren?" tanyanya kemudian. Ada raut kekecewaan dalam wajahnya."Begini, Calvin, aku bisa menjelaskannya," ucap Serena gugup."Mengapa kau harus menjelaskan sesuatu pada pria yang bukan kekasihmu ini, Serena?" timpal Aiden sambil menatap Calvin yang melihatnya tak suka."Kau bukan kekasihnya, kan? Jika benar kau adalah prianya, aku tak mungkin tak tahu akan hal itu. Apa kau tak tahu apa hubunganku den
Malam itu Julien diam-diam masih mengamati Serena yang terlihat sering melamun setelah ia pulang dari kampusnya semenjak siang tadi. Bahkan sampai malam selesai, Serena terlihat tampak tidak fokus dengan apa pun yang sedang dikerjakannya. Hanya dengan melihat raut wajahnya, Julien sudah dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu lagi pada gadis itu.Seperti saat ini, gadis itu bahkan tampak banyak melamun walau sedang menghadap laptopnya. Ruang baca yang hanya diisi mereka berdua tampak lebih hening dari biasanya."Apa ia masih begitu sibuk hingga tak sempat membalas pesan-pesanku, ya?" gumam Julien sambil menatap ponselnya. Ia sendiri tak fokus pada berkas-berkas yang seharusnya ia periksa.Julien yang sejak siang sudah merasakan keanehan pada Serena, segera mengirim pesan pada Aiden dan bertanya apa mungkin telah terjadi sesuatu pada gadis itu saat ia mengantarkan barang untuk putranya, sesaat setelah Serena kembali ke rumah dengan wajah sedikit lesu. Namun hingga malam menjelang, ia
Julien masih mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya sesaat setelah ia berteleponan dengan Aiden tadi. Walau raut wajahnya terlihat serius, namun sesungguhnya ia tak dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaannya."Maaf jika aku menyela, tapi adakah yang Anda inginkan, Tuan?" tanya Serena pada Julien yang masih tampak fokus dengan berkas tebal yang sedang dibacanya.Julien melepas kacamata baca miliknya dan menatap Serena yang telah merapikan buku-bukunya. Gadis itu kini telah mencepol rambutnya dan terlihat sedikit lelah saat ia melipat kacamatanya sendiri."Kau sudah selesai?" tanya Julien."Ya." Serena mengangguk. "Jika Anda belum selesai, aku bisa membawakan kudapan atau minuman hangat selagi Anda menyelesaikan memeriksa naskah tersebut."Julien sedikit terkejut ketika ia melihat jam tangannya. "Sudah jam sebelas rupanya. Apa kau sengaja menungguku?" tanyanya."Tidak. Aku juga baru menyelesaikan tugasku."Julien tersenyum kecil karena ia yakin Serena tak mengatakan yang sebenarnya. "
"Sekarang katakanlah dengan tenang, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Julien mengusap sisa air mata pada wajah lembab Serena setelah gadis itu telah benar-benar berhenti menangis. Ia menyibak sejumput rambut Serena yang tergerai ke belakang telinganya."Aku be ... bertemu dengan Calvin dan menceritakan semuanya tentang kita padanya," ucap Serena akhirnya."Calvin? Siapa ia?" balas Julien sambil mengerutkan alisnya.Lalu, dengan sedikit bergetar dan terbata, Serena akhirnya menceritakan perihal pertemuannya dengan Calvin dan alasannya melakukan itu kepada Julien. Ia bahkan bercerita tentang Calvin dan hubungannya dengan masa lalunya tanpa ia tutupi sedikit pun. Julien mengembuskan napasnya dan tampak berpikir sejenak setelah Serena menceritakan semuanya. Tak ada raut kesal atau pun marah pada wajahnya. Justru, ia terlihat lega setelah dengan sabar mendengar penuturan gadis itu."Terima kasih kau sudah bercerita padaku, Serena. Untuk seterusnya, mulai sekarang kau harus mengatakan d
Tiga hari kemudian, hari di mana pesta berlangsung, Serena masih termangu di tempat duduknya sambil menyentuh bibirnya setelah ia bersiap dengan gaun malam model mermaid dress berwarna biru tua miliknya untuk menghadiri pesta malam itu bersama Julien.Bibirnya yang masih terasa panas dan penuh dengan aroma Julien itu masih membuatnya berdebar bahkan ketika pria itu tak ada di dekatnya. Dan seperti rencana yang telah dikatakan Julien sebelumnya, selama tiga hari lalu pria itu membawanya menginap di hotel, berbelanja, pergi ke salon di pusat kota, bahkan berjalan-jalan untuk sengaja memperlihatkan kemesraan mereka di hadapan publik.Dan selama tiga hari itu pula, Julien memperlakukannya bak seorang ratu. Ia memanjakannya dengan puluhan baju baru dan barang-barang belanjaan mewah lainnya. Ia juga bersikap begitu mesra layaknya seorang pria yang menggilai pasangannya. Tentu saja, sekarang sentuhan fisik maupun ciuman seolah sudah menjadi hal yang wajar yang pria itu lakukan padanya di saa
Saat Helena mengira ia telah berhasil melumpuhkan Julien dengan mengikat kedua tangan pria itu agar tak mengganggunya, saat itu ia mulai kembali melancarkan aksi liarnya. Ia masih menggarap bagian tubuh bawah Julien dengan begitu bernafsu menggunakan mulutnya.Tenaganya saat ini jauh lebih besar dari Julien yang setengah tak sadarkan diri dan begitu lemas tak berdaya. Akibat obat yang diberikan padanya itu, Julien merasa pusing, mual hebat, pandangan menjadi lebih buram, nyeri otot, dan ia merasakan hot flash atau rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Peningkatan aliran darah yang melonjak drastis di area keperkasaannya pun membuatnya merasakan peningkatan sensitivitas, gairah, dan fungsi orgasme.Dalam keadaan tak berdaya tersebut, Julien tentu saja seperti telah dilumpuhkan. Dan ketiks Serena akan memaksa untuk melesakkan keperkasaan Julien ke dalam dirinya, saat itu juha tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka dengan keras."BRAK!"Helena terlonjak. Ia seketika tertegun kar
"Jadi, kau sudah berbaikan dengan ayahku, ya?" tanya Aiden pada Serena yang siang itu mendatangi ruangannya untuk memberikan sebuah bingkisan padanya."Apa ayahmu sudah bercerita?" balas Serena."Yah, begitulah. Ia menceritakan banyak hal termasuk semua yang ia tahan selama ini. Dan berkat itu, aku jadi tahu alasannya tak mencarimu ketika kau pergi. Ia tak ingin aku mengetahuinya karena aku bisa saja terbang ke sana untuk menemuimu dan menyeretmu kembali, begitu yang ia katakan."Serena tersenyum dan mengangguk kecil. "Ya, mungkin karena ia tahu bagaimana dirimu, jadi ia tak membuka hal itu. Tapi, kau telah menemaninya di saat-saat dirinya kesepian dan butuh seseorang. Aku tahu kau begitu sibuk, tapi kau tak meninggalkan ayahmu."Aiden mengembuskan napasnya. "Hanya ia yang kumiliki selain kakek dan nenekku, Seren. Tapi kini, selain dirinya aku juga memiliki kalian, adik-adik kembarku yang menggemaskan, juga kau. Kalian semua adalah keluargaku. Aku baru menyadari bahwa ayahku membutuhk
"Brak!"Serena mendongak seketika saat pintu ruang kerjanya terbuka keras kala ia sedang berfokus pada pekerjaannya. Ia melihat Helena masuk ke dalam kantornya dengan raut memburu yang kuat diikuti oleh sekretarisnya, Amel yang tergopoh-gopoh dan panik."Nyonya, Nona ini memaksa untuk masuk dan ...""Tak apa, Amel, keluarlah," jawab Serena menenangkan wanita itu. Setelah sekretarisnya undur diri, Helena mendekat dan berkacak pinggang di hadapannya."Apa yang telah kau lakukan?" hardiknya pada Serena.Serena meletakkan kaca mata bacanya dan menutup laptopnya untuk menatap Helena."Apa maksudmu?" tanyanya."Tak usah berlagak bodoh, dasar jal*ng!" umpat Helena. "Kau telah menghabiskan malam dengan Julien, bukan? Haruskah kuperjelas lagi peringatan yang pernah kukatakan padamu tempo lalu!? Jauhi dirimya dan jangan berani berbuat macam-macam di belakangku!"Serena hanya mengembuskan napasnya. Sebenarnya ia merasa malas untuk meladeni Helena hari ini karena pekerjaannya sudah begitu menumpu
"Ah, kau sudah kembali?" sapa pemilik penginapan saat melihat Julien masuk ke dalam penginapan dengan sebuah koper di tangannya.Pagi-pagi tadi ia sudah kembali ke area parkir mobil milik istrinya dan membawa kopernya yang kemarin tertinggal karena pertengkaran mereka, sementara Serena sendiri masih terlelap di kamar mereka."Ya, aku membawa koper milik istriku kembali. Sebenarnya ketika kami bertengkar kemarin, ia meninggalkannya di mobilnya di sekitar pertokoan."Pemilik penginapan itu tersenyum. "Aku bisa melihat itu. Dan kurasa, pagi ini kalian telah menyelesaikan pertengkaran kakian dengan baik, bukan? Mengingat betapa cerah dan bersemangatnya dirimu," lanjutnya sambil mengedipkan salah satu matanya seolah sedang menggoda Julien.Julien mengangguk dan tertawa kecil. "Anda benar," balasnya sedikit tersipu malu."Karena kami akan keluar siang nanti, kurasa aku akan menyelesaikan pembayaran sekarang, Nyonya. Terima kasih untuk pelayanan kamar yang begitu baik untuk kami yang kemarin
Paginya, Aiden dan Crystal saling berdiam diri ketika mereka berhadapan di depan meja makan. Ellie dan Bianca yang telah menyiapkan makanan pagi itu tampak sedikit heran dengan kecanggungan mereka."Aku tak mendengarmu datang semalam," ucap Aiden membuka pembicaraan."Ya, tentu saja, Anda sudah tertidur dengan si kembar ketika Nona Crystal datang, Tuan," timpal Ellie."Benar, kami bahkan tidak berani memindahkan mereka karena kami juga tidak ingin mengganggu istirahat Anda." Kali ini Bianca, putri Ellie ikut menimpali."Ya, Crystal yang sudah memindahkan mereka," jawab Aiden."Aku sudah memberitahumu melalui pesan singkat, bahkan meneleponmu ketika aku tiba. Dan saat Ellie memberitahu keberadaanmu, aku melihat kalian telah terlelap. Lalu ... aku memindahkan mereka."Crystal meneguk minumannya untuk menutupi kecanggungannya dan wajahnya yang memerah. Karena ia teringat lagi kejadian yang setelahnya terjadi setelah ia memindahkan si kembar. Ia yakin Aiden juga teringat hal yang sama kar
Dalam kebersamaan mereka, malam itu Julien dan Serena menghabiskan banyak waktu untuk saling berbicara dan mengungkapkan segala perasaan mereka dari hati ke hati. Satu demi satu semua kesalahpahaman terurai dengan baik. Tak ada lagi hal-hal yang saling mereka simpan.Julien menceritakan masa lalunya dan semua yang ia rasa Serena perlu mengetahuinya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya, Serena menceritakan juga keseluruhan tentangnya, keluarganya, kehidupannya, maupun tentang Helena sendiri."Lalu, mengapa kau tetap membantu keluargaku dan memberi Helena pekerjaan di perusahaanmu?" tanya Serena."Karena mereka adalah keluargamu," balas Julien yang membuat Serena tersentuh. "Saat itu, hanya satu yang kupikirkan. Jika aku tetap menjaga mereka dekat denganku, setidaknya aku tahu kapan kau akan kembali. Itulah yang kupikirkan sebelum aku mengetahui segalanya.""Lalu, setelah kau mengetahuinya, bukankah seharusnya kau sadar bahwa selama ini kami hanya memanfaatkanmu saja? Termasuk diriku."Ada
"Saat itu situasi kita benar-benar sudah tak dapat tertolong lagi, bukan? Saat aku tahu kondisimu dan bayi kita tak baik jika kita meneruskan hubungan itu, maka aku terpaksa membuat keputusan yang sulit itu.""Kau, tak akan dapat pulih dan menyelamatkan bayi kita jika terus berada di sisiku. Lingkungan dan orang-orang di sekitar kita yang menekanmu, tak akan baik bagimu. Terutama aku.""Bisakah kau tetap tenang jika bersamaku yang bermasalah? Aku akui, aku telah sangat melukaimu. Aku mungkin penyebab kerusakan mental dan kesehatanmu yang terbesar. Sejujurnya, aku sendiri takut. Ada beberapa hal yang selalu menghantuiku dan tak sanggup kuceritakan padamu."Julien menelan ludahnya karena tenggorokannya sekarang terasa tercekat. "Sayang, ada hal yang ingin kukatakan. Sebenarnya, aku bukanlah pria normal sehat seperti yang selama ini kau ketahui."Serena menatap lurus pada Julien yang tampak berusaha keras untuk memberinya penjelasan dan mengutarakan isi hatinya. Dan sejak Julien menyebut
"Kau sungguh tak masuk akal, aku benar-benar akan memesan satu kamar lagi jika kau ... akh!"Serena terpekik kecil ketika lengan kokoh Julien menahannya yang hendak bangkit dari ranjang. Ia terbaring sempurna di tempatnya semula setelah Julien menariknya."Julien, apa yang kau inginkan? Jangan berpikir untuk menyentuhku atau macam-macam denganku. Aku adalah kekasih pria lain dan ... mmmh!"Julien yang tak mendengarkan peringatan Serena, segera melayangkan ciuman tiba-tiba yang seketika membuat Serena tak berkutik."Omong kosong," lirih Julien di sela-sela lumatan dan belitan lidahnya yang ia gunakan untuk membungkam mulut Serena yang cerewet."Tak ada pria lain atau kekasih, karena akulah priamu."Julien yang tak sanggup lagi menahan kegemasan sekaligus kegeramannya pada Serena, akhirnya melayangkan juga ciuman panas yang telah ditahan-tahannya seharian ini dan telah menjadi mimpi-mimpi manisnya selama bertahun-tahun ini. "Ju ... Julien, aah ... hentikan, mmh."Desahan Serena yang me
Hari telah sore menjelang malam ketika mereka sampai di lokasi kedua. Serena masih banyak mengambil berbagai foto di tiap sudut yang menarik baginya. Selain mengumpulkan catatan dan foto-foto secara langsung, ia juga berkomunikasi dengan warga setempat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan naskah yang sedang ia garap."Kau tahu kau juga bisa bertanya padaku, bukan? Aku cukup mengenal beberapa lokasi yang menarik bagimu. Aku pernah mengunjungi tempat-tempat ini sebelumnya. Bahkan, aku bisa menunjukkan di mana saja tempat-tempat terbaik jika kau ingin mendapatkan sudut di mana para tokoh dapat melihat matahari terbenam atau sejenisnya.""Suasana yang sesuai dengan perasaan mereka saat itu, akan bagus jika terbingkai di sudut area yang kumaksud. Dan kurasa kau juga akan menyukainya," ucap Julien."Benarkah? Di mana itu? Apakah kau menemukan spot terbaik itu ketika kau juga menjadi pendamping untuk penulis-penulismu? Terutama mungkin untuk penulis 'spesialmu', benar?" balas Serena sambil