"Halo, Ma. Ada apa pagi-pagi telepon?""Gimana kabar kamu?" tanya Shinta dari seberang sana, dan hal itu sejenak membuat langkah Antasena terhenti. Ada yang tidak beres dengan ibunya."Ada apa, Ma?"Shinta menghela napas di seberang sana. "Udah hampir dua bulan, kamu nggak kepikiran buat ngajak Anya ke dokter kandungan?"Benar, kan?"Iya, Ma. Nanti.""Nanti kapan? Kalau kamu nggak sempat nganterin Anya, biar Mama aja. Mama tahu kalau kamu sibuk. Setidaknya, kita tahu gimana kondisinya Anya, kan?""Ma, bahkan pernikahanku sama Anya belum genap dua bulan." Antasena mendesah pelan. "Kasih waktu aku buat bernapas, dong Ma. Aku—""Nggak ada salahnya kalau Mama bertanya, kan Sen? Mama begini karena peduli sama kamu. Entah bisa saja kamu sibuk, kan? Makanya Mama ingin menawarkan diri.""Nggak usah, Ma. Soal ini biar nanti aku bicara sama Anya, ya? Aku mau berangkat ke kantor dulu.""Oke."Usai panggilan itu berakhir, Antasena menghela napas panjang. Tidak habis pikir dengan keinginan ibunya
ANTASENA berdiri cukup lama tepat di depan kamar Pradnya. Mendadak pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa Pradnya berpikiran sepicik itu tentang dirinya? Bukankah dia sama sekali belum mengatakan apa-apa?Pria itu menghela napas panjang. Sebelum akhirnya memutuskan untuk turun dari lantai dua, menemui Priya yang masih menunggu di depan sana.Berusaha untuk tetap bersikap tenang, Antasena melangkah menuju teras. Priya duduk di salah satu kursi yang ada di teras tersebut, dengan senyum yang selalu ditunjukkan seperti biasanya. Kemudian bangkit berdiri begitu melihat pria itu menghampirinya.“Ada apa?” tembak Antasena dengan cepat.“Sen, aku ke sini mau minta maaf.”“Minta maaf soal apa?”Priya menghela napas gusar. “Aku tahu sikapku terhadap Anya sudah kelewatan. Aku tahu nggak seharusnya aku mempermalukan dia. Tapi…”“Kamu minta maaf sama orang yang salah, Ya.”“Sen, please… seharusnya kamu memakluminya, kan? Siapapun mereka, mereka nggak akan terima kalau melihat pacarnya sendiri berme
ANTASENA tidak menghitung berapa lama perempuan itu menangis, hingga akhirnya dia terlelap di dalam pelukannya. Dengan tangannya yang bergerak naik turun di punggungnya, sesekali Antasena mendaratkan kecupan di puncak kepala Pradnya.Pria itu baru saja ingin merebahkan tubuh Pradnya agar bisa tertidur dengan nyaman. Tapi rupanya perempuan itu justru terbangun dan membuka matanya.“Mas… mau ke mana?” Suara rengekan itu sejenak membuat Antasena terdiam.“Kamu capek, Nya. Istirahat, ya?” bujuk pria itu dengan lembut.Pradnya menggeleng. “Mas mau ke mana?” “Nggak ke mana-mana. Aku cuma—”“Mas mau nemuin Mbak Priya?”Antasena tertegun selama beberapa saat. Pria itu mendesah pelan, sembari menatap Pradnya dengan tatapan tak percaya.“Bisa nggak, sih nggak kebiasaan motong omongan aku?” ujar Antasena dengan tenang. “Kasih kesempatan aku untuk bicara dulu, Anya. Bisa, kan?”Sementara Pradnya memilih untuk diam. Kepalanya mendadak pening. Perutnya mual tak nyaman, dan dadanya terasa nyeri.“U
“Sayang, udah siap?”Suara teguran Antasena yang baru saja keluar dari kamar mandi, kontan membuat Pradnya yang sejak tadi sibuk memantaskan diri di depan layar kaca menoleh. Aroma sabun yang menguar melewati indera penciumannya terasa begitu menenangkan.“Iya, Mas. Oh, ya. Itu kemejanya kamu udah aku siapin.”Hari ini merupakan hari yang membahagiakan lantaran merupakan hari pernikahan Yudhistira dan Julia. Antasena yang baru saja selesai mandi, lantas berjalan menuju ke sofa. Di sana, Pradnya sudah menyiapkan kemeja untuk suaminya.“Perut aku belum begitu kelihatan besar, kan Mas?”Antasena kemudian menoleh. “Belum, kok. Pipinya aja yang kelihatan chubby.”Pradnya sontak menangkupkan kedua tangannya ke wajah, lalu mendelik ke arah suaminya. “Serius, Mas? Aku gendutan, ya?”“Nggak, Sayang. Kamu mungil.”“Dih, kok ngeledek, sih?”Antasena tergelak. Dia melangkah mendekati Pradnya yang terlihat cemberut setelah mendengar ucapannya. Lalu memeluk perempuan itu dari belakang setelah menge
SHINTA terlihat tersenyum lebar, bahkan sebelum mobil yang dikendarai Rama berhenti sempurna di depan rumah Antasena.Perempuan paruh baya itu turun dengan tak sabaran, tak sabar ingin memeluk menantunya."ANYA SAYANG!" Shinta mengangsurkan sebuah parcel buah ke arah Antasena, lalu merentangkan kedua tangannya. Memeluk Pradnya dengan senyuman bahagianya."Astaga, Ma!" tegur Antasena, mereka sengaja menunggu kedatangan Rama dan Shinta di depan teras rumahnya."Apa sih, Sayang?" Kemudian Shinta kembali menoleh ke arah Pradnya."Mama, apa kabar?" tanya Pradnya sembari terkekeh."Baik, dong Sayang. Gimana kamu? Pasti mual-mual terus, ya? Morning sickness terus, nggak?""Nggak usah ditanya, deh Ma. Hampir setiap pagi, alarmku itu suaranya Anya. Setiap pagi dia pasti muntah-muntah dan bikin aku khawatir."Tak berselang lama, Rama yang baru saja turun dari mobil, lantas berjalan menghampiri mereka. Antasena dan Pradnya mengalihkan pandangannya, lalu mencium punggung tangan ayah mertuanya."M
“ANYA, hati-hati! Yang nyuruh kamu angkat-angkat beginian siapa, sih?”Suara penuh nada kekhawatiran Lyra siang itu, sontak membuat Pradnya terkekeh.“Astaga, Ra. Aku cuma angkat beberapa coffee bean doang. Nggak berat ini.”“Nggak, nggak,” sergah Lyra. Meminta perempuan itu untuk mundur beberapa langkah, sementara pekerjaannya diambil alih olehnya. “Kamu nggak sadar kalau perut kamu sekarang udah membola gitu? Kan udah dibilangin kalau kamu boleh kerja, tapi kerjanya duduk doang di depan meja kasir, dan nggak boleh ke mana-mana.”“Terus nggak boleh bikin kopi juga?”“Nggak lah! Bisa kena demo pejabat pemerintahan yang ada!” Lyra mendesah pelan. “Lagian ya, suami kamu kan udah kaya raya, Nya. Ngapain sih kamu mesti capek-capek kerja begini? Padahal gaji bulanan kamu itu setara sama gaji hariannya suami kamu tahu, nggak! Kalau aku jadi kamu… mending enakan di rumah sambil drakoran.”“Aku nggak bisa kalau disuruh diem, Ra. Lagian di rumah sepi. Cuma ada Bi Ummi sama Pak Amin doang. Tau
Sudah bermenit-menit yang lalu mereka duduk bersama di sofa. Satya dengan perasaan tabahnya berusaha untuk melepaskan Pradnya, kemudian pria itu tersenyum."Buat lo." Satya mengangsurkan sebuah paper bag berwarna coklat ke arah Pradnya. "Biasanya ibu hamil suka makanan yang manis-manis. Waktu di Paris gue ingat sama lo, makanya gue beliin coklat spesial buat keponakan gue.""Wah!" Pradnya berbinar senang kala mendengar perkataan Satya. Lalu pandangannya melongok ke dalam, ada sekotak coklat besar dengan merek ternama di dalamnya. "Beneran buat saya?""Buat siapa lagi? Jarang banget gue mau repot-repot gini, ya kan? Asli, lo bakalan menyesal kalau nggak pilih gue, sih." Lalu kini giliran Satya yang terkekeh. "Gini ya, Nya. Dari sekian cewek yang deketin gue. Sorry to say, ya. Gue jarang banget deketin cewek, kecuali lo sama Sairish. Sisanya gue nggak perlu usaha dan gampang banget ngedapetin mereka. Tapi gue nggak nyangka bakalan sesakit ini waktu lihat lo bunting anaknya Abang gue.""
Pradnya baru saja duduk di sebelah Antasena yang baru saja masuk ke kursi kemudi. Tangannya menjulur ke belakang, menaruh paper bag pemberian Satya sebelum kembali menoleh ke depan. Oleh-oleh untuk ibu hamil, katanya.Perempuan itu melirik sekilas ke arah suaminya. Tidak seperti biasanya, dan dia tahu apa penyebabnya."Apa itu?" tanya Antasena sebelum mulai melajukan mobilnya meninggalkan Despresso Coffee."Oleh-oleh dari Mas Satya. Katanya untuk ibu hamil."Setelah mendengar jawaban Pradnya, tatapan Antasena kembali tertoleh ke depan. Tidak berminat mengatakan apa-apa, dan langsung melajukan mobilnya detik itu juga.Sepanjang perjalanan menuju kediamannya, membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Namun melihat bagaimana padatnya jalan yang ada di depan sana, mereka tidak yakin."Lagi banyak banget kerjaan, ya Mas?" tanya Pradnya memecah keheningan yang sempat hadir di antara mereka."Hm-mm."“Entah cuma perasaanku saja, Mas sekarang banyak diam. Ada masalah di kantor?”“Lagi
“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“
Keduanya duduk berhadapan dengan minuman masing-masing yang tersaji di atas meja. Pradnya menundukkan wajah, menghindari tatapan Shinta yang tajam ke arahnya.Sudah bermenit-menit berlalu, mereka bahkan membiarkan keheningan menemani. Pradnya memilih untuk diam, tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana canggung yang ada di antara mereka."Pergi dari hidup anakku. Berapapun yang kamu minta, aku akan memberikannya. Asal kamu menjauh dari hidup anakku setelah ini."Pradnya mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Shinta. Dengan tatapan angkuhnya, sang ibu mertua mengangsurkan secarik cek kosong ke arah Pradnya."Lalu tanda tangan berkas perceraian ini," ujarnya menambahkan.Pradnya tertegun mendengar perkataan Shinta. Dia ingin sekali menganggap semua yang terjadi terhadapnya kini hanyalah mimpi, namun rasa sesak di dada yang kini dirasakannya, terlalu menyesakkan untuk dikatakan bahwa semua ini bukan hanya mimpi belaka."Apa Mama pikir uang bisa menggantikan perasaan y
PRADNYA tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Rasa takutnya akan bagaimana keadaan Antasena kini membuat perempuan itu tidak tahu harus berbuat apa selain menangis."Nya, Sena pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat, ya?"Itu hanya kalimat penghiburan. Karena kenyataannya Bayusuta sama sekali tidak yakin dengan ucapannya.Ketika Antasena dibawa oleh ambulance tadi, dia mengalami pendarahan hebat. Pria itu kehabisan banyak darah dan membutuhkan banyak darah saat itu."Saya goloran darah AB, Dok.""Tapi Anda dalam kondisi hamil, Bu. Anda tidak diizinkan untuk melakukannya.""Tapi, Dok. Suami saya—" Pradnya semakin terisak. Jika biasanya dia akan memeluk Antasena disaat dia sedang kacau. Tapi orang yang memberinya penenangan justru tengah sekarat di dalam ruangan sana."Saya golongan darah A, Dok. Saya bisa mendonorkan darah saya untuk pasien.""Baik kalau begitu, Pak. Mari langsung ke ruangan PMI. Karena pasien membutuhkan darah segera."Bayusuta menatap ke arah Pradnya, lalu menghel
“Beredar Video Syur, Netizen: Bisnis Prostitusi?”“Potret Priya Zaneeta Setelah Video Syur, Netizen: Jago Kimpoy, Say?”“Tak Kunjung Memberikan Klarifikasi, Netizen: Ngeri Kehidupan Selebriti.”Dan masih ada banyak lagi headline news tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama yang kini tersebar di seluruh media tanah air. Namun hal itu tidak ada yang bisa menghentikan kegilaan Antasena kali ini.Pradnya meringis iba ketika baru saja melihat tayangan berita tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama.Antasena yang baru saja menuruni anak tangga, lantas berjalan menghampiri Pradnya. Lalu meraih remote yang ada di atas meja, kemudian mematikan tayangan berita yang ada di depan sana."Kalau nggak kuat buat melihatnya, nggak usah dilihat, Sayang."Pradnya yang sempat terkejut, lantas menoleh ke arah Antasena. "Mas…""Ya, Sayang?"Pria itu berjalan menghampiri Pradnya yang kini tengah duduk di sofa. Bahkan dia belum mengganti pakaiannya sejak mereka tiba di rumah."Mas baik-baik saja?" tanya pe