Sambil menunggu waktu boarding, Antasena melangkah menuju ruang tunggu bersama Pradnya. Dengan menggandeng tangannya posesif, pria itu tampak melindunginya seperti seorang bayi yang bisa saja diculik oleh orang lain.Hari ini mereka akan berangkat ke Maldives. Tadinya karena alasan kondisinya yang membuat Antasena khawatir, pria itu mengajaknya untuk babymoon ke destinasi lain. Delapan jam berapa di dalam pesawat pasti akan membuat Pradnya tak nyaman.“Nggak apa-apa, Mas. Aku pengen ke Maldives. Belum pernah ke sana,” rengeknya saat itu.“Tapi kamu lagi hamil, Sayang.”“Kata dokter aku baik-baik saja. Bayiku juga dalam kondisi yang sehat, Mas. Asal nggak capek-capek aja boleh, kok,” rengek perempuan itu dengan wajahnya yang cemberut.“Delapan jam naik pesawat lho, Nya.” Antasena berusaha membujuknya.“Nggak apa-apa. Janji nggak bakalan rewel, deh Mas,” ujarnya sembari bergelayut manja di lengan Antasena. “Ya, ya, ya? Boleh, ya?”Pria itu mendesah gusar. Tidak lagi memiliki alasan untu
“Mas, aku udah cantik belum?”Pertanyaan retoris Pradnya sontak membuat Antasena yang belum selesai mengancingkan kemejanya dengan sempurna, menoleh.Masih dalam kondisi kemejanya yang terbuka, pria itu melangkah mendekati perempuan itu, lalu menarik pinggangnya agar mendekat."Mas…""Kamu tanya atau ngode, sih?" ujar Antasena begitu mereka berada dalam jarak dekat. “Mumpung aku belum jadi ngancingin kemeja aku, nih? Kalau Dede mau ngajak main lagi, Papa masih sanggup, kok satu ronde lagi.”Dan tentu saja Pradnya memberikan tatapan tajam ke arah suaminya. “Nggak usah aneh-aneh, deh Mas! Yang tadi kurang?”Antasena terkekeh. Setelah berhasil mengusir Satya tadi siang, Pradnya yang tadinya ingin berenang di laut, justru harus terjebak di kamar dan bercinta bersama Antasena.Tidak ada pilihan lain selain pasrah. Antasena memang selalu berhasil membuat Pradnya bertekuk lutut dan kesulitan untuk menolak. Terlebih sentuhan pria itu selalu menciptakan candu.“Nanti malam lagi… boleh?”“Mas!
“Hai… mantan?”Antasena mengernyit saat menemukan Priya berdiri tak jauh darinya. Perempuan itu mengulas senyum, lalu melangkah mendekati pria itu dengan satu tangannya yang membawa dua gelas minuman. “Champagne?” tawarnya.Antasena baru saja selesai mengangkat panggilan dari Mahesa yang tengah membicarakan pekerjaan bersamanya. Pria itu menyingkir sejenak, meminta Satya dan Sairish menemaninya selagi dia bicara dengan rekan kerjanya.“Ada apa?” tanya Antasena dingin.Satu tangannya menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya, sementara satu tangan lainnya menerima gelas yang diangsurkan Priya kepadanya. Percayalah Antasena hanya ingin menghargai perempuan itu."Kamu sepertinya nggak senang ketemu sama aku, ya?" kata Priya. "Kabarku baik-baik saja kalau itu yang membuatmu penasaran. Kangen, nggak?"Antasena menghela napas. Baru saja pria itu ingin membuka mulutnya, Priya sudah lebih dulu bersuara. "Ironi, kan? Aku yang seharusnya berada di sini sama kamu, bukan dia," katanya sembari m
TIDAK ada percakapan apapun setelah menit demi menit berlalu. Pradnya duduk dengan gelisah, sementara Antasena tak kunjung bicara saat itu. Kepala Pradnya terasa pening, ingin rasanya dia menangis saat mengingat perkataan Priya yang ditulis di dalam kertas itu.“Ada seseorang yang ngasih aku ini.”Antasena yang sibuk membuka kancing kemejanya, lantas berjalan mendekati Pradnya. Dia meraih kertas yang bertuliskan tangan itu, lalu menghela napas panjang.“Aku sama Priya memang pernah terlibat di masa lalu, Anya. Tapi bukan berarti aku bisa menghilangkannya dari masa lalu aku, kan?”Sementara Pradnya hanya diam membisu dengan kepalanya yang menunduk.“Bilang sama aku gimana caranya biar kamu bisa tenang, hm? Aku memang nggak bisa mengusir Priya dari sini karena dia adalah salah satu artis yang diundang ND Entertainment. Kamu mau aku melakukannya?”Mungkin kedengarannya memang egois. Tapi salahkah jika Pradnya takut kehilangan Antasena, meskipun pria itu sudah berulang kali meyakinkannya?
PRADNYA menggeliat di atas tempat tidur ketika hawa dingin dirasakannya pagi itu. Perempuan itu merapatkan selimutnya hingga sebatas bahu, sementara dia bisa merasakan tangan Antasena melingkar posesif di perutnya, sambil sesekali mengelusnya pelan setiap kali dia bergerak.Masih dalam kondisi yang sama-sama polos, entah sampai pukul berapa akhirnya mereka memutuskan untuk terlelap. Tubuhnya terasa remuk redam, tapi dia juga merasa lega sekarang.Saat perempuan itu akan beranjak, tangan Antasena sudah lebih dulu mencegahnya. "Mau ke mana?""Mau pipis, Mas. Mau ikut?""Mau," jawab Antasena namun masih dalam kondisi matanya yang terpejam.Pradnya hanya menggelengkan kepalanya. Mengusap lembut lengan Antasena, hingga pria itu kembali terlelap, dia bangkit dari ranjang tidurnya, lalu melangkah ke kamar mandi."Astaga, Mas Sena ini hobi banget, ya bikin bekas merah-merah gini! Dia keturunan drakula atau apa!""Ngomongin aku, ya?"Pradnya sontak berjengit kaget, lalu menoleh ke belakang beg
PRADNYA ingin sekali tidak mempercayainya. Tapi suara rekaman yang didengarnya tadi, lagi-lagi berputar di kepalanya. Perempuan itu terus berlari menjauh. Menyusuri bibir pantai, yang entah ke mana tujuannya. Tidak sadar bahwa kini kondisinya tengah hamil.Napasnya terengah-engah. Air matanya terus mendesak keluar, dadanya terasa nyeri. Sampai akhirnya perempuan itu menghentikan langkahnya, kemudian ambruk di atas pasir pantai.“ANYA!”Suara seseorang yang berteriak membuat Pradnya sedikit menelengkan wajahnya dengan susah payah. Perutnya terasa berkedut nyeri, diusapnya pelan-pelan perut itu.“Nya, kamu kenapa?” tanya Sairish setelah berlari menghampirinya, tatapannya terlihat panik saat melihat Pradnya tiba-tiba ambruk di sana.“Mbak Sairish…”“Nya, kamu kenapa?” ulang Sairish terlihat khawatir saat melihat Pradnya menangis tersedu-sedu.Pradnya membungkam mulutnya dengan satu tangannya. Dadanya sudah terasa sesak, tak sanggup menjawab pertanyaan Sairish. “Semua baik-baik saja, kan
“SATYA! Udah!” lerai Sairish saat itu. Satya masih saja ingin menghajar Antasena, padahal jelas-jelas Pradnya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja di dalam sana. “Lo pada nggak gila, kan? Anya lagi di dalam diperiksa sama dokter, dan kalian nggak mungkin ribut di sini!”“Semua ini karena dia!” desis Satya masih kesulitan meredakan emosinya. “Kalau lo nggak bermesraan sama si Jalang itu, Anya nggak bakalan di sini.”“Satya, udah!” Sairish lantas menarik Satya agar menjauh dari Antasena. “Kalian berdua babak belur gini, nggak ngerasain perih apa?”“Rish, sebenarnya ada apa?” tanya Antasena saat itu.Sairish menghela napas. “Lo habis dari mana aja, sih Sen?”“Gue khawatirin Anya kayak orang gila sejak tadi, Rish.”“Gue nggak sengaja lihat Anya nangis-nangis tadi. Lo ada masalah apa sama Anya?” tanya Sairish dengan tenang.“Masalah apa, Rish? Gue sejak tadi bingung nyariin Anya. Gue sama dia habis sarapan di restoran, dan tiba-tiba aja dia ngilang. Gue salahnya di mana?”“Lo ngg
SETELAH memastikan jika kondisi Pradnya membaik, Antasena memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Dan tentu saja terpaksa memangkas waktu sehari babymoon-nya bersama Pradnya, lantaran situasinya yang tidak kondusif."Aku tahu kalau kamu kecewa dan marah sama aku. Tapi tolong marah dan kecewanya ditahan dulu, ya? Bisa, kan?"Pradnya mengangguk. "Mas Sena baik-baik saja?"Tidak tentu saja. Sejak kemarin suaminya itu terlihat kacau, meskipun dia berusaha untuk baik-baik saja.Pradnya sempat melihat kabar tentang foto yang telah disebarluaskan ke media. Meskipun belum sepenuhnya dia tahu seperti apa cerita di balik adanya foto itu, situasi kali ini memaksa Pradnya untuk memberikan kepercayaan sekali lagi untuk suaminya."Selama ada kamu di sisiku, aku akan baik-baik saja, Nya. Tolong jangan tinggalin aku. Mama sama Dede yang kuat, ya?""Iya."Begitu mobil yang dikendarai mereka berbelok, Antasena dengan cepat membawa Pradnya masuk ke dalam rumah. Di sana, ada Bi Ummi dan Pak Amin yang telah
“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“
Keduanya duduk berhadapan dengan minuman masing-masing yang tersaji di atas meja. Pradnya menundukkan wajah, menghindari tatapan Shinta yang tajam ke arahnya.Sudah bermenit-menit berlalu, mereka bahkan membiarkan keheningan menemani. Pradnya memilih untuk diam, tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana canggung yang ada di antara mereka."Pergi dari hidup anakku. Berapapun yang kamu minta, aku akan memberikannya. Asal kamu menjauh dari hidup anakku setelah ini."Pradnya mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Shinta. Dengan tatapan angkuhnya, sang ibu mertua mengangsurkan secarik cek kosong ke arah Pradnya."Lalu tanda tangan berkas perceraian ini," ujarnya menambahkan.Pradnya tertegun mendengar perkataan Shinta. Dia ingin sekali menganggap semua yang terjadi terhadapnya kini hanyalah mimpi, namun rasa sesak di dada yang kini dirasakannya, terlalu menyesakkan untuk dikatakan bahwa semua ini bukan hanya mimpi belaka."Apa Mama pikir uang bisa menggantikan perasaan y
PRADNYA tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Rasa takutnya akan bagaimana keadaan Antasena kini membuat perempuan itu tidak tahu harus berbuat apa selain menangis."Nya, Sena pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat, ya?"Itu hanya kalimat penghiburan. Karena kenyataannya Bayusuta sama sekali tidak yakin dengan ucapannya.Ketika Antasena dibawa oleh ambulance tadi, dia mengalami pendarahan hebat. Pria itu kehabisan banyak darah dan membutuhkan banyak darah saat itu."Saya goloran darah AB, Dok.""Tapi Anda dalam kondisi hamil, Bu. Anda tidak diizinkan untuk melakukannya.""Tapi, Dok. Suami saya—" Pradnya semakin terisak. Jika biasanya dia akan memeluk Antasena disaat dia sedang kacau. Tapi orang yang memberinya penenangan justru tengah sekarat di dalam ruangan sana."Saya golongan darah A, Dok. Saya bisa mendonorkan darah saya untuk pasien.""Baik kalau begitu, Pak. Mari langsung ke ruangan PMI. Karena pasien membutuhkan darah segera."Bayusuta menatap ke arah Pradnya, lalu menghel
“Beredar Video Syur, Netizen: Bisnis Prostitusi?”“Potret Priya Zaneeta Setelah Video Syur, Netizen: Jago Kimpoy, Say?”“Tak Kunjung Memberikan Klarifikasi, Netizen: Ngeri Kehidupan Selebriti.”Dan masih ada banyak lagi headline news tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama yang kini tersebar di seluruh media tanah air. Namun hal itu tidak ada yang bisa menghentikan kegilaan Antasena kali ini.Pradnya meringis iba ketika baru saja melihat tayangan berita tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama.Antasena yang baru saja menuruni anak tangga, lantas berjalan menghampiri Pradnya. Lalu meraih remote yang ada di atas meja, kemudian mematikan tayangan berita yang ada di depan sana."Kalau nggak kuat buat melihatnya, nggak usah dilihat, Sayang."Pradnya yang sempat terkejut, lantas menoleh ke arah Antasena. "Mas…""Ya, Sayang?"Pria itu berjalan menghampiri Pradnya yang kini tengah duduk di sofa. Bahkan dia belum mengganti pakaiannya sejak mereka tiba di rumah."Mas baik-baik saja?" tanya pe