Gadis itu meringkuk di dalam gua. Ia menggigil tak sadarkan diri. Gaunnya yang panjang koyak di mana-mana. Selain itu juga basah. Lumpur dan darah menghiasi sosoknya. Rambutnya kusut. Di tangannya tampak belati yang tergenggam longgar.
Lelaki yang bersamanya mulai mencopot satu per satu kain yang membungkus sang gadis hingga habis. Cahaya perapian yang berderak-derak membuat bayangannya tampak menari-nari di dinding gua. Badai salju turun di luar sana. Anginnya yang dingin menusuk tulang, membuat siapa saja bisa mati kedinginan.Lelaki itu memandang profil sang gadis yang tanpa pakaian. Tangannya yang panjang mengelus pipi sang gadis dengan lembut. Ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya dari hawa dingin yang menawarkan kematian. Ia membuka jubah yang dikenakannya, kemudian pakaiannya. Gadis yang pingsan itu dibawanya ke dekat perapian. Ia membaringkan sang gadis ke atas daun kering yang berhasil dikumpulkannya tadi, sebelum badai datang. Ia lalu berbaring di samping sang gadis, memeluknya dari belakang. Jubah yang ditanggalkannya tadi ia gunakan untuk menutupi tubuh telanjang mereka.Suhu badan sang gadis begitu rendah. Sesaat, lelaki itu bergidik ketika mengentuhnya. Meski begitu, ia harus tahan.“Apa kau masih hidup?” bisiknya bertanya. Ia menepuk pipi sang gadis, kemudian mengelusnya. “Hei, kau dengar aku?”Perlahan, sang gadis membuka mata. Ia mengerjap. Sesaat, ia tak tahu apa yang terjadi. Terakhir yang diingatnya adalah dia sedang melawan pemburu kegelapan, makhluk keji pemburu manusia sebelum dirinya jatuh ke danau. Ia berusaha menggerakkan tangannya, tetapi gagal. Tenaganya habis. “Apa yang kau lakukan?”“Menolongmu,” bisik sang lelaki lagi. Ia megangkat kepala sang gadis, menyusupkan lengannya ke bawah untuk menjadi bantal.Punggung gadis itu merasa hangat karena menyentuh kulit sang pria. Keningnya berkerut saat menyadari sesuatu. “Kau telanjang?”“Kau juga,” balas si lelaki mengeratkan pelukannya. Napasnya yang hangat menggelitik tengkuk sang gadis hingga bulu kuduknya meremang.“Kau gila,” ucap gadis itu lemah. Dia ingin menendangnya, mengusirnya jauh-jauh. Akan tetapi dia terlalu lelah. Kesadarannya mulai hilang. Namun, ia berusaha membuka mata. “Kau bisa mati kedinginan.” “Jangan,” kata sang gadis menelan ludah dengan susah payah. Napasnya sesak. Tubuhnya mulai mati rasa. Bibirnya amat pucat.Sang lelaki membalik tubuh gadis itu hingga berhadap-hadapan. Ia lalu memeluknya erat. Perut mereka saling menempel, begitu pun dengan dada mereka.“Tidak,” bisik sang gadis berusaha sekuat tenaga untuk tetap sadar.
“Percayalah padaku.” Lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk menekan pikirannya. Ia bertekad tak akan membiarkan gadis itu mati. "Kau harus hidup. Kau harus membalas orang yang telah membuatmu menderita." Ia lantas memeluknya erat-erat.***Satu bulan sebelumnya.
Fjola Adalward menarik busurnya kuat-kuat. Matanya memicing. Angin yang bertiup membuat helai rambutnya yang lepas dari ikatan melambai-lambai. Lututnya tertekuk di balik batu padas besar. Ia menghirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Kemerisik daun mengusik seekor kijang yang tengah melepas dahaga di pinggir sungai, di sisi lain tempat Fjola berada. Telinga sang kijang tampak bergerak-gerak tatkala gadis itu membidik. Melihat hal itu membuat Fjola waspada. Ia ikut menajamkan pendengarannya.
Kemudian, dari belakang terdengar suara ranting yang patah karena terinjak. Perhatiannya pada sang kijang kini teralihkan. Pelan-pelan Fjola berbalik. Panahnya masih siaga di tangan.
Mata Fjola yang berwarna kelabu kelam menyapu pepohonan, memeriksa dengan saksama. Suasana hutan itu begitu hening. Burung-burung pun ikut diam. Hanya ada bunyi air yang memercik dari sungai.
Tak adanya suara burung membuat Fjola bergidik. Jantungnya berdetak lebih kencang. Bulu kuduknya meremang.
Tak jauh dari tempatnya bersembunyi Fjola melihat sepasang mata yang menyala dalam bayang-bayang pepohonan, mengintip dari semak.
“Sial!” Gadis itu mengumpat saat menyadari siapa sang pemilik mata.
Bergegas, ia bangkit lalu melarikan diri. Tubuhnya yang langsing bergerak dengan gesit saat melompat dari satu batu ke batu yang lain. Dia menyeberangi sungai, berlari melewati celah di antara pepohonan hutan.
Kijang yang diburunya tadi juga ikut berlari, bahkan lebih cepat darinya.
“Sial!”
Suara auman terdengar menggelegar, memecah keheningan hutan. Burung-burung yang bertengger di dahan beterbangan. Hewan-hewan pengerat bersembunyi, masuk ke liang.
Fjola mempercepat langkah. Meski tak sempat melihat gadis itu tahu bahwa si pemilik auman sedang mengejarnya. Napasnya seolah meledak ketika derap kaki sang pemburu terdengar tepat di belakangnya. Fjola harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini segera. Kalau tidak, dia bisa mati.
Sementara kakinya berlari, tangannya sibuk memasang anak panah pada busur yang dibawanya. Mendadak ia berhenti. Ia lalu memutar tubuhnya ke belakang, membidikkan panahnya secara akurat.
Namun, tangannya gemetar ketika melihat betapa besar tubuh harimau yang mengejarnya. Tak hanya itu, jarak sang harimau juga sudah sangat dekat.
Tanpa aba-aba binatang itu melompat menerkam.
Spontan, Fjola melepas anak panahnya. Dalam hati dia berdoa supaya sasarannya tepat.
Tanpa memeriksa ke mana mata panahnya menancap, Fjola menjatuhkan tubuhnya ke tanah kemudian berguling. Ia menghindari terkaman harimau itu. Ia terus berguling hingga merasa cukup jauh, kemudian bangkit. Sembari berlutut tangan gadis itu mengapai-gapai sarung anak panah di punggungnya. Akan tetapi, sarung itu ternyata tidak ada. Ia lupa telah meninggalkannya di tepi sungai tadi.
Fjola lantas menarik belati dari sabuk di pinggangnya. Dia mengacungkannya ke depan dengan siaga. Dia terkejut ketika melihat harimau yang menyerangnya tadi berjalan dengan sempoyongan. Tampak anak panah mencuat dari tenggorokannya. Meski begitu, binatang itu masih hidup. Bahaya masih mengancam.
Sang harimau meraung. Matanya yang tajam terfokus pada dang buruan. Lidahnya yang panjang menjilat taring-taring mengerikan miliknya. Sekali lagi, binatang itu menerjang Fjola.
Fjola bergerak gesit. Dia menolakkan kakinya pada batang pohon yang berdiri di belakangnya sehingga membuat tubuhnya terangkat dari tanah. Ia lantas memutar tubuh, mengayunkan kakinya ke udara, lalu mendarat tepat di atas sang harimau. Dengan kuat dan cepat dia menghujamkan belati itu ke kepala harimau.
Raungan terdengar keras dan panjang, kemudian sunyi senyap. Gadis itu berhasil membunuh musuhnya. Fjola amat lega, namun juga lelah. Tenaganya habis. Ia terkapar ke tanah, dekat jasad binatang buas itu berada.
Gadis itu bersyukur dirinya masih hidup. Ia juga bersyukur karena kali ini ia mendapat hasil buruan. Menurutnya, satu ekor harimau cukup untuk persediaan daging selama satu bulan jika dia bisa mengirit. Tak hanya itu, kulit binatang itu pasti bakal laku dijual di pasar gelap.
Dia tak mungkin menjual kulit itu ke pasar legal. Pasalnya, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan berburu. Apalagi, hutan tempat Fjola berburu merupakan hutan terlarang. Hanya para bangsawan yang diperbolehkan berburu di sana.
Fjola bukan bangsawan. Dia hanya orang biasa.
Ayahnya, Jon Adalward, dulu adalah seorang prajurit perbatasan. Pada saat bertugas, ia diserang oleh pemburu dari luar tembok. Hal itu menyebabkan kaki kanan Jon buntung. Jon terpaksa pensiun.
Meski mantan prajurit, Jon tidak diberi apa-apa saat pensiun. Uang pun tidak. Dia hanya diberi senjata dan baju zirah yang dulu digunakannya sebagai seragam. Tetapi sekarang baju-baju dan pedang itu sudah habis dijual, kecuali busur dan belati yang digunakan Fjola saat ini.
Setelah Jon pensiun, ibunya yang bekerja keras mencari uang untuk mereka. Tetapi tak lama kemudian ibunya meninggal karena kelelahan.
Fjola memiliki seorang adik laki-laki. Saat ini usianya sudah mencapai 11 tahun. Satu tahun lagi dia akan melamar menjadi prajurit. Namun sebelum itu, dia harus sehat. Dan yang paling penting, dia harus hidup. Maka dari itulah, Fjola nekat masuk ke hutan untuk mendapat sedikit makanan demi adik dan ayahnya.
Awalnya, dia nekat ke sana hanya untuk mencari jamur. Namun, semakin lama jamur saja tidak cukup. Ia mulai berburu. Meski begitu, dia harus berhati-hati supaya tidak ketahuan. Karena kalau sampai penjaga hutan tahu, dewan akan menghukumnya dengan berat.
Pernah satu kali Fjola melihat seorang lelaki diadili di tengah alun-alun kota karena berani mengambil sesuatu dari hutan terlarang.
“Hutan itu merupakan sumber kehidupan kita. Semua hasil dari hutan itu merupakan upeti untuk Negeri Veggur, Negeri Penguasa Tembok. Kalau ada yang berani mengambil sesuatu dari sana, itu tak ada bedanya dengan pencuri. Mereka musuh kita semua. Jika sampai upeti kita berkurang kita akan diserang oleh bangsa besar. Apa kalian mengerti?” jelas salah satu penegak hukum saat itu. “Maka dengan ini, sebagai contoh dan pembelajaran untuk kalian semua, tangan sang pencuri akan dipotong.”
Fjola memalingkan pandangan ketika algojo mengayunkan kapak ke tangan lelaki yang dicap sebagai pencuri itu.
Dulu, waktu ibunya masih hidup, tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak Fjola bahwa dia akan menginjak hutan terlarang. Meski kekurangan, ibunya mampu mendapat uang dari bekerja sebagai tuang cuci di rumah para bangsawan. Sesekali, ibunya juga bekerja di bar.
Setelah ibunya meninggal, Fjola tak punya pilihan lain. Tak ada yang mau mempekerjakan ayahnya yang hanya memiliki satu kaki. Umurnya yang masih terbilang muda menghalangi Fjola dalam mendapat pekerjaan, meski hanya sebagai pelayan.
Di tengah kelaparan, ia nekat melewati kawat berduri pembatas hutan terlarang. Sejak saat itu dirinya belajar bersembunyi, menghidari para penjaga hutan. Semakin lama,banyak dia semakin lihai.
Beberapa kali, dia bertemu dengan pemburu ilegal lain. Namun, mereka tak pernah untuk sekadar bertegur sapa. Mereka cukup tahu diri untuk saling menjaga rahasia.
Di tengah istirahatnya Fjola mendadak terjaga. Samar-samar ia mendengar suara langkah kuda mendekat.
Apakah ada bangsawan yang sedang berburu? tanyanya menduga-duga.
Gadis itu segera menyeret harimau hasil buruannya menjauh dari jalan. Tubuh harimau yang berat membuat Fjola kesulitan. Tak habis akal Fjola segera mendorong tubuh harimau yang mati itu ke dalam semak yang rindang. Ia kemudian kembali ke tepi jalan hutan, naik ke pohon untuk bersembunyi.
Tak lama kemudian dua prajurit tampak datang dengan menaiki kuda. Dilihat dari pakaiannya mereka bukan prajurit dari Negeri Haust, tempat di mana Fjola berada. Baju zirahnya berwarna hitam, dengan lambang bergambar sebuah pohon dengan empat ranting bercabang berwarna perak. Di ujung ranting-ranting itu terdapat bintang berwarna emas. Ada lingkaran tembaga yang mengelilingi pohon.Fjola pernah melihat lambang itu sebelumnya. Ayahnya juga memiliki lambang yang sama pada baju zirah yang sudah dijualnya satu tahun yang lalu. Kedua prajurit itu ternyata dari Negeri Veggur.“Seharusnya kitalah yang datang ke Vor. Kabarnya, di sana banyak wanita cantik,” kata salah satu prajurit berkuda itu. Tameng dari logam terkait pada punggung mereka. Tampak sarung pedang terikat pada sabuk mereka. Ketika kuda berjalan, suara logam-logam dari baju zirah mereka beradu nyaring. Hal itu membuat beberapa hewan kecil pergi menjauh.
“Yah, kau betul. Kebanyakan selir dipilih dari sana. Tetapi, meski kita ke sana pun, kau tak bisa menyentuh para wanita itu seenaknya,” sahut prajurit satunya. Mereka berada tepat di bawah pohon tempat Fjola bersembunyi. Mereka memacu kudanya secara lamban. Sepertinya, mereka sedang tidak terburu-buru.
“Kenapa?”
“Kau boleh mengawini mereka asalkan mereka mau. Asal kau tahu, mereka itu berkelas. Mereka sombong. Berani taruhan, melihatmu saja mereka tak mau.”
Prajurit pertama tadi mendecih. “Kita lihat saja nanti. Aku penasaran, secantik apa gadis yang akan dikirimkan dari negeri ini. Pelacur-pelacur di sini kebanyakan sudah tua. Rupanya, mereka mengeram yang muda dengan sempurna.”
“Jaga ucapanmu!” hardik prajurit satunya. Rambutnya yang pirang tampak menonjol. “Kalau sampai Pangeran dengar, kau akan habis.”
Prajurit tadi mendengkus. “Rupanya, pangeran kita yang satu ini tidak memiliki kesabaran. Nyatanya dia berkeras ikut ke sini. Kata orang dia memiliki hati selembut sutra. Bah! Kalau aku punya anak lelaki seperti itu, lebih baik kupaksa dia memakai gaun saja alih-alih baju perang.”
“Diamlah! Kalau ada yang mendengar, bisa habis nyawamu.”
Namun, prajurit tadi tak mau mendengar kawannya. Ia terus mencerocos. “Kalau aku jadi pangeran, lebih baik aku memilih Vor. Apa kau dengar desas-desus yang ....” Suara mereka semakin samar.
Fjola mendesah lega saat kedua prajurit itu menghilang ke dalam hutan. Gadis itu tahu betul apa yang dibicarakan oleh mereka.
Setiap tahun, masing-masing negeri yang berada dalam lindungan tembok besar wajib mengirim upeti yang diantar bersama seorang gadis tercantik untuk kemudian dipilih menjadi selir raja Negeri Veggur. Biasanya, gadis-gadis itu merupakan seorang putri. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk rasa terima kasih. Namun bagi Fjola, hal itu dianggapnya sebagai penjajahan.
Sepuluh tahun yang lalu perang besar terjadi. Banyak makhluk-makhluk keji yang menginginkan kehancuran. Mereka menganggap kaumnya lebih baik dari yang lain. Mereka berlomba-lomba menguasai bangsa lain.
Bangsa manusia yang ada di dunia tengah memutuskan untuk bekerja sama. Mereka terdiri dari 5 Negeri besar yaitu Vor, Sumar, Haust, Vetur, dan Hlios.
Karena Negeri Hlios terletak di ujung perbatasan, mereka membangun tembok untuk menghalangi serangan. Meski begitu, jika tembok itu hanya bangunan yang terbuat dari batu bata saja niscaya tak dapat menghalangi kekuatan para makhluk keji.
Raja Valdimar, Raja Negeri Hlios, meminta penyihir kerajaan untuk membuat penangkal gaib. Akan tetapi, raja itu harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Bukan berupa harta, melainkan nyawa. Ia harus kehilangan ratunya.
Untuk menghormati pengorbannya, Raja Valdimar meminta upeti dari keempat negeri lain. Dan, mereka tak bisa menolak. Sekarang negeri Hlios mengubah namanya menjadi Veggur. Semua prajurit terbaik berada di sana. Alat-alat tempurnya pun lebih lengkap dan mengerikan. Negeri lain menjadi enggan untuk mencari masalah terhadap negeri itu.
Setelah para prajurit itu menghilang, Fjola melangkah turun. Kakinya menginjak ranting yang salah. Ia jatuh dengan bunyi kerasak, lalu debum yang keras. Hal itu membuat kedua prajurit tadi kembali.
Ketika membuka mata Fjola melihat kedua prajurit tadi berdiri tak jauh darinya. Mereka memandangnya dengan galak. Kedua pedang mereka teracung.
***
“Halo,” ucap Fjola meringis. Kedua tangannya terangkat, tanda menyerah. Ia masih terperosok ke dalam semak. Kedua prajurit yang mengacungkan pedang kepadanya itu saling berpandangan dengan heran. Kemudian, salah satunya bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?” “Oh, aku cuma sedang jalan-jalan, lalu terpeleset. Tak usah kalian pikirkan. Aku tidak apa-apa, kok. Silakan lanjutkan perjalanan kalian,” jawab Fjola dengan santai. Kedua prajurit itu mengernyit. “Aku tak melihatmu dalam rombongan berburu,” kata prajurit berambut pirang tadi. “Bagaimana dengan kau?” tanyanya berpaling kepada prajurit satunya. Ia menggaruk rambutnya yang hitam, tampak sedikit tak peduli. “Aku juga tidak. Lagi pula, dia kan wanita. Lihat saja rambutnya itu, dijalin asal-asalan. Seperti laba-laba. Dia pasti bukan bangsawan.” “Aku memang bukan bangsawan yang ikut rombongan berburu. Aku hanya seorang gadis yang kesasar di hutan.” Pelan-pelan, Fjola bangkit. Ia menepuk-nepuk bajunya yang berdebu. “Bukankah tida
Penjara itu amat dingin. Lantainya bagai es yang menusuk tulang. Hawanya lembab dan tengik. Hanya bau kematian yang terhirup di sana. Jerujinya sudah berkarat namun tetap kokoh. Atapnya tertutup rapat. Bahkan, tak ada lubang untuk angin. Penjara itu berada di bawah tanah. Tangan Fjola dibelenggu dengan gelang besi yang berat dan dihubungkan oleh rantai besar. Begitu pula kakinya. Di sel itu, dia sendirian. Cahaya yang datang berasal dari celah yang menuju tangga di ujung ruang. Sepasang penjaga mengapit celah itu. Fjola merasa ketakutan. Ia membayangkan tangan yang dipakainya untuk berburu hilang. Bagaimana dia bisa memberi makan tiga mulut tanpa tangan itu? Padahal, setahun lagi adiknya baru bisa menjadi prajurit. Itu pun kalau lolos. Sebenarnya, dia hanya perlu bertahan selama setahun. Tetapi, sekarang, sebulan saja pasti tak mampu bertahan. Fjola duduk di pojok sel dengan pasrah. Perutnya melilit karena lapar. Ia tak tahu sudah berapa lama dia di sana. Wak
Ruangan itu tidak semegah dan seluas dugaan Fjola. Letaknya pun jauh dari bangunan utama istana. Setelah Ishak memberitahunya bahwa raja telah menunggu, Fjola merasa ada yang keliru. Dia bukan siap-siapa, dan hanya tahanan biasa. Seharusnya, pria yang berada di sel satunyalah yang dibawa ke hadapan raja, bukan dirinya. “Eh, maaf, Tuan—em, Nona—Ishak. Mungkin kau salah mengambil orang,” katanya. “Memangnya kau pikir aku buta? Sudahlah, ikut saja. Cepat!” Ishak, mendorong bahu Fjola dengan kasar. “Panggil aku Ishak saja daripada kau bingung antara Tuan dan Nona.” “Er ... oke.” Fjola bingung harus menjawab apa. Mereka sampai ke tempat pertemuan raja dengan dewan-dewannya. Namun, bukan ke sana Ishak membawanya. Ia memutar arah ke belakang hingga melewati paviliun dan danau. Setelah naik ke bukit di belakang paviliun, tampak pondok kecil berdiri di sana. Pintu pondok itu terbuka. Saat mendekat, Fjola dapat mendengar suara seorang gadis yang memohon.
Permintaan Fjola amat sederhana. Ia ingin pulang, menemui ayah dan adiknya sebelum berangkat sebagai upeti pengganti. Meski begitu, Briet berkeras untuk memberi gadis itu bonus tambahan. Antara lain adalah persediaan makanan yang banyak. Setelah menuntun gadis itu keluar pondok, Briet membawa Fjola ke kamarnya untuk memilih baju. Ishak dan Raja Erik masih di dalam pondok. Ada sesuatu yang harus mereka bicarakan. Setelah sampai ke kamarnya, Briet memberikan semua baju miliknya untuk Fjola. Ia tak memiliki waktu untuk meminta penjahit menjahitkan baju untuk Fjola. Untungnya, ukuran tubuh mereka tak berbeda jauh. Namun, tetap saja banyak gaun yang tampak tak cocok. Dengan gaun-gaun itu, Briet berharap bahwa Fjola mampu menarik perhatian sang raja negara adidaya. Berbeda dari Briet yang anggun, tubuh Fjola lebih kecil. Kulitnya tak sepucat sang putri. Lagi pula, Fjola tak pernah memakai gaun, apalagi yang berbahan sehalus itu. Ketika mencoba sal
Fjola dapat merasakan lembutnya tempat tidur hanya sebentar. Sebelum fajar menyingsing dan ayam berkokok, Ishak datang ke kamarnya di istana. Suaranya yang melengking membangunkan gadis itu. “Ayo, cepat, cepat! Kau harus bangun. Tidak ada waktu lagi. Kita harus menyiapkanmu.”“Sebentar lagi,” kata Fjola dengan malas. “Aku baru tidur sebentar sekali.”“Seorang putri harus sudah bangun sebelum matahari keluar,” hardik Ishak menarik selimut.“Tapi aku bukan seorang putri.” Fjola menarik lagi selimutnya.“Mulai hari ini, kau adalah putri Raja Erik Hart. Ingat, Hart! Nama belakangkangmu adalah Hart! Kau mengerti?”“Hmm ....” Mata gadis itu terasa berat.“Demi Tuhan, Fjola, bangunlah!” Ishak menggulingkan tubuh Fjola hingga jatuh dari ranjang. Gadis itu mengaduh.“Bagus! Sekarang, bangun dan mandilah. Akan kubu
Fjola memandang hamparan perbukitan dekat rumahnya dengan hati pilu. Pasalnya, ia merasa tak akan pernah melihatnya lagi. Biasanya, ia, Jon, dan Fannar sering ke sana untuk sekadar menikmati mentari pagi pada musim panas. Mereka akan berbaring di sana, melepas kekhawatiran, meski perut memprotes lapar.Gadis itu teringat bagaimana Negeri Haust melepasnya pergi tadi. Setelah keluar dari kamar, Fjola dibawa ke aula raja. Di sana, seluruh dewan menyambutnya. Mereka memberikan ucapan selamat dengan gembira. Namun, dalam hati, Fjola tahu mereka mengucap syukur yang tak terkira bahwa putri-putri mereka selamat dari ancaman kematian. Kata Ishak, sudah berbulan-bulan rencana tentang pergantian ini dibahas Raja Erik pada dewan. Demi kesetian, sang raja meminta putri-putri para dewan itu untuk menggantikan Briet memenuhi panggilan ke negeri seberang. Meski tidak setuju dengan rencana itu, mereka tak ada yang berani melawan Raja Erik. Pasalanya, raja itu amat t
Fajar sudah menyingsing ketika mereka membongkar tenda. Kuda-kuda tampak segar. Prajurit yang bersama mereka pun kembali awas. Stamina semua orang telah pulih kecuali Fjola. Ia lesu karena tak dapat tidur. Bukan karena dingin maupun dengkuran, melainkan karena pikirannya kalut. Ia ingin sekali lari dari sana. Bahkan, ia dapat melaksanakan niatnya dengan gampang.Tadi malam, setelah menghangatkan badan, Fjola undur diri kepada Killi. Ia berkata akan kembali ke tendanya. Namun kemudian, godaan itu muncul. Diam-diam, kakinya melangkah ke hutan. Ia coba-coba masuk ke sana, bersembunyi di antara pepohonan. Mantelnya dirapatkan. Ia menunggu sejenak. Adakah yang sadar bahwa dirinya menghilang? Namun ternyata tidak ada.Fjola berjalan semakin dalam ke hutan. Hutan di sana tak jauh berbeda dengan hutan terlarang di Negeri Haust. Meski begitu, pohon-pohonnya sedikit berbeda, lebih tinggi dan rindang. Setelah berjalan beberapa lama, Fjola merasa ada sesuatu yang mengi
Aula tempat makan malam itu begitu indah. Fjola tak pernah melihat makanan selengkap itu dihidangkan, bahkan saat berada di istana Raja Erik di Negeri Haust. Ada ayam panggang yang menggoda selera, terletak tepat di tengah meja panjang yang dikelilingi sepuluh kursi. Kursi paling ujung merupakan kursi milik si penanggung jawab istana calon selir. Dia belum hadir di sana ketika Fjola masuk. Makanan lain yang tak kalah menggugah selera mengelilingi hidangan utama. Ada piala berisi anggur di samping piring kosong, di depan masing-masing kursi. Lampu gantung besar mengantung di langit-langit tengah ruangan. Tempat lilin yang berukir indah berdiri di tembok-tembok, membuat suasana semakin terang. Sebuah perapian berada di ujung ruangan. Nyala apinya yang besar membuat hangat ruangan. Perapian itu terletak di belakang kursi si penanggung jawab.Ketika Fjola akan duduk di salah satu kursi, Ishak mencekal lengannya. “Tunggu dipersilakan dulu,” bisiknya.
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu