Penjara itu amat dingin. Lantainya bagai es yang menusuk tulang. Hawanya lembab dan tengik. Hanya bau kematian yang terhirup di sana. Jerujinya sudah berkarat namun tetap kokoh. Atapnya tertutup rapat. Bahkan, tak ada lubang untuk angin. Penjara itu berada di bawah tanah.
Tangan Fjola dibelenggu dengan gelang besi yang berat dan dihubungkan oleh rantai besar. Begitu pula kakinya. Di sel itu, dia sendirian. Cahaya yang datang berasal dari celah yang menuju tangga di ujung ruang. Sepasang penjaga mengapit celah itu.
Fjola merasa ketakutan. Ia membayangkan tangan yang dipakainya untuk berburu hilang. Bagaimana dia bisa memberi makan tiga mulut tanpa tangan itu? Padahal, setahun lagi adiknya baru bisa menjadi prajurit. Itu pun kalau lolos. Sebenarnya, dia hanya perlu bertahan selama setahun. Tetapi, sekarang, sebulan saja pasti tak mampu bertahan.
Fjola duduk di pojok sel dengan pasrah. Perutnya melilit karena lapar. Ia tak tahu sudah berapa lama dia di sana. Waktu seolah berjalan lambat.
Seorang penjaga datang membawa makanan. Melalui celah bawah sel, dia menyorokkan piring berisi roti yang sudah basi, apel yang sudah kisut, secuil daging, dan gelas berisi air.
Gadis itu segera melahap semua makanan dengan rakus.Menurutnya, makanan itu lebih baik dari makanan yang ada di rumahnya. Tetapi kemudian, ia teringat dengan Fannar dan ayahnya.
Apakah mereka sudah makan? Fjola menyelipkan secuil daging dan apel keriput itu ke kantung di balik bajunya. Ia akan memberikannya kepada Fannar dan ayahnya nanti. Meski tangannya dipotong, ia pulang tidak dengan tangan kosong lagi.
“Menjijikkan!” Penjaga yang melihat aksi Fjola mencemooh. Gadis itu tidak peduli. “Omong-omong, kenapa kau bisa sampai di sini, Manis? Sel ini begitu dingin. Kalau kau mau kehangatan, bilang padaku, ya.”
Fjola meneguk air banyak-banyak, kemudian berkata, “Boleh saja. Tetapi asal kau tahu, aku di sini karena menguliti seseorang yang ingin menghangatkanku.”
Penjaga itu lantas menelan ludah. Ia kembali ke pos jaganya dengan tergesa.
Pria dari sel di sebelahnya terkekeh. Saat Fjola menoleh, ia dapat melihat kerlingan pria itu.
“Aku melihat semangat dalam dirimu, Nona. Aku suka itu,” kata pria itu mengacungkan gelasnya ke udara, tanda salut. Ia lantas menenggak isinya dengan gaya.
Dilihat dari postur dan pakaiannya, Fjola dapat melihat bahwa pria itu bukan orang biasa. Usianya sudah tampak matang. Rambutnya yang hitam sebahu terlihat kusut dan kusam. Ada selarik rambut putih pada cambangnya yang panjang. Matanya hijau kelam seperti ganggang. Rahangnya tegas. Borgol di tangannya tampak bak gelang hiasan. “Siapa namamu?”
“Apakah itu penting?” kata Fjola kembali ke pojok sel.
Pria itu terekeh lagi. “Apa yang kau lakukan sehingga sampai di sini?”
“Kau sudah dengar tadi,” sahutnya skeptis. Ia enggan berteman dengan tahanan lain.
“Aku yang sudah berpengalaman, Nona, tak akan tertipu dengan bualanmu barusan. Oh, ayolah, sesama tahanan bukankah harus sopan? Aku bertanya, kau menjawab.”
Hening sesaat sebelum Fjola berkata, “Kau sendiri, siapa?”
“Aku? Orang-orang menyebutku pemberontak.” Pria itu terkekeh.
Kening Fjola berkerut. “Baiklah, Tuan Pemberontak, aku di sini karena memburu hewan di hutan terlarang.”
Pria itu bersiul. “Gadis seusiamu? Berburu? Sendirian? Tak masuk akal.”
Fjola mengedikkan bahu. “Kau sendiri kenapa sampai di sini?”
“Biasa. Pemberontakan.”
“Sendirian?” tanya Fjola penasaran.
“Tentu saja tidak.”
“Apa kau dibuang kelompokmu?”
Pria itu mendesah. “Suatu hari, Nona, ada saat kau dihadapkan pada pilihan pelik yang membuatmu harus berkorban demi mereka yang kau sayang.”
“Suatu hari? Bagiku setiap hari pun, aku selalu berkorban,” kata Fjola. Matanya menerawang. Mendadak, ia merasa lelah. “Aku terus berkorban hingga mautlah yang menjadi harapan.”
Pria itu diam. Dari balik jeruji, ia memandang Fjola dengan saksama. Kemudian, ia berkata, “Seandainya nanti kau merasa hanya maut satu-satunya harapan, datanglah ke sisi tembok bagian selatan. Katakan namaku. Kau akan disambut di sana.”
“Tidak, terima kasih,” sahut Fjola. “Aku tidak tertarik menjadi pemberontak. Untuk bertahan hidup saja sudah sulit.”
Pria itu terkekeh. “Zargar.”
“Apa?”
“Simpan saja namaku, entah kau butuh atau tidak kelak.” Pria itu lantas merebahkan tubuhnya. "Aku mulai menyukai penjara ini."
Fjola tak mau menaggapi lelaki itu. Ia merebahkan tubuhnya. Namun, lantai sel yang dingin membuatnya menggigil. Ia tak kuat. Ia lantas kembali bersandar pada tembok. Ia mencoba memejamkan mata.
Penjara itu sunyi. Saking sunyinya, ia bisa mendengar embusan napasnya sendiri. Fjola kembali takut. Ia memeluk lututnya dengan erat.
Suara langkah yang menggema dari tangga membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap. Ia mendongak. Tak lama kemudian, seseorang datang. Dilihat dari pakaiannya, dia bukanlah salah satu penjaga penjara. Bahkan, Fjola sempat berpikir bahwa lelaki itu sedang menyasar.
Pakaian yang dikenakannya tidak cocok sama sekali dengan suasana muram penjara. Ia memakai baju berwarna cerah: Kuning dan merah muda, dengan pola abstrak. Rambutnya yang pendek dan pirang disusun sedemikian rupa hingga semua tegak ke atas. Ada sesuatu yang gemerlap pada tulang pipinya. Bibirnya pun berwarna ungu bunga violet.
“Lepaskan dia,” katanya menunjuk Fjola. Ia menjentikkan jarinya dengan tak sabar. “Cepat! Cepat! Cepat!”
Tergopoh-gopoh, penjaga yang tadi menggoda Fjola segera menarik kunci dan membuka sel tempat gadis itu dikurung. Pintu sel menjeblak dengan nyaring, membangunkan Zargar.
“Apa aku tak salah melihat?” cetus Zargar terkekeh. Ia mengucek-ngucek matanya untuk memeriksa penglihatannya. “Kau mau menginjakkan kakimu ke sini, Makhluk Gemerlap?”
“Diam, kau!” hardik lelaki berpakaian aneh itu.
“Apa kau merindukanku, Ishak?” goda Zargar lagi. "Aku tak sabar ingin dirias olehmu."
Lelaki gemulai yang dipanggil Ishak itu mendecakkan lidah. “Diam atau kupotong lidah beracunmu itu! Dan, kau,” tambahnya menunjuk Fjola, “ikut aku sekarang.”
Dengan gerak luwes, Ishak berbalik menuju tangga. Ia menyuruh Fjola segera mengikuti.
Masih mengenakan borgol, gadis itu mengikuti ke mana Ishak menuntunnya. Ia kesusahan saat menaiki tangga. “Maaf, Tuan—em, maksudku Nona—bisakah kau lepaskan belengguku?”
Ishak bersedekap. Bola matanya berputar. “Lepaskan belenggu kakinya—kaki saja, yang lain biarkan,” titahnya pada penjaga.
Setelah belenggu di kakinya terlepas, Fjola dibawa keluar penjara. Waktu itu hari sudah malam. Meski begitu, Fjola tetap saja silau. Ia mengerjap sebelum melongo saat melihat betapa luasnya istana tempat Raja Erik, penguasa Negeri Haust berdiam. Meski dia pernah ke sana, Fjola tak pernah masuk istana. Ia hanya bisa menyaksikan kemegahan benteng istana dari luar.
Bagaimana tidak? Berada dalam radius 100 yard dari gerbang saja, para penjaga bakal menahannya.
Setelah melewati pintu atas penjara, Ishak terus berjalan ke istal, kemudian dapur. Ia mencomot sepotong puding untuk dimakan. Melihat itu, Fjola melakukan hal yang sama. Namun bedanya, gadis itu lebih serakah. Ia memasukkan tiga potong pudding sekaligus ke mulut sebelum koki menghardiknya.
Ishak mengeluh lelah saat berjalan di tengah taman istana. Penasaran, Fjola bertanya mau dibawa ke mana dirinya? Namun, Ishak malah menjawab, “Ke kematian.”
Fjola tersentak dengan jawaban itu. Ia menyesal tak berhenti dulu di dapur untuk makan sepuasnya. Setidaknya, ia akan mati dalam keadaan kenyang. Ia berniat berbalik sebelum mendengar Ishak terkekeh. “Aku cuma bercanda.” Namun kemudian, dia melanjutkan, ”Kecuali kau salah membuat pilihan nanti.”
Kening Fjola berkenyit. “Apa maksudmu?”
“Oh, kau akan tahu. Sekarang, ayo cepat! Raja sudah menunggumu.”
***
Ruangan itu tidak semegah dan seluas dugaan Fjola. Letaknya pun jauh dari bangunan utama istana. Setelah Ishak memberitahunya bahwa raja telah menunggu, Fjola merasa ada yang keliru. Dia bukan siap-siapa, dan hanya tahanan biasa. Seharusnya, pria yang berada di sel satunyalah yang dibawa ke hadapan raja, bukan dirinya. “Eh, maaf, Tuan—em, Nona—Ishak. Mungkin kau salah mengambil orang,” katanya. “Memangnya kau pikir aku buta? Sudahlah, ikut saja. Cepat!” Ishak, mendorong bahu Fjola dengan kasar. “Panggil aku Ishak saja daripada kau bingung antara Tuan dan Nona.” “Er ... oke.” Fjola bingung harus menjawab apa. Mereka sampai ke tempat pertemuan raja dengan dewan-dewannya. Namun, bukan ke sana Ishak membawanya. Ia memutar arah ke belakang hingga melewati paviliun dan danau. Setelah naik ke bukit di belakang paviliun, tampak pondok kecil berdiri di sana. Pintu pondok itu terbuka. Saat mendekat, Fjola dapat mendengar suara seorang gadis yang memohon.
Permintaan Fjola amat sederhana. Ia ingin pulang, menemui ayah dan adiknya sebelum berangkat sebagai upeti pengganti. Meski begitu, Briet berkeras untuk memberi gadis itu bonus tambahan. Antara lain adalah persediaan makanan yang banyak. Setelah menuntun gadis itu keluar pondok, Briet membawa Fjola ke kamarnya untuk memilih baju. Ishak dan Raja Erik masih di dalam pondok. Ada sesuatu yang harus mereka bicarakan. Setelah sampai ke kamarnya, Briet memberikan semua baju miliknya untuk Fjola. Ia tak memiliki waktu untuk meminta penjahit menjahitkan baju untuk Fjola. Untungnya, ukuran tubuh mereka tak berbeda jauh. Namun, tetap saja banyak gaun yang tampak tak cocok. Dengan gaun-gaun itu, Briet berharap bahwa Fjola mampu menarik perhatian sang raja negara adidaya. Berbeda dari Briet yang anggun, tubuh Fjola lebih kecil. Kulitnya tak sepucat sang putri. Lagi pula, Fjola tak pernah memakai gaun, apalagi yang berbahan sehalus itu. Ketika mencoba sal
Fjola dapat merasakan lembutnya tempat tidur hanya sebentar. Sebelum fajar menyingsing dan ayam berkokok, Ishak datang ke kamarnya di istana. Suaranya yang melengking membangunkan gadis itu. “Ayo, cepat, cepat! Kau harus bangun. Tidak ada waktu lagi. Kita harus menyiapkanmu.”“Sebentar lagi,” kata Fjola dengan malas. “Aku baru tidur sebentar sekali.”“Seorang putri harus sudah bangun sebelum matahari keluar,” hardik Ishak menarik selimut.“Tapi aku bukan seorang putri.” Fjola menarik lagi selimutnya.“Mulai hari ini, kau adalah putri Raja Erik Hart. Ingat, Hart! Nama belakangkangmu adalah Hart! Kau mengerti?”“Hmm ....” Mata gadis itu terasa berat.“Demi Tuhan, Fjola, bangunlah!” Ishak menggulingkan tubuh Fjola hingga jatuh dari ranjang. Gadis itu mengaduh.“Bagus! Sekarang, bangun dan mandilah. Akan kubu
Fjola memandang hamparan perbukitan dekat rumahnya dengan hati pilu. Pasalnya, ia merasa tak akan pernah melihatnya lagi. Biasanya, ia, Jon, dan Fannar sering ke sana untuk sekadar menikmati mentari pagi pada musim panas. Mereka akan berbaring di sana, melepas kekhawatiran, meski perut memprotes lapar.Gadis itu teringat bagaimana Negeri Haust melepasnya pergi tadi. Setelah keluar dari kamar, Fjola dibawa ke aula raja. Di sana, seluruh dewan menyambutnya. Mereka memberikan ucapan selamat dengan gembira. Namun, dalam hati, Fjola tahu mereka mengucap syukur yang tak terkira bahwa putri-putri mereka selamat dari ancaman kematian. Kata Ishak, sudah berbulan-bulan rencana tentang pergantian ini dibahas Raja Erik pada dewan. Demi kesetian, sang raja meminta putri-putri para dewan itu untuk menggantikan Briet memenuhi panggilan ke negeri seberang. Meski tidak setuju dengan rencana itu, mereka tak ada yang berani melawan Raja Erik. Pasalanya, raja itu amat t
Fajar sudah menyingsing ketika mereka membongkar tenda. Kuda-kuda tampak segar. Prajurit yang bersama mereka pun kembali awas. Stamina semua orang telah pulih kecuali Fjola. Ia lesu karena tak dapat tidur. Bukan karena dingin maupun dengkuran, melainkan karena pikirannya kalut. Ia ingin sekali lari dari sana. Bahkan, ia dapat melaksanakan niatnya dengan gampang.Tadi malam, setelah menghangatkan badan, Fjola undur diri kepada Killi. Ia berkata akan kembali ke tendanya. Namun kemudian, godaan itu muncul. Diam-diam, kakinya melangkah ke hutan. Ia coba-coba masuk ke sana, bersembunyi di antara pepohonan. Mantelnya dirapatkan. Ia menunggu sejenak. Adakah yang sadar bahwa dirinya menghilang? Namun ternyata tidak ada.Fjola berjalan semakin dalam ke hutan. Hutan di sana tak jauh berbeda dengan hutan terlarang di Negeri Haust. Meski begitu, pohon-pohonnya sedikit berbeda, lebih tinggi dan rindang. Setelah berjalan beberapa lama, Fjola merasa ada sesuatu yang mengi
Aula tempat makan malam itu begitu indah. Fjola tak pernah melihat makanan selengkap itu dihidangkan, bahkan saat berada di istana Raja Erik di Negeri Haust. Ada ayam panggang yang menggoda selera, terletak tepat di tengah meja panjang yang dikelilingi sepuluh kursi. Kursi paling ujung merupakan kursi milik si penanggung jawab istana calon selir. Dia belum hadir di sana ketika Fjola masuk. Makanan lain yang tak kalah menggugah selera mengelilingi hidangan utama. Ada piala berisi anggur di samping piring kosong, di depan masing-masing kursi. Lampu gantung besar mengantung di langit-langit tengah ruangan. Tempat lilin yang berukir indah berdiri di tembok-tembok, membuat suasana semakin terang. Sebuah perapian berada di ujung ruangan. Nyala apinya yang besar membuat hangat ruangan. Perapian itu terletak di belakang kursi si penanggung jawab.Ketika Fjola akan duduk di salah satu kursi, Ishak mencekal lengannya. “Tunggu dipersilakan dulu,” bisiknya.
Udara dingin mengusik tidur Fjola. Meski sudah ada perapian yang menyala, tetap saja gadis itu menggigil. Pada tengah malam, ia terbangun. Ia mengenakan mantel kemudian kembali tidur. Akan tetapi, bayang-bayang kematian selalu menghantuinya. Fjola gelisah. Kemudian, gadis itu memutuskan untuk bangkit dari ranjangnya yang hangat. Ia berdiri di balik jendela. Tak ada apa-apa di luar sana. Hanya ada kegelapan saja. Namun, jauh di belakang sana, di seberang bukit, tembok besar berdiri megah. Meski sudah malam, dindingnya yang pucat tampak kontras. Saat melihatnya, Fjola merasa takut. Ia tak bisa membayangkan jika tembok itu runtuh. Seandainya cerita Ishak benar adanya, maka hanya kehancuran yang akan menaungi negeri-negeri di dalam tembok jika sampai tembok itu runtuh.Memikirkan hal itu membuat Fjola tambah bergidik. Rupanya, buka dingin yang membuatnya menggigil, melainkan membayangkan apa yang terjadi padanya kelaklah yang membuat hatinya menciut. G
Fjola kembali ke istana dengan mengendap-endap. Meski yakin tak akan ada yang bangun selarut itu, tetap saja dia takut ketahuan. Ia tak tahu hukum di negeri tersebut. Saat membuka pintu demi pintu, melewati lorong demi lorong yang sepi, jantung gadis itu berdetak lebih kencang, apalagi ketika mendengar langkah kaki penjaga yang sedang berpatroli. Meskipun demikian, dia merasa senang.Ketika membuka pintu kamar, ia baru merasa aman. Segera, Fjola mengembuskan napas lega.“Bagus, ya!” suara Ishak terdengar memecah keheningan.Fjola terkesiap. Perlahan, ia menoleh. Ia menatap Ishak berdiri di belakang bayang-bayang sudut kamarnya. Tubuhnya yang tinggi disandarkan ke tembok, kakinya disilangkan. Tangannya bersedekap.“Aku .... Aku ... anu ... aku dari kamar mandi.” Fjola tergagap. Gadis itu mengusap-usap tengkuknya dengan gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya.Dalam keremangan, Fjola dapat melihat alis pelay
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu