“Halo,” ucap Fjola meringis. Kedua tangannya terangkat, tanda menyerah. Ia masih terperosok ke dalam semak.
Kedua prajurit yang mengacungkan pedang kepadanya itu saling berpandangan dengan heran. Kemudian, salah satunya bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?”“Oh, aku cuma sedang jalan-jalan, lalu terpeleset. Tak usah kalian pikirkan. Aku tidak apa-apa, kok. Silakan lanjutkan perjalanan kalian,” jawab Fjola dengan santai.Kedua prajurit itu mengernyit. “Aku tak melihatmu dalam rombongan berburu,” kata prajurit berambut pirang tadi. “Bagaimana dengan kau?” tanyanya berpaling kepada prajurit satunya.Ia menggaruk rambutnya yang hitam, tampak sedikit tak peduli. “Aku juga tidak. Lagi pula, dia kan wanita. Lihat saja rambutnya itu, dijalin asal-asalan. Seperti laba-laba. Dia pasti bukan bangsawan.”
“Aku memang bukan bangsawan yang ikut rombongan berburu. Aku hanya seorang gadis yang kesasar di hutan.” Pelan-pelan, Fjola bangkit. Ia menepuk-nepuk bajunya yang berdebu.
“Bukankah tidak sembarang orang boleh masuk ke sini? Begitu aturan penguasa wilayahmu.”“Oh, aku tidak tahu. Aku bukan orang asli di sini.”“Kau datang dari mana?” tanya prajurit berambut hitam.“Vor,” jawab Fjola tanpa pikir panjang. Selama ini, ia tak kenal negeri-negeri lain di dalam tembok. Ia tak pernah pergi dari negerinya.Kedua prajurit itu medengkus. Mereka lalu tertawa. “Lihatlah gadis ini! Orang buta pun akan bisa membedakan kau dari bangsa Vor.”“Lebih baik kita bawa saja ke penjaga hutan. Aku ingin lihat bagaimana mereka menghukum seorang pembohong,” kata prajurit berambut pirang. Ia terkekeh.“Tunggu!” Otak Fjola berpikir. “Begini saja. Bagaimana kalau kalian ampuni aku? Kalian berpura-puralah tidak pernah melihat atau bertemu denganku. Lagi pula, kalian bukan penjaga hutan, kan?”“Jika kami membiarkanmu pergi, imbalan apa yang akan kau berikan pada kami?” tanya prajurit berambut hitam. Matanya menelusuri tubuh Fjola dengan tamak. Ia menjilat bibirnya.Melihat tingkah prajurit itu membuat Fjola jijik. “Imbalannya yaitu aku tidak akan memberitahu siapa-siapa bahwa kalian telah mengolok-olok Pangeran. Kalian berkata apa tadi? Selembut sutra? Memakaikannya gaun? Oh, betapa mengerikan ucapan kalian tadi!”Prajurit berambut hitam tadi geram. “Bagaimana kalau begini, Nona. Sebelum mulutmu itu mengoceh, kupenggal saja kepalamu sekarang.” Dia lantas mengayunkan pedangnya. Namun, dia terhenti oleh sebuah seruan yang memanggil nama mereka.Kedua prajurit itu berpandangan dengan gugup. “Pangeran! Gawat! Bagaimana ini?”Mendapat kesempatan emas, Fjola beringsut mundur. Ia kemudian berbalik dan lari.Prajurit berambut hitam tadi akan mengejar gadis itu, tetapi dicegah oleh prajurit satunya. “Lebih baik biarkan saja dia pergi.”
“Bagaimana kalau dia mengadukan kita?”“Tidak akan. Aku jamin itu. Ayo, kita kembali ke rombongan.”Mereka lantas menyarungkan pedang. Mereka kembali menunggang kuda dan berderap menuju suara pangeran mereka.
Sementara itu, dengan jantung berdegup kencang, Fjola berlari ke luar hutan. Ia meliukkan tubuhnya ketika melewati celah kawat berduri yang menjadi pembatas. Busur dan panahnya masih tertinggal di hutan. Tetapi, ia tak berani mengambilnya sekarang. Terlalu berisiko.Fjola pulang dengan tangan kosong. Kakinya yang letih dia selonjorkan sejenak di depan pintu.Setelah mendengar kehadirannya, Fannar sang adik membuka pintu. Matanya berkilat ketika melihat sang kakak pulang, kemudian meredup ketika tahu bahwa sang kakak pulang tak membawa apa-apa.
Meski begitu, Fannar tak memperlihatkan kekecewaannya. Dengan bibir tersenyum dia mengulurkan tangan, berniat melepas sepatu bot Fjola.
“Jangan dilepas,” cegah gadis itu. “Aku akan ke hutan lagi nanti.”“Tidak hari ini, Kak. Aku mendengar ada rombongan pangeran dari Veggur yang berburu ke sana. Kau bisa ketahuan kalau ke sana lagi.”Terlambat, batin Fjola. Namun, yang keluar dari mulutnya adalah hanya helaan napas panjang.“Kau pasti lelah. Aku menyisakan roti di dalam lemari. Akan kuambilkan untukmu,” kata Fannar bangkit.“Aku tidak lapar,” dusta Fjola. Sebenarnya perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Pagi ini ia tak sarapan. Dia sengaja menyimpan rotinya untuk dibagikan kepada Jon dan Fannar ketika dia gagal mendapat buruan.“Kalau begitu, minumlah.” Fannar mengulurkan secawan air yang diambilnya dari dalam rumah.
Setelah meneguk dengan serakah, Fjola merasa mengantuk. Ia mengempaskan tubuhnya ke lantai, kemudian tertidur. Dia bahkan tak mau repot-repot masuk ke rumah karena menurutnya di dalam maupun di luar rumah itu sama saja.Rumahnya sudah reot. Dindingnya tak bisa lagi menahan atap dengan tegak. Tiang-tiang penyangga sebagian patah sehingga membuat atap miring. Pintu rumahnya sudah rusak, tak bisa ditutup dengan benar. Di dalam tak ada ranjang. Yang ada hanya tumpukan kain kumal untuk menghangatkan mereka dari udara dingin.Jika musim salju datang, mereka menyumpal dinding-dinding yang bolong itu dengan kain rombeng supaya angin tak dapat masuk. Perapian di ujung ruang tengah menjadi satu-satunya penyelamat mereka. Meski tak kuat membeli kayu bakar yang melimpah, mereka harus mampu bertahan dengan ranting dan beberapa kayu seadanya.
Kadang Fjola merasa ingin membakar dirinya sendiri supaya hangat ketika musim itu datang. Namun, tentu saja hal itu tak mungkin dia lakukan. Ia masih ingin hidup.
Matahari sudah akan bersembunyi ketika Fjola terbangun. Bergegas, ia kembali ke dalam hutan. Sebelum pergi Fannar menyelipkan sebongkah roti basi ke tangannya. “Kakak harus makan. Sudah seharian aku tak melihatmu makan. Itu adalah roti terakhir yang kita punya. Aku khusus menyimpannya untukmu.”Namun, dia menolak. “Berikan pada Ayah saja. Dia lebih membutuhkannya.”Tanpa menoleh lagi, Fjola pergi. Ia kembali masuk ke dalam hutan. Tempat pertama yang ditujunya adalah tepi sungai. Ia mengambil sarung panahnya yang tertinggal di sana tadi. Setelah itu ia mencari busur yang dijatuhkannya saat melawan sang harimau. Sesudah ketemu, ia lantas menuju tempat hasil buruannya disembunyikan.
Saat sampai di sana ia terbelalak mendapati seorang pemburu lain telah menguliti harimau itu. Pemburu itu juga memotong-motong daging sang harimau ketika Fjola datang. Atau dia pikir begitu karena pemburu itu duduk membelakanginya. Tangannya tampak sibuk.Fjola tak bisa melihat wajahnya. Ia juga tak tahu apa yang sedang dikerjakannya. Jubah yang dikenakannya tampak menyatu dengan hutan. Meski begitu, Fjola yakin bahwa dia adalah pemburu juga karena penjaga hutan tidak mungkin memakai jubah. Mereka selalu memakai baju zirah kebesaran mereka.
“Hei!” seru Fjola marah. “Apa yang kau lakukan? Aku yang membunuh binatang itu. Jadi, aku yang berhak mengambilnya.”
Pemburu itu menoleh. Namun, tetap saja Fjola tak dapat melihat rupanya. Pemburu itu mengenakan tudung jubah untuk menyembunyikan wajahnya.
“Siapa kau? Apa kau pemburu ilegal juga?” tanya Fjola lagi. Ia mendekat dengan ragu.
Sang pemburu bangkit. Tubuhnya tinggi dan ramping. Baju yang dikenakannya pun lain dari pemburu pada umumnya. Warnanya putih terang, begitu terang hingga membuat mata Fjola silau sekejap. Kalau tak memakai jubah, tentu pemburu itu pasti menarik perhatian apa pun ketika lewat.
“Jadi, kau yang telah membuat binatang ini mati?” tanya pemburu itu. Suaranya lembut dan merdu. Meski begitu, ada kesan permusuhan di dalamnya. Dari balik tudungnya, Fjola dapat melihat pancaran mata tajam lelaki itu.
“Ya, itu aku. Dan kau adalah orang yang seenaknya mengambil hewan yang sudah susah payah kubunuh ini? Enak betul?” cerca Fjola.
“Enak?” Bibir merah lelaki itu tersenyum sinis. Meski tampak indah, Fjola kesal melihatnya. “Kau pikir menyakiti hewan itu enak?”
Fjola mendengkus. “Asal kau tahu, hewan ini berusaha membunuhku sebelum ia kubunuh.”
“Itu karena kau menganggunya saat mencari makan.”
Kening Fjola berkerut. “Bagaimana kau tahu.”
“Bukan urusanmu bagaimana kutahu,” kata lelaki itu dengan sengit.
“Bagaimana denganmu? Kau malah menguliti hewan itu,” ujar Fjola tak terima.
“Bukan aku yang mengulitinya.”
“Lalu siapa?”
“Orang sepertimu,” jawab lelaki itu penuh penghinaan. "Sebelum aku mengusirnya tadi."
Hal itu membuat Fjola geram.
“Dengar, ya, Lelaki Bertudung. Jika kau tahu apa itu lapar, kau tak akan berani bersikap sesombong ini padaku.” Dia mengacungkan telunjuknya kepada lelaki itu.“Oh, ya? Jika kau mau menggunakan otakku, ada banyak pilihan lain selain membunuh hewan untuk dapat memuaskan rasa laparmu itu.” Sembari berkata seperti itu, sang lelaki mendekat. Ia berhenti tepat di depan Fjola. Sorot matanya yang tajam membuat Fjola sedikit gentar.
Gadis itu mundur selangkah. Meski begitu, ia belum mau kalah. Ia mendongak, menantang.
Dengan begitu, Fjola dapat melihat wajah lawan bicaranya dengan jelas. Kulitnya yang terang seakan memancar dari bayangan tudung jubah. Matanya berkilat memandang Fjola. Rahangnya kokoh, namun juga lembut. Rambutnya yang sewarna dengan kayu dipernis itu tersembunyi di balik tudung. Dilihat dari parasnya, ia sangat rupawan.
Sesaat, Fjola gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona. Ia tak pernah melihat pemuda setampan itu di negerinya. Mungkinkah dia adalah pangeran dari Negeri Veggur yang dibicarakan kedua prajurit tadi?
“Ekhem,” Gadis itu berdeham untuk menutupi kegugupannya. “Berikan aku contoh pilihan yang kaumaksud itu, yang tidak harus dibeli dengan uang.”
“Buah," bisik pemuda itu maju.
"Jamur." Pemuda itu maju lagi. Sekarang, mereka hampir tak memiliki jarak. Jantung Fjola berdetak cepat sekaki. Ia dapat mencium wangi tubuh pemuda itu yang memabukkan.
"Telur," bisik sang pemuda mendekatkan wajahnya ke wajah Fjola yang memerah.
“Tunggu! Berhenti!” Gadis itu melangkah mundur. Tangannya terulur ke depan. Tetapi, ia tak berani menyentuh sang pemuda. Tanpa melihat wajah lawan bicaranya, ia berkata, “Kau sama saja membunuh calon hewan dengan menyebut telur.”
“Tetapi tetap saja telur itu bukan hewan.” Pemuda itu melangkah pelan, memutari tubuh Fjola. Ia berhenti tepat di belakang gadis itu. Ia lalu mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu dan berbisik, "Aku benar, kan?"
Napasnya yang hangat berembus, membelai kulit gadis itu. Fjola seperti hilang akal. Namun kemudian ia sadar bahwa lelaki itu merupakan orang asing. Ia jadi malu karenanya. Ia juga kesal karena merasa malu.
Fjola berbalik, dan melangkah menjauh dari pemuda rupawan itu. Ia melengkungkan bibirnya ke bawah, mengedikkan bahunya singkat. “Terserah apa katamu. Sekarang, mumpung hewan itu sudah terlanjur mati, aku ingin mengambilnya.”
Fjola melangkah ke arah buruannya tergeletak. Namun tiba-tiba, pemuda itu menangkap tangan Fjola.
Fjola tersentak saat kulit pemuda itu menyentuhnya. Rasa hangat segera menjalar ke tubuhnya. Tak hanya itu, kulit pemuda itu terasa begitu halus. Fjola kembali merona. Ia segera menarik tangannya. “Apa lagi?”
Pemuda itu meletakkan telunjuknya yang panjang ke bibir. “Kau dengar itu? Ada seseorang yang mendekat.”
Fjola menajamkan telinganya. Keningnya berkerut. Ia diam sesaat. “Tidak, aku tidak mendengar apa-apa. Sekarang, Tuan Bertudung, aku tidak peduli kau mau ngomong apa. Jangan halangi aku mendapat sesuatu yang memang seharusnya untukku.”
Dengan kantung kulit yang dibawanya, Fjola memasukkan daging-daging harimau yang sudah terpotong itu ke dalam kantung. Ia juga menyimpan kulit sang harimau. Setelah siap membawa hasil buruannya pulang, Fjola berbalik. Ia heran karena pemuda tadi sudah tak ada.
Kapan pemuda itu pergi pun ia tak tahu. Ia tak mendengar langkah pemuda itu ketika beranjak. Keningnya berkerut sesaat, namun kemudian ia merasakan ada benda dingin yang menyentuh lehernya.
“Letakkan benda itu, Pencuri,” bisik seorang penjaga hutan.
Fjola terpaku. Ia melirik benda dingin yang menempel pada lehernya. Itu adalah pedang dengan bahan dari perunggu yang tajam.
Perlahan, ia melepas genggaman tangannya. Kantung kulit tempatnya menyimpan daging harimau itu jatuh berdebum ke tanah. Tangannya terangkat ke atas pelan-pelan. Bibirnya bergetar saat mengucap, “Bu-bukan aku yang membunuh hewan itu, Tuan. Aku hanya mengambil apa yang ada di sana.”
“Kita lihat apa kata dewan nanti.”
***
Penjara itu amat dingin. Lantainya bagai es yang menusuk tulang. Hawanya lembab dan tengik. Hanya bau kematian yang terhirup di sana. Jerujinya sudah berkarat namun tetap kokoh. Atapnya tertutup rapat. Bahkan, tak ada lubang untuk angin. Penjara itu berada di bawah tanah. Tangan Fjola dibelenggu dengan gelang besi yang berat dan dihubungkan oleh rantai besar. Begitu pula kakinya. Di sel itu, dia sendirian. Cahaya yang datang berasal dari celah yang menuju tangga di ujung ruang. Sepasang penjaga mengapit celah itu. Fjola merasa ketakutan. Ia membayangkan tangan yang dipakainya untuk berburu hilang. Bagaimana dia bisa memberi makan tiga mulut tanpa tangan itu? Padahal, setahun lagi adiknya baru bisa menjadi prajurit. Itu pun kalau lolos. Sebenarnya, dia hanya perlu bertahan selama setahun. Tetapi, sekarang, sebulan saja pasti tak mampu bertahan. Fjola duduk di pojok sel dengan pasrah. Perutnya melilit karena lapar. Ia tak tahu sudah berapa lama dia di sana. Wak
Ruangan itu tidak semegah dan seluas dugaan Fjola. Letaknya pun jauh dari bangunan utama istana. Setelah Ishak memberitahunya bahwa raja telah menunggu, Fjola merasa ada yang keliru. Dia bukan siap-siapa, dan hanya tahanan biasa. Seharusnya, pria yang berada di sel satunyalah yang dibawa ke hadapan raja, bukan dirinya. “Eh, maaf, Tuan—em, Nona—Ishak. Mungkin kau salah mengambil orang,” katanya. “Memangnya kau pikir aku buta? Sudahlah, ikut saja. Cepat!” Ishak, mendorong bahu Fjola dengan kasar. “Panggil aku Ishak saja daripada kau bingung antara Tuan dan Nona.” “Er ... oke.” Fjola bingung harus menjawab apa. Mereka sampai ke tempat pertemuan raja dengan dewan-dewannya. Namun, bukan ke sana Ishak membawanya. Ia memutar arah ke belakang hingga melewati paviliun dan danau. Setelah naik ke bukit di belakang paviliun, tampak pondok kecil berdiri di sana. Pintu pondok itu terbuka. Saat mendekat, Fjola dapat mendengar suara seorang gadis yang memohon.
Permintaan Fjola amat sederhana. Ia ingin pulang, menemui ayah dan adiknya sebelum berangkat sebagai upeti pengganti. Meski begitu, Briet berkeras untuk memberi gadis itu bonus tambahan. Antara lain adalah persediaan makanan yang banyak. Setelah menuntun gadis itu keluar pondok, Briet membawa Fjola ke kamarnya untuk memilih baju. Ishak dan Raja Erik masih di dalam pondok. Ada sesuatu yang harus mereka bicarakan. Setelah sampai ke kamarnya, Briet memberikan semua baju miliknya untuk Fjola. Ia tak memiliki waktu untuk meminta penjahit menjahitkan baju untuk Fjola. Untungnya, ukuran tubuh mereka tak berbeda jauh. Namun, tetap saja banyak gaun yang tampak tak cocok. Dengan gaun-gaun itu, Briet berharap bahwa Fjola mampu menarik perhatian sang raja negara adidaya. Berbeda dari Briet yang anggun, tubuh Fjola lebih kecil. Kulitnya tak sepucat sang putri. Lagi pula, Fjola tak pernah memakai gaun, apalagi yang berbahan sehalus itu. Ketika mencoba sal
Fjola dapat merasakan lembutnya tempat tidur hanya sebentar. Sebelum fajar menyingsing dan ayam berkokok, Ishak datang ke kamarnya di istana. Suaranya yang melengking membangunkan gadis itu. “Ayo, cepat, cepat! Kau harus bangun. Tidak ada waktu lagi. Kita harus menyiapkanmu.”“Sebentar lagi,” kata Fjola dengan malas. “Aku baru tidur sebentar sekali.”“Seorang putri harus sudah bangun sebelum matahari keluar,” hardik Ishak menarik selimut.“Tapi aku bukan seorang putri.” Fjola menarik lagi selimutnya.“Mulai hari ini, kau adalah putri Raja Erik Hart. Ingat, Hart! Nama belakangkangmu adalah Hart! Kau mengerti?”“Hmm ....” Mata gadis itu terasa berat.“Demi Tuhan, Fjola, bangunlah!” Ishak menggulingkan tubuh Fjola hingga jatuh dari ranjang. Gadis itu mengaduh.“Bagus! Sekarang, bangun dan mandilah. Akan kubu
Fjola memandang hamparan perbukitan dekat rumahnya dengan hati pilu. Pasalnya, ia merasa tak akan pernah melihatnya lagi. Biasanya, ia, Jon, dan Fannar sering ke sana untuk sekadar menikmati mentari pagi pada musim panas. Mereka akan berbaring di sana, melepas kekhawatiran, meski perut memprotes lapar.Gadis itu teringat bagaimana Negeri Haust melepasnya pergi tadi. Setelah keluar dari kamar, Fjola dibawa ke aula raja. Di sana, seluruh dewan menyambutnya. Mereka memberikan ucapan selamat dengan gembira. Namun, dalam hati, Fjola tahu mereka mengucap syukur yang tak terkira bahwa putri-putri mereka selamat dari ancaman kematian. Kata Ishak, sudah berbulan-bulan rencana tentang pergantian ini dibahas Raja Erik pada dewan. Demi kesetian, sang raja meminta putri-putri para dewan itu untuk menggantikan Briet memenuhi panggilan ke negeri seberang. Meski tidak setuju dengan rencana itu, mereka tak ada yang berani melawan Raja Erik. Pasalanya, raja itu amat t
Fajar sudah menyingsing ketika mereka membongkar tenda. Kuda-kuda tampak segar. Prajurit yang bersama mereka pun kembali awas. Stamina semua orang telah pulih kecuali Fjola. Ia lesu karena tak dapat tidur. Bukan karena dingin maupun dengkuran, melainkan karena pikirannya kalut. Ia ingin sekali lari dari sana. Bahkan, ia dapat melaksanakan niatnya dengan gampang.Tadi malam, setelah menghangatkan badan, Fjola undur diri kepada Killi. Ia berkata akan kembali ke tendanya. Namun kemudian, godaan itu muncul. Diam-diam, kakinya melangkah ke hutan. Ia coba-coba masuk ke sana, bersembunyi di antara pepohonan. Mantelnya dirapatkan. Ia menunggu sejenak. Adakah yang sadar bahwa dirinya menghilang? Namun ternyata tidak ada.Fjola berjalan semakin dalam ke hutan. Hutan di sana tak jauh berbeda dengan hutan terlarang di Negeri Haust. Meski begitu, pohon-pohonnya sedikit berbeda, lebih tinggi dan rindang. Setelah berjalan beberapa lama, Fjola merasa ada sesuatu yang mengi
Aula tempat makan malam itu begitu indah. Fjola tak pernah melihat makanan selengkap itu dihidangkan, bahkan saat berada di istana Raja Erik di Negeri Haust. Ada ayam panggang yang menggoda selera, terletak tepat di tengah meja panjang yang dikelilingi sepuluh kursi. Kursi paling ujung merupakan kursi milik si penanggung jawab istana calon selir. Dia belum hadir di sana ketika Fjola masuk. Makanan lain yang tak kalah menggugah selera mengelilingi hidangan utama. Ada piala berisi anggur di samping piring kosong, di depan masing-masing kursi. Lampu gantung besar mengantung di langit-langit tengah ruangan. Tempat lilin yang berukir indah berdiri di tembok-tembok, membuat suasana semakin terang. Sebuah perapian berada di ujung ruangan. Nyala apinya yang besar membuat hangat ruangan. Perapian itu terletak di belakang kursi si penanggung jawab.Ketika Fjola akan duduk di salah satu kursi, Ishak mencekal lengannya. “Tunggu dipersilakan dulu,” bisiknya.
Udara dingin mengusik tidur Fjola. Meski sudah ada perapian yang menyala, tetap saja gadis itu menggigil. Pada tengah malam, ia terbangun. Ia mengenakan mantel kemudian kembali tidur. Akan tetapi, bayang-bayang kematian selalu menghantuinya. Fjola gelisah. Kemudian, gadis itu memutuskan untuk bangkit dari ranjangnya yang hangat. Ia berdiri di balik jendela. Tak ada apa-apa di luar sana. Hanya ada kegelapan saja. Namun, jauh di belakang sana, di seberang bukit, tembok besar berdiri megah. Meski sudah malam, dindingnya yang pucat tampak kontras. Saat melihatnya, Fjola merasa takut. Ia tak bisa membayangkan jika tembok itu runtuh. Seandainya cerita Ishak benar adanya, maka hanya kehancuran yang akan menaungi negeri-negeri di dalam tembok jika sampai tembok itu runtuh.Memikirkan hal itu membuat Fjola tambah bergidik. Rupanya, buka dingin yang membuatnya menggigil, melainkan membayangkan apa yang terjadi padanya kelaklah yang membuat hatinya menciut. G
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu