Ruangan itu tidak semegah dan seluas dugaan Fjola. Letaknya pun jauh dari bangunan utama istana. Setelah Ishak memberitahunya bahwa raja telah menunggu, Fjola merasa ada yang keliru. Dia bukan siap-siapa, dan hanya tahanan biasa. Seharusnya, pria yang berada di sel satunyalah yang dibawa ke hadapan raja, bukan dirinya.
“Eh, maaf, Tuan—em, Nona—Ishak. Mungkin kau salah mengambil orang,” katanya.
“Memangnya kau pikir aku buta? Sudahlah, ikut saja. Cepat!” Ishak, mendorong bahu Fjola dengan kasar. “Panggil aku Ishak saja daripada kau bingung antara Tuan dan Nona.”
“Er ... oke.” Fjola bingung harus menjawab apa.
Mereka sampai ke tempat pertemuan raja dengan dewan-dewannya. Namun, bukan ke sana Ishak membawanya. Ia memutar arah ke belakang hingga melewati paviliun dan danau. Setelah naik ke bukit di belakang paviliun, tampak pondok kecil berdiri di sana. Pintu pondok itu terbuka. Saat mendekat, Fjola dapat mendengar suara seorang gadis yang memohon. “Kumohon, Ayah, biarkan aku saja yang pergi.”
“Tidak! Tolong mengertilah, anakku,” suara berat sang raja terdengar. Fjola pernah mendengar suara itu satu kali.
Waktu itu dia tengah berebut makanan yang dibagikan di alun-alun kota pada ulang tahun putri raja, Briet. Kabarnya, sang raja amat menyayangi putrinya satu itu. Ia bahkan membagikan sendiri makanan itu ke tangan para penduduk yang kelaparan. Karena saking laparnya, mereka yang antri mulai saling dorong. Gelegar suara raja saat itu langsung membungkam mereka semua.
Sampai sekarang, Fjola tak bisa melupakan gelegaran itu. Ia seratus persen yakin bahwa pemilik suara yang didengarnya itu adalah Raja Erik. Tetapi, ada yang aneh dengan suara yang didengarnya barusan.
Suara sang raja yang didengarnya tadi tidak semengerikan dulu. Bahkan, Fjola mendapat kesan ada keputusasaan di dalamnya.
“Tunggu dulu di sini,” kata Ishak menahan langkahnya. Ia lantas masuk ke dalam pondok. Tak lama kemudian, setengah badannya mengintip dari pintu. Ia mengedikkan dagu, menyuruhnya masuk.
Perlahan, Fjola melangkah masuk. Tak ada apa-apa dalam pondok itu, hanya ada ranjang yang diduduki sang raja, perapian yang menyala, dan kursi di mana Briet duduk.
Putri negeri ini rupanya amat cantik. Ia duduk dengan punggung tegak. Gerak geriknya anggun. Bahkan, kala melihat kedipan Briet, Fjola langsung merasa rendah diri.
“Berlututlah dan jaga ucapanmu,” bisik Ishak di telinganya. “Jika tidak ditanya, jangan membuka mulut.”
Fjola menelan ludah. Ia lantas berlutut. Kepalanya tertunduk.
“Inikah gadis itu?” tanya sang raja bangkit. Ia mendekat ke arah Fjola.
Tangan gadis itu gemetar. Mungkinkah dia akan mati, batinnya.
“Berdirilah! Aku ingin melihatmu dengan jelas,” titah sang raja.
Gadis itu melirik Ishak sekejap. Setelah mendapat anggukan, ia perlahan berdiri.
Tangan sang raja menyentuh dagunya, kemudian mengangkatnya. Matanya yang cokelat kehitaman menilai wajah Fjola dengan teliti.
Gadis itu terkejut. Ia menahan napas. Wajah raja yang terlalu dekat membuatnya merasa tak nyaman. Mata Fjola memandangnya sekilas, kemudian beralih melirik apa pun selain raja.
“Kurasa dia cukup pantas,” komentar sang raja kembali duduk.
Fjola kembali menunduk. Rupa sang raja yang dilihatnya sekikas tadi tidak seburuk rupa yang pernah dilihatnya dulu. Raja yang sekarang sudah tampak tua. Keriput muncul di sudut mata, dahi, dan sudut bibirnya. Kumis dan cambangnya yang dulu tebal kini semakin tipis, juga beruban. Jika posturnya tidak tinggi dan tegap, raja itu tak ubahnya seperti pak tua biasa. Carut marut bekas peperangan juga sudah memudar.
“Ayah, kumohon ....” Terdengar Briet meratap.
“Sudah kuputuskan, Briet Sayang, dia yang akan menggantikanmu,” kata raja tanpa mau didebat.
“Tapi, Ayah—“
“Aku tak mau kehilangan dirimu. Tolong, Briet, turutilah apa kataku. Bukan sebagai raja, melainkan ayahmu.”
Sepertinya, ucapan Raja Erik membuat putrinya terharu. Terdengar isak samar dari Briet. Gaun sang putri berdesir ketika ia melangkah. Ia berjalan mendekati Fjola kemudian secara mendadak memeluknya. “Maafkan aku.”
Mata Fjola terbelalak. Ia tak menyangka akan dipeluk sang putri dengan tiba-tiba. Meski begitu, ia bingung.
“Oh, kau tak usah minta maaf padanya, Sayang. Dia mencuri upeti kita lebih banyak dari yang kau ketahui.”
Fjola menelan ludah dengan susah payah. Sebenarnya, ia tak mengerti tentang apa percakapan itu. Tetapi, saat dirinya yang dianggap pencuri disinggung, dia marah. Seandainya sang raja mampu membuat rakyatnya kenyang, ia tak perlu menjadi pencuri. Meskipun demikian, ia memilih diam.
“Jangan bicara seperti itu, Ayah. Bagaimanapun dia yang akan maju menggantikanku,” kata Briet setelah melepaskan pelukannya. “Tolong perlakukan dia seperti kau memperlakukanku sampai hari keberangkatannya.”
“Ekhm,” Fjola berdeham. ”Maaf menganggu, tetapi, aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan.”
Briet memelotot pada Ishak yang berdiri di tepi pintu pondok. Kemudian, keningnya berkerut. Bibirnya yang mungil terbuka, tetapi tertutup lagi.
Lelaki gemulai itu salah tingkah. Ia lalu memalingkan pandangannya pada apa pun selain Briet.
“Apa kau belum memberitahunya? Kau belum meminta persetujuannya?” tanya Briet kepada Ishak. Wajah tertekuk.
"Untuk apa meminta persetujuannya?" sela sang raja. ”Dia tidak punya pilihan lain.”
“Tetap saja, Ayah, kita harus memberinya penjelasan.”
Sang raja berdecak. Dia menyilakan Briet untuk menjelaskan. Namun sebelum itu, Briet bertanya siapa namanya.
“Fjola Adalward,” jawab Fjola.
“Begini, Fjola, kau tahu kan bahwa setiap tahun Negeri Haust harus memberi upeti kepada Negeri Penguasa Tembok. Selain itu, upeti harus dibawa bersama dengan Gadis Pilihan. Gadis itu nantinya akan dipilih menjadi selir di sana.”
Sang raja menyela dengan dengkusan. “Itu pun kalau terpilih.”
Seolah tak terganggu interupsi ayahnya, Briet melanjutkan, “Menjadi Gadis Terpilih adalah sebuah kehormatan bagiku. Akan tetapi—”
Sang raja mendengkus lagi. Kali ini, Briet bereaksi. Ia memperingatkan ayahnya. Namun, Raja Erik malah menasihati, “Jika memang ingin memberinya penjelasan, Briet Sayang, lakukanlah dengan benar. Jangan kau cekoki gadis itu dengan omong kosong Gadis Terpilih.”
Fjola bingung. Ia melirik Ishak yang malah mengangkat bahunya.
“Baiklah,” kata Briet kemudian. Ia menyibakkan rambutnya yang panjang dan berwana cokelat kemerahan. Wajahnya yang cantik menunjukkan tekad. “Intinya, Fjola, kau akan menggantikanku menjadi Gadis Terpilih. Kau akan berangkat ke Negeri Veggur, bersaing dengan gadis dari negeri lain untuk merebutkan hati Raja Valdimar di sana.”
Mata Fjola membulat. Ia melihat ketiga orang di pondok secara bergantian. “K-kalian bercanda?"
Namun, tak ada satu orang pun yang menjawab. "Aku tak mengerti. Kenapa kau—maksudku, Anda—tidak mau menjadi Gadis Terpilih? Bukankah itu kesempatan bagus?” tanyanya kepada Briet.
“Kesempatan bagus katanya,” Sang Raja terkekeh.
“Diam, Ayah!” hardik Briet lagi. Ia memandang Fjola dengan gelisah. “Begini, Fjola—argh, keterlaluan sekali kau, Ishak. Seharusnya, kaulah yang memberinya penjelasan. Kalau begini kan aku jadi tak enak hati."
"Tolong," seru Fjola jengkel, "jelaskan padaku apa maksud kalian."
Briet meremas-remas jemarinya. Ia lantas berkata, "Kau bertanya kenapa aku tidak mau? Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku ingin bertanya padamu. Apa kau tahu bagaimana nasib para gadis yang tidak dipilih Raja Valdimar?"
Fjola menggeleng. "Mungkin jadi pelayan," jawabnya tak acuh. Selama ini ia tak pernah memikirkan mereka.
"Tidak, Fjola. Gadis yang tidak terpilih akan dibuang ke luar tembok. Itulah kenapa selama ini gadis-gadis yang berangkat ke sana tak pernah kembali. Orang pikir mereka hidup enak di Negeri Veggur. Tetapi sesungguhnya mereka sudah mati.”
“Apa? Itu tidak masuk akal. Bukankah ada empat gadis setiap tahunnya? Kenapa pula Valdimar hanya memilih satu? Kenapa tidak keempat-empatnya? Kalaupun dia tidak mau, kan bisa untuk pangeran, atau penasihat kerajaan, atau menteri?”
"Raja hanya akan memilih yang terbaik. Dia begitu sombong. Dan, alasan tak ada orang lain yang mau menerima gadis-gadis itu setelah ditolak raja adalah, mereka dianggap aib. Mereka tak mampu membuat raja terkesan. Mereka membuat negerinya tak diperhatikan. Apa kau paham?"
Fjola membasahi kerongkongannya yang kering dengan menelan ludah.
“Tapi, tenang saja," tambah Briet lembut. "Menurutku kau lumayan cantik. Jadi, aku yakin kau mampu memikat ... well ....” Briet menggigit bibir bawahnya. Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Fjola ingin menolak. Karena jelas ia merasa tak cukup cantik untuk memikat hati raja negeri besar. Dia pasti akan dibuang ke luar tembok dan menghadapi makhluk-makhluk tak terbayangkan di sana. Itu sama saja dengan hukuman mati. “Tapi, Putri, bukankah Anda lebih cantik dariku? Kesempatan Anda mendapat hati Raja Valdimar lebih besar. Kenapa tidak Anda saja yang pergi?”
“Ayah tak akan membiarkanku,” jawabnya memandang sang raja.
“Aku tak mau mengambil risiko. Apalagi setelah melihat gadis-gadis dari Negeri Vor. Mereka seperti peri. Raja Negeri Veggur tak mudah dipuaskan. Aku sudah kehilangan putri sulungku. Aku tak mau kehilangan Briet.”
“Ba-bagaimana kalau aku menolak?“
“Kalau kau menolak, Pencuri,” kata sang raja segera, “aku akan memenggal kepalamu.”
“Itu tidak adil,” tolak Fjola dengan berani. “Seharusnya, Anda hanya memotong tanganku.”
Sang raja terkekeh. “Seharusnya memang begitu seandainya yang kau ambil dari hutan adalah buah atau jamur. Tetapi, kau berani membunuh harimau. Asal kau tahu saja, harimau itu hadiah dari Raja Valdimar.”
Fjola mengatupkan bibirnya dengan erat.
“Seharusnya kau bersyukur saat kuberi kesempatan untuk menebus kesalahanmu. Pergilah ke negeri sialan itu, taklukkan hati Raja Valdimar sebelum dirinya tahu apa yang terjadi dengan harimau kesayangannya,” tambah sang raja.
Gadis itu tak memiliki pilihan. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. “Kapan aku harus pergi?”
“Besok,” sahut Briet. Ia menepuk bahu Fjola dengan lembut.
“Apa? Tidak bisakah minggu depan?” pintanya memohon.
“Kau pikir prajurit Negeri Veggur mau diatur-atur? Bah!” ketus sang raja.
Fjola menggigit bibir bawahnya.
“Kau akan pergi bersama Ishak. Dia akan menjadi pelayanmu di sana. Dia akan menyiapkan dan membantumu mendapatkan hati raja,” kata Briet menunjuk Ishak yang menyeringai.
“Oh, tidak,” gumam Fjola putus asa. “Kalau begitu, bolehkah aku meminta satu permintaan? Anggap saja sebagai permohonan terakhirku sebelum mati.”
Briet tersenyum. Ia merangkulkan lengannya ke bahu Fjola, kemudian menuntun gadis itu keluar pondok. “Tentu saja. Apa pun permintaanmu, akan kami kabulkan. Iya, kan, Ayah?”
Raja itu mendengkus lagi.
***
Permintaan Fjola amat sederhana. Ia ingin pulang, menemui ayah dan adiknya sebelum berangkat sebagai upeti pengganti. Meski begitu, Briet berkeras untuk memberi gadis itu bonus tambahan. Antara lain adalah persediaan makanan yang banyak. Setelah menuntun gadis itu keluar pondok, Briet membawa Fjola ke kamarnya untuk memilih baju. Ishak dan Raja Erik masih di dalam pondok. Ada sesuatu yang harus mereka bicarakan. Setelah sampai ke kamarnya, Briet memberikan semua baju miliknya untuk Fjola. Ia tak memiliki waktu untuk meminta penjahit menjahitkan baju untuk Fjola. Untungnya, ukuran tubuh mereka tak berbeda jauh. Namun, tetap saja banyak gaun yang tampak tak cocok. Dengan gaun-gaun itu, Briet berharap bahwa Fjola mampu menarik perhatian sang raja negara adidaya. Berbeda dari Briet yang anggun, tubuh Fjola lebih kecil. Kulitnya tak sepucat sang putri. Lagi pula, Fjola tak pernah memakai gaun, apalagi yang berbahan sehalus itu. Ketika mencoba sal
Fjola dapat merasakan lembutnya tempat tidur hanya sebentar. Sebelum fajar menyingsing dan ayam berkokok, Ishak datang ke kamarnya di istana. Suaranya yang melengking membangunkan gadis itu. “Ayo, cepat, cepat! Kau harus bangun. Tidak ada waktu lagi. Kita harus menyiapkanmu.”“Sebentar lagi,” kata Fjola dengan malas. “Aku baru tidur sebentar sekali.”“Seorang putri harus sudah bangun sebelum matahari keluar,” hardik Ishak menarik selimut.“Tapi aku bukan seorang putri.” Fjola menarik lagi selimutnya.“Mulai hari ini, kau adalah putri Raja Erik Hart. Ingat, Hart! Nama belakangkangmu adalah Hart! Kau mengerti?”“Hmm ....” Mata gadis itu terasa berat.“Demi Tuhan, Fjola, bangunlah!” Ishak menggulingkan tubuh Fjola hingga jatuh dari ranjang. Gadis itu mengaduh.“Bagus! Sekarang, bangun dan mandilah. Akan kubu
Fjola memandang hamparan perbukitan dekat rumahnya dengan hati pilu. Pasalnya, ia merasa tak akan pernah melihatnya lagi. Biasanya, ia, Jon, dan Fannar sering ke sana untuk sekadar menikmati mentari pagi pada musim panas. Mereka akan berbaring di sana, melepas kekhawatiran, meski perut memprotes lapar.Gadis itu teringat bagaimana Negeri Haust melepasnya pergi tadi. Setelah keluar dari kamar, Fjola dibawa ke aula raja. Di sana, seluruh dewan menyambutnya. Mereka memberikan ucapan selamat dengan gembira. Namun, dalam hati, Fjola tahu mereka mengucap syukur yang tak terkira bahwa putri-putri mereka selamat dari ancaman kematian. Kata Ishak, sudah berbulan-bulan rencana tentang pergantian ini dibahas Raja Erik pada dewan. Demi kesetian, sang raja meminta putri-putri para dewan itu untuk menggantikan Briet memenuhi panggilan ke negeri seberang. Meski tidak setuju dengan rencana itu, mereka tak ada yang berani melawan Raja Erik. Pasalanya, raja itu amat t
Fajar sudah menyingsing ketika mereka membongkar tenda. Kuda-kuda tampak segar. Prajurit yang bersama mereka pun kembali awas. Stamina semua orang telah pulih kecuali Fjola. Ia lesu karena tak dapat tidur. Bukan karena dingin maupun dengkuran, melainkan karena pikirannya kalut. Ia ingin sekali lari dari sana. Bahkan, ia dapat melaksanakan niatnya dengan gampang.Tadi malam, setelah menghangatkan badan, Fjola undur diri kepada Killi. Ia berkata akan kembali ke tendanya. Namun kemudian, godaan itu muncul. Diam-diam, kakinya melangkah ke hutan. Ia coba-coba masuk ke sana, bersembunyi di antara pepohonan. Mantelnya dirapatkan. Ia menunggu sejenak. Adakah yang sadar bahwa dirinya menghilang? Namun ternyata tidak ada.Fjola berjalan semakin dalam ke hutan. Hutan di sana tak jauh berbeda dengan hutan terlarang di Negeri Haust. Meski begitu, pohon-pohonnya sedikit berbeda, lebih tinggi dan rindang. Setelah berjalan beberapa lama, Fjola merasa ada sesuatu yang mengi
Aula tempat makan malam itu begitu indah. Fjola tak pernah melihat makanan selengkap itu dihidangkan, bahkan saat berada di istana Raja Erik di Negeri Haust. Ada ayam panggang yang menggoda selera, terletak tepat di tengah meja panjang yang dikelilingi sepuluh kursi. Kursi paling ujung merupakan kursi milik si penanggung jawab istana calon selir. Dia belum hadir di sana ketika Fjola masuk. Makanan lain yang tak kalah menggugah selera mengelilingi hidangan utama. Ada piala berisi anggur di samping piring kosong, di depan masing-masing kursi. Lampu gantung besar mengantung di langit-langit tengah ruangan. Tempat lilin yang berukir indah berdiri di tembok-tembok, membuat suasana semakin terang. Sebuah perapian berada di ujung ruangan. Nyala apinya yang besar membuat hangat ruangan. Perapian itu terletak di belakang kursi si penanggung jawab.Ketika Fjola akan duduk di salah satu kursi, Ishak mencekal lengannya. “Tunggu dipersilakan dulu,” bisiknya.
Udara dingin mengusik tidur Fjola. Meski sudah ada perapian yang menyala, tetap saja gadis itu menggigil. Pada tengah malam, ia terbangun. Ia mengenakan mantel kemudian kembali tidur. Akan tetapi, bayang-bayang kematian selalu menghantuinya. Fjola gelisah. Kemudian, gadis itu memutuskan untuk bangkit dari ranjangnya yang hangat. Ia berdiri di balik jendela. Tak ada apa-apa di luar sana. Hanya ada kegelapan saja. Namun, jauh di belakang sana, di seberang bukit, tembok besar berdiri megah. Meski sudah malam, dindingnya yang pucat tampak kontras. Saat melihatnya, Fjola merasa takut. Ia tak bisa membayangkan jika tembok itu runtuh. Seandainya cerita Ishak benar adanya, maka hanya kehancuran yang akan menaungi negeri-negeri di dalam tembok jika sampai tembok itu runtuh.Memikirkan hal itu membuat Fjola tambah bergidik. Rupanya, buka dingin yang membuatnya menggigil, melainkan membayangkan apa yang terjadi padanya kelaklah yang membuat hatinya menciut. G
Fjola kembali ke istana dengan mengendap-endap. Meski yakin tak akan ada yang bangun selarut itu, tetap saja dia takut ketahuan. Ia tak tahu hukum di negeri tersebut. Saat membuka pintu demi pintu, melewati lorong demi lorong yang sepi, jantung gadis itu berdetak lebih kencang, apalagi ketika mendengar langkah kaki penjaga yang sedang berpatroli. Meskipun demikian, dia merasa senang.Ketika membuka pintu kamar, ia baru merasa aman. Segera, Fjola mengembuskan napas lega.“Bagus, ya!” suara Ishak terdengar memecah keheningan.Fjola terkesiap. Perlahan, ia menoleh. Ia menatap Ishak berdiri di belakang bayang-bayang sudut kamarnya. Tubuhnya yang tinggi disandarkan ke tembok, kakinya disilangkan. Tangannya bersedekap.“Aku .... Aku ... anu ... aku dari kamar mandi.” Fjola tergagap. Gadis itu mengusap-usap tengkuknya dengan gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya.Dalam keremangan, Fjola dapat melihat alis pelay
Fajar telah menyingsing tetapi kabut masih menutupi pemandangan, dingin masih menyelimuti Kota Veggur. Meski begitu, penduduk beramai-ramai keluar dari rumah, berdesak-desakkan di sisi jalan utama. Mereka antusias menyambut para calon selir yang akan menghadiri upacara penyambutan di alun-alun.Seolah tak mau menyia-nyiakan kesempatan, beberapa pembisnis membuka lapaknya lebih pagi. Kedai-kedai yang menjual makanan pun sudah siap melayani lebih awal. Orang-orang berbisik, menunggu, dan bahkan ada yang membuka taruhan. Anak-anak kecil yang ikut menyaksikan terlihat berdiri tak sabar, memakai berlapis-lapis baju tebal, sebagian digendong. Penjual bunga berkeliling menawarkan dagangannya. Meski bukan sebuah perayaan, setiap tahun, pada hari di mana selir akan dipilih merupakan tontotan yang tak boleh mereka lewatkan.Selain wajah calon selir, mereka tertarik melihat ekspresi para putri kerajaan yang akan diarak dengan kereta kuda itu. Sudah berbagai maca
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu