Meski umurnya hampir memasuki usia senja, Angel masih tampak muda dan segar. Semua itu karena perawatan dan olahraga rutin yang dia lakukan. Style yang digunakannya pun selalu up to date, tidak mau kalah dengan anak muda sekarang, sehingga orang yang melihatnya tidak akan mengira bahwa wanita bertubuh sintal itu sudah berumur 45 tahun.
Mila meraih telapak tangan sang mertua lalu mencium punggung tangan itu. Hanya sekilas karena Angel segera menarik tangannya.
"Mas Dandy tidak masuk kerja hari ini, Ma. Dia sedang tidur sekarang."
"Nggak kerja? Bukannya sekarang bukan hari libur? Kenapa nggak kerja?"
"Itu, Mas Dandy kemari–"
"Ah, sudahlah. Buka pintunya!" sergah Angel dengan nada tinggi.
Kunci yang tadinya akan Mila masukkan ke tas selempang, kembali masuk ke lubang pintu.
Selepas pintu terbuka, wanita tinggi semampai itu lekas masuk rumah tanpa berkata-kata lagi dan tak acuh terhadap Mila.
Mila pun akhirnya berlalu meninggalkan rumah, menuju tempat kerja. Meskipun rasa ingin tahu tentang kedatangan sang mertua menghinggapi hatinya, tetapi ia tepis karena tidak ingin terlambat kerja.
"Lusuh amat tuh muka. Kenapa? Pagi-pagi tuh harus ceria biar lancar rezekinya." Nadia yang duduk di bangku menyapa dan bertanya kepada Mila, yang baru saja memasuki ruangan yang berada di bagian paling belakang Outlet, tempatnya bekerja.
Ruangan berukuran 3x3 meter itu terdapat enam loker yang kuncinya dibawa oleh masing-masing karyawan, satu bangku panjang menghadap tembok dan di depannya terdapat meja dengan panjang hampir sama dengan bangku tersebut. Di ruangan itulah Mila dan keempat teman kerjanya beristirahat, shalat, makan, dan lain-lain di saat jam istrirahat. Terkadang mereka juga berganti baju di sana.
"Ah, nggak papa. Cuman kurang tidur aja. Semalam kagak bisa tidur," ucap Mila seraya membuka loker lalu memasukkan tasnya.
"Lu bohong, Jamil. Lihat ... mata lu aja bengkak gitu. Abis nangis 'kan?! Sini, coba cerita." Nadia menepuk ruang kosong yang ada di sebelahnya.
"Jamil, Jamil! Emang aku Saipul Jamil!" seru Mila tak terima.
"Gue salah, ya? 'Kan nama lu Mila Jamila. Jadi nggak salah duonk kalo gue manggil Jamil." Nadia berkata sambil mengedipkan sebelah mata, mencoba menggoda teman karibnya agar tidak murung lagi.
"Nggak gitu juga kali, Keles ... udah, ah, hayuk ke depan. Sudah jam kerja, nih." Mila menarik lengan Nadia dan menyeretnya.
"Aduh duh, jangan pake acara seret menyeret, Mila Sayank ... cukup ayank V aja yang menyeret hati gue."
Mila tidak menghiraukan Nadia yang berkata dengan nada genit. Dia tetap saja menariknya hingga ke depan dan segera mengerjakan pekerjaan seperti biasa–menyapu, mengepel, merapikan barang dagangan, membersihkan debu, dan lain sebagainya–sebelum para pembeli datang.
Di meja kasir sudah ada Aldi, sang kasir, yang sedang menyusun uang saldo awal untuk pagi ini ke dalam laci meja. Setelah selesai dengan aktivitasnya, lelaki berusia 25 tahun itu menghampiri kedua teman kerjanya yang sedang asyik bercanda sambil merapikan pakaian-pakaian yang tergantung.
"Pagi semua ...," Aldi menyapa seraya tersenyum simpul.
"Pagi ... Bang Aldi. Makin manis aja, tuh, senyum. Jadi makin klepek-klepek gue." Nadia membalas sapaan Aldi dengan centil sambil mengedip-ngedipkan mata.
Aldi hanya memasang wajah datar menanggapi kelakuan Nadia.
Sedangkan Mila hanya menjawab lirih dan mengangguk.
"Tumben, ya, belum ada pengunjung? Biasanya udah ada yang beli di jam segini." Aldi memecah keheningan di antara mereka, setelah hampir setengah jam berkutat dalam acara benah-berbenah. Membenahi segala barang yang ada dan juga penampilan diri. Dia melirik arlogi, dimana jarum pendek menunjuk pada angka 9 dan jarum panjang pada angka 12.
"Iya, ya. Padahal, di luar banyak orang lalu lalang dan memandang ke sini, tetapi kenapa tidak ada yang masuk, ya?" Mila pun heran dengan situasi pagi ini. Dia menatap jauh ke luar pintu kaca sambil mengernyit.
"Ini pasti gara-gara lu, deh, Jamil," tuduh Nadia.
"Lah, kok aku? Emang apa hubungannya ma aku?" tanya Mila penasaran.
"Abisnya ... pagi-pagi dah murung aja, kayak orang kagak dapat jatah malam." Nadia mencolek lengan Mila.
"Jatah malam?" Aldi yang tidak mengerti dengan arah pembicaraan Nadia berpikir keras sambil mengetuk-ngetuk dagu, dahinya pun berkerut. Entah, apa yang ada dalam lelaki itu.
"Ish! Apaan, sih, Nad?! Ngaco kamu, ah!" sewot Mila seraya menepuk punggung Nadia pelan.
Nadia yang berhasil menggoda Mila hanya tertawa terbahak-bahak.
"Gaes ... bentar. Aku tengok dulu, ya, ke depan." Aldi berjalan menuju pintu, mencari tahu apa yang terjadi sehingga tidak ada pengunjung yang masuk ke toko mereka.
Beberapa menit kemudian, Aldi kembali masuk sambil tertawa. Dia juga memegangi perut. Hal itu, membuat kedua perempuan tadi saling pandang dengan raut wajah penuh tanya.
"Jelas aja kagak ada pengunjung. Tulisan close yang menggantung di pintu aja belum dibalik." Aldi kembali tertawa.
"Aduch." Mila menepuk dahi. Itu adalah tugasnya, untuk membalik gantungan yang bertuliskan close di satu sisi dan open di sisi baliknya.
Dia benar-benar lupa dengan kewajibannya di pagi hari, sebelum memulai aktivitas bersih-bersih, karena pikiran yang kalut.
"Tuhkan, bener kata gue. Gara-gara lu, sih, Mil Jamil."
"Iya, iya, sorry, ya?" Mila menangkupkan tangan.
"Iya, nggak papa," Aldi menimpali dengan suara hangat, seraya menatap teduh Mila.
"Makanya beban itu jangan dibawa sendiri, bagi-bagi dikit napa?! Setidaknya bisa mengurangi sesak di dada." Nadia menepuk dada.
"Hah ... entahlah, Nad. Aku–" Ucapan Mila terpotong karena suara decitan yang berasal dari pintu yang didorong.
Mereka pun mengakhiri acara bincang-bincang karena mulai sibuk melayani pembeli. Pasalnya, setelah gantungan tadi dibalik mulai banyak pengunjung yang datang ke toko.
Waktu telah bergulir, jam kerja Mila dan kawan-kawan pun berakhir. Kini, mereka sudah ada di ruang istirahat setelah ketiga teman mereka yang lain, yang masuk shift sore, telah stand by di Outlet.
"Mil, sebenarnya ada apa, sih?" tanya Nadia lirih saat mereka bersiap-siap akan pulang. Dari tadi dia mengamati teman karibnya itu sering termenung saat sendirian. "Cerita donk, biar agak berkurang beban yang lagi lu pikul."
Mila menarik napas kemudian menghelanya panjang. "Nanti aja, ya, Nad? Aku mampir ke rumahmu. Nggak enak kalo di sini." Wanita bermata bulat dengan iris mata coklat gelap itu melirik Aldi yang sedang duduk membenahi tali sepatu.
"Siap ... curahin semua, dah, biar lega. Sapa tau gue bisa bantu dikit-dikit," ucap Nadia seraya mengerlingkan mata.
Mila mengeluarkan ponsel dari tas lalu mengabari suaminya melalui w******p.
"Mas, aku pulang agak terlambat. Ada sedikit keperluan dengan Nadia."
Pesan terkirim, tetapi beberapa menit menunggu centang dua abu-abu di handphonenya tidak berubah. Mila menghela napas dan menunduk lesu.
"Tidak dibaca, ya?" tanya Nadia seraya menatap sendu sahabatnya.
Mila hanya mengangguk lemah.
"Udah, nggak papa. Yang penting udah ngabari."
"Bang Aldi ... kita duluan, ya ...." Nadia melambaikan tangan kepada Aldi, taklupa dengan pose genit.
Mila yang geli dengan kelakuan teman karibnya itu lekas menyeretnya.
Aldi hanya tersenyum seraya menatap lekat kepergian mereka.
Sesampainya di rumah, mereka langsung bergegas ke kamar Nadia. Setiap menjelang petang, rumah Nadia tidak berpenghuni karena kedua orang tuanya sudah berangkat berjualan nasi goreng di pinggir jalan yang tempatnya tidak jauh dari komplek perumahan mereka.
Sedangkan, kedua kakak laki-laki Nadia sudah berumah tangga dan tinggal di rumah mereka masing-masing.
"Nah, sekarang lu ceritain semua masalah lu itu. Dijamin aman karena tidak ada yang akan mendengar selain gue."
"Ah, yang benar ...." Mila mencoba menggoda Nadia.
"Tentu saja, kalo ada orang lain selain kita, gue bakal kabur duluan. Dipastikan itu makhluk tak kasatmata." Nadia bergidik ngeri.
Baru juga menutup mulut, mereka dikagetkan oleh suara keras benda jatuh, berasal dari dapur.
.
.
.
To be continue ....
"Tuhkan, Mil." Nadia beranjak sambil mengapit tangan Mila. "Loh, loh, mau ke mana?" tanya Mila seraya bangun dan mengekori Nadia."Nengok dapur, lah." Nadia menjawab tanpa menoleh. Perempuan yang usianya setara dengan Mila, tetapi masih belum punya keinginan untuk menikah karena masih ingin menikmati masa mudanya itu takut dengan hantu. Gadis berkulit kuning langsat yang masih setia dengan kejomloannya itu memiliki pengalaman yang sulit untuk dilupakan dengan dedemit yang suka ketawa, ketika masih duduk di bangku SMA.Ah, iya, satu hal lagi yang unik dari seorang Nadia. Dia betah menjomlo semenjak kenal, pun tertambat hatinya, kepada Kim Taehyung alias V. Gila 'kan?! Ketemu kagak, udah tertambat aja.Sesampainya di dapur, mereka hanya menemukan kucing yang sedang memakan beberapa suwir ikan yang berserakan di lantai. Di dekat binatang itu, teronggok panci kecil bekas wadah suwir ikan."Walah ... ternyata si manis. Bikin deg-degan aja, serasa mau copot, nih, jantung." Nadia berkata s
Setelah puas menangis dan mulai bisa mengendalikan emosinya kembali, Mila meletakkan benda pipih berwarna silver dengan tulisan Oppo di belakangnya ke atas meja makan. Lalu, bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menyiapkan makan malam. Meskipun waktunya makan malam sudah terlambat, dia tetap melakukan rutinitas itu. Mila tidak ingin hal itu menjadi alasan bagi Dandy untuk mengajaknya berdebat dan memarahi dirinya, saat pulang nanti.Satu jam kemudian, masakan telah tersaji di meja makan. Aroma sedap nasi goreng Jawa yang ditemani ayam goreng serta telur mata sapi menggugah cacing dalam perutnya, meronta-ronta meminta jatah.Mila menatap hasil karyanya sambil menelan ludah. Dia sudah tidak tahan ingin memakannya, tetapi rasa bakti pada sang suami menahannya untuk melakukan itu. Mila menahan rasa lapar, lalu menyeret kursi yang ada di bawah meja dan mendaratkan pantatnya di sana. Wanita berhidung bangir itu menunggu sang suami di meja makan. Satu jam berlalu, teta
"Mila, buatkan aku teh dulu!" seru Dandy.Mila pun urung menyalakan kompor dan berjalan menuju alat pemanas air, yang biasa disebut dispenser, lalu membuat teh. Dia letakkan minuman itu di hadapan Dandy, tanpa berkata, dan bergegas kembali ke dapur. Belum juga panas nasi goreng yang ada di atas wajan, Dandy kembali berteriak, "Mila buruan! Dasar lelet!""Bentar, Mas. Ini juga barusan hangat."Beberapa menit kemudian, makanan telah tersaji di depan Dandy. Tanpa menunggu lagi, pria berwajah tirus itu melahap makanan dengan segera seakan belum makan seharian. "Mas, sebenarnya dari mana, sih, sampai kelaparan gitu?" Mila kembali bertanya setelah makanan di piring suaminya tinggal sedikit, heran dengan apa yang dilihatnya."Sudah berkali-kali kubilang, bukan urusanmu," ucapnya di sela-sela makan, "jangan bertanya lagi! Kalau tidak aku lempar makanan ini ke wajahmu!" Dandy mengancam tanpa mengalihkan pandangan dari piring."Tapi, Mas, aku berhak tahu semua yang berhubungan denganmu. Aku i
Dalam deringan yang ke tiga, barulah panggilan Mila tersambung, lekas dia melontarkan suara. "As-Assala-mualaikum, Nad." Mila berkata sambil menahan rasa sakit "Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa, Mila? Kenapa suaramu seperti itu?" "To-Tolong aku, Nad. A-Aku–" Belum selesai berkata Mila jatuh pingsan. *** Aroma obat yang menyengat menyeruak memenuhi seluruh rongga hidung Mila. Matanya mengerjap karena sinar lampu yang menyilaukan. Kemudian, dia menatap sekeliling dan tampak ruangan serba putih. Mila meraba kepala yang terasa pusing, tetapi tangannya tidak bisa bergerak bebas. Dilihatnya ada jarum yang menancap di tangan kanan. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya. Kembali, dia mengedarkan pandangan. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya ada suara dengkuran yang berasal dari sebelahnya. Dia tidak tahu itu siapa karena terhalang gorden yang memisahkan. "Pasti pasien lain," terkanya dalam hati. Mila meraba perut yang masih menyisakan rasa sakit. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa peru
"Nadia?" Mila menggoyang pelan lengan sahabatnya. "Eh, I-iya, iya. Ntar kalo pas jam kunjungan dokter, gue akan pinta pulang paksa. Tapi, lu yakin udah kuat?" Nadia kembali memastikan keadaan Mila. Wanita berlesung pipit itu tersenyum sambil mengangguk. "Insyaallah, aku dah kuat. Yang penting secepatnya aku harus pulang, Nad."Pasalnya, seharian itu Nadia menunggui Mila seorang diri. Dia sudah meminta izin kepada sang bos untuk tidak masuk kerja dan memberitahukan semua yang terjadi pada Mila, di saat Mila sedang dalam perawatan.Sore itu, tepatnya jam setengah empat, Mila pun dibolehkan pulang oleh dokter setelah diperiksa dan dipastikan semua baik. Tadinya, sang dokter menyuruhnya untuk menunggu satu hari lagi agar dapat dipastikan bahwa keadaan pasiennya itu benar-benar sudah baik dan sehat. Dengan sedikit paksaan, akhirnya perempuan berkalung stetoskop itu mengizinkan. "Baiklah, Bu. Anda boleh pulang hari ini. Tapi dengan catatan, apabila ada apa-apa dengan pasien pihak rumah s
"Milaaa!" Dandy memasuki rumah sambil berteriak dengan berang. Mila mencoba bangun dengan segera, tetapi tidak bisa karena badannya belum pulih benar. Baru saja wanita itu menapak lantai, Dandy sudah berada di ambang pintu dengan napas tersengal dan wajah merah padam.Pria yang dipenuhi rasa emosi itu mendekat lalu mencengkeram lengan istrinya. "Dasar wanita sialan! Gara-gara kamu aku jadi kalah seharian ini! Uangku habis tak tersisa dan semua itu karena panggilan sialan darimu dan juga temanmu! Kalau saja kamu tidak menghubungiku pasti sekarang uangku telah menjadi berlipat ganda!" murka Dandy."Mas ... sakit ...," desis Mila, "lepasin ...," mohonnya kemudian.Pria berjaket kulit hitam itu tak menghiraukan permintaan Mila. Dia semakin mempererat cengkraman. Mila merintih lalu menangis dan memegangi perut yang terasa kram akibat menahan sakit."Dengar, ya! Mulai detik ini jangan pernah menghubungiku apa pun yang terjadi!" Dihempaskannya tangan sang istri hingga Mila terhuyung ke bela
"Makasih, ya, Mas, udah mau nganterin Mila." Mila melepas helm dan memberikannya pada lelaki yang masih menatap takjub bangunan mewah itu. "Mas! Kok diem." Mila menepuk bahu Dandy."Eh, iya, maaf maaf," ucapnya seraya menerima helm yang diulurkan Mila. Benda itu diletakkan di depannya. "Gue balik, ya? Udah malam, nggak enak dilihat satpam," pamitnya. Mila mengangguk dan tersenyum manis. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas," ucapnya kemudian."No problem. Senang bisa mengantar gadis secantik lu."Mila tersenyum sipu mendengar ucapan Dandy.Lelaki bersuara berat itu memutar kunci motor dan menstater motornya, lalu menginjak persneling.Motor sport itupun melaju cepat meninggalkan Mila, yang tersenyum-senyum sendirian seraya menatap kepergian Dandy. Bunga-bunga asmara tampak bermekaran dalam hatinya. Gadis manis berlesung pipit itu sedang dilanda cinta pada pandangan pertama."Aduh." Mila menepuk dahi ketika teringat bahwa dirinya belum berkenalan dengan lelaki itu. "Kok bisa nggak i
Ketika lelaki beralis tebal itu menoleh ke belakang, dia melihat gadis yang ditunggunya berjalan mendekat, kemudian menyapa dan meminta maaf kepada Dandy karena sudah membuatnya menunggu."Maaf banget, ya, kamu jadi bosan gara-gara menungguku?" Mila kembali minta maaf setelah menurunkan Kelvin dari gendongan dan bocah tampan itu berlari ke kolam pasir. Itu adalah tempat favorit Kelvin."Sudah gue bilang nggak papa, Mila cantik. Itu sih, belum apa-apa. Gue rela kok nglakuin apa aja demi gadis cantik seperti lu. Apalagi ...." Dandy menjeda perkataannya. Dia meraih tangan Mila dan gadis itu langsung menoleh karena kaget. Lelaki berbibir tipis itu menatap lekat kedua mata Mila.Badan Mila bergetar mendapat perlakuan mendadak itu. Jantung gadis itu berdegup kencang, wajahnya mulai memanas, dan pipi pun memerah. Dia salah tingkah ditatap sendu oleh Dandy, lalu tertunduk memandang tangan yang ada dalam genggaman. "Apalagi ... apa?" tanyanya lirih."Apalagi buat orang yang gue cintai," ucap D
Mila yang tadi sempat terduduk diam, segera beranjak mendekati Aldi dan menyeret lelaki itu, keluar rumah.Aldi yang bingung dengan tindakan tiba-tiba itu, hanya pasrah mengikuti Mila, dengan tubuh condong ke depan akibat seretan yang cukup bertenaga.Nampaknya, Mila menggunakan seluruh tenaga guna menyeret dan mengajak tubuh tinggi jangkung itu untuk keluar. Dia ingin bicara serius, empat mata, dengan Aldi tanpa ada gangguan dari pihak lain."Apa-apaan maksud Mas Aldi ini? Dia pikir aku wanita apaan?" Mila bermonolog selama berjalan menuju pelataran, sambil sesekali mengembuskan napas dengan kasar, mencoba meluapkan segala rasa yang membuncah di hati.Mila melepas kasar lengan Aldi, sesampainya di sudut pelataran, samping rumah, dekat dengan kebun kosong milik tetangga. Tempat sepi yang tepat untuk berbicara tanpa ada gangguan. "Apa maksud, Mas? Mengapa, Mas, tiba-tiba datang dan melamar Mila?" tanyanya menggebu dengan menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya.Aldi menatap teduh w
Sang pemilik suara hanya tersenyum simpul, menyaksikan ekspresi wanita yang mematung di ambang pintu itu. "Ma-Mas Aldi ...." Mila mengucek mata. Dia masih tidak percaya dengan penglihatannya. "Benarkah ... ini Mas Aldi?"Mila melangkah perlahan, sangat perlahan, menuju ke tempat Aldi seraya menatap lurus lelaki itu. Matanya enggan berkedip. Dia masih merasa ini adalah sebuah mimpi.Aldi berdiri. "Iya, ini aku," ucapnya seraya tersenyum samar."Ini bukan mimpi 'kan? Bukan ilusi juga 'kan?" tanya Mila lirih.Wanita itu masih melangkah tanpa melihat sekelilingnya, hingga akhirnya pekikan keras keluar dari bibir merahnya yang ranum, ketika kakinya terantuk kaki meja. Mila mengangkat sebelah kaki yang terasa sakit seraya merintih dan mendesis."Mil, kamu baik-baik saja?" tanya Aldi seraya mendekati Mila. Lelaki itu memegang tangan dan bahu Mila, lalu membimbingnya duduk ke sofa."Makanya, jalan itu lihat-lihat! Jangan main nyelonong aja!" seru Ikin yang berjalan masuk rumah lalu meletakka
Keesokan harinya, Mila meminta izin kepada pemilik toko kelontong untuk bekerja agak siang. Wanita itu akan meminta surat pengantar terlebih dahulu ke balai desa untuk pengajuan gugatan cerainya sebelum memulai pekerjaan. "Jangan terlalu lama, ya, Mil? Takutnya yang lain kewalahan karena toko lagi rame-ramenya.""Iya, Mbak. Secepatnya Mila akan segera kembali, setelah urusan Mila selesai." Mila menangkupkan tangan di depan dada. "Mila mohon doanya, ya, Mbak, supaya semuanya berjalan lancar dan diberi kemudahan.""Tentu saja, Mila. Doa terbaik Embak terlantun untukmu." Si pemilik toko berkata tulus karena sedikit tahu dengan permasalahan yang menimpa Mila, saat Mila meminta izin."Terima kasih banyak, Mbak, atas kemakhlumannya." Mila berkata dengan perasaan tidak enak. Dia pun segera beranjak keluar setelah si pemilik toko mengangguk..Sementara, di tempat lain, Ikin sedang berbicara serius dengan temannya yang bekerja di pengadilan."Kamu yakin semua ini tidak akan sulit dan dapat se
Sejak saat itu Ikin sudah tidak pernah tidur di bengkel lagi. Hubungannya dengan Mila pun mulai membaik karena wanita itu tidak pernah menyerah untuk meminta maaf, sehingga terjalin komunikasi yang cukup sering di antara keduanya. Hati Ikin lambat laun menjadi terenyuh dan melunak karena kegigihan Mila.Meskipun lelaki itu masih suka marah dan menghardik, tetapi Mila tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Dia tetap melayani kakaknya dan menyiapkan semua kebutuhan sang kakak layaknya seperti dulu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."Pokoknya, aku tidak boleh menyerah sebelum Bang Ikin memberi maaf padaku. Aku harus lebih bersabar lagi. Aku tahu jika saat ini Bang Ikin telah memberi maaf padaku, hanya saja belum mampu mengungkapkan secara langsung. Sabar Mila, Bang Ikin sayang banget, kok, sama kamu." Mila terus saja memotivasi diri di saat mendapat perlakuan keras Ikin. Dia tidak pernah merasa lelah tatkala menjalankan semua aktivitasnya--bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah, mem
Mila mendongak. "Mbak Zaenab ....""Ada yang mau mbak omongin. Kita ke ruang tamu, yuk?" Zaenab beranjak keluar kamar setelah berkata, lalu diikuti Mila dari belakang.Selama Ikin jarang pulang, Zaenab dan keluarga kecilnya kerap menginap di sana. Jarak rumah Zaenab dan ibunya tidak terlalu jauh, hanya berbeda RT saja. Akan tetapi, Zaenab tidak tega bila membiarkan Mak Inah yang masih belum sembuh benar hanya ditemani Mila. Untung saja, sang suami pengertian dan menuruti keinginan Zaenab tanpa banyak kata."Mil, ini ... temen mbak ada yang nawarin kerjaan. Lumayanlah buat hiburan, biar kamu nggak sedih dan melamun terus. Soal Ikin ... mbak akan bantu terus biar dia mau maafin kamu."Selama ini mbak sudah sering membujuk dia dan mencoba membuka pikirannya. Mungkin abangmu masih butuh waktu lagi. Setidaknya, dia sudah sering pulang," ujar Zaenab, setelah mereka duduk bersampingan di sofa."Kebetulan sekali, Mbak. Barusan Mila kepikiran untuk nyari kerjaan. Kerjaannya apa, Mbak?" tanya M
Malam itu, suami Zaenab dan anak sulungnya sedang asik menonton televisi. Sedangkan Nadia asik mengobrol dengan Zaenab yang sedang memangku anaknya sambil menepuk-nepuk bokong sang anak dengan pelan, berharap balita berusia kurang dari dua tahun itu lekas tidur. Nadia menceritakan semua yang dia ketahui tentang Mila saat sahabatnya berada di Jakarta, sebelum dan setelah menikah, dengan gamblang.Sedangkan Mila menemani ibunya di kamar. Dia juga menyuapi sang ibu, dengan bubur buatannya, saat makan malam. Namun, dia sendiri tidak makan, hanya menghabiskan beberapa suap sisa bubur Mak Inah, demi menyenangkan hati ibunya. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk makan karena memikirkan semua masalah yang timbul akibat ulahnya."Ibu lekas tidur. Mila akan menaruh mangkok dulu di dapur."Mak Inah menahan Mila yang hendak beranjak. "Mangkoknya taruh di meja saja, Nduk. Sini, kamu tidur bareng Emak sekarang."Mila mengangguk, tidak berniat menolak. Dia meletakkan mangkok lalu beranjak tidur di s
Sesampainya dalam kamar, Ikin segera menidurkan Mak Inah di atas kasur. Kemudian, dia duduk di pinggir ranjang, di samping ibunya. Lelaki itu memegang dan mengelus tangan wanita kesayangannya. Zaenab bergegas ke meja makan untuk mengambil air putih lalu membawanya ke kamar Mak Inah. Dia memberikan gelas berisi air minum itu kepada Ikin. Ikin segera meminumkannya kepada sang ibu. Gelas tersebut dia letakkan di meja kecil yang ada di samping ranjang, setelah Mak Inah meneguk sedikit air dalam gelas.Mila hanya menatap sang ibu dari ambang pintu. Air matanya meleleh tiada henti sedari tadi. Dia tidak sanggup berkata-kata. Lidahnya seakan kelu karena melihat keadaan Mak Inah, dan semua itu akibat ulahnya.Dalam hati, Mila ingin sekali mendekati dan merengkuh wanita yang melahirkannya itu, tetapi melihat amarah kakak laki-lakinya dia urung dan menahan keinginan dalam-dalam."Mil-Mila ...." Mak Inah merintih memanggil nama anak bungsunya sambil terpejam.Mila hendak melangkah mendekati ib
Mak Inah yang sedang merebah dalam kamar, segera beranjak bangun. Meski tubuhnya lemas, wanita paruh baya itu tetap berusaha bangkit dari tidurnya karena mendengar ada kegaduhan dari luar rumah. Dia berjalan ke luar rumah sambil merambat di tembok. Tubuh ringkih itu tak sanggup berdiri sendiri.Sesampainya di ambang pintu, mata Mak Inah membeliak mendapati anak bungsunya ada di sana."Milaaa ... anakku ....," ucapnya lirih, "benarkah itu kamu, Nak?" Air mata Mak Inah pun meleleh tanpa permisi.Rasa rindu yang selama ini terbendung akhirnya meluap hanya dengan melihat sekilas anaknya yang sudah lama tidak pulang. Matanya tak bisa melihat dengan jelas karena air mata yang terjun dengan deras, menggenangi pelupuk mata, dan juga tubuh Mila terhalang oleh anak laki-lakinya itu."Mila," gumam Mak Inah sambil melangkah maju. Dia lupa tidak berpegangan hingga terjatuh, tersungkur.Zaenab yang berjalan dari arah dalam langsung menjerit keras sambil berlari menghampiri Mak Inah. Wanita itu baru
Sebelum menjelaskan apa yang sedang terjadi, Aldi terlebih dahulu meminta maaf karena telah lancang dan tidak meminta izin sebelumnya. Lelaki berhidung mancung itu menjelaskan perihal rencananya, bahwa dia ingin mengadakan syukuran atas selesainya kasus Mila, bersamaan dengan syukuran kesembuhan kakak sulung Nadia."Oooh, jadi ini rencana Bang Aldi." Nadia berbisik pada Mila. "Bang Aldi ternyata sangat keren. Rugi kalo lu sampe anggurin dia, Mil," goda Nadia, masih tetap berbisik.Mila menyenggol lengan Nadia. "Kamu ngomong apaan, sih, Nad? Bener kata Mas Aldi, makin lama kamu makin ngaco," ucapnya lirih.Nadi hanya terkikik melihat wajah sahabat karibnya tersipu."Sekali lagi, saya minta maaf karena telah lancang. Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin acaranya lebih meriah, dan supaya bisa didoakan juga oleh banyak orang. Maka dari itu, saya mengundang anak yatim dan orang-orang yang berjasa pada Mila. Saya berharap semua keluarga yang berkumpul berkenan, terutama sang tuan rumah