Setelah puas menangis dan mulai bisa mengendalikan emosinya kembali, Mila meletakkan benda pipih berwarna silver dengan tulisan Oppo di belakangnya ke atas meja makan. Lalu, bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menyiapkan makan malam. Meskipun waktunya makan malam sudah terlambat, dia tetap melakukan rutinitas itu. Mila tidak ingin hal itu menjadi alasan bagi Dandy untuk mengajaknya berdebat dan memarahi dirinya, saat pulang nanti.
Satu jam kemudian, masakan telah tersaji di meja makan. Aroma sedap nasi goreng Jawa yang ditemani ayam goreng serta telur mata sapi menggugah cacing dalam perutnya, meronta-ronta meminta jatah.
Mila menatap hasil karyanya sambil menelan ludah. Dia sudah tidak tahan ingin memakannya, tetapi rasa bakti pada sang suami menahannya untuk melakukan itu. Mila menahan rasa lapar, lalu menyeret kursi yang ada di bawah meja dan mendaratkan pantatnya di sana. Wanita berhidung bangir itu menunggu sang suami di meja makan.
Satu jam berlalu, tetapi pria itu tidak kunjung datang juga. Kembali dihubunginya nomer sang suami. Namun, tetap saja tidak diangkat, bahkan direject. Kini, rasa laparnya berubah menjadi rasa kantuk dan kesal. Mila meletakkan ponsel kembali dan masih mencoba menunggu belahan hatinya, dengan menelungkupkan kepala di atas meja hingga tertidur.
Not sure if you know this
But when we firsth met
Suara merdu Shane Filan, yang dijadikan sebagai nada dering panggilan, membangunkannya dari tidur. Mila tergagap lalu bergegas meraih ponsel yang ada di depannya. Terpampang tulisan Mama Mertua di layar.
"Assalamualaikum, Ma," ucapnya setelah menekan tombol hijau di layar ponsel.
"Waalaikumsalam. Dandy mana, Mil?" tanya sang Mama tanpa basa basi.
"Mas Dandy? Mila tidak tahu, Ma. Mila dari tadi juga menunggu Mas Dandy pulang. Mas Dandy tidak ada di rumah saat Mila pulang kerja. Bukannya Mas Dandy ada di sana, Ma?" Mila menutup mulut dengan telapak tangan saat teringat jika suaminya tidak ada di rumah Mama mertua. "Kalau ada di sana mana mungkin Mama menanyakannya," batinnya.
"Kalau Dandy bersama Mama, ngapain Mama nelpon kamu dan menanyakannya?! Dasar lemot!" cerca Angel.
Mila yang kaget dengan respon sang mertua terdiam. Dia kaget dengan ucapan kasar Angel.
"Ya udah, kalau gitu. Dasar cewek nggak berguna." Sambungan pun terputus tanpa ucapan salam.
Mila termangu dengan apa yang barusan terjadi. Dia kembali tersentak dengan perubahan drastis sikap mertuanya itu.
Tertunduk lesu, Mila melangkah meninggalkan meja makan menuju ruang depan untuk mengunci pintu lalu mengayunkan langkah dengan malas ke kamar, bersiap tidur. Selera makannya telah lenyap meskipun rasa lapar masih mendera perut. Ditariknya selimut menutupi setengah badan lalu menutup mata, mencoba melupakan perasaan gelisahnya dengan tidur. Namun, semakin mata terpejam bayang buruk tentang keadaan suaminya saat ini semakin tergambar jelas melintas di pelupuk matanya.
"Benarkah apa yang dikatakan Nadia bahwa ada orang ke tiga di antara kami? Apa jangan-jangan sekarang Mas Dandy sedang bersama selingkuhannya dan bersenang-senang? Atauuu ...."
Tak mampu lagi Mila memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada suaminya sekarang. Hanya hal-hal buruk saja yang melintas dalam benak, membuatnya semakin tidak bisa tidur.
Dilihatnya jam berbentuk hati di atas meja rias. "Sudah tengah malam. Mas Dandy ... di mana kamu, Mas." Kembali, cairan bening itu mengalir tanpa komando.
Lalu, dia bangkit dari posisi tidur dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Memutar otak untuk menyusun rencana yang telah diberikan oleh sang teman.
Mila berencana membuka saldo rekening besok, saat jam istirahat kerja. Selama ini dia belum pernah punya rekening bank karena menurutnya dirinya tidak memerlukan hal itu. Selain itu, bosnya yang sekarang juga masih memberikan gaji para karyawannya secara langsung dalam amplop coklat. Gaji yang dia terima ketika masih bekerja sebagai baby sitter, sebelum dia menikah, selalu dititipkan pada sang majikan.
Hal itu dikarenakan, Mak Ijah–ibunya–yang menyarankannya supaya gaji Mila utuh dan bisa terkumpul. Mak Ijah tidak pernah berharap dan tidak mau menerima pemberian sang anak. Dia merasa Mila lebih membutuhkan untuk masa depannya, dan Mak Ijah juga masih sanggup mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dari berdagang nasi pecel.
Mila juga akan mencari cara untuk mengetahui penyebab perubahan Dandy. Dia sebenarnya masih tidak tahu pasti apa yang pertama kali harus dilakukannya untuk mengetahui hal yang menjadi sebab utama sang suami menjadi kasar dan temperamental. Pasalnya, Mila selama ini tidak mengenal satu pun teman Dandy. Mila hanya mengetahui sedikit sekali tentang suaminya itu.
Mila memukul-muluk pelan kepala. "Aduh ... kenapa selama ini aku begitu bodoh, takacuh dengan semua hal mengenai Mas Dandy. Aku ini benar-benar istri yang tidak perhatian."
Cinta telah membutakan dan melumpuhkan logika Mila, yang ada pikirannya saat itu hanyalah kebahagiaan dan kemudahan hidup yang akan diraihnya bila menikah dengan Dandy. Pria tampan yang kaya dan mapan dalam pekerjaan. Dirinya tidak peduli sama sekali dengan bibit, beber, bobot, maupun semua yang berkaitan dengan suaminya.
"Haruskah aku bermain detektif-detektifan, seperti yang ada di film-film? Ya Allah, kenapa semua ini harus menimpaku?"
Di kala dia sedang termenung memikirkan tindakan apa yang akan ditempuhnya pertama kali, tiba-tiba suara ketukan keras mengagetkannya dan membuyarkan semua angan di kepala. Namun hanya sesaat, wanita itu belum menyadari jika suara ketukan itu berasal dari pintu utama. Kembali, dia terlarut dalam pikirannya yang kalut.
"Dasar cewek be*o! Buka pintunya!" seru seseorang seraya menggedor-gedor pintu dengan keras.
Mila terkesiap dan bergegas keluar untuk membuka pintu. Dia tahu persis suara itu adalah suaminya. "Bentar, Mas!" serunya sambil berlari.
Tampaklah Dandy dengan wajah merah padam dan tangan terkepal setelah pintu terbuka.
"Lama banget! Dasar cewek lelet! Kenapa nggak kamu tinggalin kunci cadangan di bawah keset?! Dasar dun*u!"
"Maaf, Mas ...," ucapnya lesu.
"Maaf, maaf, sana minggir!"
Dandy mendorong bahu Mila hingga terhuyung ke belakang.
"Aduh!" Mila meringis merasakan sakit di kaki akibat membentur kaki sofa. Kemudian, dia berusaha berdiri tegak. "Maaf, Mas, aku lupa karena terlalu lama menunggu Mas pulang. Mas dari mana, sih?" tanyanya seraya memegang tangan Dandy.
Dandi mengibaskan tangan Mila. "Minggir sana." Dia mendorong lengan istrinya dan berlalu masuk tanpa menghiraukan pertanyaan sang istri.
"Kamu itu kenapa, sih, Mas? Udah pulang larut malam, marah-marah lagi."
"Bukan urusanmu!" hardik Dandy.
"Tentu saja itu urusanku, Mas, karena aku istrimu!" seru Mila seraya menyusul sang suami, "jawab pertanyaanku, Mas!"
"Udah, jangan banyak bicara! Cepat siapkan makanan, aku lapar!" Dandy menarik kursi di bawah meja makan lalu mendudukinya.
Bukannya bergegas menghangatkan makanan, Mila malah berdiri di samping Dandy dan mencecarnya. "Mas! Jawab dulu pertanyaanku Kamu itu dari mana pulang selarut ini? Trus kenapa juga marah-marah tanpa sebab? Ada apa, sih, Mas?"
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu." Dandy berkata tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke arah tudung saji.
"Jelas itu urusanku, Mas. Aku istrimu! Kamu tidak lupa itukan?!" Mila menggoyang bahu Dandy.
Dandy mencengkram tangan Mila lalu mendongak. Mata sipitnya mengkilat dan menatap lekat sang istri. "Dengar, ya!? Sebelum kesabaranku hilang dan selera makanku lenyap, segera kamu siapkan makanan! Tanpa kata!" perintahnya. Dandy menghentakkan tangan Mila.
Tak ingin berdebat lagi dan membuat suaminya lebih marah, Mila bergegas menuju dapur dengan membawa makanan yang ada di bawah tudung saji untuk dihangatkan.
"Sabar Mila, sabar. Kamu harus hadapi kenyataan yang telah kamu pilih. Tuhan pasti memiliki rencana di balik semua ini," batin Mila menghibur diri.
Ingin rasanya dia melawan, tetapi rasa cintanya masih mampu mengalahkan logika warasnya, sehingga dia tidak ingin bertindak gegabah dengan mengorbankan ikatan sucinya.
.
.
.
To be continue ....
"Mila, buatkan aku teh dulu!" seru Dandy.Mila pun urung menyalakan kompor dan berjalan menuju alat pemanas air, yang biasa disebut dispenser, lalu membuat teh. Dia letakkan minuman itu di hadapan Dandy, tanpa berkata, dan bergegas kembali ke dapur. Belum juga panas nasi goreng yang ada di atas wajan, Dandy kembali berteriak, "Mila buruan! Dasar lelet!""Bentar, Mas. Ini juga barusan hangat."Beberapa menit kemudian, makanan telah tersaji di depan Dandy. Tanpa menunggu lagi, pria berwajah tirus itu melahap makanan dengan segera seakan belum makan seharian. "Mas, sebenarnya dari mana, sih, sampai kelaparan gitu?" Mila kembali bertanya setelah makanan di piring suaminya tinggal sedikit, heran dengan apa yang dilihatnya."Sudah berkali-kali kubilang, bukan urusanmu," ucapnya di sela-sela makan, "jangan bertanya lagi! Kalau tidak aku lempar makanan ini ke wajahmu!" Dandy mengancam tanpa mengalihkan pandangan dari piring."Tapi, Mas, aku berhak tahu semua yang berhubungan denganmu. Aku i
Dalam deringan yang ke tiga, barulah panggilan Mila tersambung, lekas dia melontarkan suara. "As-Assala-mualaikum, Nad." Mila berkata sambil menahan rasa sakit "Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa, Mila? Kenapa suaramu seperti itu?" "To-Tolong aku, Nad. A-Aku–" Belum selesai berkata Mila jatuh pingsan. *** Aroma obat yang menyengat menyeruak memenuhi seluruh rongga hidung Mila. Matanya mengerjap karena sinar lampu yang menyilaukan. Kemudian, dia menatap sekeliling dan tampak ruangan serba putih. Mila meraba kepala yang terasa pusing, tetapi tangannya tidak bisa bergerak bebas. Dilihatnya ada jarum yang menancap di tangan kanan. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya. Kembali, dia mengedarkan pandangan. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya ada suara dengkuran yang berasal dari sebelahnya. Dia tidak tahu itu siapa karena terhalang gorden yang memisahkan. "Pasti pasien lain," terkanya dalam hati. Mila meraba perut yang masih menyisakan rasa sakit. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa peru
"Nadia?" Mila menggoyang pelan lengan sahabatnya. "Eh, I-iya, iya. Ntar kalo pas jam kunjungan dokter, gue akan pinta pulang paksa. Tapi, lu yakin udah kuat?" Nadia kembali memastikan keadaan Mila. Wanita berlesung pipit itu tersenyum sambil mengangguk. "Insyaallah, aku dah kuat. Yang penting secepatnya aku harus pulang, Nad."Pasalnya, seharian itu Nadia menunggui Mila seorang diri. Dia sudah meminta izin kepada sang bos untuk tidak masuk kerja dan memberitahukan semua yang terjadi pada Mila, di saat Mila sedang dalam perawatan.Sore itu, tepatnya jam setengah empat, Mila pun dibolehkan pulang oleh dokter setelah diperiksa dan dipastikan semua baik. Tadinya, sang dokter menyuruhnya untuk menunggu satu hari lagi agar dapat dipastikan bahwa keadaan pasiennya itu benar-benar sudah baik dan sehat. Dengan sedikit paksaan, akhirnya perempuan berkalung stetoskop itu mengizinkan. "Baiklah, Bu. Anda boleh pulang hari ini. Tapi dengan catatan, apabila ada apa-apa dengan pasien pihak rumah s
"Milaaa!" Dandy memasuki rumah sambil berteriak dengan berang. Mila mencoba bangun dengan segera, tetapi tidak bisa karena badannya belum pulih benar. Baru saja wanita itu menapak lantai, Dandy sudah berada di ambang pintu dengan napas tersengal dan wajah merah padam.Pria yang dipenuhi rasa emosi itu mendekat lalu mencengkeram lengan istrinya. "Dasar wanita sialan! Gara-gara kamu aku jadi kalah seharian ini! Uangku habis tak tersisa dan semua itu karena panggilan sialan darimu dan juga temanmu! Kalau saja kamu tidak menghubungiku pasti sekarang uangku telah menjadi berlipat ganda!" murka Dandy."Mas ... sakit ...," desis Mila, "lepasin ...," mohonnya kemudian.Pria berjaket kulit hitam itu tak menghiraukan permintaan Mila. Dia semakin mempererat cengkraman. Mila merintih lalu menangis dan memegangi perut yang terasa kram akibat menahan sakit."Dengar, ya! Mulai detik ini jangan pernah menghubungiku apa pun yang terjadi!" Dihempaskannya tangan sang istri hingga Mila terhuyung ke bela
"Makasih, ya, Mas, udah mau nganterin Mila." Mila melepas helm dan memberikannya pada lelaki yang masih menatap takjub bangunan mewah itu. "Mas! Kok diem." Mila menepuk bahu Dandy."Eh, iya, maaf maaf," ucapnya seraya menerima helm yang diulurkan Mila. Benda itu diletakkan di depannya. "Gue balik, ya? Udah malam, nggak enak dilihat satpam," pamitnya. Mila mengangguk dan tersenyum manis. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas," ucapnya kemudian."No problem. Senang bisa mengantar gadis secantik lu."Mila tersenyum sipu mendengar ucapan Dandy.Lelaki bersuara berat itu memutar kunci motor dan menstater motornya, lalu menginjak persneling.Motor sport itupun melaju cepat meninggalkan Mila, yang tersenyum-senyum sendirian seraya menatap kepergian Dandy. Bunga-bunga asmara tampak bermekaran dalam hatinya. Gadis manis berlesung pipit itu sedang dilanda cinta pada pandangan pertama."Aduh." Mila menepuk dahi ketika teringat bahwa dirinya belum berkenalan dengan lelaki itu. "Kok bisa nggak i
Ketika lelaki beralis tebal itu menoleh ke belakang, dia melihat gadis yang ditunggunya berjalan mendekat, kemudian menyapa dan meminta maaf kepada Dandy karena sudah membuatnya menunggu."Maaf banget, ya, kamu jadi bosan gara-gara menungguku?" Mila kembali minta maaf setelah menurunkan Kelvin dari gendongan dan bocah tampan itu berlari ke kolam pasir. Itu adalah tempat favorit Kelvin."Sudah gue bilang nggak papa, Mila cantik. Itu sih, belum apa-apa. Gue rela kok nglakuin apa aja demi gadis cantik seperti lu. Apalagi ...." Dandy menjeda perkataannya. Dia meraih tangan Mila dan gadis itu langsung menoleh karena kaget. Lelaki berbibir tipis itu menatap lekat kedua mata Mila.Badan Mila bergetar mendapat perlakuan mendadak itu. Jantung gadis itu berdegup kencang, wajahnya mulai memanas, dan pipi pun memerah. Dia salah tingkah ditatap sendu oleh Dandy, lalu tertunduk memandang tangan yang ada dalam genggaman. "Apalagi ... apa?" tanyanya lirih."Apalagi buat orang yang gue cintai," ucap D
"Apa yang ada di pikiran kamu, Mila Sayaaank? Sampai kaget begitu. Jangan mikir aneh-aneh, deh. Mas cuman mau ciuman lebih dari itu dan lebih mesra lagi, biar berasa. Kalo gitu doank nggak berasa, Mila Cantik ...." Dandy tersenyum simpul."Oh ... trus seperti apa yang Mas mau?" "Harusnya gini dong." Dandy mencium layar ponsel berkali-kali, hingga basah, sambil mengeluarkan kata emuah, emuah, emuah. "Haruskah?" tanya Mila dengan tersipu. Dia geli sendiri membayangkan hal itu. "Harus dong, Mila Sayang. Biar mas bahagia." Dandy mengerling. Mila pun pasrah dan mengikuti kemauan sang kekasih, sesuai arahan. Padahal, dalam hati dia juga senang melakukan itu."Nah, gitu dong. Ini baru pacar Dandy. Kalau gini 'kan aku makin cinta ma Mila Sayang.""Idih, gombal.""Serius, Mila Sayang. Baru kali ini merasa seperti ini. Sebelumnya tidak pernah aku merasakan hal seperti dengan perempuan lain. Kamulah yang pertama dan satu-satunya. I love you so much, Honey. Muuuah."Mendapat pernyataan itu, M
Dandy mengangguk. "Iya." Dia nyengir kuda."Ya, Allah ... itu 'kan nggak baik. Dosa, Mas, nggak berkah.""Yaaa, mau gimana lagi, itu jalan satu-satunya. Tanpa itu kita nggak bisa masuk kerja di sana tanpa hambatan, apalagi hanya dengan ijazah SMA. Jelas nggak mungkinlah meski kita ajuin lamaran lewat orang penting." Dandy berkata sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.Gadis berhidung bangir itu menghela napas. "Harus, ya, Mas?" Mila masih tidak begitu yakin dengan apa yang didengar."Ya harus, Mila. Wajib. Tanpa itu ya ... nggak bisa.""Kalo gitu, nggak usah aja deh, Mas. Mending–" Dandy menyergah, tak ingin melepaskan kesempatan. "Jangan gitu, Mila. Ini kesempatan langka dan kesempatan emas buat kita. Momen seperti ini jarang sekali ada. Kapan lagi kamu bisa dapat pekerjaan enak dan kita bisa bebas berduaan, jalan-jalan di mana aja. Ayolah, Mila sayang."Mila meremas tangan, hatinya resah memikirkan pilihan yang tepat. Sebenarnya, dia enggan berhubungan dengan hal semacam itu, t
Mila yang tadi sempat terduduk diam, segera beranjak mendekati Aldi dan menyeret lelaki itu, keluar rumah.Aldi yang bingung dengan tindakan tiba-tiba itu, hanya pasrah mengikuti Mila, dengan tubuh condong ke depan akibat seretan yang cukup bertenaga.Nampaknya, Mila menggunakan seluruh tenaga guna menyeret dan mengajak tubuh tinggi jangkung itu untuk keluar. Dia ingin bicara serius, empat mata, dengan Aldi tanpa ada gangguan dari pihak lain."Apa-apaan maksud Mas Aldi ini? Dia pikir aku wanita apaan?" Mila bermonolog selama berjalan menuju pelataran, sambil sesekali mengembuskan napas dengan kasar, mencoba meluapkan segala rasa yang membuncah di hati.Mila melepas kasar lengan Aldi, sesampainya di sudut pelataran, samping rumah, dekat dengan kebun kosong milik tetangga. Tempat sepi yang tepat untuk berbicara tanpa ada gangguan. "Apa maksud, Mas? Mengapa, Mas, tiba-tiba datang dan melamar Mila?" tanyanya menggebu dengan menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya.Aldi menatap teduh w
Sang pemilik suara hanya tersenyum simpul, menyaksikan ekspresi wanita yang mematung di ambang pintu itu. "Ma-Mas Aldi ...." Mila mengucek mata. Dia masih tidak percaya dengan penglihatannya. "Benarkah ... ini Mas Aldi?"Mila melangkah perlahan, sangat perlahan, menuju ke tempat Aldi seraya menatap lurus lelaki itu. Matanya enggan berkedip. Dia masih merasa ini adalah sebuah mimpi.Aldi berdiri. "Iya, ini aku," ucapnya seraya tersenyum samar."Ini bukan mimpi 'kan? Bukan ilusi juga 'kan?" tanya Mila lirih.Wanita itu masih melangkah tanpa melihat sekelilingnya, hingga akhirnya pekikan keras keluar dari bibir merahnya yang ranum, ketika kakinya terantuk kaki meja. Mila mengangkat sebelah kaki yang terasa sakit seraya merintih dan mendesis."Mil, kamu baik-baik saja?" tanya Aldi seraya mendekati Mila. Lelaki itu memegang tangan dan bahu Mila, lalu membimbingnya duduk ke sofa."Makanya, jalan itu lihat-lihat! Jangan main nyelonong aja!" seru Ikin yang berjalan masuk rumah lalu meletakka
Keesokan harinya, Mila meminta izin kepada pemilik toko kelontong untuk bekerja agak siang. Wanita itu akan meminta surat pengantar terlebih dahulu ke balai desa untuk pengajuan gugatan cerainya sebelum memulai pekerjaan. "Jangan terlalu lama, ya, Mil? Takutnya yang lain kewalahan karena toko lagi rame-ramenya.""Iya, Mbak. Secepatnya Mila akan segera kembali, setelah urusan Mila selesai." Mila menangkupkan tangan di depan dada. "Mila mohon doanya, ya, Mbak, supaya semuanya berjalan lancar dan diberi kemudahan.""Tentu saja, Mila. Doa terbaik Embak terlantun untukmu." Si pemilik toko berkata tulus karena sedikit tahu dengan permasalahan yang menimpa Mila, saat Mila meminta izin."Terima kasih banyak, Mbak, atas kemakhlumannya." Mila berkata dengan perasaan tidak enak. Dia pun segera beranjak keluar setelah si pemilik toko mengangguk..Sementara, di tempat lain, Ikin sedang berbicara serius dengan temannya yang bekerja di pengadilan."Kamu yakin semua ini tidak akan sulit dan dapat se
Sejak saat itu Ikin sudah tidak pernah tidur di bengkel lagi. Hubungannya dengan Mila pun mulai membaik karena wanita itu tidak pernah menyerah untuk meminta maaf, sehingga terjalin komunikasi yang cukup sering di antara keduanya. Hati Ikin lambat laun menjadi terenyuh dan melunak karena kegigihan Mila.Meskipun lelaki itu masih suka marah dan menghardik, tetapi Mila tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Dia tetap melayani kakaknya dan menyiapkan semua kebutuhan sang kakak layaknya seperti dulu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."Pokoknya, aku tidak boleh menyerah sebelum Bang Ikin memberi maaf padaku. Aku harus lebih bersabar lagi. Aku tahu jika saat ini Bang Ikin telah memberi maaf padaku, hanya saja belum mampu mengungkapkan secara langsung. Sabar Mila, Bang Ikin sayang banget, kok, sama kamu." Mila terus saja memotivasi diri di saat mendapat perlakuan keras Ikin. Dia tidak pernah merasa lelah tatkala menjalankan semua aktivitasnya--bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah, mem
Mila mendongak. "Mbak Zaenab ....""Ada yang mau mbak omongin. Kita ke ruang tamu, yuk?" Zaenab beranjak keluar kamar setelah berkata, lalu diikuti Mila dari belakang.Selama Ikin jarang pulang, Zaenab dan keluarga kecilnya kerap menginap di sana. Jarak rumah Zaenab dan ibunya tidak terlalu jauh, hanya berbeda RT saja. Akan tetapi, Zaenab tidak tega bila membiarkan Mak Inah yang masih belum sembuh benar hanya ditemani Mila. Untung saja, sang suami pengertian dan menuruti keinginan Zaenab tanpa banyak kata."Mil, ini ... temen mbak ada yang nawarin kerjaan. Lumayanlah buat hiburan, biar kamu nggak sedih dan melamun terus. Soal Ikin ... mbak akan bantu terus biar dia mau maafin kamu."Selama ini mbak sudah sering membujuk dia dan mencoba membuka pikirannya. Mungkin abangmu masih butuh waktu lagi. Setidaknya, dia sudah sering pulang," ujar Zaenab, setelah mereka duduk bersampingan di sofa."Kebetulan sekali, Mbak. Barusan Mila kepikiran untuk nyari kerjaan. Kerjaannya apa, Mbak?" tanya M
Malam itu, suami Zaenab dan anak sulungnya sedang asik menonton televisi. Sedangkan Nadia asik mengobrol dengan Zaenab yang sedang memangku anaknya sambil menepuk-nepuk bokong sang anak dengan pelan, berharap balita berusia kurang dari dua tahun itu lekas tidur. Nadia menceritakan semua yang dia ketahui tentang Mila saat sahabatnya berada di Jakarta, sebelum dan setelah menikah, dengan gamblang.Sedangkan Mila menemani ibunya di kamar. Dia juga menyuapi sang ibu, dengan bubur buatannya, saat makan malam. Namun, dia sendiri tidak makan, hanya menghabiskan beberapa suap sisa bubur Mak Inah, demi menyenangkan hati ibunya. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk makan karena memikirkan semua masalah yang timbul akibat ulahnya."Ibu lekas tidur. Mila akan menaruh mangkok dulu di dapur."Mak Inah menahan Mila yang hendak beranjak. "Mangkoknya taruh di meja saja, Nduk. Sini, kamu tidur bareng Emak sekarang."Mila mengangguk, tidak berniat menolak. Dia meletakkan mangkok lalu beranjak tidur di s
Sesampainya dalam kamar, Ikin segera menidurkan Mak Inah di atas kasur. Kemudian, dia duduk di pinggir ranjang, di samping ibunya. Lelaki itu memegang dan mengelus tangan wanita kesayangannya. Zaenab bergegas ke meja makan untuk mengambil air putih lalu membawanya ke kamar Mak Inah. Dia memberikan gelas berisi air minum itu kepada Ikin. Ikin segera meminumkannya kepada sang ibu. Gelas tersebut dia letakkan di meja kecil yang ada di samping ranjang, setelah Mak Inah meneguk sedikit air dalam gelas.Mila hanya menatap sang ibu dari ambang pintu. Air matanya meleleh tiada henti sedari tadi. Dia tidak sanggup berkata-kata. Lidahnya seakan kelu karena melihat keadaan Mak Inah, dan semua itu akibat ulahnya.Dalam hati, Mila ingin sekali mendekati dan merengkuh wanita yang melahirkannya itu, tetapi melihat amarah kakak laki-lakinya dia urung dan menahan keinginan dalam-dalam."Mil-Mila ...." Mak Inah merintih memanggil nama anak bungsunya sambil terpejam.Mila hendak melangkah mendekati ib
Mak Inah yang sedang merebah dalam kamar, segera beranjak bangun. Meski tubuhnya lemas, wanita paruh baya itu tetap berusaha bangkit dari tidurnya karena mendengar ada kegaduhan dari luar rumah. Dia berjalan ke luar rumah sambil merambat di tembok. Tubuh ringkih itu tak sanggup berdiri sendiri.Sesampainya di ambang pintu, mata Mak Inah membeliak mendapati anak bungsunya ada di sana."Milaaa ... anakku ....," ucapnya lirih, "benarkah itu kamu, Nak?" Air mata Mak Inah pun meleleh tanpa permisi.Rasa rindu yang selama ini terbendung akhirnya meluap hanya dengan melihat sekilas anaknya yang sudah lama tidak pulang. Matanya tak bisa melihat dengan jelas karena air mata yang terjun dengan deras, menggenangi pelupuk mata, dan juga tubuh Mila terhalang oleh anak laki-lakinya itu."Mila," gumam Mak Inah sambil melangkah maju. Dia lupa tidak berpegangan hingga terjatuh, tersungkur.Zaenab yang berjalan dari arah dalam langsung menjerit keras sambil berlari menghampiri Mak Inah. Wanita itu baru
Sebelum menjelaskan apa yang sedang terjadi, Aldi terlebih dahulu meminta maaf karena telah lancang dan tidak meminta izin sebelumnya. Lelaki berhidung mancung itu menjelaskan perihal rencananya, bahwa dia ingin mengadakan syukuran atas selesainya kasus Mila, bersamaan dengan syukuran kesembuhan kakak sulung Nadia."Oooh, jadi ini rencana Bang Aldi." Nadia berbisik pada Mila. "Bang Aldi ternyata sangat keren. Rugi kalo lu sampe anggurin dia, Mil," goda Nadia, masih tetap berbisik.Mila menyenggol lengan Nadia. "Kamu ngomong apaan, sih, Nad? Bener kata Mas Aldi, makin lama kamu makin ngaco," ucapnya lirih.Nadi hanya terkikik melihat wajah sahabat karibnya tersipu."Sekali lagi, saya minta maaf karena telah lancang. Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin acaranya lebih meriah, dan supaya bisa didoakan juga oleh banyak orang. Maka dari itu, saya mengundang anak yatim dan orang-orang yang berjasa pada Mila. Saya berharap semua keluarga yang berkumpul berkenan, terutama sang tuan rumah