Dandy mengangguk. "Iya." Dia nyengir kuda."Ya, Allah ... itu 'kan nggak baik. Dosa, Mas, nggak berkah.""Yaaa, mau gimana lagi, itu jalan satu-satunya. Tanpa itu kita nggak bisa masuk kerja di sana tanpa hambatan, apalagi hanya dengan ijazah SMA. Jelas nggak mungkinlah meski kita ajuin lamaran lewat orang penting." Dandy berkata sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.Gadis berhidung bangir itu menghela napas. "Harus, ya, Mas?" Mila masih tidak begitu yakin dengan apa yang didengar."Ya harus, Mila. Wajib. Tanpa itu ya ... nggak bisa.""Kalo gitu, nggak usah aja deh, Mas. Mending–" Dandy menyergah, tak ingin melepaskan kesempatan. "Jangan gitu, Mila. Ini kesempatan langka dan kesempatan emas buat kita. Momen seperti ini jarang sekali ada. Kapan lagi kamu bisa dapat pekerjaan enak dan kita bisa bebas berduaan, jalan-jalan di mana aja. Ayolah, Mila sayang."Mila meremas tangan, hatinya resah memikirkan pilihan yang tepat. Sebenarnya, dia enggan berhubungan dengan hal semacam itu, t
Mila menghentikan langkah seketika lalu berbalik. Dia melihat Dandy bergegas mendekat. "Ada apa, Mas?" tanyanya setelah sang kekasih berdiri tepat di hadapan.Dandy tidak langsung menjawab. Dia mengatur ritme detak jantung yang berdegup kencang. Setelah degupan dirasa stabil, dia memberanikan diri berkata, "Eeehm, anu ... i-itu ... dompet aku ketinggalan." Dandy cengar-cengir kayak kuda nyengir. "Boleh aku pinjam uang?" tanyanya kemudian.Mila yang detak jantungnya tadi bertalu-talu karena menyangka bahwa Dandy akan melakukan hal yang biasa dilakukan sebelum menutup telpon, yaitu memberi kiss, pun terkekeh. Ternyata pemikirannya salah besar.Melihat Mila tertawa geli, Dandy pun menyugar rambut. Dalam hatinya terselip rasa sungkan bercampur jengkel, merasa dirinya diremehkan. Namun, dia telan rasa itu demi meraih misinya. "Oalah, kirain tadi apa ...." Mila merogoh saku celana lalu mengambil beberapa lembar uang warna biru dan menyerahkannya kepada Dandy. "Ini, Mas. Nggak usah minjem.
Gadis berbaju pink dengan rambut tergerai itu ragu untuk melangkah mendekat. Dia bergeming di samping tembok kantor pos yang jaraknya tidak jauh dari tempat Dandy dan seseorang itu sedang berdiri. Mila mengamati mereka berdua, yang sedang asyik mengobrol di bawah daun rindang pohon beringin dan tidak mengetahui keberadaannya.Dia pindai dari bawah hingga atas sosok yang sedang bersama kekasihnya. Wajah orang itu tampan dan rupawan, tak kalah tampan dengan wajah sang kekasih, mata agak sipit dengan alis tebal simetris, hidung mancung, pipi tirus, rambut lurus dengan potongan curtain cut (kata anak zaman now). Ada tahi lalat kecil di atas bibir yang tidak terlalu tipis itu, membuat wajahnya tak jemu untuk dipandang. Pakaian casual serba hitam yang digunakan oleh lelaki bermata elang itu sangat cocok dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis serta kontras dengan kulitnya yang putih."Mungkinkah ini teman yang dimaksud Mas Dandy kemarin?" batinnya, "kalo dilihat dengan seksama, orang
Lalu, gadis itu mecubit lengannya dengan keras. "Auw!" Seketika orang yang ada di sekitar mereka langsung menoleh karena mendengar pekikan Mila."Kamu, ngapain, sih?!" Dandy menarik tangan Mila agar kembali duduk. Lelaki itu lalu menoleh ke kiri kanan sambil berkata, "Lihat! Semua orang pada ngeliatin kita. Mereka kira aku ngapa-ngapain kamu lagi. Bisa-bisa aku dipukuli massa di sini.""Maaaf. Habisnya, Mas, becandanya nggak lucu, sih. Jadinya, ya ... aku kira mimpi." Mila pun cengar-cengir mengingat tingkahnya.Dandy menggenggam tangan Mila lalu menatap lekat mata sang kekasih. "Aku serius, Mila. Aku ingin kita segera menikah. Secepatnya!" tegasnya."Secepatnya?" tanya Mila tak percaya. Meskipun begitu, binar matanya memancarkan rasa bahagia.Pasalnya, itu adalah impian Mila, untuk bisa bersanding dengan Dandy, sejak lelaki itu mengatakan ingin berakhir di pelaminan bulan lalu, ketika Mila memberikan uang pelicin. Namun, gadis itu tidak menyangka sama sekali bahwa sang kekasih akan m
"Buuuu ...," rengek Mila. Dia menggoyang-goyang lengan Mak Inah. "Ikin ... sudah. Buruan berangkat ke bengkel. Ndak enak ditungguin orang, Leee," bujuk Mak Inah.Janda beranak tiga itu mencoba melerai kedua anaknya. Jika tidak, akan ada perdebatan panjang yang tidak usai-usai karena watak ke dua anaknya yang keras kepala. "Tapi, Mak–""Sudah. Biar Mak yang ngomong sama Mila." Mak Inah menghampiri Ikin yang masih berdiri di ambang pintu, lalu mengelus punggung anak laki-lakinya itu untuk meredam emosi.Ikin yang notabennya anak paling penurut di antara dua saudaranya, akhirnya mengalah. Dia tidak mau membuat malaikat tanpa sayapnya itu menjadi sedih."Baiklah. Ikin berangkat, ya, Mak?" Pria berbadan kekar itu mencium punggung tangan wanita yang dikasihinya, lalu beranjak ke luar rumah."Mila ... sini, Nduk, kita ngobrol sambil duduk." Mak Inah melambaikan tangan mengajak putrinya untuk berbicara di ruang tamu.Mila melangkah pelan menghampiri dan duduk di samping perempuan yang melah
"Sah?""Sah!" jawab serentak seluruh orang yang ada dalam ruangan itu.Senyum bahagia menghiasi wajah ke dua mempelai. Mila mencium punggung tangan suaminya. Lalu, Dandy mencium kening gadis itu dengan penuh khidmat.Setelah dua bulan lamanya, mempersiapkan segala keperluan pernikahan, akhirnya akad nikah itu terlaksana juga meskipun hanya diselenggarakan dengan sederhana. Mila mempercayakan seluruh persiapan kepada Dandy dan keluarga besarnya. Acara itu dilaksanakan di kantor KUA setempat dan hanya dihadiri oleh mamanya Dandy dan kedua saksi. Sedangkan, Mila menggunakan wali hakim.Majikan dan juga rekan kerja Mila tidak ada yang tahu bahwa dia akan melangsungkan pernikahan. Dia hanya meminta izin cuti satu hari kepada sang majikan dengan alasan ingin mengunjungi saudaranya yang tinggal di kota itu. Mamanya Kelvin pun memberi izin kepadanya mengingat dia tidak pernah libur selama dua bulan terakhir ini.Sebelum persiapan pernikahan berlangsung, calon mertua Mila mengatakan padanya ba
Mila beranjak sambil mengusap air mata. Dia hendak keluar untuk mencari angin segar. Saat tangannya hendak menggapai kenop, pintu telah sedikit terbuka dari luar. Dandy muncul di balik pintu.Mila menghela napas lega. "Akhirnya kamu balik, Mas."Dandy menatap istrinya yang tampak rapi dan memakai jaket. "Kamu mau ke mana?""Tadinya aku mau cari angin segar. Bosan di kamar sendirian," jawab Mila, "Mas, dari mana, sih, kok lama banget baliknya?" tanyanya kemudian."Nongkrong ma temen-temen wat ngilangin stres gegara kagak bisa belah duren," ucap Dandy seraya melepas jaket dan menaruhnya di sofa."Ooh ... kok nggak ngajak Mila?""Yang ada makin stres, Mila, kalo durennya ikut mulu dan terlihat mata." Dandy berjalan menuju troli. "Loh, kok makanannya utuh? Kamu nggak makan?""Nggak nafsu, Mas, kalo makan tanpa Mas Dandy," jawab Mila. "Astaga, Mila ... 'kan mas dah bilang tadi. Kalo dingin gini 'kan jadi nggak enak," ucap Dandy. Dia menyentuh satu per satu makanan yang ada di atas troli.
Mila terus saja bermonolog, pikirannya berputar-putar mencari jawaban. Dia pun memutar memori dan mencoba mencari kesalahan-kesalahan yang mungkin tanpa sengaja dilakukannya, hingga membuat Dandy berubah. Akan tetapi, tak satu pun dapat dia temukan. Wanita itu memijit pelipis. Kepalanya terasa pusing karena memikirkan semua itu.Selama tiga bulan itu, Mila telah berusaha menjadi istri yang baik dan penurut. Dia memberikan pelayanan yang terbaik untuk suaminya. Memenuhi segala kebutuhan sang suami dari bangun tidur hingga tidur lagi.Setiap saat dan setiap waktu ketika sang suami meminta haknya di atas ranjang, wanita berwajah oval itu selalu menyanggupinya tanpa bantahan, memberikan pelayanan birahi semaksimal mungkin."Kamu memang hot, Mila. Aku tidak salah menilaimu dari awal." Dandy mengulum mesra dan dalam bibir Mila, sebelum kembali melanjutkan ronde panasnya setelah jeda hampir setengah jam.Mila sangat bahagia bila suaminya merasa puas dengan segala layanan ekstranya di atas ra
Mila yang tadi sempat terduduk diam, segera beranjak mendekati Aldi dan menyeret lelaki itu, keluar rumah.Aldi yang bingung dengan tindakan tiba-tiba itu, hanya pasrah mengikuti Mila, dengan tubuh condong ke depan akibat seretan yang cukup bertenaga.Nampaknya, Mila menggunakan seluruh tenaga guna menyeret dan mengajak tubuh tinggi jangkung itu untuk keluar. Dia ingin bicara serius, empat mata, dengan Aldi tanpa ada gangguan dari pihak lain."Apa-apaan maksud Mas Aldi ini? Dia pikir aku wanita apaan?" Mila bermonolog selama berjalan menuju pelataran, sambil sesekali mengembuskan napas dengan kasar, mencoba meluapkan segala rasa yang membuncah di hati.Mila melepas kasar lengan Aldi, sesampainya di sudut pelataran, samping rumah, dekat dengan kebun kosong milik tetangga. Tempat sepi yang tepat untuk berbicara tanpa ada gangguan. "Apa maksud, Mas? Mengapa, Mas, tiba-tiba datang dan melamar Mila?" tanyanya menggebu dengan menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya.Aldi menatap teduh w
Sang pemilik suara hanya tersenyum simpul, menyaksikan ekspresi wanita yang mematung di ambang pintu itu. "Ma-Mas Aldi ...." Mila mengucek mata. Dia masih tidak percaya dengan penglihatannya. "Benarkah ... ini Mas Aldi?"Mila melangkah perlahan, sangat perlahan, menuju ke tempat Aldi seraya menatap lurus lelaki itu. Matanya enggan berkedip. Dia masih merasa ini adalah sebuah mimpi.Aldi berdiri. "Iya, ini aku," ucapnya seraya tersenyum samar."Ini bukan mimpi 'kan? Bukan ilusi juga 'kan?" tanya Mila lirih.Wanita itu masih melangkah tanpa melihat sekelilingnya, hingga akhirnya pekikan keras keluar dari bibir merahnya yang ranum, ketika kakinya terantuk kaki meja. Mila mengangkat sebelah kaki yang terasa sakit seraya merintih dan mendesis."Mil, kamu baik-baik saja?" tanya Aldi seraya mendekati Mila. Lelaki itu memegang tangan dan bahu Mila, lalu membimbingnya duduk ke sofa."Makanya, jalan itu lihat-lihat! Jangan main nyelonong aja!" seru Ikin yang berjalan masuk rumah lalu meletakka
Keesokan harinya, Mila meminta izin kepada pemilik toko kelontong untuk bekerja agak siang. Wanita itu akan meminta surat pengantar terlebih dahulu ke balai desa untuk pengajuan gugatan cerainya sebelum memulai pekerjaan. "Jangan terlalu lama, ya, Mil? Takutnya yang lain kewalahan karena toko lagi rame-ramenya.""Iya, Mbak. Secepatnya Mila akan segera kembali, setelah urusan Mila selesai." Mila menangkupkan tangan di depan dada. "Mila mohon doanya, ya, Mbak, supaya semuanya berjalan lancar dan diberi kemudahan.""Tentu saja, Mila. Doa terbaik Embak terlantun untukmu." Si pemilik toko berkata tulus karena sedikit tahu dengan permasalahan yang menimpa Mila, saat Mila meminta izin."Terima kasih banyak, Mbak, atas kemakhlumannya." Mila berkata dengan perasaan tidak enak. Dia pun segera beranjak keluar setelah si pemilik toko mengangguk..Sementara, di tempat lain, Ikin sedang berbicara serius dengan temannya yang bekerja di pengadilan."Kamu yakin semua ini tidak akan sulit dan dapat se
Sejak saat itu Ikin sudah tidak pernah tidur di bengkel lagi. Hubungannya dengan Mila pun mulai membaik karena wanita itu tidak pernah menyerah untuk meminta maaf, sehingga terjalin komunikasi yang cukup sering di antara keduanya. Hati Ikin lambat laun menjadi terenyuh dan melunak karena kegigihan Mila.Meskipun lelaki itu masih suka marah dan menghardik, tetapi Mila tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Dia tetap melayani kakaknya dan menyiapkan semua kebutuhan sang kakak layaknya seperti dulu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."Pokoknya, aku tidak boleh menyerah sebelum Bang Ikin memberi maaf padaku. Aku harus lebih bersabar lagi. Aku tahu jika saat ini Bang Ikin telah memberi maaf padaku, hanya saja belum mampu mengungkapkan secara langsung. Sabar Mila, Bang Ikin sayang banget, kok, sama kamu." Mila terus saja memotivasi diri di saat mendapat perlakuan keras Ikin. Dia tidak pernah merasa lelah tatkala menjalankan semua aktivitasnya--bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah, mem
Mila mendongak. "Mbak Zaenab ....""Ada yang mau mbak omongin. Kita ke ruang tamu, yuk?" Zaenab beranjak keluar kamar setelah berkata, lalu diikuti Mila dari belakang.Selama Ikin jarang pulang, Zaenab dan keluarga kecilnya kerap menginap di sana. Jarak rumah Zaenab dan ibunya tidak terlalu jauh, hanya berbeda RT saja. Akan tetapi, Zaenab tidak tega bila membiarkan Mak Inah yang masih belum sembuh benar hanya ditemani Mila. Untung saja, sang suami pengertian dan menuruti keinginan Zaenab tanpa banyak kata."Mil, ini ... temen mbak ada yang nawarin kerjaan. Lumayanlah buat hiburan, biar kamu nggak sedih dan melamun terus. Soal Ikin ... mbak akan bantu terus biar dia mau maafin kamu."Selama ini mbak sudah sering membujuk dia dan mencoba membuka pikirannya. Mungkin abangmu masih butuh waktu lagi. Setidaknya, dia sudah sering pulang," ujar Zaenab, setelah mereka duduk bersampingan di sofa."Kebetulan sekali, Mbak. Barusan Mila kepikiran untuk nyari kerjaan. Kerjaannya apa, Mbak?" tanya M
Malam itu, suami Zaenab dan anak sulungnya sedang asik menonton televisi. Sedangkan Nadia asik mengobrol dengan Zaenab yang sedang memangku anaknya sambil menepuk-nepuk bokong sang anak dengan pelan, berharap balita berusia kurang dari dua tahun itu lekas tidur. Nadia menceritakan semua yang dia ketahui tentang Mila saat sahabatnya berada di Jakarta, sebelum dan setelah menikah, dengan gamblang.Sedangkan Mila menemani ibunya di kamar. Dia juga menyuapi sang ibu, dengan bubur buatannya, saat makan malam. Namun, dia sendiri tidak makan, hanya menghabiskan beberapa suap sisa bubur Mak Inah, demi menyenangkan hati ibunya. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk makan karena memikirkan semua masalah yang timbul akibat ulahnya."Ibu lekas tidur. Mila akan menaruh mangkok dulu di dapur."Mak Inah menahan Mila yang hendak beranjak. "Mangkoknya taruh di meja saja, Nduk. Sini, kamu tidur bareng Emak sekarang."Mila mengangguk, tidak berniat menolak. Dia meletakkan mangkok lalu beranjak tidur di s
Sesampainya dalam kamar, Ikin segera menidurkan Mak Inah di atas kasur. Kemudian, dia duduk di pinggir ranjang, di samping ibunya. Lelaki itu memegang dan mengelus tangan wanita kesayangannya. Zaenab bergegas ke meja makan untuk mengambil air putih lalu membawanya ke kamar Mak Inah. Dia memberikan gelas berisi air minum itu kepada Ikin. Ikin segera meminumkannya kepada sang ibu. Gelas tersebut dia letakkan di meja kecil yang ada di samping ranjang, setelah Mak Inah meneguk sedikit air dalam gelas.Mila hanya menatap sang ibu dari ambang pintu. Air matanya meleleh tiada henti sedari tadi. Dia tidak sanggup berkata-kata. Lidahnya seakan kelu karena melihat keadaan Mak Inah, dan semua itu akibat ulahnya.Dalam hati, Mila ingin sekali mendekati dan merengkuh wanita yang melahirkannya itu, tetapi melihat amarah kakak laki-lakinya dia urung dan menahan keinginan dalam-dalam."Mil-Mila ...." Mak Inah merintih memanggil nama anak bungsunya sambil terpejam.Mila hendak melangkah mendekati ib
Mak Inah yang sedang merebah dalam kamar, segera beranjak bangun. Meski tubuhnya lemas, wanita paruh baya itu tetap berusaha bangkit dari tidurnya karena mendengar ada kegaduhan dari luar rumah. Dia berjalan ke luar rumah sambil merambat di tembok. Tubuh ringkih itu tak sanggup berdiri sendiri.Sesampainya di ambang pintu, mata Mak Inah membeliak mendapati anak bungsunya ada di sana."Milaaa ... anakku ....," ucapnya lirih, "benarkah itu kamu, Nak?" Air mata Mak Inah pun meleleh tanpa permisi.Rasa rindu yang selama ini terbendung akhirnya meluap hanya dengan melihat sekilas anaknya yang sudah lama tidak pulang. Matanya tak bisa melihat dengan jelas karena air mata yang terjun dengan deras, menggenangi pelupuk mata, dan juga tubuh Mila terhalang oleh anak laki-lakinya itu."Mila," gumam Mak Inah sambil melangkah maju. Dia lupa tidak berpegangan hingga terjatuh, tersungkur.Zaenab yang berjalan dari arah dalam langsung menjerit keras sambil berlari menghampiri Mak Inah. Wanita itu baru
Sebelum menjelaskan apa yang sedang terjadi, Aldi terlebih dahulu meminta maaf karena telah lancang dan tidak meminta izin sebelumnya. Lelaki berhidung mancung itu menjelaskan perihal rencananya, bahwa dia ingin mengadakan syukuran atas selesainya kasus Mila, bersamaan dengan syukuran kesembuhan kakak sulung Nadia."Oooh, jadi ini rencana Bang Aldi." Nadia berbisik pada Mila. "Bang Aldi ternyata sangat keren. Rugi kalo lu sampe anggurin dia, Mil," goda Nadia, masih tetap berbisik.Mila menyenggol lengan Nadia. "Kamu ngomong apaan, sih, Nad? Bener kata Mas Aldi, makin lama kamu makin ngaco," ucapnya lirih.Nadi hanya terkikik melihat wajah sahabat karibnya tersipu."Sekali lagi, saya minta maaf karena telah lancang. Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin acaranya lebih meriah, dan supaya bisa didoakan juga oleh banyak orang. Maka dari itu, saya mengundang anak yatim dan orang-orang yang berjasa pada Mila. Saya berharap semua keluarga yang berkumpul berkenan, terutama sang tuan rumah