"Milaaa!" Dandy memasuki rumah sambil berteriak dengan berang.
Mila mencoba bangun dengan segera, tetapi tidak bisa karena badannya belum pulih benar. Baru saja wanita itu menapak lantai, Dandy sudah berada di ambang pintu dengan napas tersengal dan wajah merah padam.
Pria yang dipenuhi rasa emosi itu mendekat lalu mencengkeram lengan istrinya. "Dasar wanita sialan! Gara-gara kamu aku jadi kalah seharian ini! Uangku habis tak tersisa dan semua itu karena panggilan sialan darimu dan juga temanmu! Kalau saja kamu tidak menghubungiku pasti sekarang uangku telah menjadi berlipat ganda!" murka Dandy.
"Mas ... sakit ...," desis Mila, "lepasin ...," mohonnya kemudian.
Pria berjaket kulit hitam itu tak menghiraukan permintaan Mila. Dia semakin mempererat cengkraman. Mila merintih lalu menangis dan memegangi perut yang terasa kram akibat menahan sakit.
"Dengar, ya! Mulai detik ini jangan pernah menghubungiku apa pun yang terjadi!" Dihempaskannya tangan sang istri hingga Mila terhuyung ke belakang, hampir merebah.
Mila kembali bangkit, terduduk, dan mengelus lengan yang sakit akibat cengkeraman. "Tapi, Mas. Panggilan itu sangat penting. Aku keguguran, Mas. Keguguran! Dan semua itu karena kamu!" serunya seraya mendongak. Emosi pun mulai menguasai wanita berkemeja merah muda itu.
"Apa? Keguguran? Kamu hamil?" Dandy terkejut mendengar pengakuan sang istri. Namun, tidak ada rasa sedih di wajahnya. "Dan, gara-gara aku katamu?" Dandy makin geram dirinya disalahkan.
"Iya, semua gara-gara kamu! Seandainya saja kamu tidak mendorongku–"
Dandy menyambar ucapan Mila seraya mencengkeram kembali lengan perempuan itu. "Dengar, ya, Mila! Semua itu bukan karena aku, tapi karena kebodohanmu sendiri!" kilahnya, "lagipula mau keguguran kek, mau mati kek, aku tidak peduli!" imbuhnya seraya melepas cengkeraman.
"Kamu sungguh jahat, Mas! Ini anakmu, darah dagingmu, buah cinta kita! Tega sekali kamu berkata seperti itu!" teriak Mila.
Dandy tertawa. "Buah cinta kita katamu? Kamu saja yang cinta, tapi tidak denganku! Sudah jangan banyak bicara, sini uangmu!"
"Uang apalagi, Mas? Uangku dah habis buat biaya perawatan dan kuretasi tadi. Malah kurang yang ada, dan aku pinjam sama Nadia." jelas Mila.
"Alah! Jangan bohong kamu." Dandy beranjak ke nakas dan menggeladah tas yang ada di atasnya.
"Mas, jangan!" Mila menggapai lengan suaminya tetapi tidak sampai akibat rasa sakit.
Dia berusaha bangkit dari duduk dan melangkah mendekati Dandy lalu mencoba menghentikan tindakannya, tetapi percuma. Sang suami telah mendapatkan apa yang dicarinya, lalu melempar asal tas ke lantai.
"Mas, aku mohon jangan. Itu sisa uang yang aku pinjam dari Nadia dan hanya itu yang aku punya," pinta Mila memelas, tetapi Dandy tidak menghiraukan dan bergegas ke luar.
"Mas! Mas!" Mila berteriak seraya menatap punggung sang suami yang sama sekali tidak mempedulikan panggilannya. Tak lama kemudian, terdengar pintu yang ditutup dengan kasar.
Mila pun luruh dan menangis sesenggukan. "Ya Allah, ya Rabb ... berilah kekuatan pada hambaMu ini untuk menghadapi semua." Mila menatap sendu tas yang tergeletak di lantai. "Kenapa kamu jadi kayak gini Mas? Sebenarnya apa yang kamu lakukan di luar sana?" tanyanya pada keheningan, dengan masih terisak.
Dalam keheningan dan kesedihan ingatannya kembali ke masa sepuluh bulan yang lalu, di mana dia pertama kali bertemu dengan Dandy.
.
Saat itu, Mila sedang membeli sirop penurun panas untuk anak majikannya di sebuah apotek. Anak asuh Mila yang berusia tiga tahun itu sedang demam. Sebelumnya, dia sudah menghubungi sang majikan yang berada di luar kota.
Ternyata, suasana di apotek sangat ramai dan antrian juga panjang, sehingga gadis berusia dua puluh tahun itu mendapat giliran paling belakang. Bertepatan dengan jam tutup apotek tersebut. Tukang ojek yang mengantarnya pun tidak bisa menunggui Mila hingga gilirannya tiba.
Mila celingukan mencari ojek online yang dipesannya setelah ke luar apotek, seusai bertransaksi.
"Aduuh, di mana, sih, tukang ojol itu? Mana buru-buru lagi."
Pasalnya, Mila telah menunggu selama lima belas menit, tetapi tukang ojek online yang dia pesan belum juga kelihatan batang hidungnya. Kemudian, dia cek kembali ponsel dan ternyata pesannya dibatalkan secara sepihak tanpa alasan.
"Kok, gini, sih? Kenapa nggak ngomong dari awal aja, kalo emang nggak bisa?!" gerutu Mila kesal.
Gadis berseragam khas baby sitter itu mulai gelisah. Dia mencoba menghubungi pembantu majikannya, tetapi tidak diangkat. Sedangkan, sang majikan masih dalam perjalanan pulang sekarang.
Tadinya, saat pertama kali menelepon guna mengabari, Mila memberi saran kepada sang majikan untuk membawa balita itu ke rumah sakit, tetapi ditolak.
"Nanti biar kami bawa sendiri aja ke rumah sakitnya, Mil, sesampainya kami di rumah. Ini, nggak lama lagi juga nyampe. Sebaiknya sekarang kamu kasih dulu sirop penurun panas yang ada di kotak P3K."
"Baiklah, Nyonya, kalau begitu."
"Tolong jaga dan rawat baik-baik, ya, Mil, sampai kami tiba di rumah."
"Tentu saja, Nyonya. Insyaallah, Mila akan berbuat sebaik mungkin untuk kesembuhan si aden."
"Kami percaya sepenuhnya padamu, Mil. Assalamu'alaikum."
Mila mengangguk, seolah orang yang ada di seberang telepon melihat. "Wa'alaikumsalam."
Setelahnya, telepon pun terputus.
Mila bergegas menuju kotak P3K berada. Namun, apa yang dia butuhkan ternyata stoknya telah habis dan keadaan itu memaksa dirinya untuk pergi ke Apotek.
Mila menatap layar ponsel. "Aduh, bagaimana ini? Pasti lama lagi kalo pesan ojol kembali," ucap Mila lirih.
"Hay, mau gue antar?" Suara seorang lelaki yang berasal dari belakang mengangetkan gadis yang sedang konsentrasi menatap layar ponsel. Dia adalah apoteker yang melayani gadis tersebut.
Mila menoleh lalu tersenyum. "Eh, Nggak usah, Mas. Aku udah pesan ojek online, kok," tolak Mila. Padahal, dia belum memesan kembali.
"Udah, cancel aja. Mending gue anterin. Jangan takut ... gue orang baik, kok," tawar lelaki itu seraya tersenyum.
Mila memindai lelaki yang ada di atas motor sport itu. Kulit putih, mata sipit, hidung mancung, wajah mulus, dan rambut hitam berpotongan mandarin merupakan padanan yang sangat pas dan nampak rupawan di mata gadis itu. Terasa desiran aneh dalam hatinya. Raut muka Mila tampak ragu, tetapi hati meronta untuk mengiakan. "Duhkah, ni hati," batinnya.
Melihat keraguan dalam wajah gadis manis yang ada di hadapannya, lelaki tampan itu kembali meyakinkan. "Percaya, deh, ma gue. Masak, iya, wajah ganteng kayak gini ada tampang kriminal. Lagian ... gue nggak bakal tega ninggalin gadis semanis lu sendirian malam-malam gini." Lelaki itu meraih dan menarik tangan Mila agar mendekat. "Udaaah, ayook!" ajaknya seraya menepuk ruang kosong di belakangnya.
Mila naik ke atas motor, meski masih ada sedikit ragu di hati. Namun, dia tepis rasa itu karena si anak asuh sedang menunggu kedatangannya.
Kuda besi itu pun melaju membelah jalanan ibu kota. Lima belas menit kemudian, mereka telah sampai di depan rumah majikan Mila.
Bangunan mewah bertingkat tiga dengan warna cat putih membuat kagum Dandy. Matanya berbinar seolah baru saja menemukan emas berlian. Dia tahu persis rumah siapa yang ada di depannya, pejabat DPR sekaligus pengusaha sukses. Dalam hati, lelaki itu sangat bersyukur karena telah mengantar gadis manis yang kini berdiri di sampingnya.
Kala itu, Dandy masih menggunakan helm sehingga Mila tidak tahu ekspresi si empunya helm yang menyiratkan berbagai harapan dan rencana.
.
.
.
To be continue ....
"Makasih, ya, Mas, udah mau nganterin Mila." Mila melepas helm dan memberikannya pada lelaki yang masih menatap takjub bangunan mewah itu. "Mas! Kok diem." Mila menepuk bahu Dandy."Eh, iya, maaf maaf," ucapnya seraya menerima helm yang diulurkan Mila. Benda itu diletakkan di depannya. "Gue balik, ya? Udah malam, nggak enak dilihat satpam," pamitnya. Mila mengangguk dan tersenyum manis. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas," ucapnya kemudian."No problem. Senang bisa mengantar gadis secantik lu."Mila tersenyum sipu mendengar ucapan Dandy.Lelaki bersuara berat itu memutar kunci motor dan menstater motornya, lalu menginjak persneling.Motor sport itupun melaju cepat meninggalkan Mila, yang tersenyum-senyum sendirian seraya menatap kepergian Dandy. Bunga-bunga asmara tampak bermekaran dalam hatinya. Gadis manis berlesung pipit itu sedang dilanda cinta pada pandangan pertama."Aduh." Mila menepuk dahi ketika teringat bahwa dirinya belum berkenalan dengan lelaki itu. "Kok bisa nggak i
Ketika lelaki beralis tebal itu menoleh ke belakang, dia melihat gadis yang ditunggunya berjalan mendekat, kemudian menyapa dan meminta maaf kepada Dandy karena sudah membuatnya menunggu."Maaf banget, ya, kamu jadi bosan gara-gara menungguku?" Mila kembali minta maaf setelah menurunkan Kelvin dari gendongan dan bocah tampan itu berlari ke kolam pasir. Itu adalah tempat favorit Kelvin."Sudah gue bilang nggak papa, Mila cantik. Itu sih, belum apa-apa. Gue rela kok nglakuin apa aja demi gadis cantik seperti lu. Apalagi ...." Dandy menjeda perkataannya. Dia meraih tangan Mila dan gadis itu langsung menoleh karena kaget. Lelaki berbibir tipis itu menatap lekat kedua mata Mila.Badan Mila bergetar mendapat perlakuan mendadak itu. Jantung gadis itu berdegup kencang, wajahnya mulai memanas, dan pipi pun memerah. Dia salah tingkah ditatap sendu oleh Dandy, lalu tertunduk memandang tangan yang ada dalam genggaman. "Apalagi ... apa?" tanyanya lirih."Apalagi buat orang yang gue cintai," ucap D
"Apa yang ada di pikiran kamu, Mila Sayaaank? Sampai kaget begitu. Jangan mikir aneh-aneh, deh. Mas cuman mau ciuman lebih dari itu dan lebih mesra lagi, biar berasa. Kalo gitu doank nggak berasa, Mila Cantik ...." Dandy tersenyum simpul."Oh ... trus seperti apa yang Mas mau?" "Harusnya gini dong." Dandy mencium layar ponsel berkali-kali, hingga basah, sambil mengeluarkan kata emuah, emuah, emuah. "Haruskah?" tanya Mila dengan tersipu. Dia geli sendiri membayangkan hal itu. "Harus dong, Mila Sayang. Biar mas bahagia." Dandy mengerling. Mila pun pasrah dan mengikuti kemauan sang kekasih, sesuai arahan. Padahal, dalam hati dia juga senang melakukan itu."Nah, gitu dong. Ini baru pacar Dandy. Kalau gini 'kan aku makin cinta ma Mila Sayang.""Idih, gombal.""Serius, Mila Sayang. Baru kali ini merasa seperti ini. Sebelumnya tidak pernah aku merasakan hal seperti dengan perempuan lain. Kamulah yang pertama dan satu-satunya. I love you so much, Honey. Muuuah."Mendapat pernyataan itu, M
Dandy mengangguk. "Iya." Dia nyengir kuda."Ya, Allah ... itu 'kan nggak baik. Dosa, Mas, nggak berkah.""Yaaa, mau gimana lagi, itu jalan satu-satunya. Tanpa itu kita nggak bisa masuk kerja di sana tanpa hambatan, apalagi hanya dengan ijazah SMA. Jelas nggak mungkinlah meski kita ajuin lamaran lewat orang penting." Dandy berkata sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.Gadis berhidung bangir itu menghela napas. "Harus, ya, Mas?" Mila masih tidak begitu yakin dengan apa yang didengar."Ya harus, Mila. Wajib. Tanpa itu ya ... nggak bisa.""Kalo gitu, nggak usah aja deh, Mas. Mending–" Dandy menyergah, tak ingin melepaskan kesempatan. "Jangan gitu, Mila. Ini kesempatan langka dan kesempatan emas buat kita. Momen seperti ini jarang sekali ada. Kapan lagi kamu bisa dapat pekerjaan enak dan kita bisa bebas berduaan, jalan-jalan di mana aja. Ayolah, Mila sayang."Mila meremas tangan, hatinya resah memikirkan pilihan yang tepat. Sebenarnya, dia enggan berhubungan dengan hal semacam itu, t
Mila menghentikan langkah seketika lalu berbalik. Dia melihat Dandy bergegas mendekat. "Ada apa, Mas?" tanyanya setelah sang kekasih berdiri tepat di hadapan.Dandy tidak langsung menjawab. Dia mengatur ritme detak jantung yang berdegup kencang. Setelah degupan dirasa stabil, dia memberanikan diri berkata, "Eeehm, anu ... i-itu ... dompet aku ketinggalan." Dandy cengar-cengir kayak kuda nyengir. "Boleh aku pinjam uang?" tanyanya kemudian.Mila yang detak jantungnya tadi bertalu-talu karena menyangka bahwa Dandy akan melakukan hal yang biasa dilakukan sebelum menutup telpon, yaitu memberi kiss, pun terkekeh. Ternyata pemikirannya salah besar.Melihat Mila tertawa geli, Dandy pun menyugar rambut. Dalam hatinya terselip rasa sungkan bercampur jengkel, merasa dirinya diremehkan. Namun, dia telan rasa itu demi meraih misinya. "Oalah, kirain tadi apa ...." Mila merogoh saku celana lalu mengambil beberapa lembar uang warna biru dan menyerahkannya kepada Dandy. "Ini, Mas. Nggak usah minjem.
Gadis berbaju pink dengan rambut tergerai itu ragu untuk melangkah mendekat. Dia bergeming di samping tembok kantor pos yang jaraknya tidak jauh dari tempat Dandy dan seseorang itu sedang berdiri. Mila mengamati mereka berdua, yang sedang asyik mengobrol di bawah daun rindang pohon beringin dan tidak mengetahui keberadaannya.Dia pindai dari bawah hingga atas sosok yang sedang bersama kekasihnya. Wajah orang itu tampan dan rupawan, tak kalah tampan dengan wajah sang kekasih, mata agak sipit dengan alis tebal simetris, hidung mancung, pipi tirus, rambut lurus dengan potongan curtain cut (kata anak zaman now). Ada tahi lalat kecil di atas bibir yang tidak terlalu tipis itu, membuat wajahnya tak jemu untuk dipandang. Pakaian casual serba hitam yang digunakan oleh lelaki bermata elang itu sangat cocok dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis serta kontras dengan kulitnya yang putih."Mungkinkah ini teman yang dimaksud Mas Dandy kemarin?" batinnya, "kalo dilihat dengan seksama, orang
Lalu, gadis itu mecubit lengannya dengan keras. "Auw!" Seketika orang yang ada di sekitar mereka langsung menoleh karena mendengar pekikan Mila."Kamu, ngapain, sih?!" Dandy menarik tangan Mila agar kembali duduk. Lelaki itu lalu menoleh ke kiri kanan sambil berkata, "Lihat! Semua orang pada ngeliatin kita. Mereka kira aku ngapa-ngapain kamu lagi. Bisa-bisa aku dipukuli massa di sini.""Maaaf. Habisnya, Mas, becandanya nggak lucu, sih. Jadinya, ya ... aku kira mimpi." Mila pun cengar-cengir mengingat tingkahnya.Dandy menggenggam tangan Mila lalu menatap lekat mata sang kekasih. "Aku serius, Mila. Aku ingin kita segera menikah. Secepatnya!" tegasnya."Secepatnya?" tanya Mila tak percaya. Meskipun begitu, binar matanya memancarkan rasa bahagia.Pasalnya, itu adalah impian Mila, untuk bisa bersanding dengan Dandy, sejak lelaki itu mengatakan ingin berakhir di pelaminan bulan lalu, ketika Mila memberikan uang pelicin. Namun, gadis itu tidak menyangka sama sekali bahwa sang kekasih akan m
"Buuuu ...," rengek Mila. Dia menggoyang-goyang lengan Mak Inah. "Ikin ... sudah. Buruan berangkat ke bengkel. Ndak enak ditungguin orang, Leee," bujuk Mak Inah.Janda beranak tiga itu mencoba melerai kedua anaknya. Jika tidak, akan ada perdebatan panjang yang tidak usai-usai karena watak ke dua anaknya yang keras kepala. "Tapi, Mak–""Sudah. Biar Mak yang ngomong sama Mila." Mak Inah menghampiri Ikin yang masih berdiri di ambang pintu, lalu mengelus punggung anak laki-lakinya itu untuk meredam emosi.Ikin yang notabennya anak paling penurut di antara dua saudaranya, akhirnya mengalah. Dia tidak mau membuat malaikat tanpa sayapnya itu menjadi sedih."Baiklah. Ikin berangkat, ya, Mak?" Pria berbadan kekar itu mencium punggung tangan wanita yang dikasihinya, lalu beranjak ke luar rumah."Mila ... sini, Nduk, kita ngobrol sambil duduk." Mak Inah melambaikan tangan mengajak putrinya untuk berbicara di ruang tamu.Mila melangkah pelan menghampiri dan duduk di samping perempuan yang melah
Mila yang tadi sempat terduduk diam, segera beranjak mendekati Aldi dan menyeret lelaki itu, keluar rumah.Aldi yang bingung dengan tindakan tiba-tiba itu, hanya pasrah mengikuti Mila, dengan tubuh condong ke depan akibat seretan yang cukup bertenaga.Nampaknya, Mila menggunakan seluruh tenaga guna menyeret dan mengajak tubuh tinggi jangkung itu untuk keluar. Dia ingin bicara serius, empat mata, dengan Aldi tanpa ada gangguan dari pihak lain."Apa-apaan maksud Mas Aldi ini? Dia pikir aku wanita apaan?" Mila bermonolog selama berjalan menuju pelataran, sambil sesekali mengembuskan napas dengan kasar, mencoba meluapkan segala rasa yang membuncah di hati.Mila melepas kasar lengan Aldi, sesampainya di sudut pelataran, samping rumah, dekat dengan kebun kosong milik tetangga. Tempat sepi yang tepat untuk berbicara tanpa ada gangguan. "Apa maksud, Mas? Mengapa, Mas, tiba-tiba datang dan melamar Mila?" tanyanya menggebu dengan menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya.Aldi menatap teduh w
Sang pemilik suara hanya tersenyum simpul, menyaksikan ekspresi wanita yang mematung di ambang pintu itu. "Ma-Mas Aldi ...." Mila mengucek mata. Dia masih tidak percaya dengan penglihatannya. "Benarkah ... ini Mas Aldi?"Mila melangkah perlahan, sangat perlahan, menuju ke tempat Aldi seraya menatap lurus lelaki itu. Matanya enggan berkedip. Dia masih merasa ini adalah sebuah mimpi.Aldi berdiri. "Iya, ini aku," ucapnya seraya tersenyum samar."Ini bukan mimpi 'kan? Bukan ilusi juga 'kan?" tanya Mila lirih.Wanita itu masih melangkah tanpa melihat sekelilingnya, hingga akhirnya pekikan keras keluar dari bibir merahnya yang ranum, ketika kakinya terantuk kaki meja. Mila mengangkat sebelah kaki yang terasa sakit seraya merintih dan mendesis."Mil, kamu baik-baik saja?" tanya Aldi seraya mendekati Mila. Lelaki itu memegang tangan dan bahu Mila, lalu membimbingnya duduk ke sofa."Makanya, jalan itu lihat-lihat! Jangan main nyelonong aja!" seru Ikin yang berjalan masuk rumah lalu meletakka
Keesokan harinya, Mila meminta izin kepada pemilik toko kelontong untuk bekerja agak siang. Wanita itu akan meminta surat pengantar terlebih dahulu ke balai desa untuk pengajuan gugatan cerainya sebelum memulai pekerjaan. "Jangan terlalu lama, ya, Mil? Takutnya yang lain kewalahan karena toko lagi rame-ramenya.""Iya, Mbak. Secepatnya Mila akan segera kembali, setelah urusan Mila selesai." Mila menangkupkan tangan di depan dada. "Mila mohon doanya, ya, Mbak, supaya semuanya berjalan lancar dan diberi kemudahan.""Tentu saja, Mila. Doa terbaik Embak terlantun untukmu." Si pemilik toko berkata tulus karena sedikit tahu dengan permasalahan yang menimpa Mila, saat Mila meminta izin."Terima kasih banyak, Mbak, atas kemakhlumannya." Mila berkata dengan perasaan tidak enak. Dia pun segera beranjak keluar setelah si pemilik toko mengangguk..Sementara, di tempat lain, Ikin sedang berbicara serius dengan temannya yang bekerja di pengadilan."Kamu yakin semua ini tidak akan sulit dan dapat se
Sejak saat itu Ikin sudah tidak pernah tidur di bengkel lagi. Hubungannya dengan Mila pun mulai membaik karena wanita itu tidak pernah menyerah untuk meminta maaf, sehingga terjalin komunikasi yang cukup sering di antara keduanya. Hati Ikin lambat laun menjadi terenyuh dan melunak karena kegigihan Mila.Meskipun lelaki itu masih suka marah dan menghardik, tetapi Mila tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Dia tetap melayani kakaknya dan menyiapkan semua kebutuhan sang kakak layaknya seperti dulu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."Pokoknya, aku tidak boleh menyerah sebelum Bang Ikin memberi maaf padaku. Aku harus lebih bersabar lagi. Aku tahu jika saat ini Bang Ikin telah memberi maaf padaku, hanya saja belum mampu mengungkapkan secara langsung. Sabar Mila, Bang Ikin sayang banget, kok, sama kamu." Mila terus saja memotivasi diri di saat mendapat perlakuan keras Ikin. Dia tidak pernah merasa lelah tatkala menjalankan semua aktivitasnya--bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah, mem
Mila mendongak. "Mbak Zaenab ....""Ada yang mau mbak omongin. Kita ke ruang tamu, yuk?" Zaenab beranjak keluar kamar setelah berkata, lalu diikuti Mila dari belakang.Selama Ikin jarang pulang, Zaenab dan keluarga kecilnya kerap menginap di sana. Jarak rumah Zaenab dan ibunya tidak terlalu jauh, hanya berbeda RT saja. Akan tetapi, Zaenab tidak tega bila membiarkan Mak Inah yang masih belum sembuh benar hanya ditemani Mila. Untung saja, sang suami pengertian dan menuruti keinginan Zaenab tanpa banyak kata."Mil, ini ... temen mbak ada yang nawarin kerjaan. Lumayanlah buat hiburan, biar kamu nggak sedih dan melamun terus. Soal Ikin ... mbak akan bantu terus biar dia mau maafin kamu."Selama ini mbak sudah sering membujuk dia dan mencoba membuka pikirannya. Mungkin abangmu masih butuh waktu lagi. Setidaknya, dia sudah sering pulang," ujar Zaenab, setelah mereka duduk bersampingan di sofa."Kebetulan sekali, Mbak. Barusan Mila kepikiran untuk nyari kerjaan. Kerjaannya apa, Mbak?" tanya M
Malam itu, suami Zaenab dan anak sulungnya sedang asik menonton televisi. Sedangkan Nadia asik mengobrol dengan Zaenab yang sedang memangku anaknya sambil menepuk-nepuk bokong sang anak dengan pelan, berharap balita berusia kurang dari dua tahun itu lekas tidur. Nadia menceritakan semua yang dia ketahui tentang Mila saat sahabatnya berada di Jakarta, sebelum dan setelah menikah, dengan gamblang.Sedangkan Mila menemani ibunya di kamar. Dia juga menyuapi sang ibu, dengan bubur buatannya, saat makan malam. Namun, dia sendiri tidak makan, hanya menghabiskan beberapa suap sisa bubur Mak Inah, demi menyenangkan hati ibunya. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk makan karena memikirkan semua masalah yang timbul akibat ulahnya."Ibu lekas tidur. Mila akan menaruh mangkok dulu di dapur."Mak Inah menahan Mila yang hendak beranjak. "Mangkoknya taruh di meja saja, Nduk. Sini, kamu tidur bareng Emak sekarang."Mila mengangguk, tidak berniat menolak. Dia meletakkan mangkok lalu beranjak tidur di s
Sesampainya dalam kamar, Ikin segera menidurkan Mak Inah di atas kasur. Kemudian, dia duduk di pinggir ranjang, di samping ibunya. Lelaki itu memegang dan mengelus tangan wanita kesayangannya. Zaenab bergegas ke meja makan untuk mengambil air putih lalu membawanya ke kamar Mak Inah. Dia memberikan gelas berisi air minum itu kepada Ikin. Ikin segera meminumkannya kepada sang ibu. Gelas tersebut dia letakkan di meja kecil yang ada di samping ranjang, setelah Mak Inah meneguk sedikit air dalam gelas.Mila hanya menatap sang ibu dari ambang pintu. Air matanya meleleh tiada henti sedari tadi. Dia tidak sanggup berkata-kata. Lidahnya seakan kelu karena melihat keadaan Mak Inah, dan semua itu akibat ulahnya.Dalam hati, Mila ingin sekali mendekati dan merengkuh wanita yang melahirkannya itu, tetapi melihat amarah kakak laki-lakinya dia urung dan menahan keinginan dalam-dalam."Mil-Mila ...." Mak Inah merintih memanggil nama anak bungsunya sambil terpejam.Mila hendak melangkah mendekati ib
Mak Inah yang sedang merebah dalam kamar, segera beranjak bangun. Meski tubuhnya lemas, wanita paruh baya itu tetap berusaha bangkit dari tidurnya karena mendengar ada kegaduhan dari luar rumah. Dia berjalan ke luar rumah sambil merambat di tembok. Tubuh ringkih itu tak sanggup berdiri sendiri.Sesampainya di ambang pintu, mata Mak Inah membeliak mendapati anak bungsunya ada di sana."Milaaa ... anakku ....," ucapnya lirih, "benarkah itu kamu, Nak?" Air mata Mak Inah pun meleleh tanpa permisi.Rasa rindu yang selama ini terbendung akhirnya meluap hanya dengan melihat sekilas anaknya yang sudah lama tidak pulang. Matanya tak bisa melihat dengan jelas karena air mata yang terjun dengan deras, menggenangi pelupuk mata, dan juga tubuh Mila terhalang oleh anak laki-lakinya itu."Mila," gumam Mak Inah sambil melangkah maju. Dia lupa tidak berpegangan hingga terjatuh, tersungkur.Zaenab yang berjalan dari arah dalam langsung menjerit keras sambil berlari menghampiri Mak Inah. Wanita itu baru
Sebelum menjelaskan apa yang sedang terjadi, Aldi terlebih dahulu meminta maaf karena telah lancang dan tidak meminta izin sebelumnya. Lelaki berhidung mancung itu menjelaskan perihal rencananya, bahwa dia ingin mengadakan syukuran atas selesainya kasus Mila, bersamaan dengan syukuran kesembuhan kakak sulung Nadia."Oooh, jadi ini rencana Bang Aldi." Nadia berbisik pada Mila. "Bang Aldi ternyata sangat keren. Rugi kalo lu sampe anggurin dia, Mil," goda Nadia, masih tetap berbisik.Mila menyenggol lengan Nadia. "Kamu ngomong apaan, sih, Nad? Bener kata Mas Aldi, makin lama kamu makin ngaco," ucapnya lirih.Nadi hanya terkikik melihat wajah sahabat karibnya tersipu."Sekali lagi, saya minta maaf karena telah lancang. Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin acaranya lebih meriah, dan supaya bisa didoakan juga oleh banyak orang. Maka dari itu, saya mengundang anak yatim dan orang-orang yang berjasa pada Mila. Saya berharap semua keluarga yang berkumpul berkenan, terutama sang tuan rumah