"Jangan, Mas!" Mila memegang erat tas selempangnya, mencoba mempertahankan benda itu dari rebutan sang suami.
"Lepasin, Mil! Kalo tidak–"
"Kalo tidak apa?" seru Mila menantang, membuat suaminya meradang.
Plak!
"Aow!" Mila terhuyung dan tasnya pun terlepas. Dia elus pipinya yang terasa panas dan nyeri. Rasa sakit tercipta di sana. Namun, sakitnya itu tidak ada apa-apanya dibanding sakit hati yang dia rasakan ketika suaminya segera berlalu dengan tersenyum mengejek, setelah mendapat apa yang dia cari.
Uang, itulah yang Dandy cari dan rampas dari tas Mila. Kini, dia berlalu begitu saja, meninggalkan Mila yang terisak.
"Sungguh tega kamu, Mas. Kamu keterlaluan." Mila hanya bisa menggerutu tanpa mampu mencegah. Rasa sesal pun mulai menghinggapi hatinya yang perih.
Memang, penyesalan datangnya selalu belakangan. Segala tindakan yang dilakukan tanpa berpikir panjang pastilah akan mendatangkan rasa sesal. Duka, lara, dan perih bercampur aduk menjadi satu memenuhi seluruh rasa dalam hati. Meratap dan menangis tiada arti lagi. Akan tetapi, hal itu mampu memberi sedikit lega di dada ini.
Itulah yang Mila rasakan sekarang. Dia meratap dan menangis seorang diri, bersimpuh di lantai, di rumah kontrakan yang sempit dan hanya ditemani dinginnya hawa malam serta suara detak jarum jam, lalu berandai-andai dengan segala apa yang telah terjadi.
"Andai saja aku tidak membantah dan menuruti kata Ibu. Andai saja waktu dapat kuputar lagi. Andai saja aku tidak memilih ...." Gumamannya terhenti oleh isak tangis yang semakin menjadi di kala mengingat apa yang telah dia pilih dan perjuangkan.
Andai saja, andai saja, andai saja, kata-kata itu terus saja terngiang dan memenuhi setiap sudut pendengaran Mila.
Ingin sekali, dirinya kembali ke masa di mana sang ibu melarang hubungan cintanya dengan Dandy, dan menuruti semua nasihat ibunya, bukannya malah membangkang dan meneruskan niatnya. Bahkan, wanita berusia 21 tahun itu telah menjadi anak durhaka, menikah tanpa restu dari ibu dan keluarganya.
"Nduk (Nak), sebaiknya jangan memutuskan menikah buru-buru. Bukannya kamu baru saja mengenalnya? Jangan sampai apa yang kamu putuskan tanpa berpikir panjang berujung pada penyesalan." Mak Inah mengelus rambut hitam anaknya yang duduk di sebelahnya.
"Bukanne Emak (Ibu) ndak (tidak) percaya, cuman Emak ndak ingin hal buruk menimpa dirimu." Janda berusia senja itu merasakan firasat buruk yang akan menimpa anak gadisnya.
"Ndak, Bu. Mila yakin kalau Mas Dandy orangnya baik, tulus, dan bertanggung jawab. Mila juga yakin kalau setelah menikah Mila bakalan hidup enak dan sejahtera. Nggak harus kerja keras lagi karena pekerjaan Mas Dandy yang sudah mapan. Apalagi Mas Dandy dari keluarga kaya." Mila bangkit dari duduknya.
"Tapi, Nduk–" Perkataan Mak Inah disergah oleh Mila.
"Pokoknya Mila akan nikah sama Mas Dandy!" kekeh Mila seraya meninggalkan sang ibu di ruang tamu menuju kamar.
Mak Inah mengelus dada melihat kelakuan anak bungsunya. "Ya Allah, ya Gusti Pangeran ... semoga Engkau melindungi anakku." Doa tulus yang dipanjatkan Mak Inah masih sempat terdengar oleh Mila meskipun lirih.
Mak Inah tidak tahu lagi harus berkata apa untuk menghalangi niat anaknya. Dia tahu betul watak Mila yang keras kepala. Seperti halnya tentang panggilan yang gadis itu sematkan pada dirinya sejak berusia lima tahun, di mana teman sekolahnya memanggil ibu pada orang tua mereka. Saat Mila sudah duduk di bangku sekolah dasar, Mak Inah membujuk Mila untuk memanggilnya Emak juga, tetapi dia menolak keras dan kekeh dengan panggilan itu.
Memori di kala dia melontarkan bantahan kembali menari-nari di pelupuk mata, seakan mengejek.
Tanpa terasa Mila telah menangis, sesenggukan, selama hampir satu jam. Matanya membengkak dan kepalanya pusing. Mila beranjak dari simpuh menuju wastafel. Dia membasuh wajah lalu menatap bayangan yang ada di cermin.
"Ayolah, Mila! Kamu jangan hanya menangis saja. Ini 'kan yang kamu pilih!? Maka terima dan hadapilah!" seru bayangan itu pada dirinya.
Bukan. Bukan bayangnya yang berseru, tetapi batin tertekan yang berharap bisa memberontak.
Ingin sekali dia berteriak dan membantah, tetapi rasa malu pada diri membuatnya urung untuk melakukan itu. Mila sangat malu dengan apa yang menimpanya karena sebelumnya telah diperingatkan, bahkan ditentang oleh keluarganya.
Setelah puas memandangi wajah, wanita berambut lurus sebahu itu bergegas ke dapur untuk mengambil air minum dalam lemari pendingin. Dia teguk air dingin itu dengan segera, berharap dengan leganya tenggorokan mampu mengurangi sesak di dada. Namun, hanya sebentar saja di saat air itu membasahi kerongkongan. Setelahnya, sesak itu kembali menyeruak.
Malam semakin larut, tetapi suaminya tidak kunjung kembali setelah pertengkaran tadi. Mila menatap hampa pintu rumahnya sebelum beranjak ke kamar tidur.
"Kenapa kamu sekarang berubah, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" Mila berucap lirih, kemudian kembali menangis mengingat semua kelakuan suaminya akhir-akhir ini. "Ibu, ternyata apa yang kamu takutkan kini terjadi. Maafkan anakmu ini, Bu."
Mila terus saja menangis hingga tertidur. Dia terbangun karena suara pintu yang dibuka secara kasar. Karena terhanyut dalam kesedihan, tadi malam dia lupa mengunci pintu rumah.
Mila pun bergegas bangkit dan keluar kamar dengan langkah tergesa. Hampir saja dia terjatuh karena kakinya tersandung sofa. Di sana, di ambang pintu, telah berdiri sosok yang telah membuatnya menangis semalaman.
"Mas, dari mana? Kenapa baru pulang? Bukannya Mas hari ini harus kerja?" Mila memberondong pertanyaan pada sosok yang masih berdiri di depan pintu.
Sosok itu, yang tak lain adalah Dandy, berjalan sambil melirik jam dinding yang ada di ruang tamu, tampak jarum pendek menunjuk angka lima, sedangkan jarum panjang menunjuk angka tiga. Dandy berlalu menuju kamar tanpa menjawab. "Minggir!" serunya saat melewati istrinya seraya mendorong.
Alhasil, wanita yang memakai baby doll berlengan dan celana pendek itu limbung dan membentur meja yang ada di dekat pintu kamar. Pria tinggi berparas tampan dan berkulit putih itu tidak menghiraukan Mila. Hanya melirik sekilas kemudian mengunci kamar tidur.
Mila gegas beranjak. "Mas ... Mas! Kenapa tak menjawab? Mas!" teriaknya sambil mengetuk pintu.
Terdengar lemparan membentur pintu. Mila terperanjat mendengar hal itu, tetapi hanya sesaat. Kemudian, dia melangkah meninggalkan sang suami untuk mandi dan memasak serta bersiap-siap. Dia tidak mau terlambat berangkat kerja karena larut dalam keadaan.
Untung saja seragam kerjanya ada di meja setrikaan. Kemarin dia belum sempat memasukkan pakaian yang selesai di setrika ke dalam lemari yang ada di kamar karena bertengkar dengan Dandy.
"Mas, aku berangkat!" Mila menggantung kunci serep rumah di belakang pintu lalu melangkah keluar rumah. Dia tetap berpamitan pada sang suami meskipun hal itu tidak akan mendapat balasan.
"Ya Allah, sampai kapan semua ini akan terjadi? Kuatkan hambaMu ini, ya Rabb ...," gumamnya seraya mengunci pintu.
Baru saja akan melangkah, tiba-tiba terdengar seruan dari seorang wanita yang membuat Mila urung untuk melangkahkan kaki.
"Tunggu, Mila! Dandy sudah berangkat kerja?!" Wanita cantik berkulit putih yang memakai gaun berwarna merah dan agak ketat di badan dengan panjang hanya di atas lutut itu bergegas mendekati Mila.
.
.
.
To be continue ....
Meski umurnya hampir memasuki usia senja, Angel masih tampak muda dan segar. Semua itu karena perawatan dan olahraga rutin yang dia lakukan. Style yang digunakannya pun selalu up to date, tidak mau kalah dengan anak muda sekarang, sehingga orang yang melihatnya tidak akan mengira bahwa wanita bertubuh sintal itu sudah berumur 45 tahun.Mila meraih telapak tangan sang mertua lalu mencium punggung tangan itu. Hanya sekilas karena Angel segera menarik tangannya."Mas Dandy tidak masuk kerja hari ini, Ma. Dia sedang tidur sekarang.""Nggak kerja? Bukannya sekarang bukan hari libur? Kenapa nggak kerja?" "Itu, Mas Dandy kemari–" "Ah, sudahlah. Buka pintunya!" sergah Angel dengan nada tinggi. Kunci yang tadinya akan Mila masukkan ke tas selempang, kembali masuk ke lubang pintu.Selepas pintu terbuka, wanita tinggi semampai itu lekas masuk rumah tanpa berkata-kata lagi dan tak acuh terhadap Mila. Mila pun akhirnya berlalu meninggalkan rumah, menuju tempat kerja. Meskipun rasa ingin tahu t
"Tuhkan, Mil." Nadia beranjak sambil mengapit tangan Mila. "Loh, loh, mau ke mana?" tanya Mila seraya bangun dan mengekori Nadia."Nengok dapur, lah." Nadia menjawab tanpa menoleh. Perempuan yang usianya setara dengan Mila, tetapi masih belum punya keinginan untuk menikah karena masih ingin menikmati masa mudanya itu takut dengan hantu. Gadis berkulit kuning langsat yang masih setia dengan kejomloannya itu memiliki pengalaman yang sulit untuk dilupakan dengan dedemit yang suka ketawa, ketika masih duduk di bangku SMA.Ah, iya, satu hal lagi yang unik dari seorang Nadia. Dia betah menjomlo semenjak kenal, pun tertambat hatinya, kepada Kim Taehyung alias V. Gila 'kan?! Ketemu kagak, udah tertambat aja.Sesampainya di dapur, mereka hanya menemukan kucing yang sedang memakan beberapa suwir ikan yang berserakan di lantai. Di dekat binatang itu, teronggok panci kecil bekas wadah suwir ikan."Walah ... ternyata si manis. Bikin deg-degan aja, serasa mau copot, nih, jantung." Nadia berkata s
Setelah puas menangis dan mulai bisa mengendalikan emosinya kembali, Mila meletakkan benda pipih berwarna silver dengan tulisan Oppo di belakangnya ke atas meja makan. Lalu, bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menyiapkan makan malam. Meskipun waktunya makan malam sudah terlambat, dia tetap melakukan rutinitas itu. Mila tidak ingin hal itu menjadi alasan bagi Dandy untuk mengajaknya berdebat dan memarahi dirinya, saat pulang nanti.Satu jam kemudian, masakan telah tersaji di meja makan. Aroma sedap nasi goreng Jawa yang ditemani ayam goreng serta telur mata sapi menggugah cacing dalam perutnya, meronta-ronta meminta jatah.Mila menatap hasil karyanya sambil menelan ludah. Dia sudah tidak tahan ingin memakannya, tetapi rasa bakti pada sang suami menahannya untuk melakukan itu. Mila menahan rasa lapar, lalu menyeret kursi yang ada di bawah meja dan mendaratkan pantatnya di sana. Wanita berhidung bangir itu menunggu sang suami di meja makan. Satu jam berlalu, teta
"Mila, buatkan aku teh dulu!" seru Dandy.Mila pun urung menyalakan kompor dan berjalan menuju alat pemanas air, yang biasa disebut dispenser, lalu membuat teh. Dia letakkan minuman itu di hadapan Dandy, tanpa berkata, dan bergegas kembali ke dapur. Belum juga panas nasi goreng yang ada di atas wajan, Dandy kembali berteriak, "Mila buruan! Dasar lelet!""Bentar, Mas. Ini juga barusan hangat."Beberapa menit kemudian, makanan telah tersaji di depan Dandy. Tanpa menunggu lagi, pria berwajah tirus itu melahap makanan dengan segera seakan belum makan seharian. "Mas, sebenarnya dari mana, sih, sampai kelaparan gitu?" Mila kembali bertanya setelah makanan di piring suaminya tinggal sedikit, heran dengan apa yang dilihatnya."Sudah berkali-kali kubilang, bukan urusanmu," ucapnya di sela-sela makan, "jangan bertanya lagi! Kalau tidak aku lempar makanan ini ke wajahmu!" Dandy mengancam tanpa mengalihkan pandangan dari piring."Tapi, Mas, aku berhak tahu semua yang berhubungan denganmu. Aku i
Dalam deringan yang ke tiga, barulah panggilan Mila tersambung, lekas dia melontarkan suara. "As-Assala-mualaikum, Nad." Mila berkata sambil menahan rasa sakit "Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa, Mila? Kenapa suaramu seperti itu?" "To-Tolong aku, Nad. A-Aku–" Belum selesai berkata Mila jatuh pingsan. *** Aroma obat yang menyengat menyeruak memenuhi seluruh rongga hidung Mila. Matanya mengerjap karena sinar lampu yang menyilaukan. Kemudian, dia menatap sekeliling dan tampak ruangan serba putih. Mila meraba kepala yang terasa pusing, tetapi tangannya tidak bisa bergerak bebas. Dilihatnya ada jarum yang menancap di tangan kanan. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya. Kembali, dia mengedarkan pandangan. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya ada suara dengkuran yang berasal dari sebelahnya. Dia tidak tahu itu siapa karena terhalang gorden yang memisahkan. "Pasti pasien lain," terkanya dalam hati. Mila meraba perut yang masih menyisakan rasa sakit. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa peru
"Nadia?" Mila menggoyang pelan lengan sahabatnya. "Eh, I-iya, iya. Ntar kalo pas jam kunjungan dokter, gue akan pinta pulang paksa. Tapi, lu yakin udah kuat?" Nadia kembali memastikan keadaan Mila. Wanita berlesung pipit itu tersenyum sambil mengangguk. "Insyaallah, aku dah kuat. Yang penting secepatnya aku harus pulang, Nad."Pasalnya, seharian itu Nadia menunggui Mila seorang diri. Dia sudah meminta izin kepada sang bos untuk tidak masuk kerja dan memberitahukan semua yang terjadi pada Mila, di saat Mila sedang dalam perawatan.Sore itu, tepatnya jam setengah empat, Mila pun dibolehkan pulang oleh dokter setelah diperiksa dan dipastikan semua baik. Tadinya, sang dokter menyuruhnya untuk menunggu satu hari lagi agar dapat dipastikan bahwa keadaan pasiennya itu benar-benar sudah baik dan sehat. Dengan sedikit paksaan, akhirnya perempuan berkalung stetoskop itu mengizinkan. "Baiklah, Bu. Anda boleh pulang hari ini. Tapi dengan catatan, apabila ada apa-apa dengan pasien pihak rumah s
"Milaaa!" Dandy memasuki rumah sambil berteriak dengan berang. Mila mencoba bangun dengan segera, tetapi tidak bisa karena badannya belum pulih benar. Baru saja wanita itu menapak lantai, Dandy sudah berada di ambang pintu dengan napas tersengal dan wajah merah padam.Pria yang dipenuhi rasa emosi itu mendekat lalu mencengkeram lengan istrinya. "Dasar wanita sialan! Gara-gara kamu aku jadi kalah seharian ini! Uangku habis tak tersisa dan semua itu karena panggilan sialan darimu dan juga temanmu! Kalau saja kamu tidak menghubungiku pasti sekarang uangku telah menjadi berlipat ganda!" murka Dandy."Mas ... sakit ...," desis Mila, "lepasin ...," mohonnya kemudian.Pria berjaket kulit hitam itu tak menghiraukan permintaan Mila. Dia semakin mempererat cengkraman. Mila merintih lalu menangis dan memegangi perut yang terasa kram akibat menahan sakit."Dengar, ya! Mulai detik ini jangan pernah menghubungiku apa pun yang terjadi!" Dihempaskannya tangan sang istri hingga Mila terhuyung ke bela
"Makasih, ya, Mas, udah mau nganterin Mila." Mila melepas helm dan memberikannya pada lelaki yang masih menatap takjub bangunan mewah itu. "Mas! Kok diem." Mila menepuk bahu Dandy."Eh, iya, maaf maaf," ucapnya seraya menerima helm yang diulurkan Mila. Benda itu diletakkan di depannya. "Gue balik, ya? Udah malam, nggak enak dilihat satpam," pamitnya. Mila mengangguk dan tersenyum manis. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas," ucapnya kemudian."No problem. Senang bisa mengantar gadis secantik lu."Mila tersenyum sipu mendengar ucapan Dandy.Lelaki bersuara berat itu memutar kunci motor dan menstater motornya, lalu menginjak persneling.Motor sport itupun melaju cepat meninggalkan Mila, yang tersenyum-senyum sendirian seraya menatap kepergian Dandy. Bunga-bunga asmara tampak bermekaran dalam hatinya. Gadis manis berlesung pipit itu sedang dilanda cinta pada pandangan pertama."Aduh." Mila menepuk dahi ketika teringat bahwa dirinya belum berkenalan dengan lelaki itu. "Kok bisa nggak i
Mila yang tadi sempat terduduk diam, segera beranjak mendekati Aldi dan menyeret lelaki itu, keluar rumah.Aldi yang bingung dengan tindakan tiba-tiba itu, hanya pasrah mengikuti Mila, dengan tubuh condong ke depan akibat seretan yang cukup bertenaga.Nampaknya, Mila menggunakan seluruh tenaga guna menyeret dan mengajak tubuh tinggi jangkung itu untuk keluar. Dia ingin bicara serius, empat mata, dengan Aldi tanpa ada gangguan dari pihak lain."Apa-apaan maksud Mas Aldi ini? Dia pikir aku wanita apaan?" Mila bermonolog selama berjalan menuju pelataran, sambil sesekali mengembuskan napas dengan kasar, mencoba meluapkan segala rasa yang membuncah di hati.Mila melepas kasar lengan Aldi, sesampainya di sudut pelataran, samping rumah, dekat dengan kebun kosong milik tetangga. Tempat sepi yang tepat untuk berbicara tanpa ada gangguan. "Apa maksud, Mas? Mengapa, Mas, tiba-tiba datang dan melamar Mila?" tanyanya menggebu dengan menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya.Aldi menatap teduh w
Sang pemilik suara hanya tersenyum simpul, menyaksikan ekspresi wanita yang mematung di ambang pintu itu. "Ma-Mas Aldi ...." Mila mengucek mata. Dia masih tidak percaya dengan penglihatannya. "Benarkah ... ini Mas Aldi?"Mila melangkah perlahan, sangat perlahan, menuju ke tempat Aldi seraya menatap lurus lelaki itu. Matanya enggan berkedip. Dia masih merasa ini adalah sebuah mimpi.Aldi berdiri. "Iya, ini aku," ucapnya seraya tersenyum samar."Ini bukan mimpi 'kan? Bukan ilusi juga 'kan?" tanya Mila lirih.Wanita itu masih melangkah tanpa melihat sekelilingnya, hingga akhirnya pekikan keras keluar dari bibir merahnya yang ranum, ketika kakinya terantuk kaki meja. Mila mengangkat sebelah kaki yang terasa sakit seraya merintih dan mendesis."Mil, kamu baik-baik saja?" tanya Aldi seraya mendekati Mila. Lelaki itu memegang tangan dan bahu Mila, lalu membimbingnya duduk ke sofa."Makanya, jalan itu lihat-lihat! Jangan main nyelonong aja!" seru Ikin yang berjalan masuk rumah lalu meletakka
Keesokan harinya, Mila meminta izin kepada pemilik toko kelontong untuk bekerja agak siang. Wanita itu akan meminta surat pengantar terlebih dahulu ke balai desa untuk pengajuan gugatan cerainya sebelum memulai pekerjaan. "Jangan terlalu lama, ya, Mil? Takutnya yang lain kewalahan karena toko lagi rame-ramenya.""Iya, Mbak. Secepatnya Mila akan segera kembali, setelah urusan Mila selesai." Mila menangkupkan tangan di depan dada. "Mila mohon doanya, ya, Mbak, supaya semuanya berjalan lancar dan diberi kemudahan.""Tentu saja, Mila. Doa terbaik Embak terlantun untukmu." Si pemilik toko berkata tulus karena sedikit tahu dengan permasalahan yang menimpa Mila, saat Mila meminta izin."Terima kasih banyak, Mbak, atas kemakhlumannya." Mila berkata dengan perasaan tidak enak. Dia pun segera beranjak keluar setelah si pemilik toko mengangguk..Sementara, di tempat lain, Ikin sedang berbicara serius dengan temannya yang bekerja di pengadilan."Kamu yakin semua ini tidak akan sulit dan dapat se
Sejak saat itu Ikin sudah tidak pernah tidur di bengkel lagi. Hubungannya dengan Mila pun mulai membaik karena wanita itu tidak pernah menyerah untuk meminta maaf, sehingga terjalin komunikasi yang cukup sering di antara keduanya. Hati Ikin lambat laun menjadi terenyuh dan melunak karena kegigihan Mila.Meskipun lelaki itu masih suka marah dan menghardik, tetapi Mila tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Dia tetap melayani kakaknya dan menyiapkan semua kebutuhan sang kakak layaknya seperti dulu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."Pokoknya, aku tidak boleh menyerah sebelum Bang Ikin memberi maaf padaku. Aku harus lebih bersabar lagi. Aku tahu jika saat ini Bang Ikin telah memberi maaf padaku, hanya saja belum mampu mengungkapkan secara langsung. Sabar Mila, Bang Ikin sayang banget, kok, sama kamu." Mila terus saja memotivasi diri di saat mendapat perlakuan keras Ikin. Dia tidak pernah merasa lelah tatkala menjalankan semua aktivitasnya--bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah, mem
Mila mendongak. "Mbak Zaenab ....""Ada yang mau mbak omongin. Kita ke ruang tamu, yuk?" Zaenab beranjak keluar kamar setelah berkata, lalu diikuti Mila dari belakang.Selama Ikin jarang pulang, Zaenab dan keluarga kecilnya kerap menginap di sana. Jarak rumah Zaenab dan ibunya tidak terlalu jauh, hanya berbeda RT saja. Akan tetapi, Zaenab tidak tega bila membiarkan Mak Inah yang masih belum sembuh benar hanya ditemani Mila. Untung saja, sang suami pengertian dan menuruti keinginan Zaenab tanpa banyak kata."Mil, ini ... temen mbak ada yang nawarin kerjaan. Lumayanlah buat hiburan, biar kamu nggak sedih dan melamun terus. Soal Ikin ... mbak akan bantu terus biar dia mau maafin kamu."Selama ini mbak sudah sering membujuk dia dan mencoba membuka pikirannya. Mungkin abangmu masih butuh waktu lagi. Setidaknya, dia sudah sering pulang," ujar Zaenab, setelah mereka duduk bersampingan di sofa."Kebetulan sekali, Mbak. Barusan Mila kepikiran untuk nyari kerjaan. Kerjaannya apa, Mbak?" tanya M
Malam itu, suami Zaenab dan anak sulungnya sedang asik menonton televisi. Sedangkan Nadia asik mengobrol dengan Zaenab yang sedang memangku anaknya sambil menepuk-nepuk bokong sang anak dengan pelan, berharap balita berusia kurang dari dua tahun itu lekas tidur. Nadia menceritakan semua yang dia ketahui tentang Mila saat sahabatnya berada di Jakarta, sebelum dan setelah menikah, dengan gamblang.Sedangkan Mila menemani ibunya di kamar. Dia juga menyuapi sang ibu, dengan bubur buatannya, saat makan malam. Namun, dia sendiri tidak makan, hanya menghabiskan beberapa suap sisa bubur Mak Inah, demi menyenangkan hati ibunya. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk makan karena memikirkan semua masalah yang timbul akibat ulahnya."Ibu lekas tidur. Mila akan menaruh mangkok dulu di dapur."Mak Inah menahan Mila yang hendak beranjak. "Mangkoknya taruh di meja saja, Nduk. Sini, kamu tidur bareng Emak sekarang."Mila mengangguk, tidak berniat menolak. Dia meletakkan mangkok lalu beranjak tidur di s
Sesampainya dalam kamar, Ikin segera menidurkan Mak Inah di atas kasur. Kemudian, dia duduk di pinggir ranjang, di samping ibunya. Lelaki itu memegang dan mengelus tangan wanita kesayangannya. Zaenab bergegas ke meja makan untuk mengambil air putih lalu membawanya ke kamar Mak Inah. Dia memberikan gelas berisi air minum itu kepada Ikin. Ikin segera meminumkannya kepada sang ibu. Gelas tersebut dia letakkan di meja kecil yang ada di samping ranjang, setelah Mak Inah meneguk sedikit air dalam gelas.Mila hanya menatap sang ibu dari ambang pintu. Air matanya meleleh tiada henti sedari tadi. Dia tidak sanggup berkata-kata. Lidahnya seakan kelu karena melihat keadaan Mak Inah, dan semua itu akibat ulahnya.Dalam hati, Mila ingin sekali mendekati dan merengkuh wanita yang melahirkannya itu, tetapi melihat amarah kakak laki-lakinya dia urung dan menahan keinginan dalam-dalam."Mil-Mila ...." Mak Inah merintih memanggil nama anak bungsunya sambil terpejam.Mila hendak melangkah mendekati ib
Mak Inah yang sedang merebah dalam kamar, segera beranjak bangun. Meski tubuhnya lemas, wanita paruh baya itu tetap berusaha bangkit dari tidurnya karena mendengar ada kegaduhan dari luar rumah. Dia berjalan ke luar rumah sambil merambat di tembok. Tubuh ringkih itu tak sanggup berdiri sendiri.Sesampainya di ambang pintu, mata Mak Inah membeliak mendapati anak bungsunya ada di sana."Milaaa ... anakku ....," ucapnya lirih, "benarkah itu kamu, Nak?" Air mata Mak Inah pun meleleh tanpa permisi.Rasa rindu yang selama ini terbendung akhirnya meluap hanya dengan melihat sekilas anaknya yang sudah lama tidak pulang. Matanya tak bisa melihat dengan jelas karena air mata yang terjun dengan deras, menggenangi pelupuk mata, dan juga tubuh Mila terhalang oleh anak laki-lakinya itu."Mila," gumam Mak Inah sambil melangkah maju. Dia lupa tidak berpegangan hingga terjatuh, tersungkur.Zaenab yang berjalan dari arah dalam langsung menjerit keras sambil berlari menghampiri Mak Inah. Wanita itu baru
Sebelum menjelaskan apa yang sedang terjadi, Aldi terlebih dahulu meminta maaf karena telah lancang dan tidak meminta izin sebelumnya. Lelaki berhidung mancung itu menjelaskan perihal rencananya, bahwa dia ingin mengadakan syukuran atas selesainya kasus Mila, bersamaan dengan syukuran kesembuhan kakak sulung Nadia."Oooh, jadi ini rencana Bang Aldi." Nadia berbisik pada Mila. "Bang Aldi ternyata sangat keren. Rugi kalo lu sampe anggurin dia, Mil," goda Nadia, masih tetap berbisik.Mila menyenggol lengan Nadia. "Kamu ngomong apaan, sih, Nad? Bener kata Mas Aldi, makin lama kamu makin ngaco," ucapnya lirih.Nadi hanya terkikik melihat wajah sahabat karibnya tersipu."Sekali lagi, saya minta maaf karena telah lancang. Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin acaranya lebih meriah, dan supaya bisa didoakan juga oleh banyak orang. Maka dari itu, saya mengundang anak yatim dan orang-orang yang berjasa pada Mila. Saya berharap semua keluarga yang berkumpul berkenan, terutama sang tuan rumah