"Aku besok ke luar kota, mungkin beberapa hari," ucap Akbar saat keluar dari kamar mandi. Sussana yang sedang memainkan ponselnya menoleh pada Akbar.
"Terus aku gimana?"
"Mau ikut? Ayo, aku malah senang kamu ikut," jawab Akbar. Lalu naik ke ranjang dan berbaring di sebelah Sussana yang bersandar pada head board.
"Ngajaknya kayak yang enggak ikhlas," sahut Sussana lalu meletakan ponselnya di atas nakas merebahkan diri memunggungi Akbar.
Akbar berdecak, "Enggak ikhlas gimana? Aku bilang aku senang kalau kamu bisa ikut. Jadi ada yang temani aku tidur juga, dibandingkan sendirian."
Sussana merubah posisinya kini ia berbaring menghadap Akbar yang tidur terlentang namun wajahnya menatap Sussana, "Pak Akbar bilang apa ? Temani tidur? Harusnya kalau cuma untuk temani tidur lebih baik beli guling bukan menikah dan menjadikan istri sebagai orang yang menemani tidur," tungkas Sussana.
Sabar, sabar, ucap Akbar dalam h
Hai para pembaca, jangan lupa tinggalkan jejak cinta kalian,
Masa magang Sussana telah berakhir, sekarang ia sudah mulai kembali ke kampus dan membuat laporan magang. “Habiskan dulu susu hangatnya,” pinta Akbar pada Sussana yang sudah siap berangkat kuliah. “Mau sarapan di jalan?” tanya Akbar pada Sussana. “Nanti aja di kantin kampus,” jawab Sussana sambil meletakan gelas pada wastafel cuci piring. “Pak Akbar, aku belum pamitan dengan divisi tempat aku magang, Enggak enak banget langsung ngilang gitu aja.” “Ya kamu buatlah acara perpisahan, makan-makan juga boleh. Sekalian aku publish kalau kamu itu istri aku,” titah Akbar. “Nanti aku bahas deh dengan Irgi dan Bima.” “Pak Akbar, jangan genit-genit sama Maya,” ucap Sussana sambil duduk pada sofa dan memakai sepatunya. “Perempuan itu agresif, aku takut Pak Akbar khilaf.” Akbar mengusap kepala Sussana, seraya mengatakan, Percayalah suamimu ini tipe laki-laki setia. Namun tidak mampu ia ucapkan, teringat dengan kejadian bersama Inggrid.
Aldi tertawa, "Kamu ngancam aku atau gimana nih maksudnya." Sussana mengedikkan bahunya, "Aku tau pekerjaan Kak Aldi selama ini loh," bisik Sussana. Wajah Aldi berubah datar, ia kemudian menarik tangan Sussana agar ikut dengannya meninggalkan kantin. Irgi dan Bima refleks berdiri dan menghalangi. "Enggak usah ikut campur, ini urusan gue," ucap Aldi. "Jangan begitu kak, semua bisa dibicarakan, lagi pula yang dikatakan Sussana benar. Dia sudah menikah," ungkap Bima. "Lepas," titah Sussana pada Aldi. "Enggak, loe ikut gue. Ada yang harus kita bicarakan," ucap Aldi. Dan disinilah mereka berada, cafe yang terletak tidak jauh dari kampus. "Cepet deh Kak, mau ngomong apaan sih," ucap Sussana setelah sampai di cafe. Pelayan datang menanyakan pesanan, Aldi menyebutkan dua jenis minuman tanpa bertanya pada Sussana karena sudah pasti perempuan ini tidak akan menyebutkan apapun. "Apa maksud kamu tau pekerjaa
Sussana semakin penasaran, “Kenapa Pak Akbar tidak mau rujuk kembali?” Terdengar helaan nafas Akbar, “Karena aku tidak bisa melupakan ketidaksetiaannya.” Akbar menoleh pada Sussana, “Apa yang kamu dan Aldi bicarakan?”“Hmmm.”"Sussana!""Enggak ada yang penting, aku cuma membela diri aja," jawab Sussana."Membela diri bagaimana?"Akhirnya Sussana menceritakan pembicaraan antara ia dan Aldi. "Kalau laki-laki brengsek itu kembali mendekati kamu, aku pastikan dia akan celaka.""Ishhh, jangan pakai kekerasan.""Lebih baik kamu istirahat atau ..." Akbar mendekati Sussana. "Pak Akbar mau ngapain?""Stttt, aku akan pelan-pelan." Akbar membuka kancing piyama Sussana satu persatu lalu melepaskan dan melemparnya, juga melucuti semua penutup tubuh Sussana.Mencium perut yang masih rata dan meremas bagian depan tubuh Sussana yang ukuranny
"Halo Sussana, sekarang gue lagi bareng dengan mantan istri suami loe dan yang loe harus tau, mereka belum lama ini bertemu diluar kota. Something happen between them." Terdengar Aldi terbahak. Akbar mengakhiri panggilan Aldi, kedua tangannya mengepal karena kesal. Dulu bocah itu mengacaukan rumah tangganya. Saat ini, ia tidak ingin hal itu terulang lagi. "Rupanya kamu berani bermain denganku," ujar Akbar. Menoleh karena mendengar Sussana bergumam, menghampiri wanita yang sedang mengandung anaknya. "Kenapa, sayang?" tanya Akbar sambil mengusap lembut surai Sussana. Tanpa disadari Sussana, ia tidur memeluk erat Akbar. Akbar tidak menolak, bahkan ia merasa senang jika istri kecilnya bisa agresif. Esok pagi, Akbar yang sudah siap ke kantor lengkap dengan pakaian kerjanya. Sedangkan Sussana baru saja bangun, mengucek kedua matanya memastikan dimana ia berada. "Kita di rumah Papih," ujar Akbar seakan tau yang menjadi kebingung
"Asal kamu tau, aku dan Pak Akbar memiliki hubungan. Hubungan saling memuaskan, jadi jangan senang dulu dinikahi oleh Pak Akbar. Nyatanya dia masih butuh pelampiasan dengan orang lain,” Maya sengaja menyampaikan hal yang tidak benar agar hubungan antara Sussana dan Akbar memburuk, hingga ada celah untuknya mendekati Akbar. "Sampai Pak Akbar tau aku melakukan ini, affair antara kami akan tersebar," ancam Maya. Sussana menitikan air mata, karena sakit di rahangnya dan juga hatinya. Setelah Maya melepaskan tangan dari rahang Sussana dan meninggalkannya, Sussana bergegas kembali ke ruangan Akbar. "Dari mana?" tanya Akbar namun tatapannya pada layar komputer. Sussana diam tidak berani menoleh, karena dia yakin tampilan wajahnya saat ini akan menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran. "Lain kali, bawa ponsel kamu," ucap Akbar. "Aku mau pulang," sahut Sussana yang saat ini kembali duduk pada sofa dan membelakangi Akbar. "Aku berencana
Aldi berdecak, “Yah, padahal ini penting banget apalagi suami kamu yang sudah tua itu sedang di luar kota.” “Dewasa Kak bukan tua,” Sussana meralat kalimat Aldi. “Udahlah, mending kita cabut,” ajak Irgi. “Eh nanti dulu. Sussana, kata kuncinya adalah Akbar dan Inggrid,” ujar Aldi sambil berlalu. "Maksud Kak Aldi apa?" Sussana kini berjalan berusaha mengejar Aldi. "Na." "Sussana." Panggil Irgi dan Reni serempak. "Udahlah Na, dia cuma mau provokasi loe aja" ujar Reni sambil menahan Sussana dengan mencekal lengan Sussana. Aldi tertawa, "Sebelumnya ke Surabaya, mereka punya cerita di sana. Sekarang ke mana?" Aldi memegang dagunya seakan sedang berfikir. "Ahhhh," ucapnya, "Jogya. Kenapa? Benar ucapan aku." Sussana menghela nafasnya, jujur ia tidak ingin berurusan dengan pria brengsek itu tapi ia penasaran dari mana Aldi tau urusan pekerjaan suaminya, dan tentang rahasia yang dimaksu
Berada di luar kota hanya dua hari dari perkiraannya yang akan menghabiskan waktu satu minggu, karena khawatir Sussana akan terpengaruh dengan Aldi.Meski hanya dua hari, rasa rindu itu tetap membuncah. Bahkan saat mereka sampai apartement Akbar langsung menyatukan bibir mereka. Sussana hanya bisa meremas kemeja Akbar bagian depan. Bahkan ciuman Akbar tersebut terasa sedikit kasar, bak seorang manusia kelaparan yang baru bertemu makanan. Sussana kewalahan, nafasnya terengah saat pagutan itu terpaksa berhenti karena tubuh Akbar yang ia dorong. "Pak Akbar, ihhhh," ucapnya. "Kamu enggak mau ubah panggilan ke aku?" tanya Akbar sambil merapihkan helaian rambut Sussana. Wajah istrinya dilihat dari dekat seperti ini tampak semakin menggemaskan. "Diganti apa?" Akbar hanya mengedikkan bahunya, "Enaknya kamu mau panggil apa?" Sussana yang sedang duduk setengah berbaring pada sofa tampak berfikir, "Hmm, Abang gak cocok. Kak
Masih sangat pagi saat Sussana terbangun dan bergegas ke kamar mandi, berada di wastafel memuntahkan isi perutnya yang masih kosong. Entah mengapa ia merasakan kembali rasa mual bahkan muntah seperti awal kehamilan. Sayup-sayup terdengar suara di kamar mandi membuat Akbar terjaga dan menoleh pada ranjang disebelahnya. Tidak menemukan Sussana di sana, ia pun beranjak menuju kamar mandi. “Loh, mual lagi?” tanyanya sambil memijat tengkuk Sussana. Wajah istrinya terlihat pucat, setelah membasuh dan mengelap dengan handuk kecil yang tergantung di sana, Akbar merengkuh Sussana dan membawanya kembali ke ranjang. “Aku buatkan teh hangat dulu,” ucap Akbar lalu menyelimuti tubuh Sussana. Menghabiskan setengah dari isi gelas yang Akbar sodorkan membuat perutnya terasa hangat, “Mas Akbar,” panggil Sussana dengan manja, “usapin punggung aku.” Akbar menghampiri Sussana setelah meletakan gelas yang dibawanya ke atas nakas, berbaring di belakang tubuh Sussana yang sedang dal
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A