Aldi berdecak, “Yah, padahal ini penting banget apalagi suami kamu yang sudah tua itu sedang di luar kota.”
“Dewasa Kak bukan tua,” Sussana meralat kalimat Aldi. “Udahlah, mending kita cabut,” ajak Irgi. “Eh nanti dulu. Sussana, kata kuncinya adalah Akbar dan Inggrid,” ujar Aldi sambil berlalu.
"Maksud Kak Aldi apa?" Sussana kini berjalan berusaha mengejar Aldi.
"Na."
"Sussana."
Panggil Irgi dan Reni serempak.
"Udahlah Na, dia cuma mau provokasi loe aja" ujar Reni sambil menahan Sussana dengan mencekal lengan Sussana.
Aldi tertawa, "Sebelumnya ke Surabaya, mereka punya cerita di sana. Sekarang ke mana?" Aldi memegang dagunya seakan sedang berfikir.
"Ahhhh," ucapnya, "Jogya. Kenapa? Benar ucapan aku."
Sussana menghela nafasnya, jujur ia tidak ingin berurusan dengan pria brengsek itu tapi ia penasaran dari mana Aldi tau urusan pekerjaan suaminya, dan tentang rahasia yang dimaksu
Jejaknya yesss, sebagai bukti kalian udah baca :)
Berada di luar kota hanya dua hari dari perkiraannya yang akan menghabiskan waktu satu minggu, karena khawatir Sussana akan terpengaruh dengan Aldi.Meski hanya dua hari, rasa rindu itu tetap membuncah. Bahkan saat mereka sampai apartement Akbar langsung menyatukan bibir mereka. Sussana hanya bisa meremas kemeja Akbar bagian depan. Bahkan ciuman Akbar tersebut terasa sedikit kasar, bak seorang manusia kelaparan yang baru bertemu makanan. Sussana kewalahan, nafasnya terengah saat pagutan itu terpaksa berhenti karena tubuh Akbar yang ia dorong. "Pak Akbar, ihhhh," ucapnya. "Kamu enggak mau ubah panggilan ke aku?" tanya Akbar sambil merapihkan helaian rambut Sussana. Wajah istrinya dilihat dari dekat seperti ini tampak semakin menggemaskan. "Diganti apa?" Akbar hanya mengedikkan bahunya, "Enaknya kamu mau panggil apa?" Sussana yang sedang duduk setengah berbaring pada sofa tampak berfikir, "Hmm, Abang gak cocok. Kak
Masih sangat pagi saat Sussana terbangun dan bergegas ke kamar mandi, berada di wastafel memuntahkan isi perutnya yang masih kosong. Entah mengapa ia merasakan kembali rasa mual bahkan muntah seperti awal kehamilan. Sayup-sayup terdengar suara di kamar mandi membuat Akbar terjaga dan menoleh pada ranjang disebelahnya. Tidak menemukan Sussana di sana, ia pun beranjak menuju kamar mandi. “Loh, mual lagi?” tanyanya sambil memijat tengkuk Sussana. Wajah istrinya terlihat pucat, setelah membasuh dan mengelap dengan handuk kecil yang tergantung di sana, Akbar merengkuh Sussana dan membawanya kembali ke ranjang. “Aku buatkan teh hangat dulu,” ucap Akbar lalu menyelimuti tubuh Sussana. Menghabiskan setengah dari isi gelas yang Akbar sodorkan membuat perutnya terasa hangat, “Mas Akbar,” panggil Sussana dengan manja, “usapin punggung aku.” Akbar menghampiri Sussana setelah meletakan gelas yang dibawanya ke atas nakas, berbaring di belakang tubuh Sussana yang sedang dal
“Ini peringatan terakhir, jangan main-main denganku. Saya kenal sebagian besar wanita yang kamu dekati. Saya bisa hancurkan kamu lewat mereka,” ungkap Akbar, “saya rasa kamu paham apa yang saya sampaikan. Silahkan lanjutkan pilihan hidup kamu dan jangan mengusik Sussana.” Setelah kepergian Akbar dan orang-orangnya, Aldi hanya bisa mengumpat karena tidak dapat berkutik melawan Akbar. Ia menghubungi seseorang dan melakukan janji untuk bertemu secepatnya. Malam harinya, Aldi sudah berada di depan unit apartement. Menekan belnya tidak lama kemudian terbukalah pintu, "Masuklah," titah Inggrid. "I'm give up, merayu Sussana agar hubungan mereka renggang apalagi bubar sangat sulit. Entah karena ia sudah sangat mencintai suaminya atau memang sudah tidak percaya padaku," ungkap Aldi. Inggrid yang memakai gaun tidur menyilangkan kedua tangan di dada, gaun pendeknya mengekspos kedua kaki yang terlihat jenjang dan mulus tanpa noda. "Oke,
"Shitttt," maki Akbar lalu menjauhkan tubuhnya dari Sussana yang langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Akbar meraih ponsel yang berada di atas nakas, ternyata panggilan dari Bowo yang sedang lembur. Cukup lama Akbar memberi arahan melalui telpon, setelah mengakhiri panggilannya, Akbar menoleh ke arah Sussana. Wanita dengan perut buncit dan terlihat semakin seksi itu sudah terlelap bergelung dengan selimut. "Dasar Bowo, ganggu aja. Udah begini mana aku tega bangunkan Sussana." . . . Esoknya, yang bertepatan dengan hari minggu, Akbar dan Sussana yang masih memejamkan mata sengaja bermalas tubuh untuk tidak bangun awal seperti hari biasanya. Sussana yang memeluk perut Akbar, bergerak merubah posisinya. Membuat Akbar terbangun dan menegang. "Ahhh, masih pagi udah turn on aja. Apa karena semalam gagal ya. Sayang, geser dulu. Posisi kita bahaya nih, aku bisa langsung terkam kamu kalau kamu enggak pindah posisi." Masih dengan memeluk Akbar namun salah satu lutut
“Aku sudah tidak ada urusan dengan Aldi,” ucap Inggrid. “Owh ya,” Sussana membuka ponselnya dan menampakan foto Aldi yang masuk ke dalam apartement Inggrid.Inggrid menatap tajam pada Sussana, Akbar meraih ponsel Sussana dan melihat foto yang dimaksud. Beberapa hari yang lalu saat Sussana pulang dijemput oleh orang-orang kepercayaan Akbar waktu ia bertemu Aldi di cafe. Sussana berniat mencari tau keseharian Aldi dan hubungannya dengan mantan istri Akbar. Mendapat rekomendasi dari ayahnya untuk melibatkan orang-orang kepercayaannya dan diperoleh beberapa informasi terkait Aldi, termasuk kedekatannya dengan Inggrid dan wanita lainnya. Kembali ke saat ini, "Inggrid, sebaiknya kamu pergi. Jangan buat keributan disini," titah Papih Akbar."Aku akan pergi, tapi kamu harus tau hal ini Sussana. Kelakuan suaminya saat di luar rumah." Inggrid memberikan amplop coklat pada Sussana. Sussana membuka amplop yang diberikan Inggrid, menata
Kedua mata Sussana nampak berembun bahkan kini mulai terisak. “Mas Akbar jahat, aku benci mas Akbar.” Sussana memukuli dada Akbar. Akbar merengkuh Sussana dalam pelukannya, “Maaf, sayang. Tapi aku sungguh-sungguh hanya mencintai kamu,” ungkap Akbar. “Sussana, kamu enggak kangen aku?” tanya Akbar. Masih berada dalam rengkuhan tubuh Akbar, Sussana hanya diam. Tidak perlu ditanya bagaimana rasa rindu Sussana pada Akbar, namun ia tidak ingin mengungkapkan. Walaupun Akbar sebenarnya sudah mendengar kerinduan Sussana. "Enggak," ucap Sussana lalu menjauh dari pelukan Akbar. Akbar meletakan dahinya pada bahu Sussana, sedangkan tangannya melingkar pada perut buncit wanita itu. "Tapi aku kangen banget." "Mas Akbar mending cepat pergi sebelum Bunda datang," ujar Sussana. Akbar mengeluarkan ponselnya dan menunjukan beberapa video yang bisa menjelaskan kejadian malam itu."Kamu harus percaya, sayang. Aku enggak ada sedikitpun
"Kita pulang ke apartement," ucap Akbar sambil memeluk Sussana. Sussana teringat sesuatu lalu menjauhkan tubuhnya. "Urusan kita belum selesai, Mas." "Hahhh. Urusan apa lagi sayang?" Sussana duduk di pinggir ranjangnya, menepuk sisi sebelahnya agar Akbar duduk. "Walaupun Mas Akbar sudah membuktikan tidak bersalah lewat video cctv kejadian di Surabaya, bukan selesai sampai di sini. Aku enggak mau ya, hal ini akan terjadi lagi." Akbar mengelus puncak kepala Sussana, "Aku bukan orang bodoh, hal ini tidak akan terjadi lagi. Kejadian kemarin karena aku terlalu lunak pada Inggrid hingga dia berfikir aku masih memiliki perasaan untuknya.” Sussana menatap Akbar, "Aku ingin hidup tenang, jika kejadian Mas Akbar tidak setia lebih baik kita pisah."Akbar meraih Sussana pada pelukannya, "Tidak akan Sussana, tidak akan ada pisah. Aku sayang kamu.” Sussana menatap wajah Akbar lekat, kedewasaan Akbar membuatnya terlihat semakin ma
Akbar bersandar pada kursi kerjanya, saat Ayu membacakan jadwalnya hari ini. "Jadi hanya ada pertemuan dengan Mr. James jam sepuluh, sesuai dengan permintaan Pak Akbar pertemuan akan diadakan dikantor kita. Setelah itu ada jadwal meeting internal pukul satu siang." "Hmm, kamu dan Bowo harus ada saat pertemuan dengan Mr James dan jangan gunakan private room."Bukan tanpa sebab Akbar melakukan banyak syarat saat bertemu dengan Mr. james, karena Inggrid adalah asisten pria itu. Akbar berjaga-jaga jika wanita itu memiliki ide untuk menjebaknya kembali.“Baik Pak,” jawab Ayu. Akbar menghubungi Sussana, untuk mengecek kondisi istrinya. Saat ia berangkat pagi tadi, Sussana masih terlelap dan saat ini harusnya sudah berada di kampus. Tidak kunjung dijawab, Akbar menghubungi orang kepercayaannya yang ditugaskan mengikuti dan mengawasi Sussana. Ia merasa lega mendengar informasi, Sussana sudah masuk kelasnya sejak setegah jam yang lalu. Bukan ha
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A