Akbar bersandar pada kursi kerjanya, saat Ayu membacakan jadwalnya hari ini. "Jadi hanya ada pertemuan dengan Mr. James jam sepuluh, sesuai dengan permintaan Pak Akbar pertemuan akan diadakan dikantor kita. Setelah itu ada jadwal meeting internal pukul satu siang."
"Hmm, kamu dan Bowo harus ada saat pertemuan dengan Mr James dan jangan gunakan private room." Bukan tanpa sebab Akbar melakukan banyak syarat saat bertemu dengan Mr. james, karena Inggrid adalah asisten pria itu.
Akbar berjaga-jaga jika wanita itu memiliki ide untuk menjebaknya kembali. “Baik Pak,” jawab Ayu.
Akbar menghubungi Sussana, untuk mengecek kondisi istrinya. Saat ia berangkat pagi tadi, Sussana masih terlelap dan saat ini harusnya sudah berada di kampus. Tidak kunjung dijawab, Akbar menghubungi orang kepercayaannya yang ditugaskan mengikuti dan mengawasi Sussana.
Ia merasa lega mendengar informasi, Sussana sudah masuk kelasnya sejak setegah jam yang lalu. Bukan ha
Author juga butuh mood booster nih, klik like, vote and koment ya
“Gimana bisa merubah mood aku, Mas Akbar bentak aku.” “Itu karena kamu tidak mendengarkan aku, kemarilah,” titah Akbar yang duduk disofa dan menepuk pangkuannya. “Aku bisa buat mood kamu berubah,” ucapnya sambil mengerlingkan matanya. "Enggak mau," ucap Sussana merajuk masih dalam posisi berdiri. "Sussana," panggil Akbar. Sambil menghentakan kakinya, tetap menghampiri akbar dan duduk dipangkuan pria tersebut. Akbar menatap lekat wajah yang Sussana yang tidak menatapnya namun lengan wanita itu mengalung pada leher Akbar. Tangan Akbar mulai menelusup ke dalam pakaian Sussana dan menyentuh serta meraba area yang membuat Sussana bergidik. Bahkan kini pakaian yang dikenakan sudah tersing
"Sayang," panggil Akbar pada Sussana. Sejak pulang dari makan malam dengan Inggrid dan Nola, Akbar melihat Sussana banyak diam. "Apa aku salah bicara atau karena dessert," batin Akbar. Sussana hanya melirik ke arah Akbar, kemudian kembali fokus pada layar TV. Sifat kekanakan Sussana muncul lagi, membuat Akbar menghela nafas dan harus extra sabar menghadapi istri kecilnya. Akbar ikut duduk di samping Sussana lalu merangkul bahunya. "Aku panggil kamu, kenapa diam aja?" "Apa," jawab Sussana sambil masih fokus pada layar TV. "Sussana, aku sudah pernah bilang, untuk bicarakan segala masalah atau hal yang membuat kamu tidak nyaman. Jangan mendiamkan aku, karena aku tidak bisa baca isi hati dan pikiran kamu." "Mas Akbar tuh nyebelin, enggak peka jadi laki-laki," sahut Sussana lalu mematikan tv, bangun dan meninggalkan Akbar. Berjalan dengan perut buncitnya, mengenakan daster tanpa lengan dengan bahan kaus. "Astaga," ujar Akbar sambil menyugar rambutnya. Ia pun menyusul Sussana masu
Sussana mengeratkan pelukannya, "Siapa sih Mas?" Akbar terkejut ternyata istrinya mendengar dering ponselnya. Apa jadinya kalau dia jawab, Nola yang menelpon dan mengiriminya pesan. "Eh, sudah bangun." Akbar berusaha mengalihkan pembicaraan. Sussana yang sedang menggerakan tubuhnya, "Masih ngantuk," ujarnya. "Mau enggak aku buat kamu langsung terjaga." Sussana memukul lengan Akbar, ternyata sudah teralihkan dan lupa pada pertanyaannya tadi. "Pasti minta jatah deh," sahut Sussana. Akbar tersenyum nakal lalu melepaskan kaos yang ia pakai langsung mengungkung Sussana. "Mau disini atau kamar mandi?" Sussana belum menjawab, "Ya sudah di sini saja," ujar Akbar lalu membenamkan wajahnya pada ceruk leher Sussana. Hembusan nafasnya membuat Sussana begidik apalagi saat Akbar menyesap kulitnya, Sussana hanya bisa mendesah pelan. Akbar meloloskan daster yang Sussana kenakan lalu menatap tubuh seksih istrinya. "Mas Akbar, lihatin apa sih?" tanya Sussana yang membuat Akbar tertawa. "Body kamu
Sussana berdecak, "Calon ulat bulu," ucap Sussana. "Ulat bulu?" tanya Akbar masih menggenggam erat tangan Sussana. "Iya ulat bulu yang suka nempel dan gatal. Teman Mas Akbar itu modelan kayak ulat bulu." Akbar mengajak Sussana berbelok pada toko pakaian khusus wanita, "Kita mau ngapain ke sini?" tanya Sussana menoleh pada suaminya. "Belanja pakaian hamil untuk kamu, aku lihat kamu masih sering pakai baju ngepress. Kasihan anak aku kejepit." Akbar mengelus perut buncit Sussana. "Ya enggaklah Mas, celana dan rok yang aku pakai pinggangnya karet," sahut Sussana. Mereka sudah berada di counter maternity. Akbar bertanya pada pramuniaga, “Model dress dan setelan maternity terbaru yang mana saja, biar istri saya pilih.” Pramuniaga itu mengangguk lalu menujukkan beberapa model pakaian hamil. Akbar mengikuti Sussana yang asyik memilih pakaian, salah satu tangannya masih membawa goodybag berisi dessert seakan benda berharga yang dijaga agar tidak hilang. Akbar menjadi pusat perhatian par
Plakk Tamparan Maya berhasil mendarat di pipi Sussana, ujung bibirnya terlihat mengeluarkan darah karena tamparan yang cukup keras. “Sebaiknya kalian lepaskan aku, dari pada aku ditemukan di sini. Mas Akbar dan keluarganya juga keluargaku tidak akan memaafkan kalian,” ancam Sussana. Maya tertawa, "Mereka tidak akan berani macam-macam kalau kami punya kartu AS yang bisa buat kalian bungkam," ujar Maya. "Aldi sebaiknya kita cepat siapkan," titah Maya pada Aldi. Sedangkan Pak Cipto yang sudah mendapatkan pesan dari Sussana bahwa majikannya itu sudah selesai urusan di kampus dan minta diantar pulang. Namun Sussana tidak kunjung datang, ia pun menghubungi Ponsel Sussana tidak dijawab. Pak Cipta bergegas menemui orang yang ditugaskan mengawasi Sussana. Mobil mereka hanya berjarak tiga mobil dari mobil yang dibawa Pak Cipto. "Kita cek gps yang dipasang di ponsel Nona Sussana." Mengutak atik ponselnya lalu terpampang keberadaan lewat sebuah titik yang bergerak. "Dari GPS ini terlihat N
“Cepat susul istrimu, urusan di sini biar Papih yang handle,” titah Yudha. Akbar baru sampai di rumah Sakit, Sussana sudah berada di UGD untuk pemeriksaan. Zudith lebih khawatir dengan kondisi kejiawaan Sussana juga keadaan kandungannya. Orangtua Sussana sudah dihubungi dan sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. "Keluarga pasien atas nama Sussana," panggil suster. "Saya suaminya." Akbar ikut dengan perawat untuk menemui dokter. "Sesuai permintaan keluarga, pasien sudah divisum untuk beberapa luka di tubuhnya. Saya sarankan rawat inap karena harus diobservasi oleh obgyn. Lagi pula pasien sepertinya masih trauma tadi masih sempat histeris. Sebenarnya, pasien telah berada dalam situasi apa, biar bisa kami sesuaikan untuk kelanjutan terapinya." "Istri saya diculik, juga menerima kekerasan fisik." Penjelasan Akbar membuat dokter memberikan kelanjutan terapi yang tepat untuk Sussana. Akbar menemui Zudith karena Sussana akan diantar ke ruang rawat bertepatan dengan kedatangan Gery
“Istirahatlah, besok kita akan bertemu dengan Om Ronald termasuk Ayah dan Bunda untuk membicarakan tuntutan pada dua orang bodoh yang berani bermain-main dengan keluarga Mahesa.” "Usapin punggung aku," pinta Sussana. Akbar tentu saja tidak menolak permintaan istri kecilnya. Tangannya terus mengusap punggung sang istri sampai terdengar dengkuran halus lalu membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh Sussana. Keesokan hari, setelah mendapatkan kunjungan dokter obgyn, Sussana diperbolehkan pulang karena tidak ada hal yang membahayakan baik bagi bayi dalam kandungan dan ibunya. Akbar membawa Sussana pulang ke kediaman Mahesa, disana sudah berkumpul Yudha, Zudith, Gery dan Halimah, serta pengacara keluarga Mahesa. "Bisa diceritakan detail kejadiannya seperti apa, saya juga akan merekam apa yang akan Ibu Sussana sampaikan," ujar Ronald. Sussana sempat menoleh pada suaminya, Akbar mengangguk seakan menyampaikan untuk Sussana mengatakan secara rinci kejadian yang dialaminya, sambil me
Cukup lama sahabat-sahabat Sussana datang untuk melihat keadaan Sussana dan menghiburnya. Sussana baru saja masuk kamar mandi untuk membersihkan diri, saat Akbar tiba. Tidak menemukan istrinya di kamar namun mendengar suara gemericik air di kamar mandi, Akbar tersenyum simpul lalu menyusul ke kamar mandi. Akbar memeluk dari belakang tubuh Sussana yang polos dan basah, membuat pemilik tubuh itu terkejut. Sussana menoleh, “Mas Akbar, mau ngapain?” tanya Sussana. “Mau mandilah, sekaligus layanan spesial untuk kamu.” Akbar membenamkan wajahnya diceruk leher Sussana yang basah dan licin karena sabun. Menyapukan sabun pada tubuhnya lalu memperbesar aliran air yang keluar dari shower agar sabun ditubuh mereka cepat luruh. Akbar membenamkan dan menyesap bahu, leher dan beberapa tempat di tubuh Sussana meninggalkan jejak cinta pada kulit putih tersebut. Akbar membalik tubuh Sussana, kini mereka berhadapan, menatap dua buah gundukan yang ukurannya terlihat semakin besar dan menantang. Kedua
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A