Pembaca yang budiman, tolong tinggalkan jejak ya. jangan lupa like dan vote juga, terima kasih
“Sayang,” ucap Akbar lalu berdiri dan menghampiri Sussana. “Kamu sejak kapan di dalam? Kenapa tidak kabari aku kalau mau ke sini?” Akbar merangkul Sussana dan mengajaknya duduk pada sofa. “Sejak Mas Akbar masih rapat. Yang jelas, aku dengar semua apa yang kamu bicarakan,” sahut Sussana. Akbar menghela nafasnya, “Kenapa tidak bilang kalau mau ke sini,” ujar Akbar. “Kalau aku bilang mau ke sini, enggak bakal dengar langsung pengakuan cinta tante Nola untuk kamu.” "Tapi, aku enggak ada perasaan dengan Nola.” Akbar menggenggam jemari Sussana seraya meyakinkan jika hanya ada Sussana dalam hatinya. “Aku tahu,” jawab Sussana. “Tapi rasanya kesal. Ada perempuan lain yang memuja damba laki-laki yang kita cintai.” Akbar terkekeh, Sussana menyorot kesal pada Akbar. “Ketawa sih, senang kalau banyak yang suka. Di perusahaan Om Bayu juga banyak penggemas Mas Akbar. Di sini juga sama.” Akbar kembali terkekeh. “Mas Akbar, apaan sih ketawa terus.” “Aku bahagia, sayang. Bahagia karena kamu terny
“Aku hanya tidak habis pikir dengan orang tua itu. Jelas-jelas Mas Akbar sudah berisitri, masih aja nawarin anaknya. Emang Tante Nola itu enggak laku atau gimana sih? Perasaan cantik tapi sampai segitunya suka sama laki-laki,” ungkap Sussana.Ponsel Akbar yang diletakan pada holder pun berdering. Sussana menoleh, tampak nama Nola terpampang dilayar ponsel Akbar. Akbar bingung, dia bagaikan makan buah simalakama. Mengabaikan telpon Nola atau menjawabnya akan berimbas pada reaksi Sussana.Kehamilan Sussana kali ini membuatnya harus lebih sabar. Apalagi dengan kecemburuan dan kebucinan Sussana. “Kok, diam. Kenapa enggak dijawab?” tanya Sussana.‘Tuh, ‘kan. Enggak dijawab salah, dijawab juga salah,’ batin Akbar.“Ini juga mau dijawab.” Akbar menggeser tombol hijau.“Loudspeaker!” titah Sussana. Akbar hanya bisa menuruti permintaan Sussana.“Halo,” ujar Akbar.“Halo, Akbar. Kita perlu bicara, berdua. Kapan kamu ada waktu?” tanya Nola di ujung telpon. Akbar berusaha tenang dan tetap fokus p
“Kamu melamunkan apa?” tanya Akbar karena sejak tadi Sussana hanya diam. Saat ini mobil yang dikendarai Akbar sudah terparkir di basement apartemen mereka, tapi Sussana masih diam di kursinya. Sussana tersadar lalu menoleh, "Kita sudah sampai?" "Sayang, jangan bilang kamu sejak tadi memikirkan masalah yang disampaikan Nola dan ejekan dari Ayah Nola? Jangan memikirkan hal yang belum terjadi, kita fokus pada hidup kita saat ini saja. Kamu sedang hamil, aku tidak ingin ada apa-apa dengan kalian." Sussaana menunduk, "Aku hanya takut." Akbar menggeser duduknya menghadap Sussana. "Takut? Takut apa, sayang?" tanya Akbar mengusap lembut puncak kepala Sussana. Sussana menoleh pada suaminya, "Takut kalau Mas Akbar tinggalkan aku atau ...." "Tidak akan sayang, kecuali kamu memperbolehkan aku menikah lagi ya ... aduh." Akbar mengusap pinggangnya yang dicubit Sussana. "Perih, sayang." "Apa maksudnya menikah lagi? Mas Akbar berencana punya istri lebih dari satu?" "Kalau kamu mengijinkan
“Sussana, aku tau kamu Sussana. Sejak tadi aku sudah mengikuti kamu.” Sussana memberanikan diri untuk menoleh. “Kamu .... " Sussana menatap sekeliling berharap ada yang memperhatikannya, khawatir jika posisinya terancam dia masih bisa meminta pertolongan. "Kamu takut denganku?" Sussana memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan rasa ketakutannya. "Kenapa Kak Aldi ada di sini?" tanya Sussana. Pria yang berada dihadapan Sussana adalah Aldi. Yang sebelumnya bekerja sama dengan Maya untuk mengancam Sussana yang berakhir pada kekerasan. "Kak Aldi seharusnya masih berada di ...." "Penjara," sahut Aldi. "Masa tahanan aku tidak seberat Maya, karena hanya bantu dia eksekusi. Bukti transfer pembayaran dari Maya membuat hukumanku tidak terlalu berat."Penampilan Aldi saat ini berbeda dengan Aldi yang dulu. Saat ini penampilannya tidak serapih sebelumnya yang terbiasa perawatan tubuh termasuk fitnes."Untuk apa Kak Aldi kemari?""Tentu saja untuk bertemu kamu. Sepertinya kamu semakin cantik
Tiba-tiba tubuh Sussana terhuyung karena dorongan dari pengunjung yang merangsek ke arah stage. “Aahhhh,” jerit Sussana saat tubuhnya akan terjatuh. Sussana sudah pasrah saat ini tidak ada pegangan untuknya menahan tubuh agar tidak terjerembab. Namun, merasakan tubuhnya menggantung dan menyadari ada tangan yang menahan tubuhnya. Setelah tubuhnya kembali berdiri, Sussana menoleh. “Kak Aldi,” ucap Sussana. Aldi sempat menoleh ke kiri dan kanan, lalu menarik tangan Sussana untuk berjalan mengikutinya. “Kak Aldi lepaskan tangan aku,” ucap Sussana. Menoleh ke belakang, berharap menemukan supir Akbar yang tadi mengikutinya tapi nihil. Kembali teringat saat Aldi membawanya paksa dari kampus. “Kak Aldi lepas, atau aku teriak,” ancam Sussana meskipun dia tetap berjalan mengikuti Aldi karena tangannya yang berada dalam cengkraman Aldi. Sussana di bawa ke parkiran basement lalu menuju ke salah satu mobil. “Kak Aldi, aku mau pulang.” “Tenanglah Sussana, aku hanya ingin mengajakmu bicara.” Su
Sussana bersandar pada head board ranjangnya, dengan tangan menahan selimut menutupi bagian depan tubuhnya. Akbar yang duduk pada sofa tidak jauh dari ranjang dengan tablet di tangannya. Tersenyum saat menoleh pada Sussana yang sedang cemberut. Hanya mengenakan boxer, fokus pada layar tabletnya. Bergegas dari bandara segera pulang mendapati Sussana yang terlelap. Padahal sejak tadi siang dia sudah siap menginterogasi Sussana mengenai Aldi. Penasaran dengan apa yang dikatakan Aldi kepada wanita yang sudah merajai hatinya. Tapi semua itu menguap saat dia Sussana bangun dan bangun jugalah gairahnya. “Enggak usah mancing-mancing,” ujar Akbar. “Mas Akbar, nyebelin,” sahut Sussana. Akbar terkekeh, “Istirahatlah. Hukuman kamu belum selesai,” tutur Akbar. Sussana berdecak. Meraih gelas berisi air minum yang ada di atas nakas. Selimut yang menempel pada tubuhnya bergeser saat Sussana bergerak, menampakkan punggung putih mulus milik Sussana. Akbar yang menyaksikan hal itu hanya bisa menelan
“Mas Akbar enggak balik ke kantor?” tanya Sussana dengan tatapan pada televisi dan tangannya sibuk dengan cemilan sehat yang dibuatkan oleh Bunda Halimah. Akbar yang duduk di samping Sussana pada sofa kamar Sussana hanya berdeham menjawab pertanyaan Sussana. “Aku enggak apa-apa kok, Bunda aja yang terlalu berlebihan bawa aku ke Rumah Sakit cuma karena kram perut.” “Itu bukan berlebihan tapi mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. Kita semua tidak mengerti masalah kedokteran jadi wajar kalau bertanya dengan yang ahlinya dengan membawa kamu ke Rumah Sakit,” sahut Akbar. Sussana menoleh pada Akbar yang sedang fokus pada tabletnya. “Kalau sibuk dan harus kembali ke kantor, aku enggak masalah loh.” Akbar berdecak, “Tidak ada hal yang urgent,” jawab Akbar lalu meletakan tabletnya pada meja sofa. “Kamu kenapa enggak istirahat sih?” tanya Akbar. Sussana bergeming, masih asyik dengan menyimak acara TV kabel dihadapannya. “Sussana!” panggil Akbar dengan nada yang agak tinggi. “Mas Akbar
Sussana dan Akbar menjejakkan kakinya di kediaman Yudha Mahesa. Sesuai dengan perintah Mamih Zudith, agar Akbar datang karena ada hal yang harus dibicarakan. Sebenarnya Zudith tidak mengatakan melarang Sussana ikut, tapi Akbar hanya khawatir jika yang dibahas ada hubungannya dengan Nola akan membuat Sussana cemburu atau berpikiran yang tidak-tidak. “Kamu sehat, sayang?” tanya Zudith pada Sussana sambil memeluk menantunya. “Gimana kehamilan kamu, ada keluhan?” tanyanya lagi. “Aku sehat, Mih. Keluhan sih ada, kalau kata Bunda masih normal untuk ukuran wanita hamil,” jawab Sussana. Kini Sussana, Akbar dan kedua orang tuanya duduk pada sofa ruang tamu. Asisten rumah tangga Zudith mengantarkan minuman dan makanan untuk menemani diskusi keluarga tersebut. "Diminum sayang, ini teh madu. Baik untuk kesehatan kamu, ini juga cookiesnya di coba ya. Buatan Laras, resep baru katanya," tutur Zudith. Sussana langsung menikmati hidangan yang ditawarkan Ibu mertuanya, bahkan cangkirnya kini sudah