Jejak juga penting yesss, :)
“Mas Akbar enggak balik ke kantor?” tanya Sussana dengan tatapan pada televisi dan tangannya sibuk dengan cemilan sehat yang dibuatkan oleh Bunda Halimah. Akbar yang duduk di samping Sussana pada sofa kamar Sussana hanya berdeham menjawab pertanyaan Sussana. “Aku enggak apa-apa kok, Bunda aja yang terlalu berlebihan bawa aku ke Rumah Sakit cuma karena kram perut.” “Itu bukan berlebihan tapi mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. Kita semua tidak mengerti masalah kedokteran jadi wajar kalau bertanya dengan yang ahlinya dengan membawa kamu ke Rumah Sakit,” sahut Akbar. Sussana menoleh pada Akbar yang sedang fokus pada tabletnya. “Kalau sibuk dan harus kembali ke kantor, aku enggak masalah loh.” Akbar berdecak, “Tidak ada hal yang urgent,” jawab Akbar lalu meletakan tabletnya pada meja sofa. “Kamu kenapa enggak istirahat sih?” tanya Akbar. Sussana bergeming, masih asyik dengan menyimak acara TV kabel dihadapannya. “Sussana!” panggil Akbar dengan nada yang agak tinggi. “Mas Akbar
Sussana dan Akbar menjejakkan kakinya di kediaman Yudha Mahesa. Sesuai dengan perintah Mamih Zudith, agar Akbar datang karena ada hal yang harus dibicarakan. Sebenarnya Zudith tidak mengatakan melarang Sussana ikut, tapi Akbar hanya khawatir jika yang dibahas ada hubungannya dengan Nola akan membuat Sussana cemburu atau berpikiran yang tidak-tidak. “Kamu sehat, sayang?” tanya Zudith pada Sussana sambil memeluk menantunya. “Gimana kehamilan kamu, ada keluhan?” tanyanya lagi. “Aku sehat, Mih. Keluhan sih ada, kalau kata Bunda masih normal untuk ukuran wanita hamil,” jawab Sussana. Kini Sussana, Akbar dan kedua orang tuanya duduk pada sofa ruang tamu. Asisten rumah tangga Zudith mengantarkan minuman dan makanan untuk menemani diskusi keluarga tersebut. "Diminum sayang, ini teh madu. Baik untuk kesehatan kamu, ini juga cookiesnya di coba ya. Buatan Laras, resep baru katanya," tutur Zudith. Sussana langsung menikmati hidangan yang ditawarkan Ibu mertuanya, bahkan cangkirnya kini sudah
Sussana menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya yang berbaring miring. Sedangkan Akbar merebah di belakang punggung Sussana dengan nafas memburu. Hari ini sudah dua kali Akbar menyentuh Sussana. Tadi siang ketika mereka masih berada di kediaman orangtua Akbar dan baru saja Akbar kembali mengulangi sesuai dengan ucapannya tadi siang.Meskipun Akbar selalu memperlakukannya dengan lembut saat penyatuan diri, entah kenapa Sussana sedikit khawatir karena kondisi perutnya yang sudah membuncit. Tangan Akbar kini melewati pinggang dan mengelus pelan perut Sussana.“Kesayangan Daddy, baik-baik saja ‘kan?” tanya Akbar.“Mas, geseran. Tubuh kamu lengket,” ujar Sussana.“Ini bukan lengket, tapi peluh penuh cinta. Istirahat sayang, terima kasih sudah membuat aku mengerang nikmat,” ucap Akbar di telinga Sussana. Sussana tidak menampik jika dia pun menikmati kegiatannya barusan. Entah mengapa semenjak berpisah dengan Akbar dan bertemu kembali di Jogja dan memutuskan untuk bersama dengan Akbar
"Bagaimana Akbar? Aku tau kamu akan bersikap adil pada kami," ujar Nola. Kini semua tatapan beralih pada Akbar, menunggu jawaban yang dipilih oleh Akbar. Akbar berusaha menelan makanan yang sedang meluncur di tenggorokannya. Berada di situasi paling membahayakan. Dia tidak tau respon apa yang akan ditunjukan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya saat ini. Menganggap Syamsul, Ayah Nola agak tidak waras karena merelakan putrinya menjadi istri kedua. Entah apa maksud dan rencana dari Nola dan Ayahnya. Tanpa menoleh pada Sussana yang ada di sampingnya, dimana saat ini Sussana menunduk dengan kedua tangan saling meremas di atas pangkuannya. Sangat memahami perasaan Sussana saat ini, tapi Akbar tidak ingin gegabah dalam bersikap agar tidak menyakiti hati Sussana, Nola juga Mamihnya. Entah neraka macam apa yang akan dia ciptakan jika dia harus hidup dengan dua istri. Akbar hanya bisa bergidik membayangkannya. “Akbar, kami menunggu,” ujar Ayah Nola. Akbar menghela nafas sebelum memulai
Hari-hari berlalu. Sejak pertemuan di restoran dengan keluarga Nola dan penolakan dari pihak Akbar terhadap ide gila Syamsul, Nola dan Akbar tidak pernah bertemu lagi. Kalaupun masih ada kerja sama diantara mereka, Akbar selalu meminta Bowo untuk mengatur semuanya. Perut Sussana semakin besar karena kehamilan yang sudah memasuki trimester ketiga. Bahkan keluhan sering keluar dari mulut mungil Sussana yang semakin manja pada Akbar. Mereka masih tinggal di kediaman Gerry, demi keamanan dan kenyamanan Sussana. Akbar sedang mengusap punggung Sussana, yang sejak dia pulang dari kantor mengeluh sakit juga pegal. Sebenarnya hal yang dikeluhkan Sussana wajar mengingat umur kehamilannya. Tapi Akbar merasa keluhan Sussana menyusahkan Sussana. Apalagi semakin kesini, Sussana semakin sering berkemih bahkan sulit tidur karena posisi yang serba kurang nyaman. “Masih sakit?” tanya Akbar karena dia pun sudah ingin beristirahat. “Bukan sakit, tapi pegal,” jawab Sussana. “Hmm.” “Sebelah sini Mas,”
“Kami bertemu di Mall, ditengah keramaian dan aku bersikap biasa saja. Enggak mungkin aku teriak-teriak menuduh Kak Aldi macam-macam dan di sana tempat umum kita tidak bisa melarang orang untuk datang ke sana. Kalau tidak percaya, periksa CCTV area tempat kami bertemu. Bagian mana yang tidak masuk akal dan logika Mas Akbar?” tanya Sussana.Akbar hanya bisa terpaku mendengar deretan kalimat yang diucapkan Sussana. ‘Ternyata kita akan kalah jika berdebat dengan wanita,’ batin Akbar.“Loh, ini mau kemana? Aku mau pulang,” ujar Sussana.Akbar hanya diam, karena jika dia bersuara Sussana hanya akan kembali mengajaknya berdebat. Merasa pertanyaannya diabaikan, Sussana mendaratkan cubitan pada pinggang Akbar.“Aduhhh, sakit sayang,” ucap Akbar.“Sakit juga aku, diabaikan oleh Mas Akbar,” sahut Sussana. Akbar hanya menggelengkan kepalanya. “Kamu ikut Mas ke kantor,” jawab Akbar.Sussana merubah posisi duduknya menyerong menghadap Akbar, “Mau ngapain ke kantor?”“Kamu maunya ngapain?” tanya ba
Akbar dan Sussana masih berada di kamar, sedang bersiap untuk menghadiri perayaan perusahaan rekan Akbar. Ketika mematut penampilannya di cermin, Akbar menoleh pada Sussana yang berjalan perlahan setelah mengenakan dress pesta khusus untuk ibu hamil. Mengikuti langkah Sussana yang ternyata menuju meja rias. Entah apa yang disapukan pada wajah itu. Dengan berbagai jenis tube, pensil, lipstik juga bedak bergantian di poles oleh Sussana pada wajahnya. “Kapan jadwal kontrol ke Rumah Sakit lagi?” tanya Akbar. “Minggu depan. Karena sudah lebih dari 36 minggu, setelah itu kontrol per satu minggu sampai aku melahirkan,” jawab Sussana. Akbar mengusap wajahnya melihat Sussana belum selesai dengan aktifitasnya. Karena saat ini, Sussana terlihat sedang mengatur bentuk rambutnya. “Sayang, kamu sudah cantik. Ini mau dibuat bagaimana lagi sih?” Sussana tetap dengan aktifitasnya. “Mas Akbar mending diem deh, aku cantik juga untuk Mas Akbar. Iya kali istri Akbar Putra Mahesa tampilannya biasa aja.
“Jadi, senyam-senyum dan merespon pria lain itu tidak salah?” tanya Akbar.“Haahh. Siapa yang merespon pria lain?”“Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain.”Sussana menghela nafas kesal, “Aku enggak ngerti maksud Mas Akbar.” Akbar melangkah, karena Sussana tidak bergeser dari posisinya. Bahu mereka beradu membuat Sussana oleng dan menghantam dinding.“Auwww,” jerit Sussana.Akbar menoleh dan panik melihat Sussana yang bersandar pada dinding sambil memegang pinggangnya.“Sussana, mana yang sakit?” tanya Akbar. Sepintas dia menyesal karena terlalu emosi dan sedikit kasar pada Sussana. Sussana menghempaskan tangan Akbar yang menyentuh perut dan pinggang Sussana.“Nggak usah pegang-pegang. Cemburu aja dibesarkan,” ucap Sussana lalu berjalan tertatih menuju ranjang. Akbar mengikuti Sussana tapi tidak berani menyentuhnya. “Sayang, masih sakit? Kita ke rumah sakit. Aku takut kamu kenapa-kenapa,” sahut Akbar.“Kalaupun ada apa-apa dengan anak aku, jelas itu karena Mas Akbar,” ujar
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A