Pak Cipto menghubungi Akbar, menyampaikan bahwa ia telah mengatarkan Sussana ke apartemen Akbar. Ternyata setelah pertemuan dengan rekan bisnisnya, Akbar masih harus mengikuti rapat keuangan.
Maya yang menjadi peserta rapat beberapa kali mencuri pandang pada Akbar. Tidak berani menghubungi Akbar karena pria arrogant ini sebelumnya melarang ia melakukan itu, cukup menunggu kabar darinya. Sedangkan Akbar sepertinya lupa untuk mengakhiri kerjasamanya denga Maya, karena saat ini ia sudah menikah.
Setengah tujuh malam rapat baru berakhir, Akbar segera meninggalkan ruangan bergegas pulang. Ia khawatir karena Sussana berada di apartementnya sendirian.
Saat membuka pintu apartement, Akbar menggelengkan kepalanya melihat Sussana sudah terlelap di sofa dengan tv menyala dan yang membuatnya menghela nafas agar tidak marah adalah berserakannya peralatan makan dan sisa makanan hasil delivery di meja sofa.
"Kamu harus sabar Akbar, konsekuensi me
"Lepasin kak, kita udah selesai. Aku enggak bisa lanjutkan hubungan kita," ujar Sussana."Tidak akan, kalau kamu belum...""Lepaskan!" teriak seseorang. Aldi dan Sussana menoleh pada arah suara, "Pak Akbar," ucap Sussana sambil melepaskan tangannya dari cengkraman Aldi."Kenapa sih, nie orang muncul terus kalau gue lagi dekat Sussana," batin Aldi."Maaf ini bukan urusan Anda?""Jelas ini urusan saya, apalagi kalau sampai menyakiti Sussana." Aldi terkekeh, "Mana mungkin saya menyakiti kekasih saya sendiri.""Kak Aldi kita sudah berakhir ya, It's over Kak.""Sudah selesai?" tanya Akbar pada Sussana, yang dijawab dengan anggukan. "Pulang!"Sussana berjalan mengikuti Akbar, "Sussana!" Panggil Aldi.Kini Sussana dan Akbar telah berada di dalam mobil, "Itu yang kamu bilang urusan hati yang kandas, kamu masih suka sama laki-laki itu?"Sussana menoleh pada Akbar yang sedang fokus
Hari-hari berlalu, tidak terasa sudah lebih dari dua bulan Sussana melakukan magang di perusahaan milik Akbar, bahkan tinggal dua minggu lagi Sussana akan kembali ke kampus."Sussana," panggil Akbar membangunkan Sussana yang masih bergelung selimut."Bentar lagi Bun, aku masih ngantuk. Kepala ku pening Bun," jawab Sussana. Akbar berdecak, "Hey, aku tidak toleran terhadap keterlambatan.""Sussana," panggilnya lagi."Iya, iya, aku bangun." Sussana menurunkan kakinya dari tampat tidur, "Semenjak tinggal di sini aku kurang tidur, digangguin terus." Akbar yang sedang mengancingkan kemejanya tersenyum mendengar ucapan Sussana.Saat Sussana berjalan melewati Ak
"Hamil?" Istri saya hamil Dok?" tanya Akbar."Betul, untuk lebih jelas tentang kehamilannya bisa konsultasi dengan obgyn."Akbar menatap Sussana yang tergolek lemah, menurut perawat Sussana tertidur. Akbar merasa bersalah karena kejadian tidak diduga saat ia bersama Maya dan melihat istrinya tertidur dengan titik-titik keringat di dahi. Ia jadi berfikir, apa benar semenjak menikah dengannya jam tidur Sussana terganggu.Memang Akbar tidak melewatkan kesempatan untuk mereguk surga dunia sejak ia menikahi Sussana. Karena memang itulah salah satu tujuan pernikahan, tidak mungkin ia bermain dengan wanita lain jika sudah memiliki istri.Apalagi istri Akbar yang usianya memang jauh lebih muda darinya terlihat sangat menarik dan menggoda untuk selalu disentuh. Akbar merasa tubuh Sussana sudah menjadi candu baginya."Akbar, gimana kondisi Sussana?" tanya Zudith yang baru saja tiba.Akbar mengajak Zudith ke luar agar
Sussana langsung merebahkan diri di ranjang saat ia masuk ke dalam kamar. Masih mendiamkan Akbar karena permintaannya pulang ke rumah orangtuanya diabaikan oleh Akbar."Enggak bersih-bersih dulu, ganti ba..." Akbar menghentikan ucapannya melihat Sussana bergegas berjalan menuju kamar mandi.Akbar berada di walk in closet sedang melepaskan kancing kemeja kerjanya saat Sussana ikut masuk hanya mengenakan handuk yang melilit tubuhnya. Kedua kaki jenjang nan mulus milik Sussana yang terekspos membuat Akbar pening, pening kepala atas dan bawah.Sussana mencari pakaian tidur selain gaun dan lingerie namun tidak menemukannya. Pakaian dan barang-barang milik Sussana yang ada di apartement Akbar adalah Zudith yang menyiapkan.Ia tidak membawa banyak perlengkapan dari rumahnya saat pindah ke apartement Akbar."Enggak ada ya, piyama atau pakaian tertutup buat tidur," ucap Sussana. "Itu juga tertutup," tunjuk Akbar."Iya, tapi pasti bik
Sussana duduk pada sofa, matanya sembab karena sejak Akbar memaksanya kembali ke unit ia mulai menangis. Akbar meletakan kantong berisi makanan yang dipesan online dan minuman kalengnya. “Sussana,” panggil Akbar. Sussana bergeming, ia tetap menatap ke depan, meskipun Akbar sudah ikut duduk di sampingnya.“Lain kali jangan berlari seperti tadi, apa kamu lupa kalau kamu sedang hamil,” ucap Akbar. “Saya juga Cuma mengingatkan, apa Bapak lupa kalau Bapak sudah beristri, sampai harus janjian dengan perempuan lain.”“Aku tidak ada janji dengan perempuan manapun termasuk Maya, tadi itu ...”“Udah deh Pak, kepala saya makin pening. Saya mau pulang ke rumah Bunda, terserah Bapak mau ngapain.” Sussana berdiri, namun tangannya dicekal Akbar. “Duduk,” titahnya.“Enggak.”Akbar menarik nafas panjang, sepertinya untuk menangani istri kecillnya ini dia tidak bisa men
"Mamih, makan bareng aku aja," ucap Inggrid menghampiri Zudith. "Owh maaf, tidak bisa. Mamih buru-buru, istrinya Akbar sedang kurang sehat, jadi mamih mau menemaninya.""Istri Akbar?" Ujar Inggrid."Iya, sedang hamil muda. Makanya Akbar enggak mau ninggalin sendiri."Kalimat itu sukses membuat Inggrid terdiam, berharap ia bisa mendekati Akbar kembali, namun info bahwa Akbar sudah memiliki istri apalagi sedang hamil sepertinya tinggal harapan semata.Sussana terus memuntahkan isi perut yang hanya tinggal air yang keluar. Akbar memapah Sussana kembali ke ranjang. Akbar keluar kamar untuk mengambil segelas air hangat."Minum dulu," pinta Akbar "kamu lemas banget Na. Apa kita ke rumah sakit aja?""Enggak, aku cuma mau tiduran aja." Akbar menyelimuti Sussana, itulah yang menjadi alasan Akbar meminta Zudith menemani Sussana karena ia ada rapat penting dan tidak tega meninggalkan Sussana."Na, makan
Akbar memandang leher turun ke dada yang masih terbungkus gaun tidur dengan tali kecil di pundak.Meloloskan gaun tersebut dari tubuh Sussana, kini ia juga melepaskan pengait penutup dada yang berwarna sama dengan penutup inti Sussana. Setelah membuat istrinya polos, Akbar memindai Sussana, membuat si pemilik tubuh merona."Pak Akbar!!"Akbar hanya terkekeh, kemudian membenamkan wajahnya diceruk leher Sussana. Menciumi garis leher Sussana bahkan menggigitnya meninggalkan jejak cinta di sana.Turun ke dada Sussana yang terlihat lebih besar dan kencang dari biasanya. Akbar bermain dengan puncak dada tersebut bergantian kiri dan kanan. Menjilat, mengulum dan menghisap membuat si pemiliknya mendesah dan meremas rambut Akbar.Setelah merasa puas, tangan Akbar menyentuh bagian inti Sussana yang sudah terasa sangat basah.Lalu membenamkan lidahnya di s
Akbar berjalan menuju ruang kerjanya bersama Bowo menjelaskan beberapa hal terkait operasional perusahaan. Saat melewati meja Ayu, “Pak, ada yang menunggu Bapak di dalam,” ucapnya.“Siapa? Saya tidak ada janji lagi setelah ini.”“Saya juga sampaikan begitu, tapi kata beliau Bapak tidak mungkin menolak kedatangan beliau,” sahut Ayu.Akbar penasaran dengan orang yang dimaksud Ayu, lalu membuka pintu ruang kerjanya diikuti oleh Bowo, “Hmm, kembang kantil itu mah. Bapak urus dulu deh, nanti saya lanjutin lagi,” ujar Bowo lalu meninggalkan Akbar yang masih terpaku di tengah pintu.“Hai Akbar,” sapa Inggrid yang duduk pada sofa dengan menyilangkan kaki. Mengenakan rok pendek hingga memperlihatkan kedua paha yang terlihat mulus. Akbar tidak menjawab, ia menuju kursi kerjanya. “Ada apa? Kita tidak ada janji temu, saya sibuk.” Sambil memperhatikan layar monitor dengan tangan menggerakan mouse
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A