Seminggu bukan waktu yang sebentar bagi Kia. Selama itu pula ia harus berpura-pura bahagia di hadapan seluruh keluarga besarnya. Bersikap munafik pada dirinya sendiri. Bersembunyi di balik senyuman merekah yang selalu ditebar kepada semua orang yang ditemuinya. Terutama ayah dan bundanya. Semua ini ia lakukan demi kebahagiaan mereka berdua. Tidak ada yang paling berharga kecuali senyuman dari kedua orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak dirinya dalam kandungan hingga sedewasa ini.
"Kamu yakin mau tinggal bersamaku di rumah kontrakan?" Untuk kesekian kalinya Bimo menanyakan hal itu. Memastikan tidak ada keterpaksaan bagi Kia untuk mengikutinya.Bimo tak habis pikir jika Kia yang selama ini hidup bak seorang putri raja bersedia ikut pulang ke rumah kontrakan yang sejak setahun lalu disewanya. Kia menghentikan aktivasinya yang tengah memasukkan pakaian ke dalam koper. Lalu dengan ekspresi datar Kia menatap Bimo."Apa Mas Bimo nggak yakin dengan pernikahan kita?" Kia melayangkan pertanyaan menohok yang sukses membuat Bimo tertegun."Kenapa kamu nanya gitu?" tanya Bimo lalu duduk di tepi ranjang dekat dengan koper yang sedang diisi pakaian oleh Kia."Mas Bimo sendiri kenapa nanya gitu?" Setelah berhasil membungkam bibir Bimo, Kia kembali melanjutkan kegiatannya.Hari ini adalah hari terakhir mereka cuti dan mulai besok mereka harus kembali bekerja. Maka di hari ini pula Kia dan Bimo harus segera bersiap pergi. Sebenarnya kedua orang Kia sudah menawari sebuah rumah mewah untuk mereka berdua tinggali setelah menikah. Tapi Bimo menolak. Meskipun dirinya tidak akan mampu membeli rumah mewah seperti yang mampu dibeli oleh keluarga Alfarizi hanya dengan sekali ucap. Sebagai seorang laki-laki tentu Bimo tidak ingin menerima semua pemberian orang tua sang istri dengan cuma-cuma. Bimo yakin dirinya pasti mampu membahagiakan Kia dengan cara dan kerja kerasnya sendiri.Gerak-gerik Kia menjadi satu-satunya perhatian Bimo saat ini. Seperti biasanya Kia akan selalu terlihat cantik meskipun hanya berpenampilan sederhana. Gadis itu hanya mengenakan celana jeans berpadu kaos yang sedikit longgar. Setahun memperhatikan Kia tentu Bimo sudah hapal dan mengetahui cara berbusana dan berdandan Kia. Gadis itu tidak pernah mengenakan pakaian terbuka ataupun memoles wajahnya dengan make up tebal. Namun bukan berarti tubuh Kia tidak seksi. Justru di balik penampilannya yang tertutup, Kia selalu terlihat seksi dan menawan di mata Bimo.Mungkin jika perempuan lain yang mendapatkan perhatian dari Bimo seintens ini akan merasa canggung dan salah tingkah, Kia tentu saja sebaliknya. Perempuan itu dengan santai melanjutkan aktivitasnya hingga selesai.Sreeet... Suara resleting koper menjadi satu-satunya suara yang menemani dengung mesin pendingin kamar. Kia hanya menatap Bimo sekilas sebelum kembali masuk ke arah walk in closed untuk mengecek ulang barang-barang penting miliknya yang mungkin saja tertinggal. Jadi Kia sudah membawa 2 koper besar untuk mengangkut barang-barang pribadi yang menurutnya paling dibutuhkan nantinya. Di ruangan berukuran 3x3 meter tersebut Kia memindai seluruh isinya."Mana mungkin aku bawa semua ini," gerutu Kia saat melihat koleksi tas dan sepatunya yang masih utuh di sana. Tadi Kia hanya mengeluarkan 3 pasang sepatu vantovel dan beberapa high heels berwarna netral serta sandal untuk dibawanya. Menyadari keadaan Bimo tentu Kia tidak akan melakukannya. Ia harus bisa mengimbangi Bimo. Jangan sampai suaminya merasa minder atau pun merasa berada di bawahnya.Akhirnya Kia meraih dua sepatu sport untuk acara santai di luar kantor atau lebih tepatnya saat sedang ke luar bersama Bimo nantinya. Kia terkejut saat ke luar dari walk in closed melihat Bimo yang sedang bertelanjang dada."Udah siap?" Ujar Bimo sembari mengenakan kaos berwarna hitam bertuliskan remember me di bagian tengahnya."Su sudah Mas," sahut Kia terbata karena tanpa sadar ia justru mengagumi tubuh atletis Bimo yang terpampang nyata di depan mata.Kia segera mengalihkan pandangan saat merasakan wajahnya yang mulai memanas. Bahkan Kia bisa merasakan kerja jantungnya yang mulai memompa dengan keras. Gegas Kia meraih tas selempang yang sudah diisinya dengan dompet dan ponsel. Pun dengan Bimo segera mengenakan tas ransel miliknya."Biar aku aja!" Bimo segera mengambil alih koper yang hendak dipegang oleh Kia.Melihat Bimo dengan ransel di pundak dan menyeret dua koper tentu saja membuat Kia tak enak hati."Yang ini biar Kia aja yang bawa Mas," Kia merebut paksa salah satu koper lalu segera menyeretnya ke arah pintu. Mulai sekarang Kia harus terbiasa menyebut aku dan kamu. Tapi karena Kia sudah terbiasa memanggil Mas Bimo sejak mereka kenal setahun yang lalu maka Kia memutuskan akan tetap memanggil Bimo dengan sebutan Mas.Di ujung tangga ternyata sudah ada supir dan satu pembantu laki-laki keluarga Alfarizi yang sudah menunggu mereka berdua di sana. Mereka bersiap untuk membawakan barang-barang milik kedua majikannya. Awalnya Bimo menolak karena merasa tak nyaman dengan perlakuan dua karyawan laki-laki keluarga Alfarizi yang menurutnya sangat berlebihan. Apalagi sejak kecil Bimo sudah terbiasa melakukan apapun sendirian."Ayo Mas!" Ajak Kia lalu berjalan lebih dulu. Bimo menatap mereka berdua sejenak lalu menyusul langkah Kia.Sesampainya di bawah ternyata seluruh keluarga Kia sudah menunggu di sana. Termasuk Azka dan Arletta, abang dan kakak iparnya."Kenapa sih kalian nggak tinggal bareng kita aja di sini?" ujar Azka yang memang sejak awal kurang setuju dengan keputusan pasangan pengantin baru tersebut pindah rumah."Jangan lebay deh Bang. Kia nggak ke mana-mana juga. Kan kita tetap berdekatan. Entar tiap hari kita maen sini deh. Iya kan Mas?" balas Kia seraya meminta dukungan dari sang suami."Iya, lagian kita setiap hari kan juga ketemu di klinik," sahut Bimo membenarkan ucapan Kia."Bukan lo Bim. Tapi berpisah dengan adik gue ini yang bikin gue sedih," tukas Azka lalu memeluk Bimo. "Jagain adik gue dengan baik ya. Awas aja klo lo berani macem-macem!" bisik Azka yang tentu saja bisa di dengar oleh semua orang yang ada di sana."Tentu saja," balas Bimo dengan singkat.Tiba-tiba kedua mata Kia berembun kala netranya berhenti pada dua sosok paling penting dalam hidupnya menatap dirinya dengan sendu."Bunda!" Kia menghambur ke dalam pelukan Aisyah dengan menangis. Pun dengan Aisyah yang turut meneteskan air mata. Ini adalah kali pertama Aisyah akan berpisah dengan putrinya.Selama ini Kia memang tidak pernah berjauhan dengan kedua orang tuanya. Tidak seperti Azka yang memang sudah terbiasa berada jauh dengan keluarga sejak melanjutkan pendidikan di Jakarta."Udahlah Bun, jangan menangis! Harusnya kita bahagia karena akhirnya sudah ada seseorang yang akan menjaga Kia dengan baik. Yah.. Meski Ayah juga cemburu dengan anak menantu kita ini," sahut Ardan seraya mengusap bahu Aisyah untuk menenangkan."Tapi Mas, rasanya aku nggak tega..." Aisyah tercekat. Tak mampu lagi mengungkapkan perasaannya kecuali dengan air mata."Bunda nggak perlu khawatir, insyaallah saya akan membahagiakan Kia. Kalau memang Bunda kangen atau ingin bertemu Kia, Bunda tinggal telpon. Nanti saya akan langsung membawa Kia ke hadapan Bunda," sambung Bimo turut terbawa merasakan keharuan.Bimo teringat saat mengantarkan seluruh keluarganya ke stasiun tiga hari lalu. Perpisahan yang kesekian kali. Tapi perpisahan ini terasa paling menyakitkan karena Bimo akan dipastikan menetap di Yogyakarta. Dulu dirinya merantau demi menempuh pendidik dan mengejar cita-cita. Sekarang ia justru menemukan tambatan hati sekaligus keluarga baru di Yogyakarta. Meski begitu Bimo sudah berjanji akan rutin pulang saat memiliki waktu luang."Dengerin Bun, anak menantu kita manis banget!" Ardan menyahut dengan tergelak."Jadi penasaran, kira-kira manis mana antara Mas Ardan dan Bimo?" Aisyah mengurai pelukannya bersama Kia sembari mengusap jejak basah di kedua pipinya."Jelas manis Bang Azka dong!" Letta tak ingin ketinggalan untuk membanggakan sang suami yang memang faktanya selalu bersikap manis padanya.Setelah puas bercanda mereka pun mengantarkan pasangan pengantin baru tersebut hingga sampai di depan rumah.*****Kia tertegun, menatap rumah minimalis bercat putih di hadapannya. Menghela napas panjang lalu secara perlahan mendekat. Inilah tempat tinggalnya yang baru. Tinggal beberapa langkah lagi dirinya akan menjadi bagian dari rumah tersebut. Kehidupan barunya akan dimulai dari sini. Tak ada lagi Kia yang manja. Tak ada lagi pembantu yang selalu mengurus semua kebutuhannya sehari-hari. Semuanya harus ia lakukan sendiri demi bakti kepada sang suami."Maaf istriku, aku belum mampu memberikan rumah mewah untukmu," bisik Bimo yang tanpa disadari Kia sudah berdiri di sampingnya."Bu... Bukan itu maksud aku Mas." Mendadak Kia merasa tak enak hati karena khawatir membuat Bimo tersinggung."Ayo kita masuk! Tadi pagi aku udah nyuruh orang untuk membersihkan rumah kita," lanjut Bimo lalu segera menuju pintu dan membuka kuncinya.Kia menurut. Masuk lebih dulu ke dalam rumah saat Bimo mempersilakan."Masuk aja. Aku ambil barang-barang kita dulu." Bimo bergegas kembali untuk mengambil barang-barang mereka di dalam mobil.Kia mulai melangkah masuk. Seperti dugaannya, rumah ini sangat kecil baginya. Menuruti rasa penasarannya Kia mulai melangkah. Dimulai dengan ruang tamu yang lebih didominasi dengan warna putih. Ruang kedua, Kia mendapati ruang keluarga yang hanya diisi dengan satu sofa tunggal berwarna creame dan satu bufet berbahan kaca yang berfungi sebagai wadah TV sekaligus tempat menyimpan buku. Kia mendekat, merasa penasaran buku apa saja yang biasa dibaca oleh sang suami. Kia tersenyum simpul saat mengetahui koleksi buku Bimo yang ternyata tak hanya buku-buku tentang ilmu kesehatan. Di antara rak buku itu ada satu saf yang berisi buku-buku fiksi. Di lain kesempatan Kia pasti akan membaca buku-buku tersebut.Berikutnya Kia memasuki kamar berukuran 3x2 meter. Ruangan itu hanya berisi satu set meja kerja dan 1 lemari kaca berisi pakaian dinas milik Bimo yang tergantung rapi di sana. Lalu beralih ke ruangan tertutup yang tersisa. Kia yakin itu adalah kamar tidur mereka berdua nantinya. Bukannya menuju kamar utama Kia justru kembali ke ruang keluarga."Kenapa nggak langsung masuk ke kamar?" ujar Bimo yang membuat Kia terkejut seketika."Aku nunggu Mas Bimo aja," balas Kia merasa sungkan. Biar bagaimana pun Bimo lah sang pemilik rumah. Jadi tak selayaknya Kia bertingkah lancang dengan memasuki kamar pribadi milik laki-laki tersebut.Bimo mengulas senyuman lalu mengajak Kia untuk melihat kamar mereka. Jantung Kia mulai berlonjatan saat mengikuti langkah Bimo."Ini kamar kita," terang Bimo sembari membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan Kia untuk masuk.Tatapan Kia tertuju pada Bimo sejenak lalu memasuki kamar tersebut. Kembali Kia tertegun saat melihat suasana kamar bernuansa serba putih di hadapannya. Sangat bersih, rapi, wangi, dan terasa nyaman."Ya di sinilah nanti kita akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama," goda Bimo dengan berbisik tepat di telinga Kia."Ma maksudnya?" Kia terbata tanpa berani bergerak sedikit pun saat hembusan napas hangat Bimo menerpa belakang kepalanya. "Kita cuma tidur Mas, nggak ngapa-ngapain!" Tegas Kia yang justru membuat Bimo merasa geli."Ya emang tidur. Trus mau ngapain lagi." Bimo semakin gencar menggoda, Bimo yakin saat ini wajah sang istri pasti sudah memerah karena ulahnya."Klo kamu keberatan aku akan tidur di sofa.""Bu.. Bukan gitu Mas!" tukas Kia dengan spontan berbalik badan. Pun dengan kepala Kia yang juga mendongak demi menatap wajah Bimo.Pergerakan spontan Kia berhasil mempertemukan ujung hidung mereka berdua."Lalu?" Senyuman di bibir Bimo seketika berubah kala bibir merah muda milik Kia berada tepat di hadapannya.Jakun Bimo tampak bergerak naik turun melihat wajah Kia yang hampir tak berjarak dengannya. Ingin rasanya Bimo membekap bibir itu dengan bibirnya saat ini juga. Tapi akal sehatnya masih berfungsi dengan baik sehingga semuanya masih aman terkendali.Menyadari posisi mereka yang terlalu intim, Kia segera mengambil langkah mundur lalu kembali berkata, "Mas, kamar mandinya di mana?"Bimo hanya mampu tersenyum geli melihat sikap salah tingkah Kia. Setelah Kia menghilang di balik pintu kamar mandi Bimo kembali menyeret koper milik Kia masuk ke dalam kamar mereka. Meletakkan di sisi ranjang, barangkali nanti Kia ingin langsung memindahkan barang-barangnya ke dalam lemari berpintu 2 yang sudah Bimo siapkan. Bimo sendiri hanya menyisakan beberapa pakaiannya di sana karena khawatir tidak muat. Bimo tahulah bagaimana Kia selama ini. Isi walk in closed di kamar Azka pastilah tak sebanding dengan milik Kia. Bimo pernah beberapa kali masuk ke dalam kamar Azka. Dan jangan ditanyakan isi walk in closed milik sahabatnya yang kini menjadi kakak iparnya tersebut. Apalagi Kia perempuan yang tentunya memiliki koleksi fashion yang lebih banyak dan beragam. Sebenarnya Bimo sempat ragu saat menerima pernikahan ini. Hanya karena rasa cinta yang dimilikinya untuk Kia, Bimo nekad menerima perjodohan yang ditawarkan oleh keluarga Alfarizi. Ya, meskipun Kia tak pernah memandangnya selama
Berulang kali Kia membaca ulang kartu ucapan misterius tersebut. Mencoba mengingat siapa seseorang yang menyebut sebagai pengagum rahasianya. Seingat Kia, setelah patah hati atas pengkhianatan Zyan dulu ia tidak memiliki teman laki-laki yang akrab. Kia sengaja menjaga jarak dengan laki-laki yang bukan dari keluarganya. Bukan karena Kia sombong atau memiliki standard pribadi untuk pertemanannya. Tapi Kia hanya ingin menjaga hatinya agar tidak sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang sama, yaitu jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Kia tidak ingin kisah itu terulang kembali. Maka tak heran jika Kia betah menjomlo begitu lama. Kia justru pasrah menunggu jodohnya datang sendiri. Karena Kia menyakini bahwa jodoh dan kematian adalah takdir yang tidak akan bisa berubah. Takdir yang sudah digariskan sejak manusia berusia 4 bulan dalam kandungan ibunya. Saat ruh anak manusia untuk pertama kali ditiupkan. Tak ingin terlalu memikirkan surat misterius tersebut Kia lantas membuka laptop di had
“Apa nggak enak makanannya Sayang?” ujar Bimo saat melihat Kia yang tampak tak bersemangat menyantap makanannya.Kia mendengus kesal. Kia merasa tidak nyaman dan tidak terbiasa dengan panggilan sayang dari laki-laki lain kecuali ayahnya. Memang Bimo suaminya, tapi tetap saja Kia tidak menyukai panggilan tersebut.“Atau kita cari tempat makan lain aja? Kamu pasti tidak terbiasa datang ke rumah makan seperti ini,” imbuh Bimo merasa bersalah karena mengajak Kia ke rumah makan sederhana bukannya ke pergi restoran.“Bukan, bukan itu masalahnya Mas,” jawab Kia sembari memegang tangan Bimo yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya.Bimo menatap Kia penuh arti lalu kembali menempati tempat duduknya. Mendapatkan tatapan tak biasa dari Bimo barulah Kia berterus terang dengan ketidaknyamanan yang dirasakannya. “Jangan panggil aku sayang lagi ya? Aku malu apalagi di hadapan orang lain,” jujur Kia seraya mencoba tersenyum semanis mungkin. Seketika
“Pantesan kamu betah berada di kantor,” sambung Bimo tanpa menyadari perubahan wajah Kia. Sebenarnya Kia bekerja keras selama ini hanya untuk menyibukkan diri agar tidak lagi memikirkan Zyan. Selain itu agar kedua orang tuanya tidak mendesaknya untuk segera menikah.“Apalah gunanya sebuah kemewahan jika hati merasa sendiri,” lirih Kia sukses mengalihkan perhatian Bimo. “Ayo pulang Mas, udah jam 1, kita juga belum sholat,” imbuh Kia kemudian melangkah menuju pintu ke luar sebelum laki-laki itu kembali melayangkan pertanyaan.Bimo menyusul langkah Kia dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Di matanya, Kia adalah perempuan sempurna baik fisik maupun kehidupannya. Keluarga Kia sempurna. Lalu maksud dari perkataan Kia tadi apa? Benarkah Kia merasa sendiri di tengah-tengah limpahan kasih sayang dari keluarga dan harta benda?. Bukan waktu dan suasana yang tepat untuk Bimo berbicara. Nanti saat mereka telah sampai di rumah Bimo akan berbicara dari hati ke hati.
“Gimana boleh nggak?” sambung Bimo karena Kia masih saja membeku dalam pelukannya. Bimo bertahan dengan ekspresi serius. Belum saatnya tawanya meledak meskipun Bimo harus menahan mati-matian agar tidak sampai terlepas. Bimo belum puas memandangi wajah cantik Kia dengan jarak sedekat ini.“A apa Mas. Mas barusan ngomong apa?” hanya itu yang dapat Kia ucapkan. Kia yakin indera pendengarannya sedang tidak sehat. Mana mungkin Bimo meminta haknya sebagai suami dalam kondisi seperti ini.Lalu tanpa Kia duga jemari Bimo membelai lembut pipinya. Tatapan laki-laki itu juga terus memaku tanpa jeda. “Apa aku salah jika meminta hakku sebagai suami?” Bimo kembali mengulang permintaannya tadi sembari tangannya bergerak menuju rambut basah Kia. Dengan terus memaku, jemari Bimo mulai memainkan rambut Kia. “Kamu cantik, seksi, smart,” imbuh Bimo lirih. “Perfect!”Kali ini tubuh Kia tidak lagi membeku melainkan lemas seketika. Sendi-sendi di tubuhnya seolah lunglai mendengar kalimat Bimo
Bimo menatap secangkir kopi yang tampak masih mengepul lalu membawanya menuju ruang keluarga. Tentu saja Bimo akan selalu mengikuti ke manapun Kia berada. Bimo tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan bersama perempuan itu. Tapi langkah Bimo terhenti saat melihat Kia merebahkan tubuh di sofa. Lalu Bimo membawa kopinya ke ruang makan. Membiarkan Kia beristirahat dengan tenang di sana.“Kamu tidak akan pernah mampu mengukur rasa sayangku padamu, Kia. Nanti saat waktunya tiba. Bahkan kamu takkan pernah menyadari, kapan hatimu menjadi milikku.” Ditemani secangkir kopi Bimo mencoba mencari akun sosial media milik Kia. Bimo ingin mencari semua informasi tentang istrinya. Ternyata semua akun Kia terkunci. Parahnya, Bimo sudah meminta pertemanan sejak satu tahun yang lalu dan sampai saat ini masih diabaikan oleh perempuan itu. Bimo mulai melihat postingan Kia yang ternyata hanya berisikan informasi-informasi umum. Seperti seputar tentang kesehatan, kecantikan, dan fashion.
Bimo memandangi wajah Kia yang terlelap. Berbagai pertanyaan bersarang di benaknya. Sebenarnya apa yang membuat Kia ketakutan? Seingatnya, Azka tidak pernah bercerita jika Kia memiliki ketakutan berlebih atau phobia pada sesuatu. Bimo yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kia darinya.“Apa yang kamu sembunyikan dari aku Sayang?” lirih Bimo sembari mengusap pipi Kia yang masih terasa panas. Demam Kia memang sudah mulai menurun dari setengah jam yang lalu. Tapi Bimo masih enggan meninggalkan Kia sendirian di kamar. Mendadak Bimo memiliki firasat buruk. Entah apa alasannya. Tapi Bimo mulai merasa gelisah. Besok atau lusa setelah memastikan Kia sembuh barulah Bimo akan menemui Azka untuk mencari informasi. Sebagai kakak seharusnya Azka mengetahui semua tentang adiknya. Mendadak Bimo berpikir lain. Bisa saja Azka juga tidak mengetahuinya mengingat jika selama ini sahabat baiknya tersebut menempuh pendidikan di Jakarta bersamanya.Saat jarum jam dinding menunjukkan hampir puku
Kia sampai heran sendiri. Sebanyak apa kosa kata yang dikuasai oleh laki-laki itu hingga semua yang diucapkannya selalu terdengar manis. Kia jadi penasaran. Sudah berapa banyak perempuan yang menjadi korban dari bibir manisnya. Dan sayangnya dirinyalah yang menjadi target utama Bimo saat ini. Sebenarnya wajar bila seorang suami merayu dan memuji istrinya sendiri. Tapi ini berbeda dengan apa yang mereka jalani. Mau tidak mau Kia harus terbiasa hidup berada dalam satu atap bahkan satu ranjang dengan laki-laki penebar pesona tersebut. Kia segera menghentikan perdebatan dalan hatinya. Lalu mulai fokus untuk beribadah. Karena ragu mampu berdiri dalam waktu yang lama Kia memilih menunaikan salat dengan cara duduk. Selagi Kia salat Bimo merapikan ranjang. Handuk dan baskom berisi air hangat yang kini sudah dingin Bimo bawa ke keluar dari kamar. Tak langsung kembali, Bimo terlebih dulu menyeduh teh panas di dapur. Bimo juga mengambil satu bungkus roti dari dalam lemari set kitchen untuk Kia
"Terima kasih Mas atas kesabaran dan ketulusan hatimu. Tanpa dirimu mungkin aku tidak akan bisa berada di titik ini. Tidak akan mampu ke luar dari masa laluku,” ucap Kia tanpa mengalihkan perhatiannya dari pemandangan indah di sekelilingnya.Saat ini Bimo dan Kia tengah duduk di sebuah gubuk di tengah sawah. Menikmati Mentari bersama semilir angin. Padi yang mulai menguning di bagai permadani yang terbentang luas. Burung-burung pipit turut menceriakan pagi itu. Sebenarnya bukan hal yang asing bagi Kia berada di area persawahan. Setiap berkunjung ke Kediri Jawa Timur, tempat kelahiran bundanya Kia selalu bermain di sawah bersama para saudaranya. Tapi kali ini jelas berbeda rasa. Kia sedang bersama laki-laki yang dicintainya. Menikmati waktu hanya berdua, tanpa satu pun pengganggu.“Seharusnya aku yang pantas berterima kasih. Seorang putri seperti dirimu mau menikah dengan laki-laki biasa sepertiku. Rela hidup sederhana bersamaku,” sahut Bimo seraya menatap Kia dengan lekat. “
Sembari menunggu Kia mandi Bimo mengobrol bersama ibunya di dapur. Bimo menceritakan semua yang telah menimpa Kia, termasuk ketika Kia mengalami keguguran. Restu tentu saja kaget. Selama ini Bimo selalu memberikan kabar baik kepada keluarganya di Bandung. Bimo bukan sengaja ingin menyembunyikan semua masalah yang dihadapinya. Tapi karena Bimo tidak ingin membuat keluarganya merasa khawatir. Dan itu sudah Bimo lakukan ketika masih menempuh pendidikan kedokteran di Jakarta dulu. Bahkan ketika dirinya mendadak membutuhkan biaya tambahan untuk keperluan praktik. Bimo hanya akan meminta uang ketika masa panen datang. Dulu Bimo lah yang bersikeras ingin menjadi dokter padahal perekonomian keluarganya yang hanya sebagai petani mana cukup untuk biaya pendidikan kedokteran yang sangat mahal. Maka tak heran ketika Bimo lulus tes dan mendapatkan beasiswa ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Untungnya lagi Bimo bertemu Azka, sahabat yang selalu menemaninya di saat suka maupun duka. Ap
“Mas ke Bandung yuk, aku pengen lebih kenal dengan keluarga Mas Bimo,” ucap Kia yang kini malah bermanja-manja kepada Bimo.Bukannya bangun Kia justru menarik tubuh Bimo untuk tidur di sebelahnya. Kia memeluk Bimo seraya menghidu aroma khas tubuh laki-laki itu demi mengobati rasa rindunya. Godaan yang tadi dilontarkan oleh laki-laki itu hanya menjadi angin lalu baginya. Bukannya Kia sengaja menolak, tapi karena Kia dalam keadaan belum bersih. Masa nifasnya belum selesai. Kemungkinan 2 sampai 3 hari lagi ajakan Bimo akan segera terealisasi.“Kamu serius Sayang?” sahut Bimo dengan mata berbinar. Bimo sendiri sangat merindukan keluarganya di Bandung. Terakhir kali berkumpul bersama keluarganya saat acara pernikahan mereka lebih dari dua bulan lalu. Permintaan Kia tentu saja akan Bimo kabulkan dengan senang hati. “Seriuslah Mas, nanti aku aja yang ngomong sama Ayah,” jawab Kia dengan antusias. “Aku pengen kenal dekat dengan Ibu dan Ayah. Dengan si kembar Emran dan Ema juga,” papar Kia la
Kia merenung di balkon kamarnya. Memikirkan semua yang telah dilalui selama 25 tahun usianya. Kehidupannya begitu sempurna. Terlahir dalam keluarga yang selalu harmonis dan berlimpah kasih sayang. Orang tua yang selalu mencukupi semua kebutuhannya. Baik secara moral maupun materiil. Lalu menikah dari sebuah perjodohan tanpa adanya perasaan cinta. Namun begitu laki-laki yang menikahinya sekalipun tidak pernah memberikan luka. Laki-laki pemilik kesabaran seluas samudera itu nyatanya selalu ada untuknya. Lalu, mengapa hanya karena Zyan dirinya harus mengorbankan semua kebahagiaan yang telah digenggamnya. Seharusnya mata dan hati Kia terbuka lebar demi orang-orang yang peduli dan mencintainya dengan tulus. Bukan malah tenggelam dalam masa lalu mengerikan yang telah diciptakan oleh mantan kekasihnya. Zyan hanyalah sisa kepingan masa lalu yang harus ia musnahkan dalam kehidupannya. Jangan sampai hanya karena laki-laki psikopat itu dirinya mengorbankan hati semua orang. Entah sudah be
Mata Bimo mendelik ke arah Azka seketika. Bisa-bisanya Azka berbicara seperti itu di hadapan Bunda mereka. Dulu Azka memang selalu acuh ketika ada perempuan yang mendekati. Tapi dirinya sebaliknya. Jangan sampai Azka membuka masa lalunya di hadapan semua orang.“Nggak usah dengerin ucapan Bang Azka,” bisik Bimo di telinga Kia tanpa memutus tatapannya dari Azka.Bukannya menutup mulut Azka justru sengaja menggoda sahabat baiknya yang sejak beberapa bulan lalu menjadi adik iparnya tersebut. “Kamu nggak tahu aja Dek. Suami mu itu playboy cap jempol.”“Sayang nggak sudah dengerin dia,” bujuk Bimo seraya memperhatikan perubahan mimik wajah Kia.“Azka, udah! Nggak usah jahil. Bunda jewer kamu nanti klo terus aja godain adik kamu,” peringat Aisyah dengan serius.“Bun, kami ke kamar dulu ya,” pamit Bimo seraya berdiri tanpa melepaskan tangan Kia dari genggamannya.“Ya udah. Kalian istirahat dulu sana! Oya bawa satu piring kue itu, biar bisa d
“Mas Bim kok diem aja sih. Jawab dong!” tegur Kia seraya melepaskan pelukannya dari tubuh Bimo.Bimo mengulas senyuman dengan sedikit menunduk untuk menatap Kia yang saat ini mendongak ke arahnya. “Kamu kan lagi sakit dan stress. Jadi wajar klo mempengaruhi menstruasi kamu,” terang Bimo lalu kembali memeluk tubuh Kia. “Sekarang bebaskan diri kamu. Nggak usah mikir yang macam-macam lagi,” imbuh Bimo dengan mengecup puncak kepala Kia.“Iya Mas, aku akan coba. Tapi Mas perutku yang terkena meja waktu itu kenapa kadang masih terasa nyeri ya?” ujar Kia lagi, menyampaikan keluhannya. “Trus kenapa aku nggak boleh tahu hasil pemeriksaan dari rumah sakit tempat aku dirawat?” cecar Kia mulai merasakan keanehan terhadap sikap semua orang yang selalu mengelak jika ditanya masalah sakit yang dialaminya. Seolah ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi darinya oleh semua orang.Mata Bimo memejam. Berusaha meredam debaran jantungnya agar tetap bekerja dengan normal. Jangan sampai Kia bis
Setelah 4 hari dirawat di rumah sakit Kia diperbolehkan untuk rawat jalan di rumah. Bimo setuju saat semua orang menyarankan untuk tinggal di rumah mertuanya sementara waktu demi kesembuhan Kia. Seandainya pulang ke rumah mereka Bimo justru akan selalu merasa khawatir sedangkan dirinya juga harus kembali bekerja. Mana mungkin bisa Bimo meninggalkan Kia sendirian di rumah tanpa pengawasan orang lain. Apalagi selain sakit secara fisik Kia juga mengalami guncangan hebat terhadap psikisnya. Dari luar Kia memang terlihat baik-baik saja tapi semua orang mengerti perempuan itu sedang berpura-pura demi keluarganya. Empat hari di rumah sakit Kia sering mengigau karena mimpi buruk yang terus mengganggu istirahatnya. Kia juga tidak mau ditinggal sendirian. Jadi harus ada seseorang yang menjaga di sisinya selama dirawat. Selanjutnya Kia juga harus mendapatkan penanganan dokter psikiater selama masa pemulihan.Baru satu jam yang lalu Kia terlelap. Bimo yang sedang ingin berbicara serius bers
“Masuklah Bim. Kia mencari kamu,” ujar Azka yang baru saja ke luar dari ruang perawatan Kia.Bimo menatap Azka seraya menggelengkan kepala. Bimo belum mampu untuk bertemu Kia dalam kondisi seperti ini. Mana mungkin dirinya bisa menahan kepedihan yang saat ini dirasakannya.“Masuklah Bim. Temui istrinmu. Kia membutuhkan kehadiran kamu,” sahut Arfan yang duduk di sebelahnya. Arfan sendiri merasa sangat sedih dengan kondisi keponakannya yang kini sedang terkulai lemas di dalam sana.Bimo menelan saliva dengan keras. Lalu meraup wajahnya dengan kasar. Bagaimana bisa dirinya mampu menghibur Kia sedangkan dirinya sendiri merasa hancur. Tapi istrinya tentu saja lebih hancur dari pada dirinya. Perlahan Bimo berdiri seraya menenangkan diri. Namun sebelum Bimo melangkah Ardan ke luar dari kamar rawat Kia dengan wajah tertekuk.“Sebaiknya Kia tidak perlu tahu dulu tentang apa yang menimpa dirinya. Dia sudah cukup terpukul dengan peristiwa ini. Jadi aku berharap tidak ada yang m
Selama 15 menit lamanya mereka semua terdiam. Memikirkan satu hal yang sama, yaitu keselamatan Kia. Bimo sendiri dari tadi mondar-mandir sembari menggaruk kepala. Otaknya mendadak tumpul untuk berpikir apapun kecuali istrinya. Azka mendadak berdiri kemudian masuk ke dalam rumah, ingin memeriksa setiap sudut rumah Zyan yang kecil tersebut. Pertama tentu saja Azka menyasar ke kamar laki-laki itu. Tubuh Azka membeku seketika saat melihat foto-foto adiknya yang tergantung di tembok kamar itu. Bahkan foto-foto lama Zyan bersama Kia.“Bajingan!” teriak Azka sembari mengambil sapu lalu memukuli bingkai foto-foto hingga pecar, hancur, dan berserakan ke mana-mana. Semua orang langsung berlari masuk kecuali Delon dan Deanova. Kembali tubuh Ardan terasa lemas. Arfan langsung memegangi Ardan yang hambir roboh.“Sebaiknya Mas Ardan istirahat di rumah saja. Biar ini kita yang urus,” ucap Arfan mencoba tetap waras padahal sebenarnya emosi Arfan pun ingin meledak. Delon dan Deanova tam