Bimo hanya mampu tersenyum geli melihat sikap salah tingkah Kia. Setelah Kia menghilang di balik pintu kamar mandi Bimo kembali menyeret koper milik Kia masuk ke dalam kamar mereka. Meletakkan di sisi ranjang, barangkali nanti Kia ingin langsung memindahkan barang-barangnya ke dalam lemari berpintu 2 yang sudah Bimo siapkan. Bimo sendiri hanya menyisakan beberapa pakaiannya di sana karena khawatir tidak muat. Bimo tahulah bagaimana Kia selama ini. Isi walk in closed di kamar Azka pastilah tak sebanding dengan milik Kia.
Bimo pernah beberapa kali masuk ke dalam kamar Azka. Dan jangan ditanyakan isi walk in closed milik sahabatnya yang kini menjadi kakak iparnya tersebut. Apalagi Kia perempuan yang tentunya memiliki koleksi fashion yang lebih banyak dan beragam. Sebenarnya Bimo sempat ragu saat menerima pernikahan ini. Hanya karena rasa cinta yang dimilikinya untuk Kia, Bimo nekad menerima perjodohan yang ditawarkan oleh keluarga Alfarizi. Ya, meskipun Kia tak pernah memandangnya selama ini. Tapi melihat kehidupan keluarga Alfarizi yang sederhana, ramah, serta dermawan membuat Bimo yakin bahwa menjadi bagian dari keluarga Alfarizi adalah suatu kebanggan tersendiri."Aku janji Kia, akan membahagiakanmu," gumam Bimo dalam hati lalu ke luar dari kamar.Bimo melangkah menuju dapur. Berniat membuat minuman dan makanan untuk mereka berdua. Bimo telah menyiapkan semuanya sebelum mereka pulang.Sembari menunggu air mendidih Bimo menyiapkan 2 cangkir untuk menyeduh kopi. Setahu Bimo istrinya itu penyuka kopi seperti dirinya."Mas Bimo ngapain?" Tanya Kia yang baru saja ke luar dari kamar mandi."Buatin kopi buat istri tercinta dong!" Balas Bimo dengan senyuman terkembang yang sukses membuat Kia menghela napas panjang."Sini biar aku yang bikin Mas." Kia mendekat lalu meraih toples berisi gula yang baru saja dibuka oleh Bimo."Ok, kopi buatan kamu pasti enak." Dengan senang hati Bimo memberikan toples tersebut. "Oya nggak usah pakai gula ya. Nanti kemanisan," goda Bimo seraya memperhatikan ekspresi kesal wajah Kia. "Soalnya kamu udah manis banget. Khawatir kena diabetes akunya," imbuh Bimo lalu segera menjauh sebelum sesuatu mengenai kepalanya.Kia menggenggam erat sendok di tangannya. Sendok itu pasti lumayan sakit jika dipukulkan ke kepala sang suami. Belum ada 30 menit mereka hidup bersama di rumah ini tapi rasanya Kia ingin sekali pergi jauh dari laki-laki bermulut manis yang nahasnya sekarang menjadi kunci pintu surganya.Mencoba bersikap senormal mungkin Kia membawa dua cangkir kopi tersebut ke ruang keluarga. Kia meletakkannya di atas meja sebelah sofa lalu berniat masuk ke kamar."Mau kemana Sayang?" ujar Bimo saat melihat Kia hendak pergi."Mau ke kamar Mas, mau rapiin lemari besok pagi-pagi kan kita harus bekerja," jawab Kia sembari menatap Bimo datar."Ya udah terserah kamu aja. Tapi jangan sampai kecapean ya? Nanti klo butuh apa-apa kamu bilang aja, biar aku carikan," sahut Bimo mempersilahkan kepada Kia untuk melakukan apapun yang perempuan itu inginkan."Iya Mas." Setelah mengucapkan itu Kia langsung menuju kamar mereka.Mulailah Kia membuka koper dan mengeluarkan isinya. Dengan hati-hati Kia meletakkan di atas ranjang agar tidak sampai berantakan. Jangan sampai lipatan yang telah rapi itu rusak dan membuatnya kerepotan sendiri.Di sofa ruang tengah kini Bimo tengah menyesap kopi buatan istrinya. Seketika senyuman merekah saat cairan hitam pekat itu menyapa kerongkongannya. Racikan tangan Kia pas dengan seleranya. Kopi dengan kadar gula sedikit. Ternyata istrinya tadi mengabaikan permintaannya. Dan Bimo yakin perempuan berpendirian kuat seperti Kia tidak mudah untuk ditaklukkan apalagi diperintah. Padahal tadi Bimo memang sengaja menguji kemampuan Kia.Rasa kantuk tiba-tiba menyerang Bimo. Kedua matanya terasa perih dan berat diterpa semilir kipas angin yang sejak tadi berputar-putar. Hampir seminggu Bimo tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bukan hanya gelisah karena harus tidur satu ranjang bersama Kia. Tapi tinggal bersama keluarga kaya raya membuat Bimo merasa sungkan dan tidak nyaman. Ia bahkan tidak bisa melakukan apapun selama di sana karena semua pekerjaan rumah sudah ada petugasnya. Andai Bimo disuruh tinggal di sana lebih lama tentu tidak akan bisa. Ia biasa hidup bebas dan mandiri.Tak berselang lama Bimo akhirnya merebahkan kepala di bahu sofa. Dan hanya dalam hitungan detik saja laki-laki itu sudah terlelap.Di kamar, Kia merasa puas dengan semua pekerjaannya. Kini lemari pakaian telah rapi. Pun dengan meja rias baru yang menurut Kia berukuran mungil di hadapannya. Dua koper yang telah kosong itu lalu Kia letakkan di sudut kamar agar Bimo sendiri yang menyimpan."Akhirnya kelar semua," gumam Kia seraya duduk di tepian ranjang. Tiba-tiba Kia menguap saat kedua tangannya menyapu seprei yang terasa lembut, seolah memangil-manggil ingin segera ditempatinya.Karena waktu telah menjalang salat magrib Kia segera beranjak. Melakukan pekerjaan lain untuk mengusir rasa kantuk. Ke luar dari kamar Kia lantas mencari keberadaan Bimo. Melihat suaminya tertidur pulas di sofa Kia lalu berjalan menuju dapur. Membuat camilan seperti yang biasa ia lakukan bersama bundanya. Mulailah Kia memeriksa isi kulkas. Seketika Kia tertegun saat melihat isi kulkas yang penuh dengan berbagai sayuran, bumbu dapur, dan beberapa jenis buah di sana. Semua tersusun dan tertata rapi sesuatu jenisnya. Lalu dibukalah pintu kulkas atas. Tebakan Kia benar, di dalam freezer sudah tersedia ikan laut, ayam, serta daging sapi segar yang telah membeku dalam bungkus plastik berukuran 1/2 kg.Kia menyunggingkan senyuman lebar, tak menyangka jika ada laki-laki seperti Bimo. Selama ini Kia belum pernah mengenal laki-laki yang memahami urusan dapur secara detail seperti Bimo. Bahkan kamar mereka yang berukuran 1/4 dari kamarnya di rumah saja Bimo mampu menata furniture-nya dengan rapi sehingga terkesan lebih luas.Sejenak Kia terdiam. Berpikir untuk membuat menu makan malam yang enak untuk mereka berdua. Terpilihlah ayam, tempe, brokoli hijau, dan wortel yang akan dieksekusi oleh Kia. Tentu saja Kia memilih bahan makanan yang mudah dan cepat untuk disajikan.Gegas Kia memasukkan ayam yang masih membeku itu ke dalam wadah untuk mencairkannya dengan air. Melihat peralatan dapur Bimo yang lengkap hati Kia merasa senang. Sejak kecil Kia paling senang membantu bundanya di dapur. Semua pekerjaan rumah Kia hampir tidak pernah mengerjakannya. Tapi urusan memasak Kia tak pernah ingin ketinggalan. Kata bundanya, nenek Kia dulunya adalah pengusaha catering yang terkenal di Yogyakarta. Nenek Kia dan nenek Nafla bekerja sama mengembangkan catering tersebut.Tepat saat azan magrib berkumandang Kia menyelesaikan pekerjaannya. Semua bahan tadi Kia olah menjadi satu menu yaitu ayam kecap pedas. Dengan senyuman puas Kia menuang masakan tersebut ke dalam mangkuk."Hemmm sedapnya masakan istriku?" puji Bimo yang tanpa Kia sadari sudah bersandar di ambang pintu dapur.Kia yang baru saja berbalik badan dengan membawa mangkuk berisi makanan masakannya seketika tersentak."Mas Bimo bikin kaget aja, untung aku nggak punya sakit jantung!" kesal Kia lalu melanjutkan langkah dengan melewati Bimo yang segera memberikannya jalan."Sholat dulu yuk, aku udah laper ini. Pengen segera cicipin masakan istriku tercinta," ucap Bimo mengekor di belakang Kia.Kia acuh. Tak menggubris ajakan Bimo. Setelah meletakkan makanan tersebut di atas meja makan Kia menutupnya dengan tudung nasi. Kia kembali ke dapur untuk mengambil dua piring beserta sendok. Meletakkan di sisi meja lalu pergi lagi. Sembari menggaruk kepalanya Bimo mengikuti langkah kaki Kia yang menuju dapur hingga berhenti di depan pintu kamar mandi. Kesal karena Bimo masih saja mengekor di belakangnya Kia lantas berbalik badan. Menghadap ke arah Bimo yang kini mengulas senyuman tanpa dosa."Mas bisa nggak sih nggak bikin aku kesal?" Protes Kia sembari menahan lidahnya agar tidak sampai berkata kasar."Nggak!" Jawab Bimo singkat.Kia menghela napas panjang lalu kembali berkata-kata, "Aku mau wudhu Mas, katanya ngajak sholat? Lagian kamar mandinya nggak cukup klo kita barengan!"Setelah mengucapkan itu Kia segera masuk ke dalam kamar mandi dan membanting pintu dengan cukup keras hingga membuat Bimo terkejut.*****Esoknya.... Drama pengantin baru dimulai lagi. Kia dan Bimo kembali berdebat masalah kendaraan yang akan mereka gunakan pergi ke kantor. Kia ngotot menaiki mobilnya sedangkan Bimo lebih memilih menaiki motor bermodel retro klasik kesayangannya. Kia akhirnya mengalah saat Bimo mengenakan helm di kepalanya. Helm baru itu tentu sudah Bimo persiapan sebelumnya.Sepanjang perjalanan Kia memilih membisu. Kedua tangannya pun hanya memegangi jaket yang dikenakan Bimo hingga sampai di depan gedung bertingkat bertuliskan Alfarizi Corporation. Kia segera turun dari atas motor lalu menyalami tangan Bimo."Mas lepasin tanganku. Malu dilihatin orang banyak!" Protes Kia saat Bimo tak melepaskan tangannya."Kamu mau masuk kantor pakai helm?" Kekeh Bimo yang seketika membuat Kia tersadar jika ia belum melepaskan helm di kepalanya.Tanpa menolak Kia pasrah saja saat Bimo membantu melepaskan helmnya. Para karyawan yang kebetulan berada di sana bergegas pergi. Tak berani menyaksikan adegan romantis pasangan pengantin baru tersebut. Bukan karena mereka enggan melainkan mereka takut ditegur karena datang terlambat. Kia juga pasrah saat sang suami merapikan rambutnya yang tentu saja berantakan."Udah. Nanti telepon aja klo udah selesai," ucap Bimo lalu mengucapkan salam.Gegas Kia masuk ke dalam gedung setelah memastikan suaminya pergi. Kia membalas sapaan para karyawan yang kebetulan berpapasan sebelum masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan.Masuk ke dalam ruangannya Kia langsung disapa oleh aroma kopi favoritnya yang menguar. Baru saja Kia mendaratkan tubuhnya di kursi saat netranya menangkap sebuah kertas merah muda berbentuk hati di atas mejanya. Penasaran Kia lantas meraih dan membukanya."Selamat menempuh hidup baru Azkia. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu."From : Pengagum rahasiamu.Berulang kali Kia membaca ulang kartu ucapan misterius tersebut. Mencoba mengingat siapa seseorang yang menyebut sebagai pengagum rahasianya. Seingat Kia, setelah patah hati atas pengkhianatan Zyan dulu ia tidak memiliki teman laki-laki yang akrab. Kia sengaja menjaga jarak dengan laki-laki yang bukan dari keluarganya. Bukan karena Kia sombong atau memiliki standard pribadi untuk pertemanannya. Tapi Kia hanya ingin menjaga hatinya agar tidak sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang sama, yaitu jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Kia tidak ingin kisah itu terulang kembali. Maka tak heran jika Kia betah menjomlo begitu lama. Kia justru pasrah menunggu jodohnya datang sendiri. Karena Kia menyakini bahwa jodoh dan kematian adalah takdir yang tidak akan bisa berubah. Takdir yang sudah digariskan sejak manusia berusia 4 bulan dalam kandungan ibunya. Saat ruh anak manusia untuk pertama kali ditiupkan. Tak ingin terlalu memikirkan surat misterius tersebut Kia lantas membuka laptop di had
“Apa nggak enak makanannya Sayang?” ujar Bimo saat melihat Kia yang tampak tak bersemangat menyantap makanannya.Kia mendengus kesal. Kia merasa tidak nyaman dan tidak terbiasa dengan panggilan sayang dari laki-laki lain kecuali ayahnya. Memang Bimo suaminya, tapi tetap saja Kia tidak menyukai panggilan tersebut.“Atau kita cari tempat makan lain aja? Kamu pasti tidak terbiasa datang ke rumah makan seperti ini,” imbuh Bimo merasa bersalah karena mengajak Kia ke rumah makan sederhana bukannya ke pergi restoran.“Bukan, bukan itu masalahnya Mas,” jawab Kia sembari memegang tangan Bimo yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya.Bimo menatap Kia penuh arti lalu kembali menempati tempat duduknya. Mendapatkan tatapan tak biasa dari Bimo barulah Kia berterus terang dengan ketidaknyamanan yang dirasakannya. “Jangan panggil aku sayang lagi ya? Aku malu apalagi di hadapan orang lain,” jujur Kia seraya mencoba tersenyum semanis mungkin. Seketika
“Pantesan kamu betah berada di kantor,” sambung Bimo tanpa menyadari perubahan wajah Kia. Sebenarnya Kia bekerja keras selama ini hanya untuk menyibukkan diri agar tidak lagi memikirkan Zyan. Selain itu agar kedua orang tuanya tidak mendesaknya untuk segera menikah.“Apalah gunanya sebuah kemewahan jika hati merasa sendiri,” lirih Kia sukses mengalihkan perhatian Bimo. “Ayo pulang Mas, udah jam 1, kita juga belum sholat,” imbuh Kia kemudian melangkah menuju pintu ke luar sebelum laki-laki itu kembali melayangkan pertanyaan.Bimo menyusul langkah Kia dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Di matanya, Kia adalah perempuan sempurna baik fisik maupun kehidupannya. Keluarga Kia sempurna. Lalu maksud dari perkataan Kia tadi apa? Benarkah Kia merasa sendiri di tengah-tengah limpahan kasih sayang dari keluarga dan harta benda?. Bukan waktu dan suasana yang tepat untuk Bimo berbicara. Nanti saat mereka telah sampai di rumah Bimo akan berbicara dari hati ke hati.
“Gimana boleh nggak?” sambung Bimo karena Kia masih saja membeku dalam pelukannya. Bimo bertahan dengan ekspresi serius. Belum saatnya tawanya meledak meskipun Bimo harus menahan mati-matian agar tidak sampai terlepas. Bimo belum puas memandangi wajah cantik Kia dengan jarak sedekat ini.“A apa Mas. Mas barusan ngomong apa?” hanya itu yang dapat Kia ucapkan. Kia yakin indera pendengarannya sedang tidak sehat. Mana mungkin Bimo meminta haknya sebagai suami dalam kondisi seperti ini.Lalu tanpa Kia duga jemari Bimo membelai lembut pipinya. Tatapan laki-laki itu juga terus memaku tanpa jeda. “Apa aku salah jika meminta hakku sebagai suami?” Bimo kembali mengulang permintaannya tadi sembari tangannya bergerak menuju rambut basah Kia. Dengan terus memaku, jemari Bimo mulai memainkan rambut Kia. “Kamu cantik, seksi, smart,” imbuh Bimo lirih. “Perfect!”Kali ini tubuh Kia tidak lagi membeku melainkan lemas seketika. Sendi-sendi di tubuhnya seolah lunglai mendengar kalimat Bimo
Bimo menatap secangkir kopi yang tampak masih mengepul lalu membawanya menuju ruang keluarga. Tentu saja Bimo akan selalu mengikuti ke manapun Kia berada. Bimo tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan bersama perempuan itu. Tapi langkah Bimo terhenti saat melihat Kia merebahkan tubuh di sofa. Lalu Bimo membawa kopinya ke ruang makan. Membiarkan Kia beristirahat dengan tenang di sana.“Kamu tidak akan pernah mampu mengukur rasa sayangku padamu, Kia. Nanti saat waktunya tiba. Bahkan kamu takkan pernah menyadari, kapan hatimu menjadi milikku.” Ditemani secangkir kopi Bimo mencoba mencari akun sosial media milik Kia. Bimo ingin mencari semua informasi tentang istrinya. Ternyata semua akun Kia terkunci. Parahnya, Bimo sudah meminta pertemanan sejak satu tahun yang lalu dan sampai saat ini masih diabaikan oleh perempuan itu. Bimo mulai melihat postingan Kia yang ternyata hanya berisikan informasi-informasi umum. Seperti seputar tentang kesehatan, kecantikan, dan fashion.
Bimo memandangi wajah Kia yang terlelap. Berbagai pertanyaan bersarang di benaknya. Sebenarnya apa yang membuat Kia ketakutan? Seingatnya, Azka tidak pernah bercerita jika Kia memiliki ketakutan berlebih atau phobia pada sesuatu. Bimo yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kia darinya.“Apa yang kamu sembunyikan dari aku Sayang?” lirih Bimo sembari mengusap pipi Kia yang masih terasa panas. Demam Kia memang sudah mulai menurun dari setengah jam yang lalu. Tapi Bimo masih enggan meninggalkan Kia sendirian di kamar. Mendadak Bimo memiliki firasat buruk. Entah apa alasannya. Tapi Bimo mulai merasa gelisah. Besok atau lusa setelah memastikan Kia sembuh barulah Bimo akan menemui Azka untuk mencari informasi. Sebagai kakak seharusnya Azka mengetahui semua tentang adiknya. Mendadak Bimo berpikir lain. Bisa saja Azka juga tidak mengetahuinya mengingat jika selama ini sahabat baiknya tersebut menempuh pendidikan di Jakarta bersamanya.Saat jarum jam dinding menunjukkan hampir puku
Kia sampai heran sendiri. Sebanyak apa kosa kata yang dikuasai oleh laki-laki itu hingga semua yang diucapkannya selalu terdengar manis. Kia jadi penasaran. Sudah berapa banyak perempuan yang menjadi korban dari bibir manisnya. Dan sayangnya dirinyalah yang menjadi target utama Bimo saat ini. Sebenarnya wajar bila seorang suami merayu dan memuji istrinya sendiri. Tapi ini berbeda dengan apa yang mereka jalani. Mau tidak mau Kia harus terbiasa hidup berada dalam satu atap bahkan satu ranjang dengan laki-laki penebar pesona tersebut. Kia segera menghentikan perdebatan dalan hatinya. Lalu mulai fokus untuk beribadah. Karena ragu mampu berdiri dalam waktu yang lama Kia memilih menunaikan salat dengan cara duduk. Selagi Kia salat Bimo merapikan ranjang. Handuk dan baskom berisi air hangat yang kini sudah dingin Bimo bawa ke keluar dari kamar. Tak langsung kembali, Bimo terlebih dulu menyeduh teh panas di dapur. Bimo juga mengambil satu bungkus roti dari dalam lemari set kitchen untuk Kia
Esoknya setelah salat subuh Kia kembali bergelung dalam selimut. Demamnya memang sudah reda tapi efek dari flu yang dideritanya masih menyisakan sakit kepala dan hidung tersumbat. Semalam Kia tidak bisa tidur nyenyak karena kesulitan bernapas. Bimo sendiri selalu berada di sampingnya sepanjang malam. Semua itu juga karena permintaan Kia sendiri. Sejak kecil ia tidak akan bisa tidur sendirian ketika sedang sakit. Kia memang begitu dimanjakan oleh keluargnya. Apalagi semenjak Azka abangnya berkuliah di Jakarta. Perhatian kedua orang tuanya tercurah hanya kepadanya. Sejak kecil Kia memang sedikit pendiam dibandingkan dengan para saudara sepupunya. Kia tumbuh menjadi gadis yang lembut, cerdas, dan tegas seperti bundanya. Jadi tak heran jika Ardan memilih Kia untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Bukan karena Azka putra pertama Ardan tidak layak menjadi pemimpin di perusahaan. Tapi dari segi kemauan, pendidikan, dan kemampuan Kia lah yang lebih mumpuni. Azka sendiri menolak d
"Terima kasih Mas atas kesabaran dan ketulusan hatimu. Tanpa dirimu mungkin aku tidak akan bisa berada di titik ini. Tidak akan mampu ke luar dari masa laluku,” ucap Kia tanpa mengalihkan perhatiannya dari pemandangan indah di sekelilingnya.Saat ini Bimo dan Kia tengah duduk di sebuah gubuk di tengah sawah. Menikmati Mentari bersama semilir angin. Padi yang mulai menguning di bagai permadani yang terbentang luas. Burung-burung pipit turut menceriakan pagi itu. Sebenarnya bukan hal yang asing bagi Kia berada di area persawahan. Setiap berkunjung ke Kediri Jawa Timur, tempat kelahiran bundanya Kia selalu bermain di sawah bersama para saudaranya. Tapi kali ini jelas berbeda rasa. Kia sedang bersama laki-laki yang dicintainya. Menikmati waktu hanya berdua, tanpa satu pun pengganggu.“Seharusnya aku yang pantas berterima kasih. Seorang putri seperti dirimu mau menikah dengan laki-laki biasa sepertiku. Rela hidup sederhana bersamaku,” sahut Bimo seraya menatap Kia dengan lekat. “
Sembari menunggu Kia mandi Bimo mengobrol bersama ibunya di dapur. Bimo menceritakan semua yang telah menimpa Kia, termasuk ketika Kia mengalami keguguran. Restu tentu saja kaget. Selama ini Bimo selalu memberikan kabar baik kepada keluarganya di Bandung. Bimo bukan sengaja ingin menyembunyikan semua masalah yang dihadapinya. Tapi karena Bimo tidak ingin membuat keluarganya merasa khawatir. Dan itu sudah Bimo lakukan ketika masih menempuh pendidikan kedokteran di Jakarta dulu. Bahkan ketika dirinya mendadak membutuhkan biaya tambahan untuk keperluan praktik. Bimo hanya akan meminta uang ketika masa panen datang. Dulu Bimo lah yang bersikeras ingin menjadi dokter padahal perekonomian keluarganya yang hanya sebagai petani mana cukup untuk biaya pendidikan kedokteran yang sangat mahal. Maka tak heran ketika Bimo lulus tes dan mendapatkan beasiswa ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Untungnya lagi Bimo bertemu Azka, sahabat yang selalu menemaninya di saat suka maupun duka. Ap
“Mas ke Bandung yuk, aku pengen lebih kenal dengan keluarga Mas Bimo,” ucap Kia yang kini malah bermanja-manja kepada Bimo.Bukannya bangun Kia justru menarik tubuh Bimo untuk tidur di sebelahnya. Kia memeluk Bimo seraya menghidu aroma khas tubuh laki-laki itu demi mengobati rasa rindunya. Godaan yang tadi dilontarkan oleh laki-laki itu hanya menjadi angin lalu baginya. Bukannya Kia sengaja menolak, tapi karena Kia dalam keadaan belum bersih. Masa nifasnya belum selesai. Kemungkinan 2 sampai 3 hari lagi ajakan Bimo akan segera terealisasi.“Kamu serius Sayang?” sahut Bimo dengan mata berbinar. Bimo sendiri sangat merindukan keluarganya di Bandung. Terakhir kali berkumpul bersama keluarganya saat acara pernikahan mereka lebih dari dua bulan lalu. Permintaan Kia tentu saja akan Bimo kabulkan dengan senang hati. “Seriuslah Mas, nanti aku aja yang ngomong sama Ayah,” jawab Kia dengan antusias. “Aku pengen kenal dekat dengan Ibu dan Ayah. Dengan si kembar Emran dan Ema juga,” papar Kia la
Kia merenung di balkon kamarnya. Memikirkan semua yang telah dilalui selama 25 tahun usianya. Kehidupannya begitu sempurna. Terlahir dalam keluarga yang selalu harmonis dan berlimpah kasih sayang. Orang tua yang selalu mencukupi semua kebutuhannya. Baik secara moral maupun materiil. Lalu menikah dari sebuah perjodohan tanpa adanya perasaan cinta. Namun begitu laki-laki yang menikahinya sekalipun tidak pernah memberikan luka. Laki-laki pemilik kesabaran seluas samudera itu nyatanya selalu ada untuknya. Lalu, mengapa hanya karena Zyan dirinya harus mengorbankan semua kebahagiaan yang telah digenggamnya. Seharusnya mata dan hati Kia terbuka lebar demi orang-orang yang peduli dan mencintainya dengan tulus. Bukan malah tenggelam dalam masa lalu mengerikan yang telah diciptakan oleh mantan kekasihnya. Zyan hanyalah sisa kepingan masa lalu yang harus ia musnahkan dalam kehidupannya. Jangan sampai hanya karena laki-laki psikopat itu dirinya mengorbankan hati semua orang. Entah sudah be
Mata Bimo mendelik ke arah Azka seketika. Bisa-bisanya Azka berbicara seperti itu di hadapan Bunda mereka. Dulu Azka memang selalu acuh ketika ada perempuan yang mendekati. Tapi dirinya sebaliknya. Jangan sampai Azka membuka masa lalunya di hadapan semua orang.“Nggak usah dengerin ucapan Bang Azka,” bisik Bimo di telinga Kia tanpa memutus tatapannya dari Azka.Bukannya menutup mulut Azka justru sengaja menggoda sahabat baiknya yang sejak beberapa bulan lalu menjadi adik iparnya tersebut. “Kamu nggak tahu aja Dek. Suami mu itu playboy cap jempol.”“Sayang nggak sudah dengerin dia,” bujuk Bimo seraya memperhatikan perubahan mimik wajah Kia.“Azka, udah! Nggak usah jahil. Bunda jewer kamu nanti klo terus aja godain adik kamu,” peringat Aisyah dengan serius.“Bun, kami ke kamar dulu ya,” pamit Bimo seraya berdiri tanpa melepaskan tangan Kia dari genggamannya.“Ya udah. Kalian istirahat dulu sana! Oya bawa satu piring kue itu, biar bisa d
“Mas Bim kok diem aja sih. Jawab dong!” tegur Kia seraya melepaskan pelukannya dari tubuh Bimo.Bimo mengulas senyuman dengan sedikit menunduk untuk menatap Kia yang saat ini mendongak ke arahnya. “Kamu kan lagi sakit dan stress. Jadi wajar klo mempengaruhi menstruasi kamu,” terang Bimo lalu kembali memeluk tubuh Kia. “Sekarang bebaskan diri kamu. Nggak usah mikir yang macam-macam lagi,” imbuh Bimo dengan mengecup puncak kepala Kia.“Iya Mas, aku akan coba. Tapi Mas perutku yang terkena meja waktu itu kenapa kadang masih terasa nyeri ya?” ujar Kia lagi, menyampaikan keluhannya. “Trus kenapa aku nggak boleh tahu hasil pemeriksaan dari rumah sakit tempat aku dirawat?” cecar Kia mulai merasakan keanehan terhadap sikap semua orang yang selalu mengelak jika ditanya masalah sakit yang dialaminya. Seolah ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi darinya oleh semua orang.Mata Bimo memejam. Berusaha meredam debaran jantungnya agar tetap bekerja dengan normal. Jangan sampai Kia bis
Setelah 4 hari dirawat di rumah sakit Kia diperbolehkan untuk rawat jalan di rumah. Bimo setuju saat semua orang menyarankan untuk tinggal di rumah mertuanya sementara waktu demi kesembuhan Kia. Seandainya pulang ke rumah mereka Bimo justru akan selalu merasa khawatir sedangkan dirinya juga harus kembali bekerja. Mana mungkin bisa Bimo meninggalkan Kia sendirian di rumah tanpa pengawasan orang lain. Apalagi selain sakit secara fisik Kia juga mengalami guncangan hebat terhadap psikisnya. Dari luar Kia memang terlihat baik-baik saja tapi semua orang mengerti perempuan itu sedang berpura-pura demi keluarganya. Empat hari di rumah sakit Kia sering mengigau karena mimpi buruk yang terus mengganggu istirahatnya. Kia juga tidak mau ditinggal sendirian. Jadi harus ada seseorang yang menjaga di sisinya selama dirawat. Selanjutnya Kia juga harus mendapatkan penanganan dokter psikiater selama masa pemulihan.Baru satu jam yang lalu Kia terlelap. Bimo yang sedang ingin berbicara serius bers
“Masuklah Bim. Kia mencari kamu,” ujar Azka yang baru saja ke luar dari ruang perawatan Kia.Bimo menatap Azka seraya menggelengkan kepala. Bimo belum mampu untuk bertemu Kia dalam kondisi seperti ini. Mana mungkin dirinya bisa menahan kepedihan yang saat ini dirasakannya.“Masuklah Bim. Temui istrinmu. Kia membutuhkan kehadiran kamu,” sahut Arfan yang duduk di sebelahnya. Arfan sendiri merasa sangat sedih dengan kondisi keponakannya yang kini sedang terkulai lemas di dalam sana.Bimo menelan saliva dengan keras. Lalu meraup wajahnya dengan kasar. Bagaimana bisa dirinya mampu menghibur Kia sedangkan dirinya sendiri merasa hancur. Tapi istrinya tentu saja lebih hancur dari pada dirinya. Perlahan Bimo berdiri seraya menenangkan diri. Namun sebelum Bimo melangkah Ardan ke luar dari kamar rawat Kia dengan wajah tertekuk.“Sebaiknya Kia tidak perlu tahu dulu tentang apa yang menimpa dirinya. Dia sudah cukup terpukul dengan peristiwa ini. Jadi aku berharap tidak ada yang m
Selama 15 menit lamanya mereka semua terdiam. Memikirkan satu hal yang sama, yaitu keselamatan Kia. Bimo sendiri dari tadi mondar-mandir sembari menggaruk kepala. Otaknya mendadak tumpul untuk berpikir apapun kecuali istrinya. Azka mendadak berdiri kemudian masuk ke dalam rumah, ingin memeriksa setiap sudut rumah Zyan yang kecil tersebut. Pertama tentu saja Azka menyasar ke kamar laki-laki itu. Tubuh Azka membeku seketika saat melihat foto-foto adiknya yang tergantung di tembok kamar itu. Bahkan foto-foto lama Zyan bersama Kia.“Bajingan!” teriak Azka sembari mengambil sapu lalu memukuli bingkai foto-foto hingga pecar, hancur, dan berserakan ke mana-mana. Semua orang langsung berlari masuk kecuali Delon dan Deanova. Kembali tubuh Ardan terasa lemas. Arfan langsung memegangi Ardan yang hambir roboh.“Sebaiknya Mas Ardan istirahat di rumah saja. Biar ini kita yang urus,” ucap Arfan mencoba tetap waras padahal sebenarnya emosi Arfan pun ingin meledak. Delon dan Deanova tam