"Mas Haris, Mbak Hanna, aku pulang dulu ya. Nanti kapan-kapan aku ke sini lagi."
"Kenapa buru-buru? Tinggallah di sini lebih lama lagi," kata Hanna berpura-pura baik.
Lura tersenyum senang melihat sang kakak ipar baik padanya.
"Nanti aku ke sini lagi, Mbak. Sekarang aku lagi ada janji sama seseorang."
Haris mengerutkan dahinya, lalu berkata. "Janji? Memangnya kamu mau ke mana?""Aku mau ke rumah Naya, Mas." Lura mencium tangan Haris yang membuat Hanna tidak suka melihatnya.
'Pura-pura menjadi orang baik, tapi berada di antara hubungan suami istri yang baru menikah itu namanya apa ya? Pelakor terhormat?' ejek Hanna dalam hatinya. 'Menggelikan sekali pelakor jaman sekarang, merasa dirinya suci.'
"Minta antar Bayu, jangan pulang sendiri," sahut Haris.
"Iya, Mas."
"Mbak Hanna cepat sehat ya." Lura mengulurkan tangannya bersalaman dengan kakak ipar yang menuduhnya pelakor, namun Lura tidak me
"Ini sangat memalukan, Haris." Ia berbicara pada dirinya sendiri.Merasa tidak tahan lagi dengan si Bontot yang semakin mengembang di dalam celananya, Haris cepat-cepat ke kamar mandi untuk menenangkannya.Setelah satu jam berada di dalam kamar mandi ia kembali mendekati istrinya.'Saya lupa menutupnya.'Haris segera naik ke tempat tidur berniat memakaikan kembali celananya. Namun, siapa sangka Hanna membalikkan tubuhnya hingga area sensitifnya terpampang jelas di hadapannya dengan jarak yang begitu dekat."Astaga!"Teriakan Haris membangun Hanna. Ia melihat ke bawah saat area sensitifnya terasa sangat dingin karena tidak ditutupi apa-apa.""Aargh ...! Apa kamu memperkosa aku?" Hanna menarik selimut untuk menutupi tubuhnya."Saya hanya memijat pinggang hingga pantat saja. Lalu saya ke kamar mandi, tapi waktu kembali dan hendak menutupnya lagi, kamu berbalik, jadi itu kamu terlihat.""Alasan ...! Kamu kan tahu
"Haris, aku benar-benar minta maaf," ucap Hanna saat mereka berada di dalam mobil."Saya tidak apa-apa," jawab Haris sambil tersenyum. "Hanna, apa kamu takut darah?"Hanna mengangguk pelan. "Aku sangat takut melihat darah, makanya aku nggak mau ke rumah sakit kalau bukan karena terpaksa.""Ya sudah kamu tidak perlu ikut, biar saya diantar Bayu."Haris mengusap-usap tangan istrinya yang masih terasa dingin. "Bayu, putar balik, antarkan dulu Hanna pulang!""Nggak mau," jawab Hanna dengan cepat. "Cepatlah sedikit Bayu.""Baik, Nona." Bayu lebih patuh kepada istri bosnya karena ia takut dengan wanita itu.Walau takut dengan darah, tapi Hanna lebih takut lagi kalau suaminya kenapa-kenapa. Terlebih lagi Haris terluka akibat ulahnya.Gadis itu mengambil banyak tisu untuk mengelap darah yang terus menetes dari pelipis suaminya."Tidak usah, biar saya saja." Haris mengambil tisu dari tangan Hanna. Lalu, mengelap sendiri darahnya.
Bayu menghampiri Hanna sambil membawakan air minum untuk sang nona. Ia khawatir melihat wajah istri bosnya yang terlihat pucat."Nona, ini untuk anda." Bayu mengulurkan tangannya menyerahkan botol air mineral.Gadis itu menatap sopir suaminya. Ia ragu menerima air dari laki-laki itu."Tenang saja Nona. Ini cuma air minum biasa, nggak ada racunnya kok," kata Bayu sambil tersenyum. "Sekarang anda sudah menjadi istri Bos Haris. Saya akan menghormati Nona seperti saya menghormati Bos."Terpaksa ia menerima air mineral itu karena tenggorokannya sejak tadi sudah terasa kering."Terima kasih," ucapnya."Sama-sama, Nona."Hanna langsung menenggak minuman itu hingga tersisa setengahnya."Apa kamu nggak dendam sama aku?" tanya Hanna setelah menenggak minuman itu."Kenapa saya harus dendam sama Nona?" tanya laki-laki yang berdiri di hadapan Hanna."Aku udah memperlakukan Bos kamu dengan buruk," jawabnya."Sa
Mendengar ucapan bosnya, Bayu tiba-tiba mendadak batuk dan menghentikan mobilnya. "Kenapa kamu?" "Maaf, Bos, tiba-tiba tenggorokan saya terasa kering." Bayu kembali melajukan mobilnya setelah meminum setengah botol air mineral. 'Sejak kapan Bos pintar menggombal kayak gitu?' ucap Bayu dalam hatinya sambil menahan tawa. Haris kembali menyandarkan tubuhnya, lalu memejamkan mata. Sang istri mengguncang bahu suaminya sambil bertanya, "Haris, kamu belum jawab pertanyaanku." "Saya tadi udah menjawabnya. Itu jujur dari hati saya yang terdalam." Pria berkaus putih itu memiringkan duduknya membelakangi sang istri. 'Kenapa dia yang marah?' batin Hanna. Gadis berambut coklat itu menarik bahu sang suami supaya menghadap dirinya. “Kamu marah sama aku?” “Saya tidak ada hak untuk marah sama kamu. Saya cukup tahu diri, saya ini cuma suami di atas kertas.” Haris kembali membelakangi istrinya.
"Kamu tidak buruk, tapi saya yang buruk. Saya tidak pantas menjadi suami Nona muda dari keluarga Jay Mahaprana.""Kenapa jadi dia yang seolah-olah terlihat lebih tersakiti dengan pernikahan ini?" gumam Hanna sambil memandang punggung sang suami yang menapaki anak tangga menuju kamarnya."Harusnya aku yang tersakiti di sini. Menikah dengan seorang pembunuh kucing kesayanganku itu adalah kenyataan yang sangat pahit."Di sepanjang jalan ia terus ngoceh walaupun Haris tidak akan mendengarnya karena laki-laki itu sudah masuk ke dalam kamarnya."Apa alasannya aku menggugat cerai dia? Kalau perselingkuhannya yang jadi alasan akan sangat memalukan bagiku."Hanna berjalan pelan menapaki anak tangga menuju kamarnya sambil mencari cara untuk bisa terlepas dari ikatan suci pernikahan bersama laki-laki yang ia benci."Apa dia baik-baik saja?" Gadis itu memandang pintu kamar sang suami sebelum memutar kenop pintu kamarnya.Walau benci, tapi i
Sejak melihat wanita yang ia pikir kekasih sang suami, Hanna selalu tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya, yang pasti ia bahagia melihatnya."Nona, kita sudah sampai," ucap Bayu kepada wanita yang sejak tadi senyum-senyum sendiri.Hanna tersadar dari lamunannya, lalu berkata, "Bilang sama bosmu, aku akan pulang agak sore.""Baik, Nona, nanti akan saya sampaikan.""Terima kasih, Bayu," ucap Hanna dengan tulus setelah turun dari mobil. "Sekarang pulanglah, mungkin Haris akan membutuhkanmu.""Baik, Nona."Bayu segera kembali ke rumah majikannya setelah mengantar sang nona.Di rumah Haris sudah ada Lura, Qenan, dan Evans yang sedang menjenguk Haris.Gadis cantik itu mendekati kakaknya sambil memerhatikan pelipis sang kakak yang diperban."Mas Haris lagi berantem sama Mbak Hanna? Kok bisa kayak gini?""Kamu mau apa ke sini? Bukannya tadi kamu baru saja pulang?""Mas Haris kok gitu? Udah punya i
Lura menoleh pada Evans, ia tidak tahu harus menjawab apa. Lura tidak mau berjanji apa-apa karena ia tahu kalau sang kakak tidak menyukai calon suaminya."Qenan, dengarkan Daddy! Kalau kamu menjadi anak baik dan pinter, Mommy akan tinggal sama kita. Jadi, kamu harus nurut sama Daddy, jangan memaksa Mommy untuk tinggal bersama kita.""Ok, Dad." Qenan tersenyum pada daddy-nya, lalu kembali menatap Lura dan mencium pipi sang mommy. "Qenan janji akan menjadi anak yang baik."Anak kecil itu mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Lura."Mommy janji akan selalu menyayangi kamu walaupun kita nggak tinggal bersama."Lura menautkan jari kelingkingnya pada anak itu yang membuat Qenan tersenyum bahagia.Evans menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya. "Lura, apa kamu bisa mengajak Qenan bermain di halaman?" tanya Evans sambil mengedipkan matanya."Iya, Mas."Lura menurunkan Qenan dari pangkuannya. "Sayang, kita main d
"Aku pulang dulu, lain kali aku ke sini lagi." Evans bangun dari duduknya, lalu bersalaman dengan calon kakak iparnya. "Istrimu cantik dan ganas, jangan dilepas kalau kamu nggak mau menyesal nantinya.""Anda tidak pernah berubah," cibir Haris."Aku akan berusaha menjadi lebih baik lagi, tapi tidak bisa dipungkiri kalau ilmu dalam bercinta tidak akan pernah bisa aku lupakan."Evans tertawa sambil melangkahkan kakinya menuju halaman belakang rumah calon kakak iparnya.Begitu pun dengan Haris, ia mengikuti Evans dari belakang."Sayang, ayo kita pulang!" teriak Evans kepada anaknya yang sedang bermain dengan calon istrinya.Anak laki-laki itu berlari menghampiri Evans dan memeluk laki-laki yang berjongkok sambil merentangkan tangannya."Dad, aku senang main di sini. Apa nanti aku boleh main lagi ke sini?""Minta izin sama Om Haris dulu!" kata Evans sambil melirik laki-laki yang berdiri di sampingnya.Qenan menoleh pada Haris
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te