Enjoy reading 😘
Ketukan di pintu ruang kerja Agus membuat Gendis menghentikan pekerjaannya. Agus yang baru saja pergi bersama Satyo mengunjungi proyek terbaru mereka di bidang property meninggalkan Gendis dengan setumpuk pekerjaan di hari pertama dia bekerja. "Masih banyak kerjaannya?" tanya Sakti masuk lalu menutup pintu itu rapat. Sakti tahu betul jika Gendis masih menyimpan marah padanya. Dia menyandarkan bokongnya pada sisi meja kerja Gendis. "Masih," jawab Gendis singkat. "Mau aku bantuin biar cepat selesai?" "Enggak usah, aku bisa kok." Gendis masih pokus dengan pekerjaannya. "Maaf kalo masa lalu aku mengganggu kamu—" "Enggak usah di bahas, aku maklum, aku yang salah," ujar Gendis namun matanya masih menatap layar monitor. "Dari awal aku bilang, aku mau berubah, sampai kita berada di tahap sekarang pun itu karena aku serius," ujar Sakti pelan. "Aku tau ... jadi nggak usah di bahas. Mungkin mood aku yang enggak baik. Risih aja setiap kali ada yang ngomongin masa lalu kamu," ujar Gendis ka
Ami baru saja keluar dari kamar mandi ketika Mbok Sari masuk ke kamarnya. Pengasuhnya sejak kecil itu tersenyum padanya, Ami malah heran melihat wanita tua itu tersenyum sumringah. "Kenapa, Mbok?" tanya Ami sambil mengibaskan rambutnya yang basah dengan handuk. "Niku wonten sing madosi, kadose dereng pernah teng mriki. Ganteng ... Mbok ngantos kesupen, nek Mbok sampun sepuh." (Itu ada yang cari, kayaknya belum pernah datang kesini. Ganteng ... Mbok sampe lupa kalo diri Mbok sudah tua.) Mbok Sari tersenyum malu. "Siapa sih?" Ami penasaran. "Ndak tau, lagi ngobrol sama ayahnya Mbak Ami di teras," ujar Mbok Sari khas dengan logat Jawa nya. Ami cepat-cepat berpakaian, lelaki mana tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa memberi kabar terlebih dahulu, mana lagi sampai bisa ngobrol dengan ayahnya, itu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ami keluar dari kamarnya, melangkah menuju teras rumah. Sayup terdengar tawa sang ayah begitu renyah, gadis itu semakin mengerutkan keningnya. Siapa lelak
Gendis memasuki ruang kerja Satyo, hari ini terhitung sudah tiga hari Gendis bekerja di perusahaan itu. Perusahaan yang tadinya hanya bergerak di bidang batu bara seiring waktu berjalan merambah hingga bidang lainnya. "Ada beberapa kata yang masih harus kamu revisi, selebihnya sudah bagus. Kamu belajr cepat juga ternyata," ujar Satyo sambil memberikan beberapa berkas yang sudah di tanda tangani dan beberapa lagi harus di perbaiki oleh Gendis. "Ini vitaminnya dan ini obatnya, kemarin obatnya tidak Bapak minum. Jadi sekarang saya pastikan Bapak harus meminumnya sebelum saya tinggal pergi." Gendis menyodorkan mangkuk kecil berisi beberapa suplemen, vitamin dan obat jantung serta tekanan darah tinggi yang harus Satyo minum setiap hari. "Sakti tau?" tanya Satyo. "Tidak, Pak. Hanya saya dan Pak Agus yang tau." "Saya minta kamu merahasiakan ini dari keluarga saya." Satyo meneguk satu kapsul terakhir. "Saya nggak mau membuat mereka khawatir, terlebih istri saya." "Baik, Pak." Gendis m
Sakti dan Satyo sedang berbincang di taman samping rumahnya setelah makan malam bersama Gendis, Hanna dan Tari. Obrolan malam itu mengenai undangan Satyo untuk mendatangkan keluarga Gendis ke Jakarta. "Kabari keluarganya, minta datang kemari. Papa nggak mau terlalu lama kalian berpacaran. Nanti malah yang pengennya kamu," ujar Satyo melirik sinis pada Sakti. "Jus nya, Pa." Gendis datang membawa dua gelas berisi jus strawberry yang di minta oleh Satyo tadi. "Makasih," jawab Satyo. "Sayang, kita harus kabari ibu sama bapak untuk datang ke Jakarta. Papa minta kita segera menikah," ujar Sakti tersenyum bahagia. "Secepatnya?" "Iya, kenapa? jangan bilang kalian mau memundurkan jadwalnya." Satyo meletakkan gelas jus ke atas meja di sampingnya. "Oh nggak, Pa. Bukan begitu," kata Gendis kelabakan. "Maksudnya, nanti Gendis minta bapak sama ibu datang." Tangan gadis itu begitu dingin, berbicara dengan Satyo di rumah dengan di kantor menurutnya lebih membuat jantung berdebar jika berbicara
Gendis menarik koper besar milik Wati dari teras hingga masuk ke dalam kamar tamu. Kamar itu sudah dirapikan Bik Sumi dari jauh-jauh hari. "Ibu sama bapak nanti tidurnya di sini, Gendis di atas." Gendis meletakkan koper dekat dengan lerai pakaian. "Kamar mandinya ada di sini," ujar Gendis lagi membuka pintu kamar mandi. "Jadi kamu tinggal di rumahnya Nak Sakti, Dis?" Wati duduk di sisi tempat tidur. "Enggak seperti yang ibu pikirkan. Sakti tinggal di apartemen, kadang kita lebih sering di rumah keluarga Anggara. Jangan mikir yang macem-macem ah." Gendis tersenyum. "Bapakmu itu kalo sudah ketemu Sakti ada aja yang di bahas." Wati memperhatikan Gendis dengan seksama, matanya turun pada lingkaran leher Gendis dengan seuntai kalung yang menghias lehernya. "Oh iya, ini dari Mama Hanna. Dia kasih ke Gendis, Bu. Katanya dengan kalung ini, itu artinya Gendis sudah di terima di keluarga mereka." "Cantik sekali, Dis. Ibu malah nggak ada kasih apa-apa ke kamu," ujar Wati dengan ekspresi waj
Gendis mematut dirinya di depan kaca besar di dalam kamarnya. Tubuhnya kini berbalut kain berwarna hijau dipadukan dengan roncean melati sebagai slayer penutup bagian bahu. Gadis itu sudah menunggu kurang lebih setengah jam dan akhirnya di jemput oleh sang Ibu untuk turun ke bawah melakukan prosesi siraman adat Jawa. Acara adat itu begitu khidmat, padahal dalam bayangan Gendis pernikahannya akan berlangsung sederhana namun Satyo menolak permintaan calon menantunya itu. "Relasi Papa ini banyak, belum lagi relasi Sakti dan keluarga besar Anggara, enggak mungkin kalo kita rayakan hanya secara sederhana," ujar Satyo pada Gendis kala itu dan diiyakan oleh Hendro. "Lagi pula Dis, keluarga di kampung juga pengen liat kamu nikah. Pakde itu kan saudara Bapak satu-satunya, walau bagaimanapun kita tetap harus mengundang dia dan keluarganya kemari apalagi keluarga ibumu itu," ujar Hendro. "Mama juga sudah ada pembicaraan dengan pihak wedding organizer nya, Dis. Untuk semua acara dilakukan di d
Mbok Sari muncul dari balik pintu, sosok gagah itu tersenyum padanya. Bukannya bertanya dimana orang yang dia cari, namun mata Arya mengamati Mbok Sari yang terdiam terpaku. Ini sudah kesekian kalinya seperti ini semenjak tiga minggu belakangan Arya sering menampakkan diri kediaman Hartono, rumah Ami. "Mbok, Ami ne wonten?" (Mbok, Ami nya ada?) tanya Arya pada wanita tua itu. "Eh, mbak Ami dereng kondur, siweg nganter bapak teng rumah sakit," (Eh, Mbak Ami belum pulang, dia mengantar bapak ke rumah sakit.) jawab Mbok Sari. "Nopo mbak Ami mboten maringi kabar kalian mas Arya?" (Memangnya Mbak Ami tidak memberi kabar pada Mas Arya?) Arya menggeleng. "Sakit? Ayah sakit?" Sakit apa?" "Mboten sakit, namung cek up mawon. Monggo mas Arya, mbok damelke teh, rumiyin kalian ngentosi Mbak Ami." (Tidak sakit, hanya cek up saja. Silahkan masuk Mas Arya, Mbok bikinin teh dulu, sambil menunggu Mbak Ami.) Arya masuk ke dalam rumah, duduk di sofa ruang tamu itu sambil menggulir layar gawainya. Be
Sakti menunggu kedatangan Gendis di ujung karpet bertabur bunga-bunga indah yang berhadapan dengan meja altar pernikahan mereka. Dengan memakai setelan jas berwarna hitam, Sakti berdiri dengan gagahnya menanti pujaan hati. Semua mata menatap Gendis saat masuk ke dalam ruangan itu, menggunakan gaun pengantin berwarna putih yang begitu sederhana namun tampak elegan Gendis melemparkan senyuman pada para tamu yang hadir. Semakin langkahnya mendekat kepada Sakti, semakin tak beraturan detak jantungnya. Sakti mengulurkan tangannya menyambut kedatangan Gendis. Gendis menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis pada calon suaminya itu. "You're so beautiful," bisik Sakti saat tubuh Gendis mendekat. "Makasih," jawab Gendis nyaris tak bersuara namun wajahnya merah merona. Suara Sakti menggema di udara kala mengucapkan janji suci pernikahannya. Suasana haru mewarnai sore itu, tetesan air mata Hanna yang tak kuasa melihat anak lelaki satu-satunya itu akhirnya mengakhiri masa lajang yang dulu sempa
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu